Dandy menunduk dalam, dia sedikit ragu ketika hendak menanyakan hal ini pada Yuni. Bukan apa-apa, dia hanya takut kalau Yuni berpikiran yang tidak-tidak atau justru yang lebih mengerikannya lagi, Yuni merasa risih dengannya.
"Pak, kenapa terdiam?" tegur Yuni, membuat Dandy langsung tersadar dari lamunannya.
"Ah, maaf, Bu," jawab Dandy dengan cukup singkat. Perlahan dia menoleh, menatap Yuni yang masih menunggu pertanyaan darinya.
"Tidak apa-apa, tapi sebenarnya apa yang ingin Bapak tanyakan pada saya?"
Dandy menghala napas panjang, kemudian mengangguk pelan. Percuma saja dia mengalihkan topik, karena sepertinya Yuni memang sudah cukup penasaran.
"Tapi, sebelumnya saya punya satu permintaan untuk, Ibu Yuni."
Yuni tidak banyak bicara, dia hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Bukan apa-apa, dia sudah merasa sedikit tidak nyaman ketika berada di dekat Da
"Ada apa, Bu?" tanya Yuni.Ketika Yuni hendak meraih tangan Ibu mertuanya, tiba-tiba saja Dona langsung menjauhkan tangan sambil membuang pandangan ke arah lain."Bagaimana keadaan, Ibu? Sudah lebih baik sekarang?" sambung Yuni, tetapi sepertinya ucapannya itu tidak dihiraukan oleh Dona.Wanita itu masih saja memalingkan wajah sambil sesekali mengerucutkan bibir. Yuni tidak tahu, kenapa Dona sampai bersikap seperti itu, karena dia pikir, dia tidak memiliki salah apapun."Jangan so baik deh, Yuni!" potong Monika, membuat Yuni langsung menoleh, menatap Monika sambil mengangkat satu alis ke atas."Aku tidak mengerti maksudmu, Monika," jawab Yuni dengan cepat."Halah, pura-pura b*d*h kamu!" Monika menyeringai, kemudian berjalan ke arah Yuni sambil menyilangkan tangan di dada. "Kamu pura-pura tidak melihat Ibu 'kan ketika dia melintas di jalan?"
Selama perjalanan pulang, Yuni memilih untuk duduk di kursi belakang. Dia tidak banyak berbicara, hanya sesekali menjawab ketika Ramdani maupun Dandy mengajukan pertanyaan.Entah kenapa, Yuni merasa tidak nyaman satu mobil bersama Dandy, meskipun suaminya ikut menemani. Yuni merasa, sedari tadi Dandy terus memperhatikannya diam-diam.Walaupun pada nyatanya, itu memanglah benar. Melalui kaca spion atas, sesekali Dandy memperhatikan Yuni yang terus terdiam, kadang perempuan itu menoleh ke luar kaca mobil, memperhatikan jalanan yang cukup ramai."Bu, haus," rengek Rion sambil sesekali menarik tangan Yuni.Mendengar rengekan Rion, Ramdani langsung menoleh, menatap Rion yang terus menarik tangan Ibunya."Ah, Rion haus, ya?"Tanpa basa-basi, Rion langsung mengangguk. Dia berusaha menghampiri Ayahnya, tetapi Yuni menahannya, takut tiba-tiba anaknya jatuh
"Tidak ada apa-apa, Pak. Oh, iya, sudah siap?"Ramdani mengangguk pelan, dia memangku Rion yang tidak bisa diam."Pah, mana mainan truk, Ion?" tanya Rion pada Ramdani. Tapi, semua orang juga tahu, kalau Rion menginginkan mainan truk yang di maksud Dandy.Ramdani sempat melirik sekilas ke arah Dandy yang sedang menggaruk tengkuknya, pria itu memandang keluar jendela.Sementara Rion, hanya menatap kedua orang yang ada di hadapannya dengan polos."Sayang, 'kan mainan truk di rumah juga ada, pake yang ada aja, ya!""Gak mau! Ion, mau mainan yang baru." Rion tiba-tiba histeris, membuat Dandy semakin bingung saja."Rion, jangan nangis, 'kan Om sudah janji, bakal beliin Rion mainan."Baru ketika mendapat bujukan dari Dandy, Rion sedikit tenang, meskipun dia masih terisak kecil.Padahal sebelumnya dia san
"Biar aku saja!" Ramdani segera bangkit dari duduk, ketika dia melihat Yuni hendak melangkah.Tapi, diluar dugaan, Yuni ternyata mengikuti langkah Ramdani, karena dia juga penasaran dengan orang yang datang ke rumahnya."Maaf, dengan siapa, ya?" tanya Ramdani pada seorang pria dan wanita yang berdiri di hadapannya.Wajah kedua orang tersebut tampak tidak bersahabat, membuat Ramdani sedikit merasa tidak nyaman."Apa benar, ini dengan kediaman Monika?""Iya, benar. Saya Kakaknya, kalau boleh tau ada apa, ya?"Wanita yang ada di samping pria itu langsung maju satu langkah, tangannya merogoh sesuatu dari dalam tasnya.Yuni yang begitu penasaran, langsung maju satu langkah, mensejajarkan posisinya dengan Ramdani.Ramdani langsung menoleh, kemudian dia meraih tangan Yuni, mengenggamnya dengan erat."Apa
"Alhamdulillah, selamat anak Bapak dan Ibu berjenis kelamin perempuan," ucap seorang dokter perempuan yang menangani persalinan Yuni."Alhamdulillah," lirih Ramdani sambil menoleh ke arah Yuni. Di mana senyum kebahagiaan terpancar dari wajah keduanya.Seorang suster langsung membawa bayi perempuan Yuni untuk dibersihkan terlebih dahulu, baru nanti kembali di serahkan pada Yuni, kemudian di berikan ASI untuk yang pertama kalinya."Sayang, selamat, ya!" ucap Ramdani, kemudian mendaratkan kecupan di kening Yuni."Terima kasih, Mas. Akhirnya Rion punya adik perempuan juga.""Iya, Sayang. Mas, senang banget."Tidak lama kemudian, seorang suster kembali datang, membawa anak perempuan. Dengan sigap, Ramdani langsung mengumandangkan adzan, di saat itu pula air matanya tidak berhenti berderai, Ramdani benar-benar merasa bersyukur sekaligus sedih.
"Aku juga tidak tahu, Mas."Ketika Zulfan menatap Ramdani, pria itu tampak berpikir keras, sepertinya dia memang penasaran dengan orang yang telah melunasi biaya administrasi istrinya.Meskipun begitu, Zulfan bertekad untuk tidak memberitahu Ramdani. Walaupun pada awalnya dia tidak akan memberitahu Yuni, tetapi sepertinya perempuan itu sudah curiga.Jadinya, Zulfan terpaksa memberikan sebuah kode padanya. Tetapi, Zulfan terus berdoa semoga saja Yuni tidak memahaminya."Mbak, selamat atas kelahiran anakmu. Kalau begitu, aku permisi dulu," ucap Zulfan, memecah keheningan yang sempat berlangsung selama beberapa saat."Iya, Zulfan. Terima kasih sudah datang," balas Yuni.Zulfan mengangguk pelan, tidak banyak bicara, kemudian melangkah menuju pintu keluar.Hari ini Zulfan akan bertemu dengan seseorang. Karena memang, sudah lama dia tidak
"Kenapa, Mbok, bisa seyakin itu?" tanya Yuni dengan penuh rasa penasaran.Padahal Mbok Darmi begitu tidak suka dengan Ramdani, malahan dia juga tahu bagaimana Ramdani memperlakukannya.Akan tetapi, kenapa sekarang perempuan itu justru seperti berpihak pada Ramdani, ini benar-benar membingungkan. Pikiran Yuni bergitu berkecamuk."Saya hanya mengamati sikap Tuan Ramdani akhir-akhir ini dan saya pikir, beliau sudah berubah."Yuni menghela napas panjang, kemudian dia menatap anak perempuannya yang sudah terlelap."Tolong bantu tidurkan anak saya ke box bayi, Mbok.""Baik, Nyonya."Mbok Darmi meraih anak perempuan Yuni, kemudian menidurkannya di box bayi yang berada di samping ranjang Yuni.Anak perempuannya itu tidur dengan begitu nyenyak. Bahkan, dia hanya menggerakkan tangannya sedikit saja, ketika berpindah
"Zulfan! Tolong bantu Bapakmu. I-Ibumu sedang sakit sekarang, kami tidak punya tempat tinggal lagi, kami baru saja di usir dari kosan." Sontak, Zulfan yang sudah berada di ambang pintu menghentikan langkahnya, kemudian dia menoleh, menatap pria tua itu dengan tatapan yang tidak bisa diartikan lagi. "Lalu, apa yang harus aku lakukan?" tanya Zulfan dengan nada sedingin es. "Tolong, bantu kami, Zulfan. Bapak, tahu sekarang hidupmu jauh lebih baik dari dulu. Tolong, Zulfan! Apa kamu tidak bisa mengasihi kami walau sedikit saja." Roni turun dari kursinya, kemudian bersimpuh di lantai, tentu saja Zulfan tidak bisa diam ketika melihat hal tersebut, apalagi ketika hampir semua tatapan mata tertuju padanya. Zulfan menghela napas panjang, kemudian melangkah, menghampiri Bapaknya yang tengah bersimpuh sambil sesekali terisak. "Apa yang Bapak lakukan?" tanya
Akhirnya Ramdani bisa menghela napas lega, kala pekerjaannya yang akhir-akhir ini begitu menumpuk, bisa selesai juga hanya dalam hitungan hari.Bahkan, Ramdani sampai rela kehilangan hari liburnya, demi bisa menyelesaikan semua pekerjaannya.Ramdani berambisi untuk bisa menjadi yang terbaik, sehingga dia bisa saja naik jabatan kapan saja. Soalnya beberapa waktu lalu, bosnya pernah bilang, akan menaikan jabatan seseorang yang bekerja dengan cukup baik.Maka dari situlah, Ramdani mulai memiliki keinginan untuk bisa menjadi yang terbaik diantara teman-teman yang lainnya, sekaligus memperlihatkan jati dirinya yang sebenarnya."Wah, udah selesai, nih, Pak!" sahut Anto--salah satu rekan kerja Ramdani yang cukup dekat dengannya.Ramdani yang tengah memejamkan mata sambil bersandar pada kursi, lantas mengangguk pelan."Iya, nih, udah selesai.""Wih, enak banget!"Tanpa diduga-duga, Anto langs
"Jangan asal bicara kalian, aku dan Pak Dandy sama sekali tidak berselingkuh!" hardik Yuni dengan kedua bola mata membulat sempurna.Dona menyeringai, dia menatap sebuah foto hasil jepretannya yang cukup bagus tersebut.Bila foto tersebut di kirimkan pada Ramdani, Dona yakin kalau anak laki-lakinya itu akan murka dan sedikit meragukan ketulusan hati Yuni.Terlebih lagi, mungkin hubungan keduanya akan kembali renggang, sehingga niat buruk yang selama ini Dona susun, akan bisa berjalan dengan lancarDona tidak sabar membayangkan, di saat Yuni dan Ramdani berpisah untuk selamanya, sehingga Dona bisa menikahkan anaknya dengan Sarah--perempuan yang cukup kaya raya."Asal bicara katamu? Jelas-jelas aku melihat perselingkuhan kalian di depan mata kepalaku sendiri.""Bu, aku tidak berselingkuh! Pak Dandy datang untuk menengok anakku. Apa Ibu tidak bisa me
Sebenarnya Yuni ingin sekali menolak keinginan Dandy untuk datang ke rumahnya, hanya saja dia merasa tidak enak.Masa ada orang yang menengok anaknya, dia malah menolaknya hanya karena alasan tidak nyaman.Jadi, mau tidak mau, Yuni pun mengiyakan permintaan Dandy, meskipun dia belum sempat memberitahu suaminya.[Baik, Pak.][Terima kasih, Bu. Kalau boleh tahu, apa ada yang sedang Ibu inginkan?]Sengaja Yuni tidak membalas pesan Dandy, dia takut kalau terus berhubungan dengan pria itu, justru akan menjadi boomerang bagi dirinya sendiri.Maka dari itu, Yuni lebih memilih untuk mematikan jaringan data dan menyimpan gawainya ke dalam saku celana.***Sore hari sudah tiba, kala itu Yuni tengah berada di luar rumah, dia tengah bermain bersama kedua orang anaknya, lebih tepatnya memperhatikan Rion yang tengah belajar membawa
Entah bagaimana jadinya, tetapi semenjak saat itu, Ibu mertua Yuni jadi sering bertukar kabar dengan Sarah.Anehnya lagi, perempuan bernama Sarah itu malah meresponnya dengan baik, seperti hari ini, di mana ketika Yuni baru saja pulang dari rumah tetangganya, mengecek usaha yang selama ini dia dan ibu-ibu lainnya kembangkan.Perempuan itu sudah berada di rumahnya sambil mengobrol dengan Ibunya. Sementara itu, Yuni belum tahu bagaimana kabar Monika.Namun, yang pasti Yuni yakin, kalau Monika tidak tinggal seorang diri di luar sana, pasti dia tinggal bersama seseorang atau mungkin menyewa tempat yang lebih nyaman."Yuni, tolong ambilkan cemilan dan minuman, kebetulan tadi Mbok Darmi sudah Ibu suruh beli sayuran dan buah-buahan."Dona langsung memerintahkan kepada Yuni, ketika melihat batang hidung perempuan itu muncul di hadapannya."Bu, aku baru saja pul
Yuni sempat terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk pelan.Ramdani sedikit khawatir dengan Yuni, takut istrinya itu berpikir yang tidak-tidak. Apalagi ketika melihat reaksi Yuni yang tidak bisa Ramdani baca sedikitpun.Membuat Ramdani semakin panik saja. Bahkan, dia sampai mengigit bibir bawahnya dengan cukup keras dengan pandangan yang tidak bisa lepas dari Yuni."Ah, hanya mantan saja! Itu hanya masa lalu saja, tidak ada yang perlu aku khawatirkan."Yuni tersenyum lebar, kemudian menghampiri Ramdani, memeluk tangan suaminya dengan erat.Di saat itu, arah pandangan Dona langsung mengikuti Yuni, kedua bola matanya membulat."Aku tidak cemburu, aku yakin Mas Ramdani setia denganku," sambung Yuni.Melihat reaksi istrinya yang begitu menggemaskan, Ramdani langsung mengusap puncak kepala Yuni, kemudian mendaratkan kecu
Ketika sudah dekat dengan rumah, Titi segera mengucurkan beberapa tetes air ke matanya, dia hendak kembali berakting di hadapan Ramdani dan Yuni.Setelah itu, dia segera membuang botol berukuran kecil itu ke selokan. Sebelum itu, Dona sempat memastikan ke sekeliling, takut ada orang yang memergoki aksinya."Ya ampun, Bu Dona, kenapa nangis?"Dona langsung tersenyum tipis, kala melihat dua orang ibu-ibu menghampiri dirinya.Sudah saatnya Dona melancarkan aksinya, kalau dia akan berpura-pura bersedih, mengenai Monika yang pergi dari rumah."Monika, Bu." Dona terisak, kemudian luruh ke lantai, membuat kedua orang ibu-ibu itu begitu panik."Ya ampun, kenapa dengan Monika, Bu?""Monika, pergi dari rumah, Bu. Dia tidak ingin pulang lagi, saya tidak tahu dia akan pergi ke mana."Kedua ibu-ibu melayangkan tatapan sendu pada D
Dari kejauhan, Dona terus berteriak sambil mengejar Monika yang semakin menjauh. Gadis itu seperti tidak menghiraukan Dona sama sekali, belum lagi dia malah terisak dengan cukup keras."Monika, berhenti! Jangan pergi dari rumah."Dona berhenti sejenak, mengatur napasnya yang terasa ngos-ngosan, belum lagi dia sudah cukup tua, kakinya sudah tidak bisa di pakai jalan lebih lama, karena tenaganya sudah berkurang."Monika, berhenti!" Dona kembali berteriak dengan nyaring.Kala mendengar suara teriakan Ibunya yang sedikit memudar, Monika pun langsung menghentikan langkahnya.Perempuan itu menoleh ke arah belakang, menatap Ibunya yang tengah sedikit membungkuk dengan kedua tangan bertumpu pada lutut."Bu, jangan ikuti aku lagi, lagipula Bang Ramdani sudah mengusirku, dia sudah tidak menginginkan aku lagi."Mendengar suara Monika, Dona pun seger
Dona terus terisak, dia yang duduk di lantai segera bangkit, hendak mengejar Monika yang sudah menjauh.Namun, ketika berada di hadapan Yuni, Dona langsung menghentikan langkahnya. Dia menatap Yuni dengan tajam, jelas sekali kalau dia begitu membenci menantunya itu."Ini semua gara-gara kamu, Yuni! Lihat, Monika pergi dari sini, puas kamu, hah?!"Yuni hanya mampu menelan ludah, apalagi ketika dia dan Dona saling bertatapan selama beberapa saat, di mana dia melihat kalau Dona tidaklah berdusta, tangis wanita itu benar-benar nyata."Aku sama sekali tidak melakukan itu, Bu. Jangan pernah menyalahkan aku atas semua yang sudah terjadi. Monika, pergi karena keinginannya, bukan karena aku."Dona yang sudah sampai di ambang pintu pun kembali berbalik, tatapan tajam masih dia layangkan pada Yuni.Begitupun dengan rahangnya yang sedikit mengeras, urat nadi sedikit mene
Dona beralih menatap Ramdani dengan tajam, sorot matanya seakan begitu menusuk.Akan tetapi, hal tersebut sama sekali tidak Ramdani hiruakan. Lagipula semenjak Monika dan Ibunya ada di sini, banyak sekali masalah yang menghampirinya, membuat kepala Ramdani terasa seperti begitu akan pecah."Ramdani, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu melakukan hal ini pada adikmu sendiri? Kamu begitu keterlaluan!""Suruh siapa, sikapnya malah kekanak-kanakan seperti itu?" Ramdani balik bertanya. "Sudah cukup sabar aku menghadapi dia, Bu. Apa Ibu tahu, kalau Monika diam-diam meminjam uang pada temannya dan orang tersebut sempat menangih padaku?"Dona malah mendelik, kemudian kembali menatap Monika yang masih membereskan beberapa barang-barang miliknya."Tinggal bayar saja, apa susahnya!""Bu, aku bekerja bukan untuk satu orang saja, ada anak dan istri yang wajib aku biayai keb