"Maksudmu bagaimana, Anton?"
Anton tidak menjawab ucapan Yuni, dia malah berdehem. Ekor matanya sedikit memberikan kode pada Yuni agar diam, karena tepat di belakang mereka, Monika tengah melangkah sambil memasang wajah masam.
"Kalian ngobrolin apaan?" tanya Yuni tepat ketika mendaratkan bokong di samping Anton.
"Hanya ngobrolin soal Rion aja. Oh, iya, apa aku boleh bawa Rion dan Mbak Yuni ke toko mainan?"
Sontak, Monika langsung membulatkan mata ketika mendengar permintaan Anton.
"Hanya kalian bertiga?"
Anton mengangguk, di tatapnya Monika dengan intens.
"Ya, bagaimana?"
"Lalu, bagaimana denganku? Apa Kakak gak mau sekalian pergi sama aku?"
Monika bertanya dengan cepat. Dia sedikit kecewa, karena Anton sepertinya tidak akan mengajak dirinya untuk pergi bersama.
"Y
Gegas, Anton dan Yuni turun dari mobil. Sementara itu, Rion sengaja mereka tinggalkan di dalam, alasannya karena Yuni tidak ingin kalau Rion sampai kaget dan sebagainya.Rion masih cukup kecil, Yuni takut kalau anaknya itu tiba-tiba histeris atau bagaimana."Ya Tuhan!" pekik Yuni, ketika melihat seorang wanita tergeletak di depan mobil Anton, cairan kental berwarna merah tampak mengucur ke aspalYuni yang masih sangat syok, langsung mundur beberapa langkah sambil menutup mulutnya menggunakan kedua tangan. Ketika tubuhnya hampir limbung, dengan sigap Anton langsung meraih tubuh Yuni yang hampir terjatuh.Tidak lama setelah itu, datanglah empat orang pria berpakaian serba hitam yang berlari ke arah Yuni dan Anton."Astaga!" ucap salah satunya sambil mundur satu langkah, ketika melihat pemandangan yang ada di hadapannya.Yuni terisak, ketika ke-empat orang itu m
Ketika Ramdani tengah tertunduk lesu, pikirannya melayang entah ke mana. Tiba-tiba saja, dari arah lain datang Monika dengan begitu tergesa-gesa.Sontak, dia langsung menghentikan langkahnya secara spontan, ketika melihat keempat orang yang sebelumnya dia lihat, ketika hendak pulang ke rumahnya.Keempat orang itu yang menyadari kehadiran Monika, langsung menoleh, menatap Monika dengan cukup intens. Hingga membuat gadis itu langsung menelan ludah susah payah.Monika tampak begitu gelagapan, apalagi ketika Ramdani menatapnya dengan begitu tajam secara terang-terangan."Monika, cepat kemari!" perintah Ramdani dengan nada dingin. Membuat Monika langsung melangkah ke hadapan Abangnya dengan pelan.Beberapa kali, Monika mengutuk dirinya sendiri. Andai saja, tadi Monika tidak tergesa-gesa dan dapat melihat lebih awal keempat orang tersebut.Mungkin saja, dia b
"Dia ...." Anton menatap Yuni sekilas, kemudian menarik tangan Zulfan agar berdiri di sampingnya. "Dia temanku. Memangnya kenapa?"Monika menyipit, kemudian menatap Zulfan dengan sedikit intens."Jika Anton dan pria itu saling mengenal, lalu kenapa dia juga ikut mengenal Kakak iparnya. Bukannya ini sedikit aneh," pikir Monika.Wanita itu merasa ada yang ketiga orang itu sembunyikan darinya, tetapi Monika tidak tahu dan tidak terlalu yakin juga."Siapa namamu?" tanya Monika sambil menatap Zulfan yang tengah menyilangkan tangan di dada."Zulfan, memangnya kenapa?"Monika menggeleng pelan, kemudian menoleh ke arah Anton yang wajahnya sedikit pucat.Lagi-lagi Monika memicingkan mata, dia menelisik raut wajah Anton, berharap bisa mendapatkan sesuatu. Tetapi, sayangnya Monika tidak bisa membacanya sedikitpun."S
Setibanya di kantin rumah sakit, Yuni dan Zulfan langsung memesan makanan. Keduanya benar-benar sangat lapar, apalagi Yuni belum memakan apapun sedari pagi, perutnya terus bergejolak."Zulfan, apa yang ingin kamu katakan tadi?"Zulfan menghela napas, kemudian menoleh, menatap sekeliling."Apa Mbak merasa risih dengan pria yang tadi duduk di samping, Mbak.""Maksudmu Pak Dandy?" tanya Yuni. Walaupun dia sudah tahu jawabannya, jaran memang hanya pria itu saja yang duduk di sampingnya. Tidak ada orang lain lagi."Iya, mungkin. Aku tidak tahu namanya.""Tidak, memangnya kenapa?"Zulfan sedikit mendekat ke arah Yuni, kemudian membisikkan sesuatu."Tidak, Mbak, rasa dia seperti orang baik, lagipula dia bos Mas Ramdani.""Mbak, yakin?" tanya Zulfan. Memastikan jika Kakak perempuannya tidak berbohong.
Dandy menunduk dalam, dia sedikit ragu ketika hendak menanyakan hal ini pada Yuni. Bukan apa-apa, dia hanya takut kalau Yuni berpikiran yang tidak-tidak atau justru yang lebih mengerikannya lagi, Yuni merasa risih dengannya."Pak, kenapa terdiam?" tegur Yuni, membuat Dandy langsung tersadar dari lamunannya."Ah, maaf, Bu," jawab Dandy dengan cukup singkat. Perlahan dia menoleh, menatap Yuni yang masih menunggu pertanyaan darinya."Tidak apa-apa, tapi sebenarnya apa yang ingin Bapak tanyakan pada saya?"Dandy menghala napas panjang, kemudian mengangguk pelan. Percuma saja dia mengalihkan topik, karena sepertinya Yuni memang sudah cukup penasaran."Tapi, sebelumnya saya punya satu permintaan untuk, Ibu Yuni."Yuni tidak banyak bicara, dia hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Bukan apa-apa, dia sudah merasa sedikit tidak nyaman ketika berada di dekat Da
"Ada apa, Bu?" tanya Yuni.Ketika Yuni hendak meraih tangan Ibu mertuanya, tiba-tiba saja Dona langsung menjauhkan tangan sambil membuang pandangan ke arah lain."Bagaimana keadaan, Ibu? Sudah lebih baik sekarang?" sambung Yuni, tetapi sepertinya ucapannya itu tidak dihiraukan oleh Dona.Wanita itu masih saja memalingkan wajah sambil sesekali mengerucutkan bibir. Yuni tidak tahu, kenapa Dona sampai bersikap seperti itu, karena dia pikir, dia tidak memiliki salah apapun."Jangan so baik deh, Yuni!" potong Monika, membuat Yuni langsung menoleh, menatap Monika sambil mengangkat satu alis ke atas."Aku tidak mengerti maksudmu, Monika," jawab Yuni dengan cepat."Halah, pura-pura b*d*h kamu!" Monika menyeringai, kemudian berjalan ke arah Yuni sambil menyilangkan tangan di dada. "Kamu pura-pura tidak melihat Ibu 'kan ketika dia melintas di jalan?"
Selama perjalanan pulang, Yuni memilih untuk duduk di kursi belakang. Dia tidak banyak berbicara, hanya sesekali menjawab ketika Ramdani maupun Dandy mengajukan pertanyaan.Entah kenapa, Yuni merasa tidak nyaman satu mobil bersama Dandy, meskipun suaminya ikut menemani. Yuni merasa, sedari tadi Dandy terus memperhatikannya diam-diam.Walaupun pada nyatanya, itu memanglah benar. Melalui kaca spion atas, sesekali Dandy memperhatikan Yuni yang terus terdiam, kadang perempuan itu menoleh ke luar kaca mobil, memperhatikan jalanan yang cukup ramai."Bu, haus," rengek Rion sambil sesekali menarik tangan Yuni.Mendengar rengekan Rion, Ramdani langsung menoleh, menatap Rion yang terus menarik tangan Ibunya."Ah, Rion haus, ya?"Tanpa basa-basi, Rion langsung mengangguk. Dia berusaha menghampiri Ayahnya, tetapi Yuni menahannya, takut tiba-tiba anaknya jatuh
"Tidak ada apa-apa, Pak. Oh, iya, sudah siap?"Ramdani mengangguk pelan, dia memangku Rion yang tidak bisa diam."Pah, mana mainan truk, Ion?" tanya Rion pada Ramdani. Tapi, semua orang juga tahu, kalau Rion menginginkan mainan truk yang di maksud Dandy.Ramdani sempat melirik sekilas ke arah Dandy yang sedang menggaruk tengkuknya, pria itu memandang keluar jendela.Sementara Rion, hanya menatap kedua orang yang ada di hadapannya dengan polos."Sayang, 'kan mainan truk di rumah juga ada, pake yang ada aja, ya!""Gak mau! Ion, mau mainan yang baru." Rion tiba-tiba histeris, membuat Dandy semakin bingung saja."Rion, jangan nangis, 'kan Om sudah janji, bakal beliin Rion mainan."Baru ketika mendapat bujukan dari Dandy, Rion sedikit tenang, meskipun dia masih terisak kecil.Padahal sebelumnya dia san
Akhirnya Ramdani bisa menghela napas lega, kala pekerjaannya yang akhir-akhir ini begitu menumpuk, bisa selesai juga hanya dalam hitungan hari.Bahkan, Ramdani sampai rela kehilangan hari liburnya, demi bisa menyelesaikan semua pekerjaannya.Ramdani berambisi untuk bisa menjadi yang terbaik, sehingga dia bisa saja naik jabatan kapan saja. Soalnya beberapa waktu lalu, bosnya pernah bilang, akan menaikan jabatan seseorang yang bekerja dengan cukup baik.Maka dari situlah, Ramdani mulai memiliki keinginan untuk bisa menjadi yang terbaik diantara teman-teman yang lainnya, sekaligus memperlihatkan jati dirinya yang sebenarnya."Wah, udah selesai, nih, Pak!" sahut Anto--salah satu rekan kerja Ramdani yang cukup dekat dengannya.Ramdani yang tengah memejamkan mata sambil bersandar pada kursi, lantas mengangguk pelan."Iya, nih, udah selesai.""Wih, enak banget!"Tanpa diduga-duga, Anto langs
"Jangan asal bicara kalian, aku dan Pak Dandy sama sekali tidak berselingkuh!" hardik Yuni dengan kedua bola mata membulat sempurna.Dona menyeringai, dia menatap sebuah foto hasil jepretannya yang cukup bagus tersebut.Bila foto tersebut di kirimkan pada Ramdani, Dona yakin kalau anak laki-lakinya itu akan murka dan sedikit meragukan ketulusan hati Yuni.Terlebih lagi, mungkin hubungan keduanya akan kembali renggang, sehingga niat buruk yang selama ini Dona susun, akan bisa berjalan dengan lancarDona tidak sabar membayangkan, di saat Yuni dan Ramdani berpisah untuk selamanya, sehingga Dona bisa menikahkan anaknya dengan Sarah--perempuan yang cukup kaya raya."Asal bicara katamu? Jelas-jelas aku melihat perselingkuhan kalian di depan mata kepalaku sendiri.""Bu, aku tidak berselingkuh! Pak Dandy datang untuk menengok anakku. Apa Ibu tidak bisa me
Sebenarnya Yuni ingin sekali menolak keinginan Dandy untuk datang ke rumahnya, hanya saja dia merasa tidak enak.Masa ada orang yang menengok anaknya, dia malah menolaknya hanya karena alasan tidak nyaman.Jadi, mau tidak mau, Yuni pun mengiyakan permintaan Dandy, meskipun dia belum sempat memberitahu suaminya.[Baik, Pak.][Terima kasih, Bu. Kalau boleh tahu, apa ada yang sedang Ibu inginkan?]Sengaja Yuni tidak membalas pesan Dandy, dia takut kalau terus berhubungan dengan pria itu, justru akan menjadi boomerang bagi dirinya sendiri.Maka dari itu, Yuni lebih memilih untuk mematikan jaringan data dan menyimpan gawainya ke dalam saku celana.***Sore hari sudah tiba, kala itu Yuni tengah berada di luar rumah, dia tengah bermain bersama kedua orang anaknya, lebih tepatnya memperhatikan Rion yang tengah belajar membawa
Entah bagaimana jadinya, tetapi semenjak saat itu, Ibu mertua Yuni jadi sering bertukar kabar dengan Sarah.Anehnya lagi, perempuan bernama Sarah itu malah meresponnya dengan baik, seperti hari ini, di mana ketika Yuni baru saja pulang dari rumah tetangganya, mengecek usaha yang selama ini dia dan ibu-ibu lainnya kembangkan.Perempuan itu sudah berada di rumahnya sambil mengobrol dengan Ibunya. Sementara itu, Yuni belum tahu bagaimana kabar Monika.Namun, yang pasti Yuni yakin, kalau Monika tidak tinggal seorang diri di luar sana, pasti dia tinggal bersama seseorang atau mungkin menyewa tempat yang lebih nyaman."Yuni, tolong ambilkan cemilan dan minuman, kebetulan tadi Mbok Darmi sudah Ibu suruh beli sayuran dan buah-buahan."Dona langsung memerintahkan kepada Yuni, ketika melihat batang hidung perempuan itu muncul di hadapannya."Bu, aku baru saja pul
Yuni sempat terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk pelan.Ramdani sedikit khawatir dengan Yuni, takut istrinya itu berpikir yang tidak-tidak. Apalagi ketika melihat reaksi Yuni yang tidak bisa Ramdani baca sedikitpun.Membuat Ramdani semakin panik saja. Bahkan, dia sampai mengigit bibir bawahnya dengan cukup keras dengan pandangan yang tidak bisa lepas dari Yuni."Ah, hanya mantan saja! Itu hanya masa lalu saja, tidak ada yang perlu aku khawatirkan."Yuni tersenyum lebar, kemudian menghampiri Ramdani, memeluk tangan suaminya dengan erat.Di saat itu, arah pandangan Dona langsung mengikuti Yuni, kedua bola matanya membulat."Aku tidak cemburu, aku yakin Mas Ramdani setia denganku," sambung Yuni.Melihat reaksi istrinya yang begitu menggemaskan, Ramdani langsung mengusap puncak kepala Yuni, kemudian mendaratkan kecu
Ketika sudah dekat dengan rumah, Titi segera mengucurkan beberapa tetes air ke matanya, dia hendak kembali berakting di hadapan Ramdani dan Yuni.Setelah itu, dia segera membuang botol berukuran kecil itu ke selokan. Sebelum itu, Dona sempat memastikan ke sekeliling, takut ada orang yang memergoki aksinya."Ya ampun, Bu Dona, kenapa nangis?"Dona langsung tersenyum tipis, kala melihat dua orang ibu-ibu menghampiri dirinya.Sudah saatnya Dona melancarkan aksinya, kalau dia akan berpura-pura bersedih, mengenai Monika yang pergi dari rumah."Monika, Bu." Dona terisak, kemudian luruh ke lantai, membuat kedua orang ibu-ibu itu begitu panik."Ya ampun, kenapa dengan Monika, Bu?""Monika, pergi dari rumah, Bu. Dia tidak ingin pulang lagi, saya tidak tahu dia akan pergi ke mana."Kedua ibu-ibu melayangkan tatapan sendu pada D
Dari kejauhan, Dona terus berteriak sambil mengejar Monika yang semakin menjauh. Gadis itu seperti tidak menghiraukan Dona sama sekali, belum lagi dia malah terisak dengan cukup keras."Monika, berhenti! Jangan pergi dari rumah."Dona berhenti sejenak, mengatur napasnya yang terasa ngos-ngosan, belum lagi dia sudah cukup tua, kakinya sudah tidak bisa di pakai jalan lebih lama, karena tenaganya sudah berkurang."Monika, berhenti!" Dona kembali berteriak dengan nyaring.Kala mendengar suara teriakan Ibunya yang sedikit memudar, Monika pun langsung menghentikan langkahnya.Perempuan itu menoleh ke arah belakang, menatap Ibunya yang tengah sedikit membungkuk dengan kedua tangan bertumpu pada lutut."Bu, jangan ikuti aku lagi, lagipula Bang Ramdani sudah mengusirku, dia sudah tidak menginginkan aku lagi."Mendengar suara Monika, Dona pun seger
Dona terus terisak, dia yang duduk di lantai segera bangkit, hendak mengejar Monika yang sudah menjauh.Namun, ketika berada di hadapan Yuni, Dona langsung menghentikan langkahnya. Dia menatap Yuni dengan tajam, jelas sekali kalau dia begitu membenci menantunya itu."Ini semua gara-gara kamu, Yuni! Lihat, Monika pergi dari sini, puas kamu, hah?!"Yuni hanya mampu menelan ludah, apalagi ketika dia dan Dona saling bertatapan selama beberapa saat, di mana dia melihat kalau Dona tidaklah berdusta, tangis wanita itu benar-benar nyata."Aku sama sekali tidak melakukan itu, Bu. Jangan pernah menyalahkan aku atas semua yang sudah terjadi. Monika, pergi karena keinginannya, bukan karena aku."Dona yang sudah sampai di ambang pintu pun kembali berbalik, tatapan tajam masih dia layangkan pada Yuni.Begitupun dengan rahangnya yang sedikit mengeras, urat nadi sedikit mene
Dona beralih menatap Ramdani dengan tajam, sorot matanya seakan begitu menusuk.Akan tetapi, hal tersebut sama sekali tidak Ramdani hiruakan. Lagipula semenjak Monika dan Ibunya ada di sini, banyak sekali masalah yang menghampirinya, membuat kepala Ramdani terasa seperti begitu akan pecah."Ramdani, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu melakukan hal ini pada adikmu sendiri? Kamu begitu keterlaluan!""Suruh siapa, sikapnya malah kekanak-kanakan seperti itu?" Ramdani balik bertanya. "Sudah cukup sabar aku menghadapi dia, Bu. Apa Ibu tahu, kalau Monika diam-diam meminjam uang pada temannya dan orang tersebut sempat menangih padaku?"Dona malah mendelik, kemudian kembali menatap Monika yang masih membereskan beberapa barang-barang miliknya."Tinggal bayar saja, apa susahnya!""Bu, aku bekerja bukan untuk satu orang saja, ada anak dan istri yang wajib aku biayai keb