Accueil / Romansa / AKU BUKAN SEORANG PELACUR / i. Setelah Empat Bulan

Share

i. Setelah Empat Bulan

Auteur: POMME
last update Dernière mise à jour: 2022-08-29 11:28:08

“Aku rindu tidur denganmu.”

Malam benar-benar datang, dan kehadirannya memberiku kebingungan sekaligus keterkejutan paling sempurna di pinggir ranjang. Bola mataku membelalak lebar ㅡtersentak dengan perkataannya yang berada tepat di cuping kananku, sesaat setelah Daniel sudah selesai dengan dirinya yang sedikit basah dan bertelanjang dada untuk tiba-tiba menghampiriku yang melamun di hadapan jendela serta bintang-bintang yang hilang sebab hujan masih terlihat di beberapa langit.

Aku terbatuk, dan jemari kiriku kini telah mendatangi pahaku, meremasnya gelisah.

“Aㅡapa yang mau kaulakukan?”

“Hanya masih merindukan pacarku.” Daniel menundukkan punggungnya untuk mensejajari wajahku yang harus mendongak menatap ke dalam irisnya, mencoba menemukan kejujuran demi kejujuran yang sebenarnya kutahu kalau itu cuma ada di satu minggu pertama hubungan kami sejak Daniel menyatakan cintanya padaku di sebuah taman sunyi, selebihnya hanya perasaan tulus dari satu belah pihak, dan nahas, itu adalah diriku. “Aku ingin berbaring di ranjang sambil memelukmu, sampai kita berdua tertidur lelap, dan terbangun dengan mimpi indah pada keesokan paginya. Tidak bolehkah?”

Terkadang, suara gemuruh yang besar masih terdengar. Jakarta hari ini seperti kado aneh yang sebelumnya tidak pernah kuterima. Aku bahkan ragu untuk menganggap bahwa kami, aku dan Daniel, masih sama seperti dahulu setelah semua yang terjadi dan waktu menggiringku ke permasalahan-permasalahan hidup lainnya yang membentuk sebuah kedewasaan baru dalam diriku, mengajarkan padaku jika cinta bukanlah segalanya.

Aku mengangguk, “Malam ini saja.”

Aku mengais udara melalui mulutku, dan membantingnya pelan. Mungkin benar kalau yang sedang kuperlukan saat ini hanya kepastian, dan aku ingin mendapatkan kepastian itu dengan cara kami bercengkerama lagi, bercerita banyak hal lagi, dan membiarkannya memiliki bibirku lagi.

“Terima kasih.”

Daniel tersenyum. Segelintir bau sabun milikku kemudian terberai di udara ketika dia meninggalkanku ke ruang tamu untuk mengambil tas pakaiannya. Dahulu, ini sering terjadi, dan rasanya senang bisa mendapati tubuhnya dengan harum yang sama denganku setiap kali dia di sini. Namun, sekarang, semua justru terkesan asing. Agaknya, setelah waktu berlalu, orang-orang berubah, bahkan momen manis yang selalu ditertawakan, sekarang cuma jadi kenangan basi yang tidak lagi berarti.

Aku beranjak dari pinggir ranjang. Cermin di meja hiasku sedang menampilkan diriku dengan piyama pink ketika aku datang ke sana untuk mengoleskan sedikit lip balm ke bibirku, dan di belakangku, aku melihat Daniel berjalan ke arahku, dengan kaos polos berwarna putih, celana pendek sepaha berwarna cokelat, serta gelang hitam tipis di pergelangan tangan kanannya. Masih tersenyum, dan berbahaya.

“Cantik sekali,” bisiknya, memelukku.

Aku menatapnya sekilas di cermin, membalasnya dengan sedikit senyum yang kusapukan melalui ujung mulutku kala kubalikkan tubuhku segera dan merelakan hawa dingin yang lagi-lagi kembali berubah menjadi hangat dalam sekejap. Bibir Daniel tiba-tiba datang ke bibirku, mengecup begitu mesra di antara keterkejutanku lagi yang meledak lebih keras dari petasan-petasan tahun baru lalu.

“Selalu manis.”

“Daniel...”

Hujan yang lantas kembali jatuh dengan lebat seakan-akan menjadi kesepakatan tak terucap yang tepat pada saat Daniel menyentuh wajahku dan menciptakan banyak kegelisahanku lagi. Aku bisa merasakan jarinya bergerak mengusapi rahangku, dagu, dan lalu leherku, secara perlahan-lahan. Sebuah kelancangan yang sangat legit ㅡyang selanjutnya telah begitu amat lancang untuk kembali membuatku melemparkan deru napas tergesaku lagi saat dia mengusap bibirku dan menekankan ujung telunjuk kanannya hingga menyentuh ke gigi bawahku, menggodaku.

Aku menunduk, menatap beberapa jemari lain miliknya yang kini telah mencapai paha kananku. Gemuruh petir berbisik ㅡrambut lurusku disingkirkan. Daniel menuntun pelan tubuhku ke ranjang, membaringkan punggung serta pantatku untuk disaksikan langit apartemenku yang bungkam. Sepotong seringaian samar terbentuk di antara wajahnya. Lututku lemas. Nada-nada merayu mulai berlabuh ketika kini dada itu secara nyata terbentang di atas tubuhku, dan tangannya berpindah ke dalam bajuku. Sejemang usai awan malam terasa makin menggelap, dan bibir merah Daniel kembali datang untuk membungkam rapat bibirku.

Aku mendongak dengan kedua iris yang seketika terpejam penuh. Waktu berhenti, dan sebuah lagu sendu milik Anson Seabra tiba-tiba terdengar dari kafe depan gang meskipun tidak nyaring. Suara lenguhan yang rendah hadir melewati urat-urat tipis yang tercipta di sepanjang mulutku dan tengah disesap olehnya begitu kuat. Napasku kacau. Semilir udara yang basah pergi menyeberangi perutku, menjamahi rambut-rambut halus yang tumbuh di bagian bawah dadaku. Esok pagi yang Daniel nantikan bak barang bekas yang saat ini tidak sedang diperlukan ㅡmalam yang sekarang lebih dari sekadar hangat senyatanya lebih berdosa dalam kilatan pendek yang bergairah ketika aku cuma langsung menjerit kencang sewaktu telapak itu hanya terasa kian lezat untuk membuatku segera meletakkan semua lenganku di leher telanjang Daniel saat mendadak dia menarik tangannya untuk naik lebih tinggi, menyusup ke dalam braku dan meremas kuat dadaku.

“Akh!” Aku memekik.

Daniel memberiku ruang dan waktu untuk menengadah kala dia langsung menarik wajahnya, kemudian kami bertemu dalam sebuah titik pandangan yang sama. Sayu, dan basah. Dadaku berdegup kencang. Kebimbangan yang menjadi masalah di kepalaku semenjak dia datang kembali kepadaku justru semakin meluas di dalam hatiku. Separuh dari diriku masih menginginkannya dan menikmati ini, namun, separuhnya lagi masih bersikeras untuk menolak semua tentangnya hari ini. Berusaha mengingat akan empat bulan kami yang berlalu begitu saja ㅡtidak ada bahu Daniel yang seharusnya bisa untuk kusandari saat aku sedang terpuruk karena beberapa hal yang melelahkan : masalah di kantor, atau kerinduanku terhadap masa kanak-kanak.

“Jasmine...”

“NghffㅡDanielㅡakuㅡ”

“Nikmat?”

Aku memejamkan mataku sesekali. Daniel sedang membelai ujung dadaku, sementara aku punya seluruh romaku yang meremang di antara hujan, memberi izin lebih untuk dia menurunkan tangannya lagi buat sampai ke perutku dan menggerayangi dengan lembut. Berada di sana sebelum kemudian kembali mengecup keningku dan bangun dari atas tubuhku, diam memandangiku tanpa suara.

Aku menegang, menyadari panas dan merah wajahku. Awan hitam yang membawa ragaku jauh ke langit, nyaris sampai, seolah membanting kerasku untuk jatuh. Aku merasakan pilu yang menjamahi selangkanganku, berpikir kami akan selesai, namun itu tidak. Aku ikut terbangun dengan diriku yang kacau. Satu kancing piyamaku sudah hilang, dan suraiku tergerai berantakan.

“Hanya sebatas ini, Cantik. Aku, tidak mau merusakmu.” Ekspresinya tenang. Daniel mengulurkan tangannya ke rambutku dan memberi usapan. Dia memilih duduk di sebelahku, dan pada saat aku berpaling untuk melihat lekat ke matanya, wajahnya, sesungguhnya aku bisa mendapati senyum tulus terukir seperti kali pertama kami bertemu, dan itu masih cukup mengesankan. “Suatu hari nanti, kau akan tahu, ada alasan kenapa aku tidak pernah menyentuhmu lebih dari ini.” []

Commentaires (1)
goodnovel comment avatar
Zelica Artha Aura Potabuga
Krn Dy akn mnjualmu
VOIR TOUS LES COMMENTAIRES

Related chapter

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   ii. Pertemuan di Tempat Karaoke

    Pagi membentang, dan kedua mataku sedang terbuka dengan hati-hati. Tidak. Bukan karena irisku yang harus berkompromi dengan sinar tajam matahari. Ini hari Minggu. Aku bahkan bisa tidur lebih lama lagi untuk menghindari semua hal sepele yang mengusik. Namun, pikiranku dipermainkan. Seratus mimpi aneh hadir menghampiriku, dan segala ceritanya terlihat mirip. Aku, dan Daniel, dan beberapa orang lainnya. Manusia-manusia yang tidak kukenal, akan tetapi tampak menginginkanku.“Selamat pagi, Cantik.”Aku mengejap lamban. Daniel tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk milikku. Sekarang lebih dari sebatas cukup untuk membuatku sangat yakin dan percaya kalau tadi malam kami telah kembali melewati malam panjang bersama, memilikinya di atas tempat tidurku, dan bercumbu singkat setelah hampir setengah tahun, persis seperti biasanya, meski sebenarnya itu telah menjadi dahulu sebagai kisah yang telah kuanggap lawas.Senyumku hadir secara tipis atas satu respon yang hangat. Entah. Aku masih meras

    Dernière mise à jour : 2022-08-30
  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   iii. Aku Dijual

    Asap rokok mengepul tebal di hadapanku, kali ini seperti kereta api yang melaju di atas rel tidak lurus; udara kotor menyesaki hidungku. Aku terbatuk beberapa kali, mencoba untuk tidak menghirup oksigen, namun terus berakhir gagal dengan aku yang justru nyaris mati kehabisan napas, di antara dua lelaki yang mengapitku di sisi kiri dan kanan pahaku. Daniel, dan Gerry ㅡseseorang yang ternyata adalah bandar narkoba, mafia besar di Jakarta yang masih bersembunyi dengan begitu baik dari jangkauan mata dan tangan polisi.Aku kembali menunduk, mengikis kuku jari kiriku dengan kuku-kuku jari kananku.“Siapa nama lengkapmu?”Berat. Suaranya yang masih sangat asing, mendadak terdengar di kupingku. Gerry. Senyumnya yang lantang menyuguhiku. Dia sedang menghisap sebilah rokoknya bersama sorot runcing yang dia beri padaku, dan dugaanku benar, kalau kami akan harus berbicara usai Daniel menggiringku untuk duduk di tengah-tengah mereka dan mendengarkan berbagai umpatan kotor.“Perkenalkan namamu, Sa

    Dernière mise à jour : 2022-09-01
  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   iv. Malam Pertama

    Bulan menontonku dari tempat yang begitu tinggi untuk kusentuh ㅡnapasku masih terus berembus cepat, namun juga sesekali menghilang, memaki diriku sendiri yang tidak tahu harus melakukan apa. Apakah aku sungguh harus melompat dari lantai tiga untuk bisa bebas dari tempat ini dan pergi ke kantor polisi, atau apakah aku malah lebih baik bunuh diri.Gerry baru saja melemparkan sebuah dress pendek ketat, dan setengah dada, kepadaku. Dia bilang, Daniel menjualku karena uang, dan mereka membeliku karena aku punya kategori yang pas untuk memuaskan para pelanggan tetap dari bisnis haram yang mereka jalankan.“Berdandanlah. Selain cantik, kau juga harus seksi. Pelangganmu akan menilai dari bagaimana penampilanmu, dan kepiawaianmu dalam membuat mereka merasa puas olehmu.”Aku duduk diam, merenung memandangi pakaian kurang bahan tersebut. Serta peralatan make-up lengkap, di mana di antaranya terselip lipstik matte berwarna merah terang yang mencolok. Sangat berbeda dari apa yang biasa kupakai dala

    Dernière mise à jour : 2022-09-01
  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   v. Bertemu Pelanggan

    “Aku hanya percaya fakta. Kau harus membuktikan ucapanmu kalau tidak mau aku memberikanmu kepada para lelaki hidung belang yang membutuhkan seks.”“Apa yang harus kulakukan?”Aku melempar napasku, mengepalkan tangan kiriku dengan secercah harapan kalau Gerry bisa menilai keseriusanku, dan mau mempertimbangkan kembali keputusannya soal ini. Hatiku sakit. Aku benar-benar tidak mau melakukan hal kotor seperti ini, dan aku harus bekerja besok. Aku tidak bisa absen mendadak, terlebih, dengan tanpa memberi keterangan. Akan lebih sukar untukku jika aku harus dipecat karena hal penting yang kusepelekan kendati ini di luar kendaliku. Sebab, mencari pekerjaan di ibukota bukanlah perkara gampang. Semua orang bersaing dengan nilai tinggi dan kemampuan. Bahkan, sebagian, menyogok dengan menyetorkan banyak uang.Gerry adalah orang yang paling sering mengamatiku sekarang. Bibirnya yang dia basahi kelihatan berkilau di bawah cahaya lampu, sebelum kemudian jemarinya ikut terangkat naik dan mengusapi pe

    Dernière mise à jour : 2022-09-02
  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   vi. Disekap

    Tidak ada ponsel. Tidak ada dompet. Aku kembali ke ruangan sempit ini lagi dengan sedikit rasa keram di bagian pergelangan tanganku. Gerry menyeretku ketika aku mencoba untuk memberontak, mengumandangkan keinginanku berulang kali kalau aku hanya ingin pulang, menjalani kehidupan normalku lagi seperti biasanya. Aku tidak bisa dikekang seperti ini, dan kegelisahan itu menghantam pikiranku lagi; aku, harus bekerja besok, dan juga hari-hari seterusnya.Bunyi kenop mengagetkan lamunanku. Gerry, masuk dengan sebuah kantong plastik besar di tangannya. Berjalan ke meja, dan memindahkan kursi ke depanku. Duduk di sana dengan memberangkangi punggung kursi.“Kau harus makan. Badanmu tampak lemas. Apakah... memuaskan lelaki berumur semelelahkan itu?” Senyumnya kelihatan tipis, dan baru kusadari, ada titik hitam yang tertanam di dekat bola matanya ketika kupandangi itu dengan ribuan kebencian yang terlukis jelas di dalam kedua netraku. Aku diam. Tidak ada ekpresi lain yang bisa disimpulkan dari w

    Dernière mise à jour : 2022-09-03
  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   vii. Sakit

    Sore hari yang masih sama kelam seperti kemarin. Jasmine terduduk lemas di kursi yang dia tarik ke depan jendela. Senyumnya tenggelam dalam, dan akalnya berkelana sangat jauh, melintasi milyaran mega-mega putih di sekeliling matahari yang tampak muram baginya. Bahkan langit seolah ikut menangis untuknya, melantunkan sebuah lagu paling sedih. Apakah semua yang sedang dia alami adalah pantas untuk disebut hidup?Sendu. Pandangannya hanya sanggup bergelandang ke pepohonan tinggi yang sedang diam. Angin sudah berhenti berembus semenjak dia merasakan jiwanya mulai mati. Kosong. Hampa. Jasmine merasa kalau dirinya bak tubuh yang berjalan tanpa raga. Apa pun penolakan yang dia lakukan, semua hanya kembali kepada satu jawaban yang tak pernah berubah : terpental ke ruangan ini lagi, dan dibayangi oleh kematian. Entah mati karena Gerry yang kemungkinan besar akan membunuhnya jika dia terus menerus melakukan perlawanan ㅡdan fakta mujur tentang lelaki berengsek itu yang benar psikopat, atau justr

    Dernière mise à jour : 2022-09-04
  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   viii. Skenario

    Sembilan jam berlalu. Jasmine kembali mendaratkan bokongnya di kursi, masih di hadapan dunia luar yang kini tampak abai kepada dirinya. Napasnya lemah. Sepotong khayalan jauh terpatri di kepalanya, membayangkan kalau seandainya masa depan bahagia yang dia impikan hanya berubah menjadi alur kehidupan pahit yang tidak pernah menjadi bagian dari cerita baik yang dia inginkan. Terkurung di sana sendirian, dengan cairan bening yang nyaris selalu muncul di pelupuk matanya. Seakan-akan dia memang akan berada di tempat itu. Selamanya.Papa, Mama. Terkadang dia merindukannya, dan sekarang, perasaan itu menjumpainya lagi. Jasmine dan kedua orang tuanya sangat dekat ketika dia masih kanak-kanak dahulu, dan hidup dengan kesederhanaan. Mama selalu mengajaknya bercengkerama, dan Papa kerap memberinya lelucon-lelucon kuno. Namun, seiring bertambahnya usia, berlalunya waktu, dan nasib buruk yang perlahan memudar, kehidupannya mulai berubah secara magis.Jasmine tidak begitu sering lagi mendengar suar

    Dernière mise à jour : 2022-09-05
  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   ix. Kabur

    Gemetar. Pada kenyataannya aku memang tidak pandai berbohong. Jantungku berdetak amat cepat, dan bola mataku goyah ketika Gerry kembali memangkas sedikit jarak yang tersisa di antara kami. Bau krim rambut yang dia pakai menjelajah ke hidungku, dan aku hanya punya napas yang kutahan secara halus di antara kedua irisnya yang menatapiku, lekat.Jemariku dingin. Gerry menjamuku sepenggal seringainya lagi yang kini datang bersama suara kecil burung gereja. Ekspresinya nakal. Sementara aku sedang menarik urat leherku yang menegang, kaku. Perutku mulai berkeringat. Berusaha kabur dari Gerry bukanlah perkara mudah semenjak awal, dan rasanya bak menyeberangi sungai berombak untuk bisa mencapai tepian terjal. Sulit sekali.“Aku... tidak bisa kalau harus langsung menjawabnya sekarang. Bisa beri aku waktu?”Aku melirikkan ekor mataku ke meja, memberi kode padanya terhadap apa yang dia bawa ke kamar ini untukku. Sebuah kantong plastik makanan, dan paper bag besar. Masih utuh di sana. Aku tahu kalau

    Dernière mise à jour : 2022-09-07

Latest chapter

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxviii. Kematian

    Kaleng minumanku sudah kosong.Aku duduk bersandar di pinggiran ranjang dengan kedua kaki yang kembali kutekuk, menghadap ke pintu yang ditutup. Setengah jam telah berlalu, dan jemari kananku sibuk mengetuk punggung tanganku yang melingkari betisku usai kukatakan kepada Adam kalau aku memiliki keputusan yang sulit; sebuah jawaban yang tidak pasti. Aku merasa bahwa pertemanan kami masih cukup jauh untuk sampai pada titik yang harus melibatkan kehadiranku di rumahnya, meskipun, setengah dari isi hatiku yang lain telah semakin meyakininya jika dia mungkin adalah salah satu bagian dari takdir yangTuhan mau untuk hidup baruku saat ini.Aroma harum sampo di rambutnya masih tercium. Adam tersenyum bersama anggukan kecil yang dia layangkan sebagai satu tanda pengertiannya padaku terkait trauma itu lagi dengan tanpa perlu kembali kujelaskan, dan aku melihat dia mengeluarkan lagi ponselnya, mengangkatnya di dalam udara kosong yang menengahi antara bahunya dan bahuku.“Semua hal baik butuh prose

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxvii. Bercengkerama

    “Untuk seseorang yang tinggal jauh dari keluarga seperti kita, bukankah rasanya sangat menyedihkan jika makan sendirian? Setiap kali aku melakukan itu, aku selalu melamun, memikirkan apa yang sebenarnya terjadi dengan hidupku.” Adam menjilat bibirnya yang berminyak, dan menatap diriku yang spontan tertawa mendengar pernyataannya, menghargai kejujuran demi kejujuran dari mulutnya yang membuatku sesekali bertanya di dalam kepala : kenapa dia harus mengatakan itu semua kepadaku? Sedangkan aku masih menganggap kalau pertemuan kami sejak hari pertama sampai hari ini yang bahkan belum terhitung satu bulan ialah saat-saat di mana sebaiknya kami berdua tidak langsung membuka diri dengan mudah, meskipun, aku sendiri tidak mengerti mengapa aku memberi tahunya tentang trauma yang seharusnya kututupi dengan rapat.Aku tertawa kecil ketika mengangkat sumpitku yang membawa beberapa helai jajangmyeon berpotongan agak tebal. Beberapa tembang lagu telah berganti, dan mataku mulai menyebarkan sorotnya

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxvi. Malam di Kamarnya

    Senyap. Kegaduhan yang tadi ikut menyinggahi kamarku dari berbagai macam suara kini hanya seakan-akan menghilang. Nyaris binasa dengan sangat amat sempurna di antara tubuhku yang sekarang sudah duduk di atas karpet lantai berwarna cokelat sambil menekukkan kedua lutut, di depan dinding yang memiliki banyak tempelan kertas bergambar lumba-lumba, dan sketsa wajah orang ㅡsebuah terkaan yang tidak meleset dari perkiraanku kalau Adam adalah lelaki yang rapi semenjak aku menyadari bahwa pakaiannya tidak pernah kusut, dan itu cukup mengagumkan ketika bisa kudapati bantal-bantal di ranjangnya yang tersusun demikian apik bersama seprei yang dipasang kencang, tirai jendela yang bersih, dan buku-buku yang ditempatkan dengan tepat.“Aku tahu kau sedang mengagumiku.”Dua cangkir besar berisikan teh hangat agak berasap di nampan menjamuku. Adam menaruh pantatnya di sampingku sementara aku langsung mengatupkan bibir, dan menoleh cepat untuk menemukan wajahnya usai dia memunggungiku selama beberapa m

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxv. Kerinduan?

    Jakarta yang sangat luas sekarang hanya berubah menjadi kota kecil yang konyol ketika aku bisa mendapati masa laluku lagi di antara banyak manusia serta jalanan yang kulalui untuk menjauhi semua nahasku. Aku mundur beberapa langkah, bersembunyi dengan cepat di balik rak tisu. Tidak menyangka kalau aku tetap akan dipertemukan kembali dengan mantanku yang berengsek setelah seluruh hidupku dihancurkan olehnya, membuat sekelebat pertanyaan itu melintas. Apakah semudah itu untuknya melupakanku? Daniel yang kukira sedang merenungi perbuatan paling kejamnya kepadaku pada kenyataannya terdengar seperti omong kosong yang terlalu kupaksakan seorang diri. Dia tidak begitu. Dia akan tetap sama sampai semua utangnya lunas, bahkan, bila itu harus merayu perempuan yang usianya jauh lebih tua dari dirinya.Aku membungkuk, mencoba mengintip mereka berdua secara hati-hati. Suasana yang tiba-tiba hening membuatku dapat mendengarkan suara Daniel yang lembut ㅡselembut ketika dia merayuku untuk mendapatkan

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxiv. Salah Menilai

    Hari Minggu datang ke dalam kehidupanku usai rasanya aku sudah melewati ribuan hari, jutaan angin malam, dan miliaran ombak. Sesuai dengan kesepakatan yang kutandatangani di surat kontrak pekerjaan, aku baru diperbolehkan libur jika telah masuk bekerja selama empat belas hari tanpa boleh mangajukan izin sama sekali, dan aku berhasil melewati dua minggu itu dengan baik. Meskipun lelah, walaupun tulang punggungku seolah nyaris patah, aku tidak boleh menyepelekan tanggung jawabku kalau tidak ingin atasanku memecatku, dan membuatku tidak mendapatkan gaji utuh sebelum genap satu bulan yang langsung dihitung dari hari pertama aku mulai masuk bekerja.Aku bersandar di ranjangku, mengamati kuku-kuku tanganku yang catnya sudah jelek. Aku ingin menghapusnya, dan menggantinya dengan warna merah. Terasa akan sangat cocok dengan warna kulitku yang tidak terlampau putih, dan jemariku yang cukup panjang. Juga, sebenarnya, aku sudah menyiapkan beberapa kutek baru yang semalam kubeli dari sebuah toko k

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxiii. Kejujuran Lisa

    Canggung. Aku kembali berbaring di ranjang, bersama tubuh Lisa yang sekarang berada di sampingku. Parfumnya tak lagi tercium, namun, bau lotion yang dia pakai terasa begitu harum untuk menghambur ke hidungku, seperti aroma bunga yang lembut, bercampur dengan dedaunan. Lisa bilang, dia tidak bisa tidur karena penyakitnya, dan sebenarnya, kebiasaan itu selalu terjadi kepadanya selama nyaris setiap malam yang dia bilang kalau biasanya dia akan mengatasi itu dengan cara menonton film, kemudian membuat matanya akan memejam usai lelah, dan tertidur. Tetapi, tidak kali ini. Dia sudah menonton film, namun, matanya tetap terus terjaga. Tidak bisa tidur.Napasnya yang tadi terdengar di telepon, kini berembus di sampingku. Aku mencoba untuk menahan napasku sendiri sambil memaksa menurunkan jempol kakiku yang berdiri tegak, mendapati Lisa sedang memainkan ponselnya, menghadap ke tubuhku yang hanya telentang, diam menatapi langit-langit kamar. Tidak tahu apa yang seharusnya kulakukan selain berusa

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxii. Bermimpi

    “Apa yang kaulamunkan di jam kerja, hm?” Oliv memiliki keingintahuannya yang mengejutkanku di atas kursi. Dia datang dengan alis menukiknya bersama sebuah senyum datar yang terbentuk di wajahnya tatkala tangannya menarik satu kursi kosong, dan ikut duduk di sana, di sampingku. Sementara aku hanya menggeleng, dan mengambil sebotol minuman dingin berwarna hitam bersoda yang telah kubuka penutupnya, lalu meninumnya.Hari ini, kami cukup disibukkan dengan sekelompok anak sekolah yang tiba-tiba turun dari bus pariwisata, dan menyerbu toko ini. Sangat melelahkan, namun sebenarnya aku cukup bersyukur karena setidaknya itu dapat mengurangi sedikit kemelut yang melanda pemikiranku.Tidak. Ini bukan soal Lisa lagi.Tadi malam, aku bermimpi sesuatu yang aneh. Di dalam mimpi itu, aku melihat Daniel, setelah sekian lama, dan setelah aku hampir bisa melupakannya. Dia sedang melambaikan tangannya kepadaku, dari kejauhan, dan sebenarnya aku tidak bisa melihat jelas ke wajahnya. Entah apa yang ingin d

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxi. Cemburu

    Sudah pukul sembilan. Waktu berlalu dengan sangat cepat ㅡseakan-akan bergilir begitu saja, tanpa terasa. Adam, dan aku telah memutuskan untuk pulang meski sebenarnya aku masih ingin berada sedikit lebih lama lagi di sana, menikmati rembulan, dan bertemankan angin malam yang terasa sejuk menciumi kulitku.Jalanan kota yang masih ramai kembali mencuri perhatianku. Entah sejak kapan aku mulai ingin mengagumi, mengesampingkan kesimpulanku yang selalu bilang jika tinggal di kota ini, adalah sebuah kutukan dimana kita harus punya pekerjaan, serta rumah, menjadikan itu sebagai dua hal wajib yang harus dimiliki untuk bisa menetap dengan cukup tenang di kota ini. Jakarta selalu menyala, dan terasa keras untuk orang-orang yang lemah. Tak jarang ada berita bunuh diri yang terjadi setiap harinya, diumumkan di seluruh penjuru melalui televisi, media sosial, maupun surat kabar. Satu hal pun lantas menjadi kejelasan masuk akal yang paling sering terkuak, bahwa, nyaris seluruh penyebabnya, ialah kare

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxx. di Bawah Langit

    “Aku sangat bersyukur kalau kau menikmati tempat ini.” Suaranya diberkati oleh ketulusan ketika dia menggelar selembar karpet berwarna biru tua di depanku yang barusan dia sewa dari pedagang karpet di dekat pintu masuk. Adam sempat ingin membelinya, namun aku mengatakan jika hanya meminjamnya dengan membayar biaya selama beberapa jam, mungkin akan lebih baik. Dia tidak perlu repot untuk membawanya di tangan selama perjalanan pulang kami berdua nanti.Aku kembali tersenyum, menghadapi keasingan itu yang agaknya cuma singgah sebentar ke dalam diriku. Aku telah menjadi seorang Jasmine lagi yang sekarang sedang memejam, menikmati angin segitiga yang menggesek pipiku.Pernyataan yang terlontar dari bibirku kepada lelaki itu memang benar, bahwa, masa laluku ketika aku masih menjadi seorang anak kecil yang polos spontan memang bak ditampilkan lagi di depan mataku. Aku seolah bisa melihat diriku yang masih berbadan kecil dengan rambut kepang tengah berbaring sambil meletakkan kepala di paha M

Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status