Pov : Yuli Mataku terasa begitu berat. Menangis pun rasanya percuma. Keadaan tetap tak bisa kembali seperti semula. Rumah, harta satu-satunya yang kumiliki sudah terjual beberapa hari yang lalu. Ah sudahlah. Daripada aku pinjam sana-sini yang ada hanya dapat makian, lebih baik jual yang ada. Toh masih ada rumah peninggalan bapak dan ibu. Begitulah, kini aku tinggal bersama Aris di rumah peninggalan orang tua. Aku sudah membicarakan hal ini jauh-jauh hari dengannya. Mungkin karena itu pula dia akhirnya memilih kredit rumah daripada harus kumpul denganku. Dia bilang, nggak enak kalau nanti punya istri lagi harus kumpul satu atap denganku. Yasudah, terserah. Rumah minimalis itu laku tak terlalu banyak, hanya sembilan puluh juta karena memang aku jual cepat. Kasihan Denis, uang sekolahnya belum terbayar. Berulang kali diminta guru untuk memberitahuku soal itu. Uang gedung, uang bulanan dan uang pembelian buku, semua sudah kulunasi. Biaya sekolah Annisa pun sudah lunas. Aku juga sudah
Ponsel berdering beberapa kali. Aku yakin telepon dari Mbak Ulya. Dia bilang akan menjemputku ke kantor karena Mas Hanan masih ada urusan jadi tak bisa menjemput. Rencananya, hari ini akan ke butik untuk fitting baju pengantin. Butik milik mama memang dikelola Syifa, namun Mas Hanan malas minta tolong adik semata wayangnya itu untuk membuatkan baju. Dia memutuskan untuk mengambil dari butik sahabat almarhum mama saja daripada harus meminta Syifa untuk membuatkannya.Mas Hanan nggak ingin acaranya berantakan jika hari H Syifa justru sengaja merusak baju yang sudah dipesannya. Dia nggak mau mengambil resiko terburuk. Meski papa meminta Mas Hanan untuk minta tolong Syifa saja, namun Mas Hanan tetap menolak. Bersikukuh dengan keputusannya sendiri. "Hallo, Mbak Wita. Sudah siap belum? Aku jemput sekarang, ya?" tanya Mbak Ulya dari seberang. Sepertinya dia masih di kantor karena suara cukup berisik."Iya, Mbak. Tapi jemput Zahra dulu, ya?" balasku kemudian. "Sekalian aku jemput saja, Mba
Mas Hanan datang di saat yang tepat. Saat aku mendapatkan bully-an karyawan-karyawannya. Tak ada akhlak memang, mentang-mentang janda aku selalu disudutkan dan disepelekan. Entah apa mau mereka, rasanya tak betah berada di kantor lama-lama. "Saya nggak mau dengar siapa pun menjelekkan calon istri saya, apalagi setelah nanti dia sah menjadi istri saya. Sebagai kepala rumah tangga saya berkewajiban melindungi dia. Saya nggak akan memecat kalian begitu saja, paling tidak saya beri surat peringatan. Kalau memang nggak didengar, baru saya lakukan pemecatan. Jangan dipikir saya nggak akan tega, saya tega jika memang sikap kalian terlalu kelewatan!" Ancam Mas Hanan lalu meminta Mbak Ulya untuk mengantarku ke ruang kerjanya. Suasana mendadak hening. Tak ada satu pun yang berani bersuara apalagi membantah. Mereka saling lirik satu sama lain lalu kembali menunduk. Baru saja masuk ruang kerja Mas Hanan, aku dikejutkan dengan suara seseorang yang cukup kukenal. "Zahra! Ra ... kamu di sini?" ta
Hari terus bergulir, pernikahanku dan Mas Hanan tinggal sehari lagi. Besok akad nikah itu akan di gelar, jam sembilan pagi. Sejak kemarin tetangga dan saudara sudah banyak yang datang ke rumah. Bahkan kini menjelang maghrib mereka baru pulang, nanti bakda maghrib datang lagi.Seperti biasa, sebelum hari H para tetangga membuat camilan-camilan untuk dihidangkan esok hari saat para tamu berdatangan. Selain membeli camilan jadi, mereka juga membuat aneka jajanan pasar seperti wajik, wingko babat, tape ketan, nagasari dan lainnya. Mas Hanan pun sudah datang dan menginap di tempat Rony sejak tiga hari yang lalu. Sementara papanya baru ke Solo hari ini, namun dia lebih memilih untuk menginap di hotel.Mungkin tak terbiasa tinggal di rumah orang lain, sementara Mas Hanan memang diminta Om Samsul untuk menginap di rumahnya saja. Takut ada hal-hal yang tak diinginkan jadi masih mudah dalam pengawasan. |Mbak, kamu yakin Mas Hanan nggak pernah memiliki masa lalu yang buruk? Sampai kamu sebegit
Pov : Hanan Pernikahanku dengan Wita tinggal menghitung hari. Detik-detik bahagia pun akan segera hadir di depan mata. Persiapan untuk hari H sudah lengkap semua. Acara sederhana yang akan digelar di Solo-- tempat orang tua Wita. Mahar sebuah rumah sudah aku siapkan untuknya, bahkan memang sudah aku rencanakan jauh-jauh hari untuk istriku tercinta. Meski Syifa masih tak terima dan bilang nggak akan hadir di sana, tapi tak apa. Yang penting bagiku kini, papa merestui dan menerima Wita dan Zahra menjadi bagian keluarga. Teringat kembali kejadian sebelas tahun silam saat acara itu gagal dan aku pergi begitu saja tanpa kabar. Aku tak ingin kejadian serupa terulang. Karena itulah aku berniat menginap di hotel saja lima hari sebelum hari pernikahan digelar, demi menghindari kejadian yang tak diinginkan. Saat aku berencana menginap di hotel, Rony dan Om Samsul justru memintaku untuk tinggal di rumahnya. Budhe Nur pun mengatakan hal yang sama. Dia bilang misal ada perlu apa-apa dengan kel
Pov : HananPernikahan digelar sederhana di rumah Wita. Dia memakai kebaya warna ungu muda, couple dengan dress Zahra, sementara aku mengenakan baju pengantin dengan jas warna senada. Wita tampak sangat berbeda hari ini, begitu anggun dan cantik dengan kebaya itu. Cocok sekali dengan badan dan riasan di wajahnya. Senyum tipisnya melengkung di kedua sudut bibir menambah kecantikan yang dia miliki. Semua sudah hadir, orang tua Wita, saudara-saudaranya pun papa dan Anjas. Anjas datang sendiri dua jam yang lalu bersama papa, tanpa Syifa. Adik perempuanku itu memang keras kepala."Pengantin sudah hadir, wali, saksi dan mahar pun sudah ada. Bisa kita mulai sekarang acara akadnya, Mas?" tanya penghulu sembari tersenyum ke arahku. "Bisa, Pak," jawabku mantap. Kulirik Wita yang menatapku beberapa saat lalu kembali menunduk dalam diam. Aku yakin ada banyak doa yang kini sedang dia panjatkan."Mas Hanan sudah mempersiapkan qabulnya, kan? Sudah hafal?" tanya penghulu lagi. Aku pun mengangguk
POV : Hanan Papa tampak menelepon seseorang. Apa mungkin kekhawatiranku benar, jika papa lupa membawa laptopnya yang berisi rekaman cctv itu? "Tunggu lima menit lagi, orang suruhan saya akan datang. Kalian bisa lihat dan dengar sendiri, jika anak saya tak bersalah dalam hal ini. Biar semua orang tahu, jika kalian memang licik dan tak tahu malu!" Bentak papa kemudian. Berdebar sekali rasanya menunggu orang suruhan papa datang karena suasana makin nggak jelas. Para tamu banyak yang keluar rumah dan mulai malas untuk mengikuti rangkaian acara selanjutnya. Calon mertua sudah berusaha menenangkan, aku dan papa pun melakukan hal yang sama namun tetap saja mereka justru balik mencibir dan bilang jika kami keluarga penuh drama. "Maaf, Mas. Saya harus nunggu berapa lama? Sedangkan hari ini jadwal saya masih padat. Sudah banyak waktu terbuang untuk akad di sini, kasihan pengantin lain kalau harus menunggu lebih lama lagi," ucap penghulu sontak membuat para tamu makin riuh. "Kalau bapak ma
Pov : WitaKini aku begitu bersyukur atas semua nikmat yang DIA kirimkan untukku dan Zahra. Akhirnya kami memiliki pemimpin dalam keluarga. Dia yang penuh kasih, perhatian, lembut dan tanggung jawab. Dia yang mencintai kami dengan cara sederhana.Ya ... aku paham, Zahra dan Mas Hanan memang bukan mahram. Nanti, saat dia sudah remaja dan dewasa juga akan aku ajari batasan-batasan dia dengan papanya. Aku tak akan menghalalkan sesuatu yang memang diharamkan.Aku hanya ingin dia bisa merasakan kasih sayang seorang laki-laki yang disebut papa, sosok yang selama ini tak pernah dimilikinya. Dia memiliki fiqur itu, hanya saja laki-laki itu tak menjalankan perannya dengan baik. Papa ... begitulah Mas Hanan membahasakan dirinya. Zahra pun mengikuti perintah Mas Hanan. Tak hanya aku, kulihat Zahra juga tampak begitu bahagia.Senyum gadis kecilku itu mengembang setekah Mas Hanan menyelesaikan qabulnya dengan sempurna. Mungkin karena dia tahu akan mendapatkan pengganti seorang ayah yang InsyaAllah
Wita benar-benar tak menyangka jika ibu dan keluarga Ulya datang dalam acara ini karena pagi tadi saat dia menelepon, mereka sama-sama bilang sibuk. Ibunya bilang ada acara penting jadi tak bisa mengobrol terlalu lama dengannya via telepon, sementara Ulya bilang mau ke luar kota. Dia tak menyangka jika alasan itu sengaja mereka pakai untuk memuluskan rencana. Iya, ibu dan Ulya memang sibuk ke luar kota, tapi Wita tak mengira jika mereka sama-sama dalam perjalanan ke Jakarta dan sengaja ingin memberikan kejutan spesial untuknya dan keluarga kecilnya. Syifa menyambut mereka dengan senyum lebar dan pelukan hangat. Pura-pura tak peduli dengan kekagetan kakak iparnya, Syifa segera mengajak para tamunya untuk masuk ke rumah dan duduk bersama tamu-tamu lainnya. Kedua mata Syifa dan Wita bertemu. Mereka pun tersenyum lalu terkekeh dengan mata yang sama-sama berkaca. Wita benar-benar tak menyangka jika Syifa akan memberikan kejutan spesial seperti ini untuknya. Ucapan terima kasih pun terden
Dua wajah cantik terlihat di depan mata. Syifa dengan senyumnya yang memikat dan putri sulungnya masih masih terlelap. Wita sangat bersyukur melihat keadaan adik iparnya itu membaik pasca pendarahan kemarin. Syifa berulang kali memeluk kakak iparnya dan mengucapkan terima kasih karena sudah mengajarinya banyak hal tentang sabar dan ikhlas. Kini, kesabarannya menanti buah hati sekian tahun telah terobati dengan hadirnya si kecil dalam hidupnya. "Sehat-sehat ya, Syif. Selamat menikmati masa-masa mendebarkan ini. Begadang, mengasihi, bau ompol dan banyak hal yang kelak akan menjadi kenangan tersendiri buatmu bahkan tak jarang akan menjadi kenangan yang amat dirindukan tiap ibu," ucap Wita saat melihat iparnya duduk di sofa ruang tengah sembari menggendong malaikat kecilnya. Syifa menatap Wita lagi dan lagi lalu tersenyum lebar. Semenjak kepergian papanya, Wita sering kali menjadi tempatnya mencurahkan segala resah di saat suaminya sibuk bekerja. Wita tahu banyak hal tentang kegundahan S
"Apa ini, Sayang?" tanya Hanan saat melihat sebuah undangan di meja kerja Wita. Kebetulan sore ini Hanan menjemput istri dan anak-anaknya di butik tempat Wita menghabiskan sebagian waktunya di sana beberapa hari belakangan. PuZa Butik itu cukup terkenal dan banyak konsumen yang datang membeli beragam aksesoris hijab dan gamis-gamisnya. Meskipun usaha offline dan online gamis beserta hijabnya sudah melejit, tapi Wita masih mempertahankan usaha handmadenya. Beragam kerajinan masih diproduksi oleh beberapa karyawannya yang setia menemaninya sejak tinggal di kontrakan sampai sekarang memiliki ruko sendiri. Beragam aksesoris hijab mulai dari bros, head piece, kalung, anting dan lain-lain. Berbahan flanel pun ada mulai dari gantungan kunci, jam dinding dengan beragam bentuk, sepatu buat bayi, bunga hias, kotak tissu hias dan lainnya. Aksesoris handmade itu dipajang tersendiri di bagian depan ruko sebelah kiri, sementara bagian kanan ada beberapa set gamis dengan hijabnya dan lantai ata
Seminggu dirawat di rumah sakit, akhirnya Zikri diperbolehkan pulang. Laki-laki itu benar-benar tak mengingat siapapun kecuali istrinya. Naomi kini sudah menjalani pemeriksaan dan ditahan di kantor polisi. Sementara Zikri pulang ke rumahnya didampingi Bi Sumi sebagai asisten rumah tangganya. Anjas dan Hanan masih memiliki hati, membiarkan Zikri pulih lebih dulu baru mengurus penangkapannya. Kasusnya ditangguhkan beberapa saat sampai Zikri bisa diajak kompromi. Semua bukti sudah ada dan kini diurus oleh pengacara Hanan. Hanan dan Syifa cukup lega setelah berhasil mengetahui siapa pengirim surat ancaman di hari kepergian papa mereka itu. Laki-laki yang juga menjadi dalang teror keluarganya beberapa hari belakangan. Zikri merencanakan banyak hal untuk menghancurkan bisnis dan keluarga Hanan. Kebenciannya terlalu dalam pada Hanan dan keluarganya sejak dia di penjara dia tahun silam. Tak hanya sekali Zikri dan Naomi merecoki kehidupan Hanan dan Wita, tapi berulang kali. Mereka seolah
Semalaman Naomi tak bisa tidur. Dia hanya guling-guling di kasur sembari sesekali membayangkan kehadiran kedua orang tuanya kembali. Papa dan mamanya telah tiada. Seharusnya dia bahagia karena masih memiliki kerabat dekat yaitu sang paman, adik kandung papanya sendiri. Namun, kerabat dekatnya justru membuat hidupnya di ambang kehancuran. Mereka yang awalnya terlihat baik, mendukung dan merangkul Naomi yang kesepian, justru bersekongkol merebut apa yang papanya wariskan. Terlebih saat Naomi masuk penjara. Rumah dengan segala fasilitasnya habis tak bersisa. Semua sudah berganti nama sang paman, lengkap dengan tandatangannya sendiri. Naomi tak sadar kapan dia menandatangani surat itu. Yang dia tahu, sang paman sering datang menjenguknya di awal-awal Naomi masuk penjara. Meminta perempuan itu menandatangani ini itu dengan alasan syarat untuk banding, minta keringanan, pembebasan bersyarat dan alasan lainnya. Kenyataannya, Naomi tetap menjalani masa tahanan normal seperti pada umumnya
Mobil yang dikendarai Hanan berhenti di garasi. Suasana sudah cukup malam, nyaris jam sebelas mereka sampai di rumah. Pak Sasro turun dari mobil diikuti Ahmad dan Naomi. Perempuan itu terdiam sejenak di samping mobil sebelum akhirnya mantap melangkahkan kaki menuju teras. Gerbang ditutup dan dikunci oleh Pak Sasro, sementara Hanan membuka pintu utama. Terdengar jawaban dari Wita dan Syifa dari ruang makan saat Hanan mengucap salam. Kedua perempuan itu melangkah beriringan menuju ruang tengah. Keduanya shock saat melihat Naomi berdiri di antara Pak Sasro dan seorang laki-laki yang belum mereka kenali. "Naomi?" Syifa pun ternganga melihat perempuan itu bergeming tak jauh darinya. "Zikri yang meminta Ahmad melakukan semua itu, Sayang." Hanan menjatuhkan bobotnya ke sofa lalu Wita dan Syifa pun duduk di sebelahnya. "Mas Anjas mana, Kak?" Syifa terlihat cemas saat suaminya tak ikut dengan mereka. Dia takut jika Anjas kenapa-kenapa, apalagi saat ini posisinya sedang hamil muda. "An
"Apa yang terjadi, Njas? Zikri gimana?" Hanan kembali bertanya dengan sedikit gugup. "Zikri kecelakaan saat mau numpang di truk sayur, Mas. Dia terjatuh lalu terserempet mobil. Sekarang kami bawa ke rumah sakit Khadijah. Sebaiknya Mas Hanan langsung ke kantor polisi saja untuk mengurus masalah ini. Dengan begitu, polisi akan lebih cepat bertindak dan mengusut kejahatan Zikri dan Naomi. Barang kali ada kejahatan lain yang belum kita ketahui." "Oke, Njas. Kamu hati-hati di sana." "Siap. Nanti kalau ada sesuatu aku kabari lagi. Sekarang baru mau ke UGD, Mas. Pak Sasro kuminta balik ke rumah Zikri. Takutnya Naomi sama Ahmad kabur kalau cuma Mas Hanan yang menjaga mereka." "Oke, Njas. Kalau begitu aku tunggu Pak Sasro datang." Anjas mengiyakan lalu menutup obrolan. Di saat menunggu kedatangan Pak Sasro itu, Hanan pun mulai berpikir jika ucapan adik iparnya itu ada benarnya. 'Sebaiknya memang meminta bantuan polisi untuk mengusut tuntas soal ini. Setidaknya agar papa lebih tenang di
Rumah dua lantai itu terlihat sepi. Pagarnya pun terkunci rapat. Tak ada motor atau mobil di garasi. Sunyi dan hening. Rumput tumbuh subur di taman depan rumah, sebagian temboknya pun sudah mengelupas, pertanda rumah ini tak terurus dan tak berpenghuni lagi. "Gimana, Mad? Zikri tak tinggal di sini lagi," ujar Hanan sembari menghela napas kasar. "Kalau begitu, saya ikut rencana bapak saja. Kalau harus telepon Pak Zikri sekarang juga tak apa-apa," ujar lelaki yang masih diborgol itu. Hanan dan Anjas pun saling tatap lalu sama-sama mengangguk. "Mana handphonemu? Saya yang panggilkan Zikri. Sesuai rencana yang sudah aku susun tadi, kamu harus bertanya dengan jelas alamat rumahnya atau tempat kalian bertemu. Jangan macam-macam jika mau aman," ancam Hanan kemudian. Ahmad pun mengerti. Dia meminta Hanan untuk memanggil nama Bos Zikri di kontak handphonenya. Tak berapa lama panggilan terhubung. Hanan sengaja menyalakan loud speaker agar bisa ikut mendengarkan obrolan Ahmad dengan lawan
[By, sepertinya aku harus keluar dari kota ini untuk sementara waktu. Setidaknya sampai kondisi aman. Bos memintaku segera pergi malam ini juga. Aku akan ke terminal sekarang. Kalau ada waktu, kemarilah. Sekalian ada oleh-oleh untuk kamu dan teman yang lain. Anggap saja ini traktiran terakhirku di sini untuk kalian] Pesan dari Ahmad membuat Robby buru-buru ke kontrakannya kembali lalu mengambil jaket dan melakukan motornya menuju terminal. Dia sangat mengkhawatirkan teman kontrakannya itu. Dia berpikir ingin melihat Ahmad dalam keadaan baik-baik saja sebelum kepergiannya. Tepat di saat Robby pergi dari area kontrakan, Pak Sasro yang diminta Hanan mengawasi gerak-gerik Robby pun mengikutinya dari belakang dengan sebuah motor. Sengaja pakai motor agar lebih leluasa mengawasinya dari jarak dekat. Dengan jaket hitam, masker dan helm Pak Sasro lebih bebas mengikuti Robby tanpa dicurigai. Dia pun bisa melajukan motornya di belakang Robby lalu mengikutinya ke area terminal. [Di sampin