Aku tidak kenal dengan perempuan yang datang dan sambil mengerutu itu. Ia menyuapiku asal-asalan dan sama sekali tidak berusaha menenangkanku. Memang apa yang aku harapkan dari seorang wanita yang ditugaskan untuk mengurusku?“Buka mulutmu lebih lebar!” Ia berteriak padaku.Mana mungkin aku akan mematuhinya. Segera saja kukatupkan mulutku rapat-rapat. Sial. Kenapa aku harus mengalami kejadian buruk seperti ini? Dosa apa yang aku perbuat?Bukan! Jelas tidak semua perbuatan salah yang dilakukan manusia akan diganjar dengan dosa oleh Tuhan. Tuhan pasti sedang melihat bagaimana aku menghadapi masalah dalam hidupku saat ini.“Dasar wanita brengsek! Bagaimana bisa kamu malah trdiam seperti itu hah?” Orang yang digusai untuk mengurusiku tampaknya juga ditugasi untuk menyiksaku.Kini dia berdiri dengan berani dan mencengkeram rahangku dengan tangan kirinya. Sementara itu tangan kanannya memegang sendok berisi makanan dan menjejalkan makanan itu ke dalam mulutku.Uhuk! Uhuk! Aku terbatuk-batuk
Lift itu terbuka. Ini pertama kalinya aku masuk ke dalam ruangan kotak kecil yang ke semua sisinya terbuat dari besi. Aku merasa sedikit terayun saat benda itu bergerak setelah pintu lift tertutup dan aku menekan tombol yang paling kecil di sana.Tolong jangan biarkan aku bertemu dengan Alina! Aku berdoa di dalam hati sambil menutup mata dan menyatukan kedua telapak tanganku.Kalau sampai tertangkap habis sudah. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan Alina kepadaku. Ia pasti akan membiarkan aku kabur. Ia membenciku, sudah pasti akan melukaiku.Setelah pintu litf terbuka. Pemandangan di depanku lebih asing lagi. Deretan mobil yang bersusun rapi dengan tonggak-tonggak besar berada di sana. Aku melangkah keluar dengan hati-hati. Pintu lift berdenting tertutup di belakangku.Aku mendengar beberapa orang mengobrol dari sebelah kananku.Aku pikir sebaiknya kuhindari. Jadi, aku pergi ke arah lain dengan segera. Mobil-mobil itu masih berderet saja. Kemudian aku melihat titik cahaya di ujung.
“BUkankah operasinya lama sekali?” Aku kembali berhenti di depan dokter keluarga, menanyakan kenapa operasi yang dijalani oleh Ayu lama sekali.Pria itu yang rambutnya telah abu-abu tersenyum. Namun, buat apa ia tersenyum padaku? Sama sekali tidak membuatku tenang. Aku hanya mau jawaban dari pertanyaanku saja.“Karena Nyonya datang dalam keadaan pendarahan dan tak sadarkan diri, pasti dokter bedah menunggu sampai tekanan darah Nyonya normal. Sebentar lagi operasinya pasti akan selesai, Tuan!”Aku harap juga begitu. Aku tidak tahu sampai berapa lama bisa menahan diri untuk tidak lebih panik dari ini lagi.Seperti yang diperkirakan oleh dokter keluarga, pintu ruang operasi terbuka dan dari sana keluar seorang perawat. “Suami Nyonya Ayudhia?” Matanya memandang satu-satu orang-orang yang menunggu.Aku langsung bergegas maju. “Saya! Apa ada sesuatu pada istri saya?” tanyaku.Tanganku dingin, begitu juga dengan kaki. Aku mulai merasa gemetaran dan sesak napas saat ini. Jangan sampai terjadi
“Dokter … pasien sadar!”Aku mendengar seorang wanita entah di sisi kanan atau kiriku berbicara. Tunggu? Dokter? Di mana ini? Aku mulai takut, jantungku berdebar-debar cepat dan aku berusaha mengerakan tanganku.“Tambah obat biusnya!”Aku berhasil mengerakan tangan dan sesuatu yang kabur dan berwarna abu-abu muncul di atasku. Siapa? Apa yang berusaha mereka lakukan padaku? Aku harus berteriak. Aku harus memberitahu seseorang kalau aku ada di sini.Sebentar. Bukankah tadi aku mendengar suara Gatra saat semuanya mendadak menjadi gelap. Benar. Aku hanya perlu berteriak memanggil Gatra saja lagi. Gatra akan datang kalau mendengar suaraku.“Tidak apa-apa, Nyonya, Anda berada di tempat yang aman!”Setelah mendengar hal itu, kesadaranku kembali mengabur. Dan aku tengelam dalam mimpi aneh yang tidak kumengerti. Aku berada di rumahku di kampung. Pria yang aku panggil Ayah masih hidup dan duduk di bale depan rumah. Ibu tampak sangat cantik, tetapi dia tidak bersama Ayah. Dia bersama Pak Prana y
Seolah tahu kalau makanan rumah sakit itu tidak enak, berdiri banyak sekali rumah makan dari berbagai daerah di depan gerbang rumah sakit. Aku jadi tidak mengerti kenapa tadi membawa mobil keluar sendiri. Seharusnya kusuruh saja sopir yang membawa Oma kemari membeli di depan.“Apa Ibu hamil bisa makan semuanya?” Aku berdiri di depan semua rumah makan nasi Padang dan terpana. Bukan hanya makanan berat saja ada di sini.Semua makanan seolah dipindahkan dari suatu tempat dan dipaksa berdiri saling berdempetan.Aku putuskan masuk ke rumah makan Padang tersebut. Tidak terlalu ramai karena jam makan telah berakhir. Aku melihat menu yang masih tersedia, kecuali beberapa yang sepertinya juga tidak disukai Ayu, masih ada menu lengkap.“Masnya mau pesan apa?” Seorang pelayan yang mengenakan celemek dengan nama rumah makan tersebut menghampiri.“Menu yang tidak pedas!”Selama menjadi suami Ayu, aku mendengar kalau wanita itu tidak pernah menyentuh makanan yang terlalu pedas. Muni bahkan selalu m
“AYU! AYU!”Suara itu mengema di rumahku. Aku yang meringkuk di atas tempat tidur dengan seprai usang yang pada tepinya sedikit robek sejak tadi langsung meloncat sambil berdiri. Di wajahku segera muncul senyuman paling lebar. Aku bisa merasakan kalau pipiku sakit saat ini.“Ayah!” seruku sambil turun dari tempat tidur.Aku tersungkur karena kakiku tersangkut seprai yang sobek. Tapi secepat kilat pula aku bangun. Ayahku yang tampan berada di depan pintu masuk, sedikit kotor, dan tampak agak oleng.“Ada apa, Yah?” tanyaku ingin tahu.Salah satu tangan pria itu disembunyikan di belakang tubuhnya. Ia tersenyum-senyum dan kemudian menjatuhkan diri di kursi rotan reyot di ruang tamu.“Kemarilah! Lihat apa yang aku bawa untukmu!” katanya menyeringai.Ayah berbau asam. Matanya selalu merah kapan pun aku bertemu dengannya. Sesekali kalau ia sedikit saja tampak lebih baik, ia akan bersikap buruk pada ibuku.Setiap kali itu terjadi, aku akan bertanya kenapa. Dan Ayah akan menjawab sambil menaik
“Saat kami sampai di rumah hanya Mayat ayahnya Ayu saja yang ada di ruang tamu. Tapi ibunya sudah pergi! Parang yang digunakannya untuk menusuk ada di dapur, masih bersimbah darah!”Perkataan itu disampaikan secara bisik-bisik antara para bapak-bapak yang berkumpul. Maksudnya mungkin supaya aku tidak dengar. Tetapi sayang sekali, pendengaranku lebih tajam. Aku menarik kakiku sedikit lagi supaya bisa menyembunyikan kepalaku di sana. Aku bagaikana seekor kucing yang ketakutan saat ini.“Terus bagaimana?”“Aku sudah panggil kepala desa! Beliau sudah datang dengan polisi ke sana!” Mereka semua berhenti sebentar bicara dan menoleh padaku secara serempak. “Polisi sudah membawa mayatnya. Ayu jelas ndak mungkin kita suruh pulang ke sana!”Kalau pulang ke rumah dan seluruh polisi itu meninggalkan Ayu sendiri, bisa jadi ibunya kembali. Aku tak mau menyusul ayahnya seperti yang dikatakan Ibu. “Ayu boleh tidur di sini hari ini kan, Kak?” Aku menguncang tangan kakak perempuan temannya Wis, gadis i
“Kita tidak bisa terus-terusan menaruh Ayu di sini, kan? Bagaimana pun dia harus kembali ke rumahnya lagi!”Sudah sebulan penuh setelah Ayah dikuburkan dan Ibu ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan. Beberapa orang saksi mata memberitahu kalau Ibu terlihat di halte bus beberapa saat setelah menikam Ayah. Yang lainnya masih yakin kalau Ibu bersembunyi di sekitar rumah mereka dan akan muncul saat tidak lagi diperhatikan. Yang mana pun saat kasusnya ini kemudian perlahan lenyap, aku adalah orang pertama yang akan dicari oleh ibunya.Aku baru saja pulang sekolah dan menanggalkan sepatunya di bale-bale depan rumah. Wisnu temanku telah lebih dulu masuk dan aku sama sekali tidak tahu apakah boleh masuk ke dalam dan bergabung. Jelas-jelas pembahasan keluarga Wisnu adalah diriku yang menjadi beban.Di kampung ini tidak ada orang yang kaya, semuanya hidup pas-pasan dari bertani dan berladang. Kalau pun ada yang kaya mereka meninggalkan rumah dan membuat kediaman lain yang lebih bagus di pinggi