Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 31.***POV Lita.Aku dan suamiku pulang ke rumah tanpa bersuara. Setelah menghadiri pernikahan Sari dan Mas Arifin, suamiku menjadi lebih pendiam.Aku tahu, Eza tak suka dengan perangai Mas Arifin. Bukan tanpa alasan, karena Eza sudah mengetahui wataknya yang buaya itu."Bi, jangan murung gitu dong," ucapku sembari menyentuh wajahnya dengan lembut."Iya, Ummi. Abi cuma masih tak menyangka kalau Sari akan menikah dengan mantan suamimu," sahutnya yang membuatku merasa tak nyaman.Tersenyum aku dengan getir, malu jika mengingat Mas Arifin adalah bekas suamiku. Namun, mau diapakan. Dia memang Bapak Salman.Duh, sekarang malah jadi Adik ipar suamiku pula.Hidup terkadang menyebalkan..Waktu berjalan, hari berganti ....Sari datang ke sini untuk mencari suamiku. Akan tetapi dirinya hanya datang sendiri."Kak Eza ada, Mbak?" tanya Sari dengan lembut."Ada. Mungkin sedang di toko. Biar Mbak panggilkan dulu, ya."Aku melangkah ke dalam toko kue-ku. E
Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 32.***Kini semua ternak sapi milik Eza kembali ditangani orang kepercayaan yang lama. Sedangkan Mas Arifin, tak tahu kerja apa. Biarkan saja. Itu bukan lagi urusan kami.Siang ini aku merasa sedikit malas untuk beraktivitas. Kepalaku berat, perutku mual. Sudah tiga kali aku bolak-balik kamar mandi. Semua yang aku makan, telah aku muntahkan. Lemas sekujur tubuhku."Ibu kenapa?" tanya Salman."Sepertinya masuk angin. Tolong panggilkan Abimu ya, Nak!" "Baik, Bu."Salman bergegas keluar. Tak lama kemudian ia kembali bersama Eza."Ummi sakit? Kita ke dokter ya," ajak Eza panik."Panggilkan saja ya, Bi. Ummi tidak kuat mau bangun."Mengangguk suamiku sambil memencet ponselnya. Ia menghubungi salah satu dokter langganannya. Menjelang sang dokter datang, Eza memijat lembut kepalaku. Sekujur tubuhku pun sudah diolesinya minyak angin.Namun, lagi-lagi aku mual dan ingin muntah. "Uwek ...."Dengan tubuh lemas, aku berlari ke dalam kamar mandi. Eza
Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 33.***Emosiku masih di ubun-ubun, walau suamiku menggenggam erat tanganku penuh cinta. Pasangan suami istri di hadapanku ini sungguh serasi. Bahkan aku sangat takjub dibuat sikap adik dari suamiku itu."Lit, kamu sedang mengandung?" tanya Mas Arifin."Kalau iya, kenapa?" Suamiku langsung menyambung ucapannya."Hem, tidak apa-apa. Saya turut senang," ujar Mas Arifin pula.Aku memasang wajah cemberut, jujur saja aku sudah sangat muak melihat perangai pasangan suami istri ini."Sari, Kakak sungguh kecewa padamu. Perubahan sikapmu membuat Kakak malu," papar Eza menatap ke arah Sari."Kalau Kakak malu kenapa Kakak berada di sana dan mengaku sebagai anggota keluarga Sari?"Sari selalu melawan setiap kali dinasehati."Sebuta-butanya Nona Moli dan Nia dulu, tapi tak sebuta dirimu, Sari! Kau sungguh dibudak oleh cinta," sambungku."Bukan urusanmu, Mbak!"Sari berdiri sambil menarik tangan Mas Arifin."Kita pulang, Mas! Tidak perlu menginjakkan kaki
Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 34.***Eza menghampiri aku dan Sari. Ia menatap heran ke arah Sari yang sedang menangis."Ada apa ini?" tanya suamiku.Sari langsung menghambur di dada Eza, melepaskan kesedihannya."Maafkan, Sari Kak. Sari sekarang sudah dikhianati Mas Arifin."Eza terdiam, dan menanggapi dengan datar."Itu adalah pilihanmu sendiri, Sari. Karena dulu kau juga merebutnya dari Nona Moli. Maka tak bisa dirimu terpuruk saat suamimu selingkuh kembali," ujar Eza."Sari harus bagaimana?" "Tentukan keputusanmu sendiri. Kakak tak bisa ikut campur. Jika dirimu masih ingin bertahan dengannya, maka bicarakan dengan baik-baik. Namun, jika sudah tak sanggup sebaiknya tinggalkan saja!""Sari mencintai Mas Arifin, Kak. Sangat mencintainya. Sari tak sanggup berpisah dengan Mas Arifin.""Kalau begitu, pertahankan saja!" sambungku."Benar. Pertahankan, dan tidak perlu menangis mengadukan kebusukkannya," ucap suamiku pula.Sari melepaskan pelukan dan menatap tajam."Baik. Sari
Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 35.***Hari berikutnya, aku pergi ke Apartemen milik Shela itu, untuk memastikan. Tak lama Tante Misna benar datang. Menurut informasi yang aku terima, hampir setiap hari Tante Misna menemui Shela.Sebenarnya siapa Shela ini?Apa dia ada hubungannya dengan Nia?Ketika Tante Misna hendak melangkah ke dalam, aku dengan cepat menghentikannya."Tante!" teriakku.Seketika Tante Misna menoleh ke arahku."Lita," lirihnya.Aku tersenyum kemudian menghampiri semakin dekat."Tante sedang apa di sini?" tanyaku menyelidik."Em, i-ini ... Tante ada urusan. Kamu juga sedang apa?""Saya hanya lewat, dan melihat Tante, jadi sengaja mampir dan menyapa," paparku."Oh, kamu gendutan."Tante Misna memperhatikan tubuhku, dan berhenti ke arah perutku."Ya, Tante. Saya tengah mengandung.""Oya? Selamat kalau begitu."Aku mengangguk dan berpamitan berlalu..Kini aku sudah menjauh, tapi aku tak benar-benar pergi. Sengaja aku mengintai dari dalam mobil.Tiga puluh m
Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 36.***POV Eza.Setelah menjelaskan kejadian pada polisi, istriku pun diperbolehkan pulang.Aku dan yang lainnya bergegas membawa Lita dengan hati-hati.Saat tiba di rumah. "Ummi istirahat di kamar saja, dan Salman yang akan menemani," ujarku."Lho, memangnya Abi mau ke mana?" tanya Lita dengan menautkan alisnya."Abi ada urusan sebentar. Nanti pulangnya Abi akan belikan Ummi sesuatu.""Ya sudah. Hati-hati di jalan."Aku tersenyum kemudian berlalu.Kini aku kembali masuk ke dalam mobil. Pikiranku tak tenang, hati kecilku mengatakan kalau Shela adalah seseorang yang membahayakan.Perlahan kulajukan mobilku menuju Apartemen milik Shela..Sampai di depan Apartemen. Aku tak tahu Shela menghuni kamar nomor berapa. Namun, aku bisa bertanya.Saat aku hendak melangkah, tiba-tiba saja terdengar suara seseorang."Mas Reza!" teriaknya.Aku menoleh, ternyata Shela. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Aku tak perlu repot-repot bertanya."Shela, saya baru saj
Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 37.***POV Lita.Aku meneteskan air mata ketika mendapati kabar bahwa Shela meninggal dunia.Shela alias Nia. Dia pergi dalam kondisi mabuk bersama Mas Arifin."Ummi tidak apa-apa?" tanya suamiku.Aku hanya menggeleng. Kemudian terdengar suara jeritan Sari. Sontak aku dan Eza langsung berlari ke dalam ruang rawat Mas Arifin."Apa yang terjadi Sari?" tanyaku cemas."Mas Arifin ... Mas Arifin tak bisa diselamatkan," ucap Sari dengan isak tangis.Aku terdiam, kutoleh ke arah suamiku. Ia pun terpaku tak percaya."Kamu harus ikhlas," ujar Eza datar."Sari tidak siap jadi janda, Kak. Sari sangat mencintai Mas Arifin."Sari begitu histeris. Aku dan suamiku mencoba menenangkannya..Waktu berjalan, kini kami semua membawa jenazah Mas Arifin pulang ke rumahnya.Sampai di sana, Mama Mas Arifin menangis sejadi-jadinya."Kenapa kamu meninggalkan Mama sendiri, Fin! Kenapa? Mama sudah tak punya siapa-siapa lagi sekarang," jerit Mama."Sudah, Ma. Jangan dit
Judul: Undangan pernikahan suamiku.Season 2.Part: 38.***Tujuh belas tahun kemudian.“Lula! Buruan Nak. Kakakmu Salman sudah mau berangkat kerja!” teriakku memanggil putri bungsuku.Lula Permata Syahreza. Hari ini usianya mencapai 17 tahun.Sedangkan putra tampanku Salman, sudah berusia 28 tahun. “Iya, Ummi! Tunggu sebentar, Lula sedang memasang jilbab,” balasnya sambil berlari membetulkan kerudung panjangnya.“Cepetan, Dek! Kakak sudah telat nih,” sambung Salman.“Iya, Kak. Ini sudah siap. Ayo kita berangkat!”Keduanya berlalu dengan bekal yang sudah aku sediakan.Lula masih duduk di kelas 3 SMA. Sedangkan Salman memimpin di salah satu perusahaan milik suamiku, Eza.Kehidupan kami selama ini sangat harmonis. Tak ada lagi yang mengganggu.Namun, entah datang dari mana, tiba-tiba badai itu kembali menyerang.Tepatnya pagi ini setelah kedua Anak-anakku berangkat dari rumah.“Ummi, ada sebuah kertas yang berisikan teror. Abi menemukannya di depan pintu,” ujar suamiku.Perlahan aku me
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 17.***POV Dinda.Aku terdiam mendapati pertanyaan sensitif dari Mas Ridwan. Ada rasa mau bercampur bahagia. Ingin aku teriak menyatakan aku mencintainya. Namun, bibir ini sungguh kaku."Jawab, Din!" perintah Mas Ridwan.Aku tersenyum dan mengangguk dengan malu-malu.Mas Ridwan mengangkat daguku dengan tulunjuk tangannya. "Benarkah?""Benar, Mas." Pelan aku menjawab pertanyaan itu.Mas Ridwan sontak memelukku. Sungguh aku terpaku dan tak menyangka dengan hal ini. Debaran di dadaku memburu. Air mataku menetes karena bahagia. Apa aku sedang bermimpi?"Dinda, saya berjanji akan menjadi suami yang baik untukmu," lirihnya di telingaku.Aku membalas pelukan itu. Lalu hubungan suami istri yang selama ini belum terlaksana, akhirnya terpenuhi sekarang.Aku dan Mas Ridwan memadu cinta dengan begitu indahnya.--Hari berikutnya, aku keluar membeli sesuatu. Tak disangka aku bertemu lagi dengan Mas Andi."Dinda, tolong dengarkan aku dulu! Kembalilah pad
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 16.***POV Ridwan.Hari ini aku akan menjemput si kembar. Saat aku sedang bersiap-siap, Dinda pun menghampiri."Mas aku boleh ikut?" tanya-nya.Aku bergeming. Jujur aku lebih nyaman pergi sendirian. "Mas," lirih Dinda lagi."Iya, Din. Boleh kok," sahutku.Dinda tersenyum. Sebenarnya hatiku terasa teduh saat melihat senyum wanita yang sekarang sah menjadi istriku itu. Namun, aku sendiri masih bingung. Cintaku pada Mawar membuat aku enggan memikirkan wanita lain, walaupun itu istriku sendiri saat ini..Di perjalanan suasana membisu. Aku tak mengajak Dinda bicara, pun sebaliknya.Jarak yang ditempuh cukup memakan waktu. Aku menyalakan musik agar tak begitu kaku.Sesekali aku menoleh ke arah Dinda. Ia tampak cuek dengan tatapan lurus ke depan. Tak seperti biasanya.Aku jadi resah. Apa benar Dinda tak bahagia?Kemarin, saat mantan suaminya datang dan bicara di depan halaman rumah, aku mengintai dari balik jendela.Aku mendengar semuanya. Saat itu
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 15.***Selesai berlatih berenang, aku dan Mas Ridwan masuk kembali ke kamar.Suasana menjadi canggung. Dadaku masih saja berdebar hebat. Sedangkan Mas Ridwan tampak buru-buru ke dalam kamar mandi..Malam harinya, kami sekasur dan saling menatap. "Din, seharusnya semalam kita tak melakukannya, tapi saya sungguh tak mengingat kejadian itu," ucap Mas Ridwan."Mau diapakan, Mas. Nasi sudah jadi bubur," sahutku dengan memasang wajah serius.Mas Ridwan memalingkan wajahnya dan membelakangiku. Entah apa yang ia rasakan, tapi aku cukup senang.Ibu mertua memang paling mengerti. Rasanya aku tak mau pulang ke rumah.--Hari berganti, kini tiba waktunya kami pulang.Sepanjang perjalanan Mas Ridwan hanya diam. Mungkin ia menyesali kejadian yang sebenarnya tak pernah terjadi itu.Hatiku sedikit kecewa. Nanti aku akan menceritakan semuanya dengan jujur.Saat ini, sepertinya suamiku belum siap menjalani rumah tangga normal bersamaku.Tak apa. Aku masih lag
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 14.***Pagi harinya, aku masih enggan menyapa Mas Ridwan. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal sejak ia mengatakan kalimatnya semalam.Sebagai seorang istri, aku merasa Mas Ridwan sama sekali tak menginginkan aku. Lalu, kenapa ikatan pernikahan ia coba ikrarkan?"Din," lirihnya.Aku hanya menoleh sekilas, kemudian aku melanjutkan sarapan."Din, kamu marah?" tanya-nya pula.Aku menggeleng."Din, tolong bicaralah!""Aku tidak marah, dan apa hakku untuk marah?""Hem, baiklah. Saya minta maaf. Saya tidak bermaksud menyinggung perasaanmu, Din. Saya cuma ....""Cukup, Mas. Tidak perlu dibahas!" Suasana pagi ini jadi tegang. Mas Ridwan tampak gelisah. Sedangkan aku sengaja bersikap sedikit tegas. Jika, Mas Ridwan memang tak bisa menerima aku, pun tak masalah. Namun, aku juga tidak akan kembali pada Mas Andi.Hidup sendirian bukanlah suatu perkara besar, tapi pernikahan ini juga bukan mainan. Selagi aku mampu mempertahankan, maka akan tetap aku pertah
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 13.***POV Dinda.Setelah sah menjadi istri dari Mas Ridwan. Aku tetap merasa ada jarak antara kami.Dan benar, malam ini ia mengutarakan ungkapannya yang ternyata belum siap menjalani hubungan layaknya suami istri.Aku sebisa mungkin mencoba tersenyum dan berlapang dada. Bibirku berkata memahami, tapi hatiku terasa sembilu.Jika, cinta itu tak ada untukku kenapa harus menikahiku?Aku bisa menjagakan putri-putrinya. Kalau sudah begini, aku bagai tak dianggap.Suara dengkuran Mas Ridwan terdengar begitu keras. Ia tidur di atas sofa. Sementara aku memeluk lututku sendiri di atas kasur empuk yang dulu miliknya bersama Mbak Mawar.Entah sejak kapan rasa cintaku hadir, yang jelas saat ini hatiku sakit menerima penolakannya.Mas Ridwan sosok yang sempurna. Bahkan untuk berkata hal menyakitkan itu saja ia menggunakan kalimat lembut hingga membuat aku tak berkutik.Malam ini hujan pun turun menemani kesedihanku. Pintu jendela kamar terbuka dan tertutup
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 12.***POV Ridwan.Weekend ini aku berniat membahagiakan Anak-anak. Kami melepas rasa bosan dengan berenang.Kedua putri kecilku sudah siap menggunakan baju pengaman agar tetap terapung.Kami bermain air sembari bercanda riang. Namun, tiba-tiba saja terdengar bunyi dentuman.Sepertinya ada yang melompat ke kolam renang. Dasar menyebalkan. Anak-anakku sampai kaget."Tolong!"Suara teriakan itu sepertinya tidak asing di telingaku. Di kolam yang sama, terlihat seseorang sedang berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.Mataku membesar saat mengetahui Dinda yang tenggelam. Ternyata dia tidak bisa berenang.Dengan gerakan cepat, aku langsung menuju ke arahnya. Telapak tangan Dinda berhasil aku genggam, kemudian dengan terpaksa aku menyentuh bagian pinggang agar ia dapat aku naikan ke permukaan."Tolong bantu angkat ke atas," pintaku pada penjaga kolam.Dinda akhirnya berhasil selamat. Namun, ia pingsan. Sementara Cika dan Tika sudah menangis karena ke
Judul: Kepergianku, penyesalanmu.Part: 11.***POV Dinda.Seminggu setelah Mbak Mawar tiada. Aku semakin besar memberikan perhatian untuk si kembar. Namun, aku tak lagi tinggal serumah dengan mereka. Karena aku segan.Sehabis isya aku pulang ke kontrakan yang letaknya bersebelahan dengan rumah Almarhumah Mbak Mawar. Seperti malam ini, aku berpamitan pada Mas Ridwan."Saya ingin bicara sesuatu, Din. Bisakah kamu menunda sebentar lagi kepulanganmu?" tanya-nya.Aku mengangguk sembari duduk kembali ke sofa."Ingin bicara soal apa, Mas?" "Sebenarnya ini sangat berat. Saya sendiri tak mampu mengatakannya. Namun, amanah ini tetap harus saya sampaikan," ujar Mas Ridwan.Aku sedikit gugup menunggu kalimat apa yang akan diucapkan Mas Ridwan."Din, Almarhumah istri saya menginginkan kamu untuk terus menemani Anak-anak," lanjutnya.Aku mengukir senyum tulus. Sejujurnya aku sangat menyayangi Tika dan Cika. Menjaganya menurutku tugas yang paling membahagiakan."Aku berjanji, Mas. Mbak Mawar pun
Judul: Kepergianku, penyesalanmu.Part: 10.***POV Ridwan.Istriku mawar menyusul aku ke kamar. Ia menjelaskan perkataannya yang tadi sempat aku dengar."Mas, tolong jangan marah. Aku hanya berani bicara seperti itu pada Dinda saja. Karena aku sangat mempercayainya.""Tetap saja aku tidak suka. Masalah kesepian ataupun kesedihan diriku tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain, sayang. Kamu juga tahu, aku sangat mengupayakan kesembuhanmu," paparku.Istriku bergeming. Air matanya mengalir deras. Detik berikutnya aku memeluk penuh cinta.Tubuh indah itu kini mulai lemah. Namun, sedikitpun rasa cintaku tak pernah sirna.Ia adalah cinta pertama dalam hidupku, dan akan menjadi cinta terakhir..Hari berganti, keadaan Mawar semakin memburuk. Aku dan yang lain mengantarkan ke rumah sakit. Namun, kondisinya terus saja melemah. Hingga aku meminta Dinda membawa Anak-anak keluar. Tak tega jika Tika dan Cika melihat kesakitan Mamanya."Mas, sepertinya aku tidak akan bisa mendampingimu lebih l
Judul: Kepergianku, penyesalanmu.Part: 9.***Hari berganti. Harusnya saat ini adalah menjadi momen terindahku. Namun, pernikahan telah aku batalkan, walau undangan pada kerabat dekat sudah disebarkan.Mas Andi juga masih berusaha membujukku agar mau kembali rujuk. Akan tetapi hatiku sudah bulat menolaknya.Lelaki seperti Mas Andi tidak akan pernah berubah. Ia hanya bisa lembut ketika merasa sepi dan sendiri. Namun, disaat ada pilihan lain, maka dia pun akan mulai bertingkah."Din, aku mohon kali ini saja! Ayolah berikan aku kesempatan itu," ujarnya melalui panggilan suara."Tidak, Mas. Keputusanku tidak bisa lagi diganggu gugat," sahutku dengan intonasi suara menekan.Deheman keras terdengar bagai orang yang putus asa. Detik berikutnya aku langsung memutuskan panggilan telepon dengannya.Cukup sudah hatiku dipermainkan. Aku tak mau lagi ada kesakitan yang tercipta oleh lelaki yang sama..Seperti biasa, aku mengurus Tika dan Cika. Setelah selesai, aku pun segera memberikan obat ruti