Ramdani segera bergegas menuju garasi, dicarinya motor istrinya tersebut. Netranya berputar, mengamati seisi garasi, tetapi nihil dia tidak menemukan apapun.
Hingga, ketika Ramdani menunduk, dia mendapati sebuah bekas motor melintas di lantai, tetapi nodanya itu samar-samar, seperti baru beberapa jam yang lalu.
Kemudian, Ramdani menoleh ke arah lain, di mana motor miliknya terparkir. Ramdani menyipit, lalu menghampiri dua kendaraan yang menjadi saksi dalam sejarah hidupnya.
Di mana dia yang awalnya hanya bekerja sebagai tukang ojeg, tiba-tiba ketiban rezeki nomplok dengan bekerja di sebuah perusahaan yang cukup besar, hingga mampu mengangkat perekonomian keluarganya.
"Ya Tuhan, ke mana motor Yuni, kenapa bisa hilang seperti ini," gerutu Ramdani.
Sekarang dia kesal, karena tidak menuruti perintah Yuni untuk memperbaiki cctv, karena memang Ibunya melarang Ramdani untuk melaku
Melalui balkon rumahnya, Yuni terus menatap Ramdani yang tengah duduk di depan kolam ikan sambil menyesap sebatang rokok.Ketika mereka berpapasan tadi, Yuni dapat menangkap raut kebingungan yang terpancar dari wajah suaminya.Akan tetapi, Yuni tidak bertanya maupun menyapa Ramdani, begitupun sebaliknya.Yuni yakin, jika suaminya itu pasti tengah pusing tujuh keliling mengenai permintaannya beberapa waktu yang lalu dan Yuni pun tidak peduli, sebab itu resiko yang harus suaminya pertanggungjawabankan."Nyonya, minum tehnya dulu.""Terima kasih, Mbok."Yuni meraih gelas yang ada di sampingnya, kemudian meneguk teh hangat yang baru saja Mbok Darmi bawa sampai habis.Sensi hangat yang ditimbulkan oleh teh tersebut mampu memberikan sebuah ketenangan pada Yuni."Mbok, Rion sudah tidur?""Sudah, Ny
Beberapa jam yang lalu .... Ketika Yuni hendak pulang ke rumahnya setelah beberapa hari ini mencoba berbisnis makanan, tiba-tiba gawainya yang sedang di pegang Rion berdering. Awalnya Yuni berpikir, kalau Rion sengaja memainkan benda persegi tersebut, sehingga Yuni tidak menghiraukannya. Akan tetapi, untuk yang ketiga kalinya gawai milik Yuni kembali berdering. Merasa terganggu oleh suaranya, Yuni lantas meraih benda tersebut. Seketika saja, keningnya mengkerut ketika melihat ada sebuah panggilan masuk ke ponselnya dari nomor yang tidak di kenal. Yuni tidak berniat mengangkat telepon tersebut, dia malah bergidik ngeri ketika menatap ponsel, dia sela
"Astaga, ada apa dengan kalian?" Keesokan paginya, Ramdani yang hendak berangkat ke kantor, langsung berteriak kala melihat kedatangan adik dan Ibunya yang baru saja turun dari angkot. Penampilan mereka begitu berantakan, tidak seperti biasanya. Yuni yang mendengar hal tersebut, langsung berjalan ke arah jendela, membuka tirai dengan gerakan cepat, kemudian menatap ketiganya yang masih saling pandang. "Kami ... ah, panjang ceritanya." Dona langsung melenggang ke arah teras, kemudian mendaratkan bokongnya dengan kasar, dadanya naik turun, tangannya mencengkram tas dengan cukup kuat. Dona merasa sangat marah, tetapi dia tidak tahu harus melampiaskan pada siapa, lagipula dia tidak mungkin bercerita pada Ramdani. Itu bisa di bilang bunuh diri. "Monika, ada apa ini? Kalian dari mana dan kenapa ponsel kalian tidak bisa di hubungi."
Tanpa sepengetahuan Ramdani, Dona serta Monika, diam-diam Yuni meminta Zulfan untuk datang ke rumahnya.Sengaja Yuni melakukan hal tersebut, karena dia tidak mungkin pergi keluar rumah dalam keadaan hamil besar, selain berbahaya, tetapi juga sedikit menyulitkan pergerakannya, apalagi kalau Rion meminta untuk ikut.Yuni terus mondar-mandir di ruang tamu, dia meremas tangannya sendiri. Entah kenapa, Yuni tampak begitu tidak tenang, setelah sekian lama tidak berjumpa dengan adiknya.Mbok Darmi yang melihat hal tersebut dari ambang ruang keluarga, langsung menghampiri majikannya."Nyonya, ada apa?"Yuni menoleh, dia mengigit bibir bawahnya kuat-kuat."Entahlah, Mbok. Aku sedikit tidak tenang."Layaknya seorang Ibu pada anak perempuannya, Mbok Darmi langsung meraih tangan Yuni, mengajaknya untuk duduk di sofa yang ada di belakangnya.&n
"Lalu, soal Ibu mertua dan adik iparku, kamu apakan mereka?"Untung saja Yuni langsung ingat kejadian kemarin, sehingga dia langsung menanyakan semuanya pada Zulfan."Gampang saja, aku hanya tinggal menyuruh Kakak angkatku untuk mengawasi mereka secara dekat, lalu aku diam-diam melakukan pembalasan pada mereka."Sontak, Yuni langsung memicingkan mata ketika mendengar ucapan Zulfan.Kepala Yuni terus berputar, memikirkan siapa sebenarnya orang yang Zulfan maksud. Kenapa pula dia bisa mengetahui tentang Dona dan Monika.Menurut Yuni, ini benar-benar membingungkan, dia masih belum sepenuhnya paham tentang ini semua."Memangnya siapa orang tersebut?""Mbak, tidak perlu tahu," jawab Zulfan yang diakhiri kekehan, membuat Yuni langsung mengerutkan bibir."Astaga, kenapa seperti itu?""Tidak apa-apa
Dona mendekat ke arah Ramdani, memegang tangan anaknya dengan begitu erat. Dengan sedikit kaku, Dona menarik kedua sudut bibirnya ke atas."Dengarkan Ibu dulu, Nak. 'Kan kemarin Ibu dan Monika kejambretan, jadinya--""Ah, jadi benar Ibu dan Monika pelakunya?"Mendengar hal tersebut, Dona langsung membulatkan mata dan mulutnya, dia baru sadar, kalau dirinya salah bicara.Begitupun dengan Monika yang langsung mencubit lengan Ibunya, hingga wanita itu meringis kesakitan."Bu, kok ngomongnya gitu, sih!" cicit Monika sambil membelalakkan mata."Lah, emang faktanya seperti itu, Monika. Kita kejambretan," balas Dona dengan nada pelan, hampir seperti bisikan."Ah, Ibu," keluh Monika.Monika begitu kesal dengan Ibunya, kenapa mereka malah berkata seperti itu di saat seperti ini.Kalau begini, Abangny
"Bu, kalau sudah seperti ini harus bagaimana?" tanya Monika untuk yang kesekian kalinya. Wajahnya tampak begitu putus asa, bahkan beberapa kali dia menjambak rambutnya kasar."Ibu, tidak tahu! Bisa tidak kamu jangan bertanya hal seperti itu, Ibu benar-benar pusing," sentak Dona, membuat anak gadisnya itu langsung bergeserkan bokong, menjauhi Dona yang tampaknya begitu marah.Saat ini, mereka berdua tengah berada di angkot, karena mobil Monika di sita oleh abangnya.Meskipun Monika sudah berusaha untuk memelas, menampilkan ekspresi wajah sedih andalannya, tetapi entah kenapa hal itu tidak mempan untuk Abangnya kali ini.Tiba-tiba saja, Monika punya pikiran kalau Kakak iparnya itu memakai jasa guna-guna. Sehingga mampu menaklukkan Abangnya yang biasanya patuh pada dirinya dan Ibunya."Kiri, Bang!" teriak Dona secara tiba-tiba, membuat supir angkot itu langsung menghentikan mobil se
"Ah, itu kami ...." Monika membuka mulutnya, tetapi tidak kunjung melanjutkan ucapannya.Pria tua yang ada di hadapan Monika dan Dona, hanya mampu menarik kedua alis ke atas dengan tangan terlipat di dada."Kami apa? Sudah, kalian pergi dari sini! Merusak kebun bunga orang saja," cerocosnya sambil mengacungkan jari telunjuk ke arah pintu keluar. "Cepat, pergi!""Ba-baik, Pak."Dona lebih dulu memindai sekitar sebelum pergi, memastikan jika tidak ada seorangpun yang tengah mengawasinya di sekitar rumahnya.Setelah memastikan jika kumpulan pria penagih utang itu sudah tidak ada, Dona langsung menarik Monika untuk segera keluar dari halaman rumah pria paruh baya tersebut, sebelum akhirnya berlari ke rumah mereka yang tidak cukup jauh."Bu, kenapa malah lari, sih, jalan santai aja kenapa," keluh Monika dengan napas tersengal-sengal. Dadanya begitu sak
Akhirnya Ramdani bisa menghela napas lega, kala pekerjaannya yang akhir-akhir ini begitu menumpuk, bisa selesai juga hanya dalam hitungan hari.Bahkan, Ramdani sampai rela kehilangan hari liburnya, demi bisa menyelesaikan semua pekerjaannya.Ramdani berambisi untuk bisa menjadi yang terbaik, sehingga dia bisa saja naik jabatan kapan saja. Soalnya beberapa waktu lalu, bosnya pernah bilang, akan menaikan jabatan seseorang yang bekerja dengan cukup baik.Maka dari situlah, Ramdani mulai memiliki keinginan untuk bisa menjadi yang terbaik diantara teman-teman yang lainnya, sekaligus memperlihatkan jati dirinya yang sebenarnya."Wah, udah selesai, nih, Pak!" sahut Anto--salah satu rekan kerja Ramdani yang cukup dekat dengannya.Ramdani yang tengah memejamkan mata sambil bersandar pada kursi, lantas mengangguk pelan."Iya, nih, udah selesai.""Wih, enak banget!"Tanpa diduga-duga, Anto langs
"Jangan asal bicara kalian, aku dan Pak Dandy sama sekali tidak berselingkuh!" hardik Yuni dengan kedua bola mata membulat sempurna.Dona menyeringai, dia menatap sebuah foto hasil jepretannya yang cukup bagus tersebut.Bila foto tersebut di kirimkan pada Ramdani, Dona yakin kalau anak laki-lakinya itu akan murka dan sedikit meragukan ketulusan hati Yuni.Terlebih lagi, mungkin hubungan keduanya akan kembali renggang, sehingga niat buruk yang selama ini Dona susun, akan bisa berjalan dengan lancarDona tidak sabar membayangkan, di saat Yuni dan Ramdani berpisah untuk selamanya, sehingga Dona bisa menikahkan anaknya dengan Sarah--perempuan yang cukup kaya raya."Asal bicara katamu? Jelas-jelas aku melihat perselingkuhan kalian di depan mata kepalaku sendiri.""Bu, aku tidak berselingkuh! Pak Dandy datang untuk menengok anakku. Apa Ibu tidak bisa me
Sebenarnya Yuni ingin sekali menolak keinginan Dandy untuk datang ke rumahnya, hanya saja dia merasa tidak enak.Masa ada orang yang menengok anaknya, dia malah menolaknya hanya karena alasan tidak nyaman.Jadi, mau tidak mau, Yuni pun mengiyakan permintaan Dandy, meskipun dia belum sempat memberitahu suaminya.[Baik, Pak.][Terima kasih, Bu. Kalau boleh tahu, apa ada yang sedang Ibu inginkan?]Sengaja Yuni tidak membalas pesan Dandy, dia takut kalau terus berhubungan dengan pria itu, justru akan menjadi boomerang bagi dirinya sendiri.Maka dari itu, Yuni lebih memilih untuk mematikan jaringan data dan menyimpan gawainya ke dalam saku celana.***Sore hari sudah tiba, kala itu Yuni tengah berada di luar rumah, dia tengah bermain bersama kedua orang anaknya, lebih tepatnya memperhatikan Rion yang tengah belajar membawa
Entah bagaimana jadinya, tetapi semenjak saat itu, Ibu mertua Yuni jadi sering bertukar kabar dengan Sarah.Anehnya lagi, perempuan bernama Sarah itu malah meresponnya dengan baik, seperti hari ini, di mana ketika Yuni baru saja pulang dari rumah tetangganya, mengecek usaha yang selama ini dia dan ibu-ibu lainnya kembangkan.Perempuan itu sudah berada di rumahnya sambil mengobrol dengan Ibunya. Sementara itu, Yuni belum tahu bagaimana kabar Monika.Namun, yang pasti Yuni yakin, kalau Monika tidak tinggal seorang diri di luar sana, pasti dia tinggal bersama seseorang atau mungkin menyewa tempat yang lebih nyaman."Yuni, tolong ambilkan cemilan dan minuman, kebetulan tadi Mbok Darmi sudah Ibu suruh beli sayuran dan buah-buahan."Dona langsung memerintahkan kepada Yuni, ketika melihat batang hidung perempuan itu muncul di hadapannya."Bu, aku baru saja pul
Yuni sempat terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk pelan.Ramdani sedikit khawatir dengan Yuni, takut istrinya itu berpikir yang tidak-tidak. Apalagi ketika melihat reaksi Yuni yang tidak bisa Ramdani baca sedikitpun.Membuat Ramdani semakin panik saja. Bahkan, dia sampai mengigit bibir bawahnya dengan cukup keras dengan pandangan yang tidak bisa lepas dari Yuni."Ah, hanya mantan saja! Itu hanya masa lalu saja, tidak ada yang perlu aku khawatirkan."Yuni tersenyum lebar, kemudian menghampiri Ramdani, memeluk tangan suaminya dengan erat.Di saat itu, arah pandangan Dona langsung mengikuti Yuni, kedua bola matanya membulat."Aku tidak cemburu, aku yakin Mas Ramdani setia denganku," sambung Yuni.Melihat reaksi istrinya yang begitu menggemaskan, Ramdani langsung mengusap puncak kepala Yuni, kemudian mendaratkan kecu
Ketika sudah dekat dengan rumah, Titi segera mengucurkan beberapa tetes air ke matanya, dia hendak kembali berakting di hadapan Ramdani dan Yuni.Setelah itu, dia segera membuang botol berukuran kecil itu ke selokan. Sebelum itu, Dona sempat memastikan ke sekeliling, takut ada orang yang memergoki aksinya."Ya ampun, Bu Dona, kenapa nangis?"Dona langsung tersenyum tipis, kala melihat dua orang ibu-ibu menghampiri dirinya.Sudah saatnya Dona melancarkan aksinya, kalau dia akan berpura-pura bersedih, mengenai Monika yang pergi dari rumah."Monika, Bu." Dona terisak, kemudian luruh ke lantai, membuat kedua orang ibu-ibu itu begitu panik."Ya ampun, kenapa dengan Monika, Bu?""Monika, pergi dari rumah, Bu. Dia tidak ingin pulang lagi, saya tidak tahu dia akan pergi ke mana."Kedua ibu-ibu melayangkan tatapan sendu pada D
Dari kejauhan, Dona terus berteriak sambil mengejar Monika yang semakin menjauh. Gadis itu seperti tidak menghiraukan Dona sama sekali, belum lagi dia malah terisak dengan cukup keras."Monika, berhenti! Jangan pergi dari rumah."Dona berhenti sejenak, mengatur napasnya yang terasa ngos-ngosan, belum lagi dia sudah cukup tua, kakinya sudah tidak bisa di pakai jalan lebih lama, karena tenaganya sudah berkurang."Monika, berhenti!" Dona kembali berteriak dengan nyaring.Kala mendengar suara teriakan Ibunya yang sedikit memudar, Monika pun langsung menghentikan langkahnya.Perempuan itu menoleh ke arah belakang, menatap Ibunya yang tengah sedikit membungkuk dengan kedua tangan bertumpu pada lutut."Bu, jangan ikuti aku lagi, lagipula Bang Ramdani sudah mengusirku, dia sudah tidak menginginkan aku lagi."Mendengar suara Monika, Dona pun seger
Dona terus terisak, dia yang duduk di lantai segera bangkit, hendak mengejar Monika yang sudah menjauh.Namun, ketika berada di hadapan Yuni, Dona langsung menghentikan langkahnya. Dia menatap Yuni dengan tajam, jelas sekali kalau dia begitu membenci menantunya itu."Ini semua gara-gara kamu, Yuni! Lihat, Monika pergi dari sini, puas kamu, hah?!"Yuni hanya mampu menelan ludah, apalagi ketika dia dan Dona saling bertatapan selama beberapa saat, di mana dia melihat kalau Dona tidaklah berdusta, tangis wanita itu benar-benar nyata."Aku sama sekali tidak melakukan itu, Bu. Jangan pernah menyalahkan aku atas semua yang sudah terjadi. Monika, pergi karena keinginannya, bukan karena aku."Dona yang sudah sampai di ambang pintu pun kembali berbalik, tatapan tajam masih dia layangkan pada Yuni.Begitupun dengan rahangnya yang sedikit mengeras, urat nadi sedikit mene
Dona beralih menatap Ramdani dengan tajam, sorot matanya seakan begitu menusuk.Akan tetapi, hal tersebut sama sekali tidak Ramdani hiruakan. Lagipula semenjak Monika dan Ibunya ada di sini, banyak sekali masalah yang menghampirinya, membuat kepala Ramdani terasa seperti begitu akan pecah."Ramdani, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu melakukan hal ini pada adikmu sendiri? Kamu begitu keterlaluan!""Suruh siapa, sikapnya malah kekanak-kanakan seperti itu?" Ramdani balik bertanya. "Sudah cukup sabar aku menghadapi dia, Bu. Apa Ibu tahu, kalau Monika diam-diam meminjam uang pada temannya dan orang tersebut sempat menangih padaku?"Dona malah mendelik, kemudian kembali menatap Monika yang masih membereskan beberapa barang-barang miliknya."Tinggal bayar saja, apa susahnya!""Bu, aku bekerja bukan untuk satu orang saja, ada anak dan istri yang wajib aku biayai keb