Aku Bukan Menantu Impian part 62. menantu dan mertua.Sepertinya, Fara belum bisa menerima keadaan ini.Selesai makan, segera di hampiri Fara yang masih bergelung di dalam kamar."Mau mandi, dek? Sini biar Galih sama kakak."Tanpa bicara, Fara pun meninggalkan suami dan anaknya kekamar mandi. Lalu membersihkan diri. Usai mandi ia masuk kekamar lagi untuk berganti pakaian."Dandan yang cantik. kita mau pergi,"Fara menoleh pada suaminya."Kemana?""Katanya ke bidan Diana, mau periksa. Mau nggak ke mall?""Nggak."Wajah Fara di tekuk lagi. Ia sungguh tak ada mood untuk membicarakan kehamilan saat ini. Tapi dia juga harus periksa untuk kebaikannya dan juga calon bayinya.Mengenakan dres di bawah lutut celana panjang dan pasmina hitam. Fara sudah siap.Sepanjang jalan Fara cukup bahagia. Moodnya membaik. Duduk di belakang di bonceng motor bersama anaknya, berceloteh ria. Kadang juga tertawa.Udara pagi, sinar matahari pun belum tinggi. Suasana cukup hangat. Mereka berputar putar mengeli
Aku Bukan Menantu Impian part 63. Lukanya Fara.Perih, itu yang di rasakan Fara. Kenapa wanita itu selalu memojokkan dan menyalahkan. Siapa yang ingin buru buru hamil. Tak ada juga yang mau.Fara hanya menghapus airmatanya. Andi pun hanya bisa terdiam."Maaf," hanya itu kata kata yang ia ucapkan. Sudah terlalu sering. Ia takut Fara bosan dengan itu semua. Ibunya tak pernah berubah. Selalu membuat suasana menjadi runyam.Bagi Fara, lukanya sudah membekas begitu dalam. Bahkan sudah meninggalkan trauma. Sedangkan Andi juga sebanarnya sudah tak kuat dan ingin melawan tapi tetap takut di sebut anak durhaka."Sudah kak. Nggak papa kok," bahkan Fara yang sudah terluka, yang kini menghiburnya."Iya dek. Makasih,"Galih sudah terdiam tak lagi menangis sejak neneknya keluar rumah. Harusnya seorang nenek itu menyayangi cucunya. Bukan menakuti. Apa mungkin galih akan menganggapnya seorang nenek? Mungkin saat ini anggapan itu tak penting. Tapi manusia ada masanya. Masa di mana seseorang akan me
Aku Bukan Menantu Impian part 63. Lukanya Fara.Perih, itu yang di rasakan Fara. Kenapa wanita itu selalu memojokkan dan menyalahkan. Siapa yang ingin buru buru hamil. Tak ada juga yang mau.Fara hanya menghapus airmatanya. Andi pun hanya bisa terdiam."Maaf," hanya itu kata kata yang ia ucapkan. Sudah terlalu sering. Ia takut Fara bosan dengan itu semua. Ibunya tak pernah berubah. Selalu membuat suasana menjadi runyam.Bagi Fara, lukanya sudah membekas begitu dalam. Bahkan sudah meninggalkan trauma. Sedangkan Andi juga sebanarnya sudah tak kuat dan ingin melawan tapi tetap takut di sebut anak durhaka."Sudah kak. Nggak papa kok," bahkan Fara yang sudah terluka, yang kini menghiburnya."Iya dek. Makasih,"Galih sudah terdiam tak lagi menangis sejak neneknya keluar rumah. Harusnya seorang nenek itu menyayangi cucunya. Bukan menakuti. Apa mungkin galih akan menganggapnya seorang nenek? Mungkin saat ini anggapan itu tak penting. Tapi manusia ada masanya. Masa di mana seseorang akan me
Aku Bukan Menantu Impian part 64. Melahirkan anak perempuan Tok, tok, tok.Mama Yani sambil mengucek matanya yang sangat mengantuk membuka pintu kamarnya. Ia sangat terkejut melihat Fara yang nampak kacau dengan berurai airmata."Fara, ada apa? Galih rewel?"karena memang sejak tadi Galih yang rewel, maka di pikiran mama Yani hanya Galih."Galih enggak papa, ma. Kak Andi kecelakaan,""Hah, apa?!""Kak Andi kecelakaan ma,""Kecelakaan? di mana?""Sekarang di rumah sakit sehat mulia, tolong ayah antar aku kesana ya, ma,""Iya, iya. Kamu siap siap biar di antar ayah. Biar mama yang jaga Galih,"Sementara, Fara bersiap mengambil kerudung bergo dan memakai jaket tebal, mama Yani membangunkan suami nya.Rumah sakit sehat mulia memang agak jauh. Jika di tempuh menggunakan motor dan keadaan sepi begini memakan waktu sekitar dua puluh menit.Tanpa banyak bertanya ayah Ridwan mengeluarkan motornya. Sambil memakai jaket dan mengenakan helm. Sepanjang jalan Fara menangis. Tak henti hentinya
AKU BUKAN MENANTU IMPIANPart 1. Mertua dan iparku.Walau tinggal berjauhan, aku masih sering mendengar keluh kesah ibu mertuaku. Kami merantau ke Jakarta, sedang mertua tinggal dikampung halaman. Ia selalu berkabar pada suamiku tentang tingkah polah anak perempuannya atau biasa kusebut adik ipar. Anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan di antara empat saudara. Setetelah menikah dan punya seorang anak, dan masih tinggal di rumah orangtua. "Suaminya itu malas banget. Kerjaannya main burung melulu. Nggak mikir cari uang, nggak mikir cari makan buat anak istri. Boro-boro ngasih uang buat orang tua, buat diri sendiri juga nggak mampu,"curhatnya pada suamiku via telfon."Makan darimana dia Bu kalo ngga kerja?" tanya mas Ridwan."Ya dari ibulah. Laki pemalas gitu kok di belain terus!"cerocos ibu mertua."Padahal udah ibu suruh pisah aja. Mumpung anak baru satu."Ya begitulah. Setiap hari kudengar keluhannya. Tak pernah ada kabar indah dari bibir wanita itu, walau hanya sekata. Bukankah y
Aku Bukan Menantu ImpianPart 2.Mertua ku ternyata matre.Akhirnya, di sini lah, di kampung halaman suamiku, di rumah ibu mertuaku.Aku dan kedua anakku di boyong suami ke kampungnya. Bermodal sedikit uang yang masih tersisa, kami ingin membangun kehidupan yang mungkin lebih layak.Mulanya, ibu mertua begitu antusias menerima kedatangan kami. Mungkin karena selama ini hidup seorang diri di rumahnya yang luas itu. Mungkin juga karena tak mampu menahan rasa sepi di kehidupannya yang memang telah senja.Banyak senyum dan tawa kita lalui. Aku sedikit mampu melupakan rasa keterpurukan ku. Aku bersyukur mempunyai mertua seperti dia."Kerasan tinggal di sini Mba?" tanya Mira tetangga depan rumah."Kerasan lah Mir, mau ngapain lagi," jawabku."Mertua Mba Yani ini kan aduhai," timpalnya sambil melirik Dewi, saudara sepupu Mas Ridwan.Keduanya tersenyum kecut, sambil menoleh ke arahku."Emang kenapa sih?" aku sedikit penasaran dengan ucapan mereka, ditambah raut wajah aneh mereka."Nanti Mba Ya
Aku Bukan Menantu Impianpart 3. Perdamaian yang hanya berjalan tiga bulan."Fara, kamu bawa uang tiga ribu aja ya," ucapku pagi itu ketika mereka akan berangkat sekolah." Ini tinggal dua ribu untuk adik mu."Fara tidak menjawab, hanya saja mukanya masam dan ditekuk."Iya dah, Fara pergi, Assalamualaikum," pamitnya."Waalaikumsalam," jawabku.Fara berangkat sekolah di antar Mas Ridwan, dengan motor butut, harta peninggalan kami yang tersisa.Sementara si bontot sekolah dengan jalan kaki setelah aku beri uang jajan dua ribu rupiah, sekolahnya dekat.Aku pandangi kepergiannya. Lima ribu rupiah memberi kehidupan dan cerita tersendiri dalam hidup baru kami. Aku masih ingat sisa uang 15 ribu yang di pegang Ibu. Mungkin ibu sudah tak mengingatnya lagi.****Beberapa hari, aku berpikir keras. Aku tidak tega melihat anak anakku. Untuk mendapatkan uang jajan ke sekolah pun sangat sulit. Hingga aku berpikir untuk membuka kembali usaha salonku yang kebetulan alat alatnya masih lengkap. Aku ingi
Aku Bukan Menantu ImpianPart 4.Awal Corona.Suamiku mendapat pekerjaan merupakan kabar yang menggembirakan bagiku. Setidaknya ada sedikit harapan untuk membayar utang bank tiap bulannya, juga untuk ongkos sekolah kedua anakku, dan untuk kami makan sehari hari.Beberapa bulan kemudian memang mas Ridwan kerja di kandang ayam seperti yang telah di katakan padaku. Sementara aku masih tetap menekuni usahaku buka salon potong rambut.Usaha kecil kecilan.Kadang ada langganan datang satu atau dua orang.Tapi kadang tak satupun yang datang. Bahkan sampai berhari-hari.Tak apalah.Namanya juga baru buka usaha, apalagi di tempat yang baru juga.Cobaan belum selesai. Wabah Corona datang menimpa seluruh penjuru dunia. Usaha kandang ayam di mana suami ku bekerja tutup. Katanya untuk sementara waktu saja. Karena ayam hasil panen tak bisa terjual ke luar daerah, akibat PPKM. Akhirnya merugi. Hasil panen di jual dengan harga yang sangat murah untuk menutupi biaya operasional. Itupun tidak tertutup sem