Share

iii. Aku Dijual

Author: POMME
last update Last Updated: 2022-09-01 06:52:26

Asap rokok mengepul tebal di hadapanku, kali ini seperti kereta api yang melaju di atas rel tidak lurus; udara kotor menyesaki hidungku. Aku terbatuk beberapa kali, mencoba untuk tidak menghirup oksigen, namun terus berakhir gagal dengan aku yang justru nyaris mati kehabisan napas, di antara dua lelaki yang mengapitku di sisi kiri dan kanan pahaku. Daniel, dan Gerry ㅡseseorang yang ternyata adalah bandar narkoba, mafia besar di Jakarta yang masih bersembunyi dengan begitu baik dari jangkauan mata dan tangan polisi.

Aku kembali menunduk, mengikis kuku jari kiriku dengan kuku-kuku jari kananku.

“Siapa nama lengkapmu?”

Berat. Suaranya yang masih sangat asing, mendadak terdengar di kupingku. Gerry. Senyumnya yang lantang menyuguhiku. Dia sedang menghisap sebilah rokoknya bersama sorot runcing yang dia beri padaku, dan dugaanku benar, kalau kami akan harus berbicara usai Daniel menggiringku untuk duduk di tengah-tengah mereka dan mendengarkan berbagai umpatan kotor.

“Perkenalkan namamu, Sayang. Gerry bertanya padamu. Kau harus menjawab.” Daniel menyenggol betisku, dan aku spontan menggiringkan wajahku ke samping, menemui sepasang mata tersebut di dalam kemelut khawatir, masih tentang apakah aku bakal tetap hidup usai kami keluar dari sini, dan Daniel meremas paha bawahku. “Bicaralah. Jangan membuatku malu karena tingkahmu.”

Aku berpaling, kendati enggan.

“Jasmine Chalondra,” ucapku.

“Nama yang indah. Seindah pemiliknya.”

Jemarinya mencoba meraba sekitaran punggungku, dan aku langsung menatapnya dengan sinis sambil menggerakkan badanku.

“Umur?” tanyanya, lagi.

“Dua puluh empat.”

Nadaku berubah, dan dugaanku yang memastikan kalau Daniel akan menyiksaku lagi meskipun ada orang lain di sini, dibenarkan ketika aku bisa merasakan cubitan kerasnya yang sekarang beralih ke pinggangku, menggunakan tangan kanannya. Samar, suaranya berbisik, “Tolong aku, Sayang. Bersikap baiklah kepada temanku. Kali ini saja. Aku, harus segera melunasi hutangku.”

Awan meredup seperti tadi malam ㅡkeningku dengan lekas dihiasi oleh guratan yang terbentuk dari garis-garis pendek. Apa maksudnya? Apa arti ucapannya? Aku menelan ludahku, tetapi rasanya keras dan pahit. Jantungku mau pecah ketika Daniel hanya menaikkan tangan kanannya untuk menggapai rambutku dan membelai dengan begitu lembut.

“Ah, kau tiga tahun lebih muda dariku.” Menyusuri bahuku, Gerry menciptakan asap terakhir yang keluar dari mulutnya setelah kemudian dia meletakkan rokoknya yang tinggal separuh batang ke asbak kecil di meja.

Aku tidak merespon, dan pandanganku mulai kabur lagi dengan kristal bening yang bersiap untuk kembali tumpah. Seribu pertanyaan sudah mengembara di kepalaku, dan seolah-olah bakalan menghancurkan seluruh isinya kalau saja benar bahwa jawaban yang tidak mau kudengar justru adalah jawaban sebenarnya yang harus kudengar, satu kenyataan paling tragis : Aku, mau dijual, oleh pacarku sendiri.

Sekawanan burung meninggalkan suaranya di depan jendela ketika aku menyadari bahwa lututku sudah kehilangan setengah lebih tenagaku yang tersisa. Daniel tiba-tiba berdiri dengan tanpa mengucapkan sepatah kata apa pun lagi untukku, berjalan ke hadapan Gerry, dan membentuk sekerat seringai tajam.

“Bisa berikan uangnya padaku sekarang? Aku akan meninggalkan kalian berdua di sini.”

Aku mendengar Gerry tertawa, namun hanya sekejap, semuanya berubah menjadi keseriusan. Gerry mengeluarkan sebuah amplop berwarna cokelat dari dalam tasnya, menyodorkan itu kepada Daniel yang menaikkan alis dan membuka matanya lebih lebar. “Sepuluh juta pertama untuk servis pembuka. Hitung saja kembali.” Kelopak matanya berkedip padaku, dan udara yang begitu dingin bak membelit tubuhku. “Kau akan bersenang-senang, Manis.”

“Daniel, apa yang kaurencanakan?”

Aku buru-buru menyusulnya berdiri, tetapi, rasanya sakit. Dia menahanku dengan cengkeramannya lagi di pundakku.

“Aku menjualmu, Jasmine.”

“Tidak, Daniel. Kau pasti bohong!”

“Maafkan aku.”

“Danielㅡ” Aku mencoba meraih tangannya, namun, dia menepisku, dan dalam sedetik, tubuhnya yang berbalik adalah kekecewaan paling besarku dari semua luka yang pernah dia ciptakan padaku. “Daniel, tidak, kumohon...”

Dadaku sesak. Bunyi pintu yang dibuka, kemudian ditutup lagi dengan keras bagai bilik tahanan yang mengurungku dengan sekelompok anggota kriminal kelas berat. Napasku berembus tidak beraturan ketika Gerry mendekat, memajukan tubuh dan wajahnya ke hadapanku, sehingga membuatku refleks mundur, mencoba berdiri lagi sambil berusaha menggapai benda keras apa pun yang ada di belakangku, walau, semua cuma menjadi bentuk pemberontakan sekaligus perlawananku yang sia-sia saat dia hanya mengambil sebuah sapu tangan yang dilipat dari dalam kantong bajunya dan membungkam mulutku. Kemudian, dalam sesaat yang cepat, dunia menghitam.

***

“Namanya Jasmine. Pacarnya sendirilah yang menjualnya pada kita. Harga murah.” Jelas. Suara dari beberapa orang yang sedang berbicara di sekitarku. Suara Gerry, dan suara seseorang lainnya yang sama sekali tidak familiar untukku. Fals, namun nyaring.

Aku memejam dalam sembari memegangi keningku. Entah sudah berapa lama waktu berlalu ㅡpagi yang mendung sudah berubah ke sore yang teduh, rasa pening di kepalaku masih terasa ketika kucoba 'tuk membuka mataku dan menoleh ke sampingku. Benar. Gerry, dia sungguh berada di sini, bersandar di dinding dengan secangkir kopi panas di tangannya, menatapiku dengan bibir yang digigit. Pakaiannya masih sama; setelan jas hitam, kemeja berkerah dan celana jeans agak ketat.

“Sudah bangun?”

“Di mana ini?”

Bola mataku berkeliaran, menjelajah semua sudut demi sudut, takut, sementara lelaki tua yang bersamanya pergi, dan Gerry melangkahkan kakinya ke arahku, ranjang.

“Jangan takut, Manis.”

“Berhenti! Jangan mendekat!” Aku memekik.

“Aku tidak akan menyakitimu.”

Aku mengambil bantal yang kutiduri, dan melemparkannya segera ke muka Gerry yang punya ekspresi kotornya setiap kali melihatku. Namun, dia hanya menghindarinya secara santai dengan satu tangan yang dia masukkan ke dalam saku celana jeansnya. Masih terus berjalan mendekatiku hingga kemudian dia berhasil mencapai kursi kayu di sebelahku, dan mendudukkan bokongnya dengan lambat di sana.

“Apa maumu?!”

“Aku?” Dia bertanya.

Laki-laki itu menyeduh kopinya untuk kali terakhir, dan aku menyaksikan jemarinya yang menuruni cangkir tersebut usai dia meletakannya di meja. Bergerak pelan.

“Apa kau tahu, pacarmu memiliki hutang yang begitu banyak?” Gerry menyilangkan kakinya, menolehkan wajahnya kepadaku, dan mengamatiku. Menjamuku dengan senyum.

Aku terdiam, memutar kembali perkataan Daniel tadi pagi kepadaku, dan mencoba menggali dalam semua tentangnya yang mungkin secara tak sadar telah kulewatkan.

“Tidak.”

Aku menggeleng.

Gerry tertawa. “Karena itu, dia menjualmu. Bahkan rela ketika kuhargai dirimu hanya dengan sepuluh juta rupiah. Sayang sekali, kurasa kau pasti menyesal menjadi kekasihnya.”

Aku menarik selimut yang sudah nyaris menabrak lantai buat dinaikkan sampai ke leherku. Cahaya matahari yang kemudian semakin sirna layaknya kode suram yang memintaku mau tidak mau harus menerima nasibku, atau mungkin sesungguhnya itu merupakan bagian dari takdir yang tidak akan pernah bisa kuubah. Sebab, laki-laki ini, nyatanya, bukan cuma sekadar bandar narkoba. Dia juga seorang germo, dan aku, sudah terperangkap sejauh ini, dengan ketidakpekaanku, keabaianku, dan kebodohanku yang kupersembahkan untuk Daniel ㅡorang yang selalu ingin aku percayai. []

Pomme, 2022.09.01.

Related chapters

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   iv. Malam Pertama

    Bulan menontonku dari tempat yang begitu tinggi untuk kusentuh ㅡnapasku masih terus berembus cepat, namun juga sesekali menghilang, memaki diriku sendiri yang tidak tahu harus melakukan apa. Apakah aku sungguh harus melompat dari lantai tiga untuk bisa bebas dari tempat ini dan pergi ke kantor polisi, atau apakah aku malah lebih baik bunuh diri.Gerry baru saja melemparkan sebuah dress pendek ketat, dan setengah dada, kepadaku. Dia bilang, Daniel menjualku karena uang, dan mereka membeliku karena aku punya kategori yang pas untuk memuaskan para pelanggan tetap dari bisnis haram yang mereka jalankan.“Berdandanlah. Selain cantik, kau juga harus seksi. Pelangganmu akan menilai dari bagaimana penampilanmu, dan kepiawaianmu dalam membuat mereka merasa puas olehmu.”Aku duduk diam, merenung memandangi pakaian kurang bahan tersebut. Serta peralatan make-up lengkap, di mana di antaranya terselip lipstik matte berwarna merah terang yang mencolok. Sangat berbeda dari apa yang biasa kupakai dala

    Last Updated : 2022-09-01
  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   v. Bertemu Pelanggan

    “Aku hanya percaya fakta. Kau harus membuktikan ucapanmu kalau tidak mau aku memberikanmu kepada para lelaki hidung belang yang membutuhkan seks.”“Apa yang harus kulakukan?”Aku melempar napasku, mengepalkan tangan kiriku dengan secercah harapan kalau Gerry bisa menilai keseriusanku, dan mau mempertimbangkan kembali keputusannya soal ini. Hatiku sakit. Aku benar-benar tidak mau melakukan hal kotor seperti ini, dan aku harus bekerja besok. Aku tidak bisa absen mendadak, terlebih, dengan tanpa memberi keterangan. Akan lebih sukar untukku jika aku harus dipecat karena hal penting yang kusepelekan kendati ini di luar kendaliku. Sebab, mencari pekerjaan di ibukota bukanlah perkara gampang. Semua orang bersaing dengan nilai tinggi dan kemampuan. Bahkan, sebagian, menyogok dengan menyetorkan banyak uang.Gerry adalah orang yang paling sering mengamatiku sekarang. Bibirnya yang dia basahi kelihatan berkilau di bawah cahaya lampu, sebelum kemudian jemarinya ikut terangkat naik dan mengusapi pe

    Last Updated : 2022-09-02
  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   vi. Disekap

    Tidak ada ponsel. Tidak ada dompet. Aku kembali ke ruangan sempit ini lagi dengan sedikit rasa keram di bagian pergelangan tanganku. Gerry menyeretku ketika aku mencoba untuk memberontak, mengumandangkan keinginanku berulang kali kalau aku hanya ingin pulang, menjalani kehidupan normalku lagi seperti biasanya. Aku tidak bisa dikekang seperti ini, dan kegelisahan itu menghantam pikiranku lagi; aku, harus bekerja besok, dan juga hari-hari seterusnya.Bunyi kenop mengagetkan lamunanku. Gerry, masuk dengan sebuah kantong plastik besar di tangannya. Berjalan ke meja, dan memindahkan kursi ke depanku. Duduk di sana dengan memberangkangi punggung kursi.“Kau harus makan. Badanmu tampak lemas. Apakah... memuaskan lelaki berumur semelelahkan itu?” Senyumnya kelihatan tipis, dan baru kusadari, ada titik hitam yang tertanam di dekat bola matanya ketika kupandangi itu dengan ribuan kebencian yang terlukis jelas di dalam kedua netraku. Aku diam. Tidak ada ekpresi lain yang bisa disimpulkan dari w

    Last Updated : 2022-09-03
  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   vii. Sakit

    Sore hari yang masih sama kelam seperti kemarin. Jasmine terduduk lemas di kursi yang dia tarik ke depan jendela. Senyumnya tenggelam dalam, dan akalnya berkelana sangat jauh, melintasi milyaran mega-mega putih di sekeliling matahari yang tampak muram baginya. Bahkan langit seolah ikut menangis untuknya, melantunkan sebuah lagu paling sedih. Apakah semua yang sedang dia alami adalah pantas untuk disebut hidup?Sendu. Pandangannya hanya sanggup bergelandang ke pepohonan tinggi yang sedang diam. Angin sudah berhenti berembus semenjak dia merasakan jiwanya mulai mati. Kosong. Hampa. Jasmine merasa kalau dirinya bak tubuh yang berjalan tanpa raga. Apa pun penolakan yang dia lakukan, semua hanya kembali kepada satu jawaban yang tak pernah berubah : terpental ke ruangan ini lagi, dan dibayangi oleh kematian. Entah mati karena Gerry yang kemungkinan besar akan membunuhnya jika dia terus menerus melakukan perlawanan ㅡdan fakta mujur tentang lelaki berengsek itu yang benar psikopat, atau justr

    Last Updated : 2022-09-04
  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   viii. Skenario

    Sembilan jam berlalu. Jasmine kembali mendaratkan bokongnya di kursi, masih di hadapan dunia luar yang kini tampak abai kepada dirinya. Napasnya lemah. Sepotong khayalan jauh terpatri di kepalanya, membayangkan kalau seandainya masa depan bahagia yang dia impikan hanya berubah menjadi alur kehidupan pahit yang tidak pernah menjadi bagian dari cerita baik yang dia inginkan. Terkurung di sana sendirian, dengan cairan bening yang nyaris selalu muncul di pelupuk matanya. Seakan-akan dia memang akan berada di tempat itu. Selamanya.Papa, Mama. Terkadang dia merindukannya, dan sekarang, perasaan itu menjumpainya lagi. Jasmine dan kedua orang tuanya sangat dekat ketika dia masih kanak-kanak dahulu, dan hidup dengan kesederhanaan. Mama selalu mengajaknya bercengkerama, dan Papa kerap memberinya lelucon-lelucon kuno. Namun, seiring bertambahnya usia, berlalunya waktu, dan nasib buruk yang perlahan memudar, kehidupannya mulai berubah secara magis.Jasmine tidak begitu sering lagi mendengar suar

    Last Updated : 2022-09-05
  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   ix. Kabur

    Gemetar. Pada kenyataannya aku memang tidak pandai berbohong. Jantungku berdetak amat cepat, dan bola mataku goyah ketika Gerry kembali memangkas sedikit jarak yang tersisa di antara kami. Bau krim rambut yang dia pakai menjelajah ke hidungku, dan aku hanya punya napas yang kutahan secara halus di antara kedua irisnya yang menatapiku, lekat.Jemariku dingin. Gerry menjamuku sepenggal seringainya lagi yang kini datang bersama suara kecil burung gereja. Ekspresinya nakal. Sementara aku sedang menarik urat leherku yang menegang, kaku. Perutku mulai berkeringat. Berusaha kabur dari Gerry bukanlah perkara mudah semenjak awal, dan rasanya bak menyeberangi sungai berombak untuk bisa mencapai tepian terjal. Sulit sekali.“Aku... tidak bisa kalau harus langsung menjawabnya sekarang. Bisa beri aku waktu?”Aku melirikkan ekor mataku ke meja, memberi kode padanya terhadap apa yang dia bawa ke kamar ini untukku. Sebuah kantong plastik makanan, dan paper bag besar. Masih utuh di sana. Aku tahu kalau

    Last Updated : 2022-09-07
  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   x. Sebuah Keputusan

    Aku mencoba menata diriku lagi, di hadapan indekos Jakarta yang kecil. Mungkin untuk sementara, akan lebih baik kalau aku menghindari apartemenku dahulu. Gerry sudah pasti akan menghubungi Daniel, mencariku. Aku tidak mau ceroboh. Cukup sekali, dan aku hanya berharap tentang hal-hal baik yang bakal terjadi kepada hidupku. Bukan pelecehan.Seorang perempuan pemilik bangunan bertingkat delapan pintu ini datang menyambutku. Senyumnya yang ramah mirip seperti senyuman Mama yang sering kuterima sewaktu aku masih kecil. Bahkan, rambut sebahunya yang dibiarkan tergurai, ditabrak sekelompok angin. Beliau berjalan ke arahku, dan setelah dekat, aku bisa menilai sifat lembutnya. Serta begitu keibuan. Mengundangku buat ikut tersenyum, meski kaku, sembari mengusap lamban tengkukku.“Ada yang bisa saya bantu, Nak?”Bingung. Aku menggigit bibirku. Tidak tahu bagaimana caraku harus memulai pembicaraan kami. Aku tidak memiliki dompet yang menyimpan seluruh identitasku, pun ponselku yang sampai saat in

    Last Updated : 2022-09-08
  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xi. Pulang ke Apartemen

    Aku masih tidak percaya kalau kebaikan yang beliau miliki tidak hanya berhenti pada satu hal manis yang dia beri kepadaku. Selain tidak mengizinkan aku untuk membayar uang sewa, aku juga selalu diajak untuk menemaninya makan bersama. Tiga kali dalam sehari. Beliau bilang bahwa sudah hampir delapan tahun kehidupannya hampa dan sunyi. Suaminya telah meninggal, tepat dua hari setelah mendengar kabar akan Grace ㅡanak merekaㅡ yang tak lagi bernapas, dan mengharuskannya untuk menjalani kesehariannya sendiri, mau tidak mau. Sebab, menurutnya, begitulah jalan hidup yang memang Sang Maha Pencipta peruntukkan untuknya, dan beliau mencoba menerima itu dengan keikhlasan, menjalani takdir miliknya.Sudah tiga hari sejak terik panas matahari Selasa pagi menyaksikanku kabur seorang diri dari hotel keparat itu. Banyak waktu yang seharusnya berharga terbuang di antara ketakutanku yang nyatanya masih menyala meskipun telah berada di tempat ini; tempat yang aman untukku. Aku sudah memutuskan untuk pergi

    Last Updated : 2022-09-09

Latest chapter

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxviii. Kematian

    Kaleng minumanku sudah kosong.Aku duduk bersandar di pinggiran ranjang dengan kedua kaki yang kembali kutekuk, menghadap ke pintu yang ditutup. Setengah jam telah berlalu, dan jemari kananku sibuk mengetuk punggung tanganku yang melingkari betisku usai kukatakan kepada Adam kalau aku memiliki keputusan yang sulit; sebuah jawaban yang tidak pasti. Aku merasa bahwa pertemanan kami masih cukup jauh untuk sampai pada titik yang harus melibatkan kehadiranku di rumahnya, meskipun, setengah dari isi hatiku yang lain telah semakin meyakininya jika dia mungkin adalah salah satu bagian dari takdir yangTuhan mau untuk hidup baruku saat ini.Aroma harum sampo di rambutnya masih tercium. Adam tersenyum bersama anggukan kecil yang dia layangkan sebagai satu tanda pengertiannya padaku terkait trauma itu lagi dengan tanpa perlu kembali kujelaskan, dan aku melihat dia mengeluarkan lagi ponselnya, mengangkatnya di dalam udara kosong yang menengahi antara bahunya dan bahuku.“Semua hal baik butuh prose

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxvii. Bercengkerama

    “Untuk seseorang yang tinggal jauh dari keluarga seperti kita, bukankah rasanya sangat menyedihkan jika makan sendirian? Setiap kali aku melakukan itu, aku selalu melamun, memikirkan apa yang sebenarnya terjadi dengan hidupku.” Adam menjilat bibirnya yang berminyak, dan menatap diriku yang spontan tertawa mendengar pernyataannya, menghargai kejujuran demi kejujuran dari mulutnya yang membuatku sesekali bertanya di dalam kepala : kenapa dia harus mengatakan itu semua kepadaku? Sedangkan aku masih menganggap kalau pertemuan kami sejak hari pertama sampai hari ini yang bahkan belum terhitung satu bulan ialah saat-saat di mana sebaiknya kami berdua tidak langsung membuka diri dengan mudah, meskipun, aku sendiri tidak mengerti mengapa aku memberi tahunya tentang trauma yang seharusnya kututupi dengan rapat.Aku tertawa kecil ketika mengangkat sumpitku yang membawa beberapa helai jajangmyeon berpotongan agak tebal. Beberapa tembang lagu telah berganti, dan mataku mulai menyebarkan sorotnya

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxvi. Malam di Kamarnya

    Senyap. Kegaduhan yang tadi ikut menyinggahi kamarku dari berbagai macam suara kini hanya seakan-akan menghilang. Nyaris binasa dengan sangat amat sempurna di antara tubuhku yang sekarang sudah duduk di atas karpet lantai berwarna cokelat sambil menekukkan kedua lutut, di depan dinding yang memiliki banyak tempelan kertas bergambar lumba-lumba, dan sketsa wajah orang ㅡsebuah terkaan yang tidak meleset dari perkiraanku kalau Adam adalah lelaki yang rapi semenjak aku menyadari bahwa pakaiannya tidak pernah kusut, dan itu cukup mengagumkan ketika bisa kudapati bantal-bantal di ranjangnya yang tersusun demikian apik bersama seprei yang dipasang kencang, tirai jendela yang bersih, dan buku-buku yang ditempatkan dengan tepat.“Aku tahu kau sedang mengagumiku.”Dua cangkir besar berisikan teh hangat agak berasap di nampan menjamuku. Adam menaruh pantatnya di sampingku sementara aku langsung mengatupkan bibir, dan menoleh cepat untuk menemukan wajahnya usai dia memunggungiku selama beberapa m

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxv. Kerinduan?

    Jakarta yang sangat luas sekarang hanya berubah menjadi kota kecil yang konyol ketika aku bisa mendapati masa laluku lagi di antara banyak manusia serta jalanan yang kulalui untuk menjauhi semua nahasku. Aku mundur beberapa langkah, bersembunyi dengan cepat di balik rak tisu. Tidak menyangka kalau aku tetap akan dipertemukan kembali dengan mantanku yang berengsek setelah seluruh hidupku dihancurkan olehnya, membuat sekelebat pertanyaan itu melintas. Apakah semudah itu untuknya melupakanku? Daniel yang kukira sedang merenungi perbuatan paling kejamnya kepadaku pada kenyataannya terdengar seperti omong kosong yang terlalu kupaksakan seorang diri. Dia tidak begitu. Dia akan tetap sama sampai semua utangnya lunas, bahkan, bila itu harus merayu perempuan yang usianya jauh lebih tua dari dirinya.Aku membungkuk, mencoba mengintip mereka berdua secara hati-hati. Suasana yang tiba-tiba hening membuatku dapat mendengarkan suara Daniel yang lembut ㅡselembut ketika dia merayuku untuk mendapatkan

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxiv. Salah Menilai

    Hari Minggu datang ke dalam kehidupanku usai rasanya aku sudah melewati ribuan hari, jutaan angin malam, dan miliaran ombak. Sesuai dengan kesepakatan yang kutandatangani di surat kontrak pekerjaan, aku baru diperbolehkan libur jika telah masuk bekerja selama empat belas hari tanpa boleh mangajukan izin sama sekali, dan aku berhasil melewati dua minggu itu dengan baik. Meskipun lelah, walaupun tulang punggungku seolah nyaris patah, aku tidak boleh menyepelekan tanggung jawabku kalau tidak ingin atasanku memecatku, dan membuatku tidak mendapatkan gaji utuh sebelum genap satu bulan yang langsung dihitung dari hari pertama aku mulai masuk bekerja.Aku bersandar di ranjangku, mengamati kuku-kuku tanganku yang catnya sudah jelek. Aku ingin menghapusnya, dan menggantinya dengan warna merah. Terasa akan sangat cocok dengan warna kulitku yang tidak terlampau putih, dan jemariku yang cukup panjang. Juga, sebenarnya, aku sudah menyiapkan beberapa kutek baru yang semalam kubeli dari sebuah toko k

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxiii. Kejujuran Lisa

    Canggung. Aku kembali berbaring di ranjang, bersama tubuh Lisa yang sekarang berada di sampingku. Parfumnya tak lagi tercium, namun, bau lotion yang dia pakai terasa begitu harum untuk menghambur ke hidungku, seperti aroma bunga yang lembut, bercampur dengan dedaunan. Lisa bilang, dia tidak bisa tidur karena penyakitnya, dan sebenarnya, kebiasaan itu selalu terjadi kepadanya selama nyaris setiap malam yang dia bilang kalau biasanya dia akan mengatasi itu dengan cara menonton film, kemudian membuat matanya akan memejam usai lelah, dan tertidur. Tetapi, tidak kali ini. Dia sudah menonton film, namun, matanya tetap terus terjaga. Tidak bisa tidur.Napasnya yang tadi terdengar di telepon, kini berembus di sampingku. Aku mencoba untuk menahan napasku sendiri sambil memaksa menurunkan jempol kakiku yang berdiri tegak, mendapati Lisa sedang memainkan ponselnya, menghadap ke tubuhku yang hanya telentang, diam menatapi langit-langit kamar. Tidak tahu apa yang seharusnya kulakukan selain berusa

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxii. Bermimpi

    “Apa yang kaulamunkan di jam kerja, hm?” Oliv memiliki keingintahuannya yang mengejutkanku di atas kursi. Dia datang dengan alis menukiknya bersama sebuah senyum datar yang terbentuk di wajahnya tatkala tangannya menarik satu kursi kosong, dan ikut duduk di sana, di sampingku. Sementara aku hanya menggeleng, dan mengambil sebotol minuman dingin berwarna hitam bersoda yang telah kubuka penutupnya, lalu meninumnya.Hari ini, kami cukup disibukkan dengan sekelompok anak sekolah yang tiba-tiba turun dari bus pariwisata, dan menyerbu toko ini. Sangat melelahkan, namun sebenarnya aku cukup bersyukur karena setidaknya itu dapat mengurangi sedikit kemelut yang melanda pemikiranku.Tidak. Ini bukan soal Lisa lagi.Tadi malam, aku bermimpi sesuatu yang aneh. Di dalam mimpi itu, aku melihat Daniel, setelah sekian lama, dan setelah aku hampir bisa melupakannya. Dia sedang melambaikan tangannya kepadaku, dari kejauhan, dan sebenarnya aku tidak bisa melihat jelas ke wajahnya. Entah apa yang ingin d

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxi. Cemburu

    Sudah pukul sembilan. Waktu berlalu dengan sangat cepat ㅡseakan-akan bergilir begitu saja, tanpa terasa. Adam, dan aku telah memutuskan untuk pulang meski sebenarnya aku masih ingin berada sedikit lebih lama lagi di sana, menikmati rembulan, dan bertemankan angin malam yang terasa sejuk menciumi kulitku.Jalanan kota yang masih ramai kembali mencuri perhatianku. Entah sejak kapan aku mulai ingin mengagumi, mengesampingkan kesimpulanku yang selalu bilang jika tinggal di kota ini, adalah sebuah kutukan dimana kita harus punya pekerjaan, serta rumah, menjadikan itu sebagai dua hal wajib yang harus dimiliki untuk bisa menetap dengan cukup tenang di kota ini. Jakarta selalu menyala, dan terasa keras untuk orang-orang yang lemah. Tak jarang ada berita bunuh diri yang terjadi setiap harinya, diumumkan di seluruh penjuru melalui televisi, media sosial, maupun surat kabar. Satu hal pun lantas menjadi kejelasan masuk akal yang paling sering terkuak, bahwa, nyaris seluruh penyebabnya, ialah kare

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxx. di Bawah Langit

    “Aku sangat bersyukur kalau kau menikmati tempat ini.” Suaranya diberkati oleh ketulusan ketika dia menggelar selembar karpet berwarna biru tua di depanku yang barusan dia sewa dari pedagang karpet di dekat pintu masuk. Adam sempat ingin membelinya, namun aku mengatakan jika hanya meminjamnya dengan membayar biaya selama beberapa jam, mungkin akan lebih baik. Dia tidak perlu repot untuk membawanya di tangan selama perjalanan pulang kami berdua nanti.Aku kembali tersenyum, menghadapi keasingan itu yang agaknya cuma singgah sebentar ke dalam diriku. Aku telah menjadi seorang Jasmine lagi yang sekarang sedang memejam, menikmati angin segitiga yang menggesek pipiku.Pernyataan yang terlontar dari bibirku kepada lelaki itu memang benar, bahwa, masa laluku ketika aku masih menjadi seorang anak kecil yang polos spontan memang bak ditampilkan lagi di depan mataku. Aku seolah bisa melihat diriku yang masih berbadan kecil dengan rambut kepang tengah berbaring sambil meletakkan kepala di paha M

DMCA.com Protection Status