"Biar aku saja!" Ramdani segera bangkit dari duduk, ketika dia melihat Yuni hendak melangkah.
Tapi, diluar dugaan, Yuni ternyata mengikuti langkah Ramdani, karena dia juga penasaran dengan orang yang datang ke rumahnya.
"Maaf, dengan siapa, ya?" tanya Ramdani pada seorang pria dan wanita yang berdiri di hadapannya.
Wajah kedua orang tersebut tampak tidak bersahabat, membuat Ramdani sedikit merasa tidak nyaman.
"Apa benar, ini dengan kediaman Monika?"
"Iya, benar. Saya Kakaknya, kalau boleh tau ada apa, ya?"
Wanita yang ada di samping pria itu langsung maju satu langkah, tangannya merogoh sesuatu dari dalam tasnya.
Yuni yang begitu penasaran, langsung maju satu langkah, mensejajarkan posisinya dengan Ramdani.
Ramdani langsung menoleh, kemudian dia meraih tangan Yuni, mengenggamnya dengan erat.
"Apa
"Alhamdulillah, selamat anak Bapak dan Ibu berjenis kelamin perempuan," ucap seorang dokter perempuan yang menangani persalinan Yuni."Alhamdulillah," lirih Ramdani sambil menoleh ke arah Yuni. Di mana senyum kebahagiaan terpancar dari wajah keduanya.Seorang suster langsung membawa bayi perempuan Yuni untuk dibersihkan terlebih dahulu, baru nanti kembali di serahkan pada Yuni, kemudian di berikan ASI untuk yang pertama kalinya."Sayang, selamat, ya!" ucap Ramdani, kemudian mendaratkan kecupan di kening Yuni."Terima kasih, Mas. Akhirnya Rion punya adik perempuan juga.""Iya, Sayang. Mas, senang banget."Tidak lama kemudian, seorang suster kembali datang, membawa anak perempuan. Dengan sigap, Ramdani langsung mengumandangkan adzan, di saat itu pula air matanya tidak berhenti berderai, Ramdani benar-benar merasa bersyukur sekaligus sedih.
"Aku juga tidak tahu, Mas."Ketika Zulfan menatap Ramdani, pria itu tampak berpikir keras, sepertinya dia memang penasaran dengan orang yang telah melunasi biaya administrasi istrinya.Meskipun begitu, Zulfan bertekad untuk tidak memberitahu Ramdani. Walaupun pada awalnya dia tidak akan memberitahu Yuni, tetapi sepertinya perempuan itu sudah curiga.Jadinya, Zulfan terpaksa memberikan sebuah kode padanya. Tetapi, Zulfan terus berdoa semoga saja Yuni tidak memahaminya."Mbak, selamat atas kelahiran anakmu. Kalau begitu, aku permisi dulu," ucap Zulfan, memecah keheningan yang sempat berlangsung selama beberapa saat."Iya, Zulfan. Terima kasih sudah datang," balas Yuni.Zulfan mengangguk pelan, tidak banyak bicara, kemudian melangkah menuju pintu keluar.Hari ini Zulfan akan bertemu dengan seseorang. Karena memang, sudah lama dia tidak
"Kenapa, Mbok, bisa seyakin itu?" tanya Yuni dengan penuh rasa penasaran.Padahal Mbok Darmi begitu tidak suka dengan Ramdani, malahan dia juga tahu bagaimana Ramdani memperlakukannya.Akan tetapi, kenapa sekarang perempuan itu justru seperti berpihak pada Ramdani, ini benar-benar membingungkan. Pikiran Yuni bergitu berkecamuk."Saya hanya mengamati sikap Tuan Ramdani akhir-akhir ini dan saya pikir, beliau sudah berubah."Yuni menghela napas panjang, kemudian dia menatap anak perempuannya yang sudah terlelap."Tolong bantu tidurkan anak saya ke box bayi, Mbok.""Baik, Nyonya."Mbok Darmi meraih anak perempuan Yuni, kemudian menidurkannya di box bayi yang berada di samping ranjang Yuni.Anak perempuannya itu tidur dengan begitu nyenyak. Bahkan, dia hanya menggerakkan tangannya sedikit saja, ketika berpindah
"Zulfan! Tolong bantu Bapakmu. I-Ibumu sedang sakit sekarang, kami tidak punya tempat tinggal lagi, kami baru saja di usir dari kosan." Sontak, Zulfan yang sudah berada di ambang pintu menghentikan langkahnya, kemudian dia menoleh, menatap pria tua itu dengan tatapan yang tidak bisa diartikan lagi. "Lalu, apa yang harus aku lakukan?" tanya Zulfan dengan nada sedingin es. "Tolong, bantu kami, Zulfan. Bapak, tahu sekarang hidupmu jauh lebih baik dari dulu. Tolong, Zulfan! Apa kamu tidak bisa mengasihi kami walau sedikit saja." Roni turun dari kursinya, kemudian bersimpuh di lantai, tentu saja Zulfan tidak bisa diam ketika melihat hal tersebut, apalagi ketika hampir semua tatapan mata tertuju padanya. Zulfan menghela napas panjang, kemudian melangkah, menghampiri Bapaknya yang tengah bersimpuh sambil sesekali terisak. "Apa yang Bapak lakukan?" tanya
"Apa?! Kamu bertemu dengan Bapak kemarin?" pekik Yuni ketika mendengar penuturan adik kandungnya. Kebetulan hari ini Zulfan menyempatkan diri untuk datang ke rumahnya ketika Ramdani pergi bekerja. Sementara itu, Dona dan Monika belum pulang ke rumah. Dari yang Yuni tahu, jika Dona akan pulang nanti sore, begitupun dengan Monika, karena selama ini dialah yang menjaga Ibunya selama di rumah sakit. Karena Ramdani harus menjaga Yuni, sehingga dia tidak bisa menjaga Ibunya yang masih terbaring di rumah sakit. "Iya, Mbak. Sebenarnya aku bertemu dengan Bapak sekitar seminggu yang lalu. Tetapi, karena kemarin Tante Dona kecelakaan, aku jadi lupa memberitahunya padamu." "Lalu, apa yang dia katakan padamu?" Zulfan menggeleng lemah, dia menatap Kakaknya dengan cukup intens. Zulfan takut, kalau Kakaknya itu akan sedih, kalau dia mengatakan yang sebenarnya.
"Kalau begitu aku pulang dulu." Zulfan bangkit dari duduknya, setelah sebelumnya menyambar kunci mobil dan ponselnya yang tergeletak di atas meja. "Zulfan, tunggu!" "Kenapa, Mbak?" tanya Zulfan dengan cepat. "Kamu ... marah pada, Mbak?" "Tidak," jawab Zulfan sambil menggeleng pelan. "Aku harus pulang, karena sebentar lagi Monika dan Ibunya pulang, aku tidak ingin bertemu dengan mereka." Sedikit masuk akal memang, jika Zulfan tidak ingin bertemu dengan kedua manusia tersebut. Sebab, Zulfan cukup tidak menyukai keduanya. Apalagi ketika mengingat perlakuan buruk yang telah mereka lakukan pada Yuni, hal itu semakin membuat Zulfan semakin membencinya saja. "Baiklah kalau begitu, hati-hati di jalan." Zulfan tidak menjawab ucapan Yuni, pria itu terus melanjutkan langkahnya.
"Kondisi Ibu sudah cukup baik, 'kan?" tanya Ramdani pada Dona yang tengah berbaring di ranjang. Wajah wanita itu sedikit pias, begitupun dengan bibirnya yang sedikit memutih. "Ramdani, istrimu begitu durhaka, dia bahkan tidak menanyakan kabar Ibu sedikitpun," bohong Dona. Dia ingin mengadu domba Ramdani dan Yuni. Dona sudah cukup muak dengan Yuni, perempuan itu masih saja bersikap angkuh, padahal dia hanya numpang saja. Ramdani tidak terlalu menggubris ucapan Dona, dia malah mendaratkan bokongnya di pinggir ranjang. "Sepertinya kondisi Ibu sudah cukup baik. Satu hal lagi, Ibu jangan lupa meminum obatnya." "Pintar sekali mengalihkan pembicaraan," cibir Dona. "Ibu tahu, kamu melakukan hal tersebut karena membela Yuni." "Sudah, Ibu, jangan memikirkan hal tersebut, lebih baik Ibu istirahat saja." Kal
"Sayang, jemput aku!"Monika merengek pada seseorang melalui sambungan telepon. Perempuan itu tampak mengerutkan bibirnya sambil menatap pantulan dirinya sendiri.Dia sudah rapih, hendak pergi ke kampus. Tetapi, karena Abangnya tidak mengijinkan Monika untuk menggunakan mobilnya sendiri.Maka Monika terpaksa mengemis pada laki-laki yang beberapa hari lalu resmi menjadi pacarnya, padahal dia masih memiliki hubungan dengan Anton."Aku jemput kamu setengah jam lagi, ya."Sontak, Monika semakin mengerutkan bibirnya kala mendengar jawaban pria tersebut."Kelasku mulai sebentar lagi," hardik Monika. "Sudahlah, kalau kamu tidak ingin menjemputku, biar kita putus saja!" ancam Monika."Ja-jangan seperti itu, Sayang!" Pria itu langsung membalas ancaman Monika. "Aku akan segera menjumputmu.""Baiklah, cepat!"
Akhirnya Ramdani bisa menghela napas lega, kala pekerjaannya yang akhir-akhir ini begitu menumpuk, bisa selesai juga hanya dalam hitungan hari.Bahkan, Ramdani sampai rela kehilangan hari liburnya, demi bisa menyelesaikan semua pekerjaannya.Ramdani berambisi untuk bisa menjadi yang terbaik, sehingga dia bisa saja naik jabatan kapan saja. Soalnya beberapa waktu lalu, bosnya pernah bilang, akan menaikan jabatan seseorang yang bekerja dengan cukup baik.Maka dari situlah, Ramdani mulai memiliki keinginan untuk bisa menjadi yang terbaik diantara teman-teman yang lainnya, sekaligus memperlihatkan jati dirinya yang sebenarnya."Wah, udah selesai, nih, Pak!" sahut Anto--salah satu rekan kerja Ramdani yang cukup dekat dengannya.Ramdani yang tengah memejamkan mata sambil bersandar pada kursi, lantas mengangguk pelan."Iya, nih, udah selesai.""Wih, enak banget!"Tanpa diduga-duga, Anto langs
"Jangan asal bicara kalian, aku dan Pak Dandy sama sekali tidak berselingkuh!" hardik Yuni dengan kedua bola mata membulat sempurna.Dona menyeringai, dia menatap sebuah foto hasil jepretannya yang cukup bagus tersebut.Bila foto tersebut di kirimkan pada Ramdani, Dona yakin kalau anak laki-lakinya itu akan murka dan sedikit meragukan ketulusan hati Yuni.Terlebih lagi, mungkin hubungan keduanya akan kembali renggang, sehingga niat buruk yang selama ini Dona susun, akan bisa berjalan dengan lancarDona tidak sabar membayangkan, di saat Yuni dan Ramdani berpisah untuk selamanya, sehingga Dona bisa menikahkan anaknya dengan Sarah--perempuan yang cukup kaya raya."Asal bicara katamu? Jelas-jelas aku melihat perselingkuhan kalian di depan mata kepalaku sendiri.""Bu, aku tidak berselingkuh! Pak Dandy datang untuk menengok anakku. Apa Ibu tidak bisa me
Sebenarnya Yuni ingin sekali menolak keinginan Dandy untuk datang ke rumahnya, hanya saja dia merasa tidak enak.Masa ada orang yang menengok anaknya, dia malah menolaknya hanya karena alasan tidak nyaman.Jadi, mau tidak mau, Yuni pun mengiyakan permintaan Dandy, meskipun dia belum sempat memberitahu suaminya.[Baik, Pak.][Terima kasih, Bu. Kalau boleh tahu, apa ada yang sedang Ibu inginkan?]Sengaja Yuni tidak membalas pesan Dandy, dia takut kalau terus berhubungan dengan pria itu, justru akan menjadi boomerang bagi dirinya sendiri.Maka dari itu, Yuni lebih memilih untuk mematikan jaringan data dan menyimpan gawainya ke dalam saku celana.***Sore hari sudah tiba, kala itu Yuni tengah berada di luar rumah, dia tengah bermain bersama kedua orang anaknya, lebih tepatnya memperhatikan Rion yang tengah belajar membawa
Entah bagaimana jadinya, tetapi semenjak saat itu, Ibu mertua Yuni jadi sering bertukar kabar dengan Sarah.Anehnya lagi, perempuan bernama Sarah itu malah meresponnya dengan baik, seperti hari ini, di mana ketika Yuni baru saja pulang dari rumah tetangganya, mengecek usaha yang selama ini dia dan ibu-ibu lainnya kembangkan.Perempuan itu sudah berada di rumahnya sambil mengobrol dengan Ibunya. Sementara itu, Yuni belum tahu bagaimana kabar Monika.Namun, yang pasti Yuni yakin, kalau Monika tidak tinggal seorang diri di luar sana, pasti dia tinggal bersama seseorang atau mungkin menyewa tempat yang lebih nyaman."Yuni, tolong ambilkan cemilan dan minuman, kebetulan tadi Mbok Darmi sudah Ibu suruh beli sayuran dan buah-buahan."Dona langsung memerintahkan kepada Yuni, ketika melihat batang hidung perempuan itu muncul di hadapannya."Bu, aku baru saja pul
Yuni sempat terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk pelan.Ramdani sedikit khawatir dengan Yuni, takut istrinya itu berpikir yang tidak-tidak. Apalagi ketika melihat reaksi Yuni yang tidak bisa Ramdani baca sedikitpun.Membuat Ramdani semakin panik saja. Bahkan, dia sampai mengigit bibir bawahnya dengan cukup keras dengan pandangan yang tidak bisa lepas dari Yuni."Ah, hanya mantan saja! Itu hanya masa lalu saja, tidak ada yang perlu aku khawatirkan."Yuni tersenyum lebar, kemudian menghampiri Ramdani, memeluk tangan suaminya dengan erat.Di saat itu, arah pandangan Dona langsung mengikuti Yuni, kedua bola matanya membulat."Aku tidak cemburu, aku yakin Mas Ramdani setia denganku," sambung Yuni.Melihat reaksi istrinya yang begitu menggemaskan, Ramdani langsung mengusap puncak kepala Yuni, kemudian mendaratkan kecu
Ketika sudah dekat dengan rumah, Titi segera mengucurkan beberapa tetes air ke matanya, dia hendak kembali berakting di hadapan Ramdani dan Yuni.Setelah itu, dia segera membuang botol berukuran kecil itu ke selokan. Sebelum itu, Dona sempat memastikan ke sekeliling, takut ada orang yang memergoki aksinya."Ya ampun, Bu Dona, kenapa nangis?"Dona langsung tersenyum tipis, kala melihat dua orang ibu-ibu menghampiri dirinya.Sudah saatnya Dona melancarkan aksinya, kalau dia akan berpura-pura bersedih, mengenai Monika yang pergi dari rumah."Monika, Bu." Dona terisak, kemudian luruh ke lantai, membuat kedua orang ibu-ibu itu begitu panik."Ya ampun, kenapa dengan Monika, Bu?""Monika, pergi dari rumah, Bu. Dia tidak ingin pulang lagi, saya tidak tahu dia akan pergi ke mana."Kedua ibu-ibu melayangkan tatapan sendu pada D
Dari kejauhan, Dona terus berteriak sambil mengejar Monika yang semakin menjauh. Gadis itu seperti tidak menghiraukan Dona sama sekali, belum lagi dia malah terisak dengan cukup keras."Monika, berhenti! Jangan pergi dari rumah."Dona berhenti sejenak, mengatur napasnya yang terasa ngos-ngosan, belum lagi dia sudah cukup tua, kakinya sudah tidak bisa di pakai jalan lebih lama, karena tenaganya sudah berkurang."Monika, berhenti!" Dona kembali berteriak dengan nyaring.Kala mendengar suara teriakan Ibunya yang sedikit memudar, Monika pun langsung menghentikan langkahnya.Perempuan itu menoleh ke arah belakang, menatap Ibunya yang tengah sedikit membungkuk dengan kedua tangan bertumpu pada lutut."Bu, jangan ikuti aku lagi, lagipula Bang Ramdani sudah mengusirku, dia sudah tidak menginginkan aku lagi."Mendengar suara Monika, Dona pun seger
Dona terus terisak, dia yang duduk di lantai segera bangkit, hendak mengejar Monika yang sudah menjauh.Namun, ketika berada di hadapan Yuni, Dona langsung menghentikan langkahnya. Dia menatap Yuni dengan tajam, jelas sekali kalau dia begitu membenci menantunya itu."Ini semua gara-gara kamu, Yuni! Lihat, Monika pergi dari sini, puas kamu, hah?!"Yuni hanya mampu menelan ludah, apalagi ketika dia dan Dona saling bertatapan selama beberapa saat, di mana dia melihat kalau Dona tidaklah berdusta, tangis wanita itu benar-benar nyata."Aku sama sekali tidak melakukan itu, Bu. Jangan pernah menyalahkan aku atas semua yang sudah terjadi. Monika, pergi karena keinginannya, bukan karena aku."Dona yang sudah sampai di ambang pintu pun kembali berbalik, tatapan tajam masih dia layangkan pada Yuni.Begitupun dengan rahangnya yang sedikit mengeras, urat nadi sedikit mene
Dona beralih menatap Ramdani dengan tajam, sorot matanya seakan begitu menusuk.Akan tetapi, hal tersebut sama sekali tidak Ramdani hiruakan. Lagipula semenjak Monika dan Ibunya ada di sini, banyak sekali masalah yang menghampirinya, membuat kepala Ramdani terasa seperti begitu akan pecah."Ramdani, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu melakukan hal ini pada adikmu sendiri? Kamu begitu keterlaluan!""Suruh siapa, sikapnya malah kekanak-kanakan seperti itu?" Ramdani balik bertanya. "Sudah cukup sabar aku menghadapi dia, Bu. Apa Ibu tahu, kalau Monika diam-diam meminjam uang pada temannya dan orang tersebut sempat menangih padaku?"Dona malah mendelik, kemudian kembali menatap Monika yang masih membereskan beberapa barang-barang miliknya."Tinggal bayar saja, apa susahnya!""Bu, aku bekerja bukan untuk satu orang saja, ada anak dan istri yang wajib aku biayai keb