Tanpa sepengetahuan Ramdani, Dona serta Monika, diam-diam Yuni meminta Zulfan untuk datang ke rumahnya.
Sengaja Yuni melakukan hal tersebut, karena dia tidak mungkin pergi keluar rumah dalam keadaan hamil besar, selain berbahaya, tetapi juga sedikit menyulitkan pergerakannya, apalagi kalau Rion meminta untuk ikut.
Yuni terus mondar-mandir di ruang tamu, dia meremas tangannya sendiri. Entah kenapa, Yuni tampak begitu tidak tenang, setelah sekian lama tidak berjumpa dengan adiknya.
Mbok Darmi yang melihat hal tersebut dari ambang ruang keluarga, langsung menghampiri majikannya.
"Nyonya, ada apa?"
Yuni menoleh, dia mengigit bibir bawahnya kuat-kuat.
"Entahlah, Mbok. Aku sedikit tidak tenang."
Layaknya seorang Ibu pada anak perempuannya, Mbok Darmi langsung meraih tangan Yuni, mengajaknya untuk duduk di sofa yang ada di belakangnya.
&n
"Lalu, soal Ibu mertua dan adik iparku, kamu apakan mereka?"Untung saja Yuni langsung ingat kejadian kemarin, sehingga dia langsung menanyakan semuanya pada Zulfan."Gampang saja, aku hanya tinggal menyuruh Kakak angkatku untuk mengawasi mereka secara dekat, lalu aku diam-diam melakukan pembalasan pada mereka."Sontak, Yuni langsung memicingkan mata ketika mendengar ucapan Zulfan.Kepala Yuni terus berputar, memikirkan siapa sebenarnya orang yang Zulfan maksud. Kenapa pula dia bisa mengetahui tentang Dona dan Monika.Menurut Yuni, ini benar-benar membingungkan, dia masih belum sepenuhnya paham tentang ini semua."Memangnya siapa orang tersebut?""Mbak, tidak perlu tahu," jawab Zulfan yang diakhiri kekehan, membuat Yuni langsung mengerutkan bibir."Astaga, kenapa seperti itu?""Tidak apa-apa
Dona mendekat ke arah Ramdani, memegang tangan anaknya dengan begitu erat. Dengan sedikit kaku, Dona menarik kedua sudut bibirnya ke atas."Dengarkan Ibu dulu, Nak. 'Kan kemarin Ibu dan Monika kejambretan, jadinya--""Ah, jadi benar Ibu dan Monika pelakunya?"Mendengar hal tersebut, Dona langsung membulatkan mata dan mulutnya, dia baru sadar, kalau dirinya salah bicara.Begitupun dengan Monika yang langsung mencubit lengan Ibunya, hingga wanita itu meringis kesakitan."Bu, kok ngomongnya gitu, sih!" cicit Monika sambil membelalakkan mata."Lah, emang faktanya seperti itu, Monika. Kita kejambretan," balas Dona dengan nada pelan, hampir seperti bisikan."Ah, Ibu," keluh Monika.Monika begitu kesal dengan Ibunya, kenapa mereka malah berkata seperti itu di saat seperti ini.Kalau begini, Abangny
"Bu, kalau sudah seperti ini harus bagaimana?" tanya Monika untuk yang kesekian kalinya. Wajahnya tampak begitu putus asa, bahkan beberapa kali dia menjambak rambutnya kasar."Ibu, tidak tahu! Bisa tidak kamu jangan bertanya hal seperti itu, Ibu benar-benar pusing," sentak Dona, membuat anak gadisnya itu langsung bergeserkan bokong, menjauhi Dona yang tampaknya begitu marah.Saat ini, mereka berdua tengah berada di angkot, karena mobil Monika di sita oleh abangnya.Meskipun Monika sudah berusaha untuk memelas, menampilkan ekspresi wajah sedih andalannya, tetapi entah kenapa hal itu tidak mempan untuk Abangnya kali ini.Tiba-tiba saja, Monika punya pikiran kalau Kakak iparnya itu memakai jasa guna-guna. Sehingga mampu menaklukkan Abangnya yang biasanya patuh pada dirinya dan Ibunya."Kiri, Bang!" teriak Dona secara tiba-tiba, membuat supir angkot itu langsung menghentikan mobil se
"Ah, itu kami ...." Monika membuka mulutnya, tetapi tidak kunjung melanjutkan ucapannya.Pria tua yang ada di hadapan Monika dan Dona, hanya mampu menarik kedua alis ke atas dengan tangan terlipat di dada."Kami apa? Sudah, kalian pergi dari sini! Merusak kebun bunga orang saja," cerocosnya sambil mengacungkan jari telunjuk ke arah pintu keluar. "Cepat, pergi!""Ba-baik, Pak."Dona lebih dulu memindai sekitar sebelum pergi, memastikan jika tidak ada seorangpun yang tengah mengawasinya di sekitar rumahnya.Setelah memastikan jika kumpulan pria penagih utang itu sudah tidak ada, Dona langsung menarik Monika untuk segera keluar dari halaman rumah pria paruh baya tersebut, sebelum akhirnya berlari ke rumah mereka yang tidak cukup jauh."Bu, kenapa malah lari, sih, jalan santai aja kenapa," keluh Monika dengan napas tersengal-sengal. Dadanya begitu sak
"Lah, ngapain kalian di sini?"Ramdani langsung melontarkan sebuah pertanyaan, ketika melihat Dona dan Monika tengah makan sambil bersantai di teras rumah.Terlihat bungkus makanan ringan dan noda yang diakibatkan oleh saos serta bumbu lainnya berceceran di lantai.Ramdani bergidik ngeri, dia sama sekali tidak menyangka, kalau kedua orang yang ada di hadapannya makan dengan cara seperti itu."Memangnya kenapa, Ramdani? Apa kami tidak berhak datang ke sini?""Bukannya tidak berhak, aku hanya bertanya saja," jelas Ramdani. Dia memicingkan mata, memindai sekitar. "Ke mana Yuni dan Rion?"Dona mendelik, dia meraih makanan yang ada di hadapannya dan melahapnya."Mana Ibu tahu, memangnya Ibu pengasuh dua orang tersebut? Tentu saja, tidak!"Ramdani menghela napas panjang, seharusnya dari awal dia tidak bert
[Nyonya, maaf Mbok harus mengatakannya melalui pesan singkat, karena Bu Dona dan Monika terus mengawasi Mbok setiap saat. Mereka, merencanakan sesuatu untuk Nyonya, maka dari itu Nyonya tidak boleh terlalu percaya dengan apa yang mereka lakukan.]Keesokan paginya, ketika Yuni menyalakan ponsel miliknya. Dia langsung mendapati sebuah pesan dari Mbok Darmi.Yuni mengamati pesan tersebut, ternyata dikirimkan oleh Mbok Darmi tepat tengah malam. Yuni semakin berpikir, kalau gerak-gerik Mbok Darmi saat ini benar-benar diawasi oleh Dona.Pantas saja, hampir dua hari terakhir ini Mbok Darmi dan Yuni sulit sekali untuk bertemu. Setiap ada kesempatan, pasti salah satu diantara Dona dan Monika akan langsung memisahkan keduanya.[Baik. Mbok, juga harus hati-hati. Karena saya juga sudah merasa ada yang aneh dengan mereka, tetapi tidak terlalu yakin. Terima kasih, Mbok sudah memberitahukannya padaku,]Ketika aku menekan tombol kirim, centang
"Bos!" pekik Ramdani ketika melihat seorang pria berjas hitam yang di padukan dengan celana kain berwarna senada, tengah berjalan ke arah lain.Dandy menghela napas panjang, kemudian menoleh ke arah Ramdani dan langsung melambaikan tangan."Ya, Ramdani. Ada yang bisa aku bantu?" tanya Dandy ketika Ramdani menghampiri dirinya."Bos, apa kita bisa bicara sebentar?"Dandy berpikir sejenak. Sebenarnya hari ini ada hal yang harus dia kerjakan dengan segera.Awalnya Dandy berniat untuk menolak ajakan Ramdani, hanya saja ketika dia melihat raut putus asa yang tergambar jelas di wajah Ramdani, akhirnya dia pun mengangguk pelan."Baiklah, ayo ke ruanganku!" ajak Dandy yang di sambut anggukan oleh Ramdani.Tidak butuh waktu lama bagi Daddy dan Ramdani untuk sampai ke ruangan kerja milik Daddy, kebetulan tidak jauh dari tempat Ramdani bekerja.
"Kak Anton!" pekik Monika ketika melihat pria yang selama ini dia rindukan tengah berjalan ke hadapannya.Kebetulan, hari ini Monika hendak membeli bakso dari pedagang yang sering lewat ke depan rumah Abangnya.Sementara itu, Yuni yang tengah melihat Mbok Darmi mendorong sepeda roda tiga milik Rion, langsung saling pandang. Kebetulan, kemarin Mbok Darmi memang mendengarkan semuanya."Kak Anton, tumben ke sini. Mau ketemu sama aku, ya?"Dengan begitu kegirangan, Monika langsung menghampiri Anton, memeluk lengan pria itu dengan erat.Anton menghela napas panjang, tanpa ada niatan sedikitpun untuk menoleh ke arah Monika. Kalau saja, bukan karena ingin bertemu dengan Yuni, Anton tidak ingin kemari.Pria itu begitu malas, jika harus bertemu dengan Monika. Malahan, akhir-akhir ini dia bersyukur karena Monika tidak datang ke kampus, kehidupan Anton
Akhirnya Ramdani bisa menghela napas lega, kala pekerjaannya yang akhir-akhir ini begitu menumpuk, bisa selesai juga hanya dalam hitungan hari.Bahkan, Ramdani sampai rela kehilangan hari liburnya, demi bisa menyelesaikan semua pekerjaannya.Ramdani berambisi untuk bisa menjadi yang terbaik, sehingga dia bisa saja naik jabatan kapan saja. Soalnya beberapa waktu lalu, bosnya pernah bilang, akan menaikan jabatan seseorang yang bekerja dengan cukup baik.Maka dari situlah, Ramdani mulai memiliki keinginan untuk bisa menjadi yang terbaik diantara teman-teman yang lainnya, sekaligus memperlihatkan jati dirinya yang sebenarnya."Wah, udah selesai, nih, Pak!" sahut Anto--salah satu rekan kerja Ramdani yang cukup dekat dengannya.Ramdani yang tengah memejamkan mata sambil bersandar pada kursi, lantas mengangguk pelan."Iya, nih, udah selesai.""Wih, enak banget!"Tanpa diduga-duga, Anto langs
"Jangan asal bicara kalian, aku dan Pak Dandy sama sekali tidak berselingkuh!" hardik Yuni dengan kedua bola mata membulat sempurna.Dona menyeringai, dia menatap sebuah foto hasil jepretannya yang cukup bagus tersebut.Bila foto tersebut di kirimkan pada Ramdani, Dona yakin kalau anak laki-lakinya itu akan murka dan sedikit meragukan ketulusan hati Yuni.Terlebih lagi, mungkin hubungan keduanya akan kembali renggang, sehingga niat buruk yang selama ini Dona susun, akan bisa berjalan dengan lancarDona tidak sabar membayangkan, di saat Yuni dan Ramdani berpisah untuk selamanya, sehingga Dona bisa menikahkan anaknya dengan Sarah--perempuan yang cukup kaya raya."Asal bicara katamu? Jelas-jelas aku melihat perselingkuhan kalian di depan mata kepalaku sendiri.""Bu, aku tidak berselingkuh! Pak Dandy datang untuk menengok anakku. Apa Ibu tidak bisa me
Sebenarnya Yuni ingin sekali menolak keinginan Dandy untuk datang ke rumahnya, hanya saja dia merasa tidak enak.Masa ada orang yang menengok anaknya, dia malah menolaknya hanya karena alasan tidak nyaman.Jadi, mau tidak mau, Yuni pun mengiyakan permintaan Dandy, meskipun dia belum sempat memberitahu suaminya.[Baik, Pak.][Terima kasih, Bu. Kalau boleh tahu, apa ada yang sedang Ibu inginkan?]Sengaja Yuni tidak membalas pesan Dandy, dia takut kalau terus berhubungan dengan pria itu, justru akan menjadi boomerang bagi dirinya sendiri.Maka dari itu, Yuni lebih memilih untuk mematikan jaringan data dan menyimpan gawainya ke dalam saku celana.***Sore hari sudah tiba, kala itu Yuni tengah berada di luar rumah, dia tengah bermain bersama kedua orang anaknya, lebih tepatnya memperhatikan Rion yang tengah belajar membawa
Entah bagaimana jadinya, tetapi semenjak saat itu, Ibu mertua Yuni jadi sering bertukar kabar dengan Sarah.Anehnya lagi, perempuan bernama Sarah itu malah meresponnya dengan baik, seperti hari ini, di mana ketika Yuni baru saja pulang dari rumah tetangganya, mengecek usaha yang selama ini dia dan ibu-ibu lainnya kembangkan.Perempuan itu sudah berada di rumahnya sambil mengobrol dengan Ibunya. Sementara itu, Yuni belum tahu bagaimana kabar Monika.Namun, yang pasti Yuni yakin, kalau Monika tidak tinggal seorang diri di luar sana, pasti dia tinggal bersama seseorang atau mungkin menyewa tempat yang lebih nyaman."Yuni, tolong ambilkan cemilan dan minuman, kebetulan tadi Mbok Darmi sudah Ibu suruh beli sayuran dan buah-buahan."Dona langsung memerintahkan kepada Yuni, ketika melihat batang hidung perempuan itu muncul di hadapannya."Bu, aku baru saja pul
Yuni sempat terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk pelan.Ramdani sedikit khawatir dengan Yuni, takut istrinya itu berpikir yang tidak-tidak. Apalagi ketika melihat reaksi Yuni yang tidak bisa Ramdani baca sedikitpun.Membuat Ramdani semakin panik saja. Bahkan, dia sampai mengigit bibir bawahnya dengan cukup keras dengan pandangan yang tidak bisa lepas dari Yuni."Ah, hanya mantan saja! Itu hanya masa lalu saja, tidak ada yang perlu aku khawatirkan."Yuni tersenyum lebar, kemudian menghampiri Ramdani, memeluk tangan suaminya dengan erat.Di saat itu, arah pandangan Dona langsung mengikuti Yuni, kedua bola matanya membulat."Aku tidak cemburu, aku yakin Mas Ramdani setia denganku," sambung Yuni.Melihat reaksi istrinya yang begitu menggemaskan, Ramdani langsung mengusap puncak kepala Yuni, kemudian mendaratkan kecu
Ketika sudah dekat dengan rumah, Titi segera mengucurkan beberapa tetes air ke matanya, dia hendak kembali berakting di hadapan Ramdani dan Yuni.Setelah itu, dia segera membuang botol berukuran kecil itu ke selokan. Sebelum itu, Dona sempat memastikan ke sekeliling, takut ada orang yang memergoki aksinya."Ya ampun, Bu Dona, kenapa nangis?"Dona langsung tersenyum tipis, kala melihat dua orang ibu-ibu menghampiri dirinya.Sudah saatnya Dona melancarkan aksinya, kalau dia akan berpura-pura bersedih, mengenai Monika yang pergi dari rumah."Monika, Bu." Dona terisak, kemudian luruh ke lantai, membuat kedua orang ibu-ibu itu begitu panik."Ya ampun, kenapa dengan Monika, Bu?""Monika, pergi dari rumah, Bu. Dia tidak ingin pulang lagi, saya tidak tahu dia akan pergi ke mana."Kedua ibu-ibu melayangkan tatapan sendu pada D
Dari kejauhan, Dona terus berteriak sambil mengejar Monika yang semakin menjauh. Gadis itu seperti tidak menghiraukan Dona sama sekali, belum lagi dia malah terisak dengan cukup keras."Monika, berhenti! Jangan pergi dari rumah."Dona berhenti sejenak, mengatur napasnya yang terasa ngos-ngosan, belum lagi dia sudah cukup tua, kakinya sudah tidak bisa di pakai jalan lebih lama, karena tenaganya sudah berkurang."Monika, berhenti!" Dona kembali berteriak dengan nyaring.Kala mendengar suara teriakan Ibunya yang sedikit memudar, Monika pun langsung menghentikan langkahnya.Perempuan itu menoleh ke arah belakang, menatap Ibunya yang tengah sedikit membungkuk dengan kedua tangan bertumpu pada lutut."Bu, jangan ikuti aku lagi, lagipula Bang Ramdani sudah mengusirku, dia sudah tidak menginginkan aku lagi."Mendengar suara Monika, Dona pun seger
Dona terus terisak, dia yang duduk di lantai segera bangkit, hendak mengejar Monika yang sudah menjauh.Namun, ketika berada di hadapan Yuni, Dona langsung menghentikan langkahnya. Dia menatap Yuni dengan tajam, jelas sekali kalau dia begitu membenci menantunya itu."Ini semua gara-gara kamu, Yuni! Lihat, Monika pergi dari sini, puas kamu, hah?!"Yuni hanya mampu menelan ludah, apalagi ketika dia dan Dona saling bertatapan selama beberapa saat, di mana dia melihat kalau Dona tidaklah berdusta, tangis wanita itu benar-benar nyata."Aku sama sekali tidak melakukan itu, Bu. Jangan pernah menyalahkan aku atas semua yang sudah terjadi. Monika, pergi karena keinginannya, bukan karena aku."Dona yang sudah sampai di ambang pintu pun kembali berbalik, tatapan tajam masih dia layangkan pada Yuni.Begitupun dengan rahangnya yang sedikit mengeras, urat nadi sedikit mene
Dona beralih menatap Ramdani dengan tajam, sorot matanya seakan begitu menusuk.Akan tetapi, hal tersebut sama sekali tidak Ramdani hiruakan. Lagipula semenjak Monika dan Ibunya ada di sini, banyak sekali masalah yang menghampirinya, membuat kepala Ramdani terasa seperti begitu akan pecah."Ramdani, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu melakukan hal ini pada adikmu sendiri? Kamu begitu keterlaluan!""Suruh siapa, sikapnya malah kekanak-kanakan seperti itu?" Ramdani balik bertanya. "Sudah cukup sabar aku menghadapi dia, Bu. Apa Ibu tahu, kalau Monika diam-diam meminjam uang pada temannya dan orang tersebut sempat menangih padaku?"Dona malah mendelik, kemudian kembali menatap Monika yang masih membereskan beberapa barang-barang miliknya."Tinggal bayar saja, apa susahnya!""Bu, aku bekerja bukan untuk satu orang saja, ada anak dan istri yang wajib aku biayai keb