"Nissa dibeliin sepatu baru sama Budhe Yuli lagi, kapan Zahra beli sepatunya? Ini sudah sempit banget, Yah," ucap Zahra tiba-tiba saat dia sarapan dengan ayahnya di ruang makan.
Aku mengantar Zahra ke sekolah dengan motor matic yang dibeli Mas Aris dua tahun lalu secara cash. Dia memang tak suka membeli barang kredit, aku salut itu. Tapi seperti itu lah dia, selalu menyembunyikan gajinya.Aku hanya diberi dua ratus ribu per minggu untuk kebutuhan dapur. Jika masih ada sisa, aku simpan untuk membeli token listrik, PDAM atau bayar sampah bulanan. Kalau tak bersisa, siap-siap mendapat omelannya lagi dan lagi. Bilang aku boros dan suka menghamburkan gaji suami untuk hal-hal tak penting.Untuk uang sekolah Zahra, dia sendiri yang urus ke sana. Tak pernah dititipkan padaku. Alasannya hanya satu, takut aku khilaf dan memakainya untuk shopping, katanya. Aku sendiri tak paham mengapa Mas Aris tak pernah percaya padaku, padahal sejak dulu aku tak pernah sekalipun menggelapkan uangnya."Zahra, kamu sudah bilang sama Om Aris buat beliin sepatu?" tanya Nissa saat aku dan Zahra berpapasa
|Gamis branded terbaru dengan harga lumayan di kantong, tapi tak apa lah. Yang penting nyaman, daripada yang murah bikin gerah| Status w******p Mbak Yuli kembali memamerkan gamisnya. Dia foto di depan sekolah dengan Bu Sila. Aku hanya tersenyum tipis. Kemarin dia juga memamerkan sepatu high heelsnya. Entah apa yang ada di pikiran Mbak Yuli, bisa-bisanya membuat status begitu di media sosial. Dia selalu bilang orang kota dan modis tapi justru norak menurutku, karena tak bisa meletakkan sesuatu pada tempatnya. Aku sengaja screenshoot status itu da mengirimkannya ke w******p Mas Aris. Biar dia tahu kalau kakaknya kini sudah tak sesederhana yang ada dalam pikirannya. Dia sudah berubah, tak seperti kakak yang dulu membesarkannya penuh cinta dan keringat luka. |Buat apa kamu mengusik status Mbak Yuli? Kamu iri karena dia punya banyak tas dan sepatu branded sedangkan kamu nggak punya? Dia jualan online, Wita. Jika Mas Danu tak memberinya uang pun dia masih bisa me
"Mas, aku mau pulang hari minggu ini, ibu agak kurang enak badan. Mungkin kangen sama Zahra hampir setahun aku nggak mudik. Lagipula Zahra libur semester cukup lama. Besok belikan aku sama Zahra tiket, ya?" pintaku saat Mas Aris membuka dompetnya, aku lihat ada beberapa lembar uang seratus ribuan di sana. Entah untuk apa dan duit siapa. Aku juga tak tahu dan tak pernah dikasih tahu. Kedua mata Mas Aris melirik tajam ke arahku. Aku cukup bingung dibuatnya. Kenapa? Apa dia marah karena aku minta uang untuk membeli tiket? "Uang ini bukan buat kamu, Wita. Sudah ada jatahnya masing-masing, kan?" tanya Mas Aris santai. "Aku nggak minta uang itu, Mas. Cuma minta kamu beliin tiket aja buat aku dan Zahra. Lagipula kita sudah lama nggak mudik, apa kamu juga nggak ada keinginan buat jenguk bapak dan ibu?" tanyaku lagi. Mas Aris menghembuskan napas kasar. "Mudik itu kalau ada duit lebih, kalau nggak ada ya nggak perlu mudik segala, Wita. Buat apa? Ngabis-n
"Aku sama Zahra mudik nanti sore, Mas. Kamu nggak ikut sekalian? Masih ada kok tiketnya di sana. Aku cuma beli dua, itu pun uangnya hutang sama Mbak Lintang," ucapku santai, sementara Mas Aris sedikit tersedak setelah mendengar laporanku. "Maksudmu apa, Wit?" tanya Mas Aris dengan alis mengerut. "Aku beli dua tiket, Mas. Duit utang dari Mbak Lintang. Kalau kamu mau ikut mudik masih ada tiketnya di pangkalan bus, kalau mau kasih aja uangnya nanti jemput Zahra bisa aku belikan sekalian," jawabku lagi. "Bukan itu, maksudku kamu jadi mudik dan beneran pinjem duit sama Lintang? Dia biang gosip di kantor. Bisa hancur namaku kalau sampai dia bocor," ucap Mas Aris sembari memijit kening. Aku hanya mencibir kecil. "Lah ... memangnya kamu pikir aku becanda pengin mudik, Mas? Ibu sakit beneran bukan candaan. Lagian mana kutahu kalau Mbak Lintang biang gosip di kantor, Mas. Aku pinjam duit ya lihat-lihat, kupikir dia orang yang tepat. Dia kantor
Postingan Mas Aris di instagramnya benar-benar membuatku kesal. Bagaimana tidak? Aku ajak dia mudik untuk menengok ibu, jawabannya nggak ada libur plus nggak ada duit. Tapi nyatanya baru empat hari kutinggal mudik dia justru piknik dengan teman-teman kantornya di pantai. Bahkan saat kukirimkan pesan soal ibu yang masuk klinik pun dia hanya mengucapkan doa kesembuhan tanpa inisiatif mencari dana untuk membayar perawatan. Beruntung sakit ibu nggak parah, hanya dua hari saja di klinik, itu pun bisa pakai bp*s yang gratis lalu diizinkan pulang. |Piknik tipis-tipis, mantai dan weekend sembari menikmati indahnya debur ombak ramai-ramai| Dia upload beberapa foto dengan caption mengesalkan. Caption yang mengundang banyak komentar teman-temannya. Begitu pula komentar Mbak Yuli dan Mbak Heny. |Keren ya pantainya, Mas. Seru tuh, mertua sakit bukannya ditengok malah asyik piknik. Bini minta duit buat mudik disuruh ngutang, eh duit dipakai buat
Hari ini jalan-jalan ke pantai Ngrenehan Jogjakarta untuk menikmati pemandangan menyejukkan mata. Saat lapar mulai melanda, bisa menyewa tempat makan untuk sekalian dimasakkan ikan segar sesuai menu yang kita minta, karena di sana banyak sekali perahu nelayan yang setiap pagi mendarat membawa berbagai jenis ikan segar. Setelah agak siang, kami ke Pasar Beringharjo untuk membeli beberapa jilbab buat ibu dan kaos dan celana pendek bapak. Tak lupa membeli perabot memasak dan aneka camilan. Agak sore kami ke Malioboro. Menikmati suasana malam kota Jogjakarta yang selalu dirindukan banyak orang. Aku sengaja menyewa rental milik tetangga dan mengajak Zahra, ibu dan bapak piknik bersama. Bahagia sekali rasanya melihat mereka tersenyum dan tertawa menikmati piknik sederhana hari ini. Jarang sekali aku bisa melakukan kegiatan menyenangkan seperti ini bersama mereka. |Alhamdulillah, gajian bulan ini bisa untuk piknik sederhana bersama keluarga. Bahagianya melihat
Masa libur Zahra masih seminggu lagi, tapi tak apa lah. Aku harus pulang karena besok ada family gathering di kantor Mas Aris. Tahun lalu aku nggak ikut karena kurang fit, tapi kali ini entah mengapa ada perasaan lain yang mendorongku untuk ikut. Jam tujuh pagi aku dan Zahra sampai terminal Pulo Gadung, segera turun dari bus untuk naik angkot menuju rumah. Zahra masih terlihat begitu mengantuk saat kubangunkan dari bus, namun senyumnya kembali mengembang saat tahu sudah sampai Jakarta, yang artinya sebentar lagi sampai rumah. Bisa istirahat dan selonjoran sepuasnya. Turun dari angkot, kulihat suasana rumah cukup ramai. Ada motor Mbak Arum dan Mbak Aruna di sana. Suara Mbak Yuli pun terdengar di dalam rumah. Mereka tertawa bersama seolah begitu bahagia. Entah ada acara apa sampai mereka sudah berkumpul sepagi ini. Aku dan Zahra perlahan memasuki halaman. Baru saja melangkah ke teras, kudengar Mbak Yuli mulai menyebut namaku. Kuurungkan memasuki teras bah
"Zahra, kemarin saat di rumah nenekmu kamu jalan-jalan terus, ya?" tanya Annisa pelan. Sepertinya dia ingin mendengarkan cerita Zahra saat di rumah neneknya. "Jalan-jalan sehari doang, Nis. Cuma ke beberapa tempat, ke pantai, ke pasar sama ke Malioboro," ucap Zahra senang. "Kata mama, kamu beli baju, sepatu sama sandal baru, ya?" "Iya, Nisa. Beli di pasar sama ibu sekalian beliin nenek dan kakek juga," ucap Zahra lagi. Dua anak itu berbincang-bincang di depan teras rumah mbak yuli. Tiba-tiba kulihat Mbak Yuli ikut menimpali. "Baju sama sandal murahan, Nisa. Kamu nggak usah iri. Tuh lihat sandalnya paling harga tiga puluh ribuan, namanya juga di pasar bukan sandal branded kayak punya kamu. Dipakai dua bulan juga udah rusak itu nanti," ucap Mbak Yuli tiba-tiba. Aku masih di samping rumah Mbak Yuli, tepatnya di counter Mas Adit saat kudengar Mbak Yuli tiba-tiba nimbrung obrolan dua bocah itu. Suaranya cukup keras hingga aku bi
Wita benar-benar tak menyangka jika ibu dan keluarga Ulya datang dalam acara ini karena pagi tadi saat dia menelepon, mereka sama-sama bilang sibuk. Ibunya bilang ada acara penting jadi tak bisa mengobrol terlalu lama dengannya via telepon, sementara Ulya bilang mau ke luar kota. Dia tak menyangka jika alasan itu sengaja mereka pakai untuk memuluskan rencana. Iya, ibu dan Ulya memang sibuk ke luar kota, tapi Wita tak mengira jika mereka sama-sama dalam perjalanan ke Jakarta dan sengaja ingin memberikan kejutan spesial untuknya dan keluarga kecilnya. Syifa menyambut mereka dengan senyum lebar dan pelukan hangat. Pura-pura tak peduli dengan kekagetan kakak iparnya, Syifa segera mengajak para tamunya untuk masuk ke rumah dan duduk bersama tamu-tamu lainnya. Kedua mata Syifa dan Wita bertemu. Mereka pun tersenyum lalu terkekeh dengan mata yang sama-sama berkaca. Wita benar-benar tak menyangka jika Syifa akan memberikan kejutan spesial seperti ini untuknya. Ucapan terima kasih pun terden
Dua wajah cantik terlihat di depan mata. Syifa dengan senyumnya yang memikat dan putri sulungnya masih masih terlelap. Wita sangat bersyukur melihat keadaan adik iparnya itu membaik pasca pendarahan kemarin. Syifa berulang kali memeluk kakak iparnya dan mengucapkan terima kasih karena sudah mengajarinya banyak hal tentang sabar dan ikhlas. Kini, kesabarannya menanti buah hati sekian tahun telah terobati dengan hadirnya si kecil dalam hidupnya. "Sehat-sehat ya, Syif. Selamat menikmati masa-masa mendebarkan ini. Begadang, mengasihi, bau ompol dan banyak hal yang kelak akan menjadi kenangan tersendiri buatmu bahkan tak jarang akan menjadi kenangan yang amat dirindukan tiap ibu," ucap Wita saat melihat iparnya duduk di sofa ruang tengah sembari menggendong malaikat kecilnya. Syifa menatap Wita lagi dan lagi lalu tersenyum lebar. Semenjak kepergian papanya, Wita sering kali menjadi tempatnya mencurahkan segala resah di saat suaminya sibuk bekerja. Wita tahu banyak hal tentang kegundahan S
"Apa ini, Sayang?" tanya Hanan saat melihat sebuah undangan di meja kerja Wita. Kebetulan sore ini Hanan menjemput istri dan anak-anaknya di butik tempat Wita menghabiskan sebagian waktunya di sana beberapa hari belakangan. PuZa Butik itu cukup terkenal dan banyak konsumen yang datang membeli beragam aksesoris hijab dan gamis-gamisnya. Meskipun usaha offline dan online gamis beserta hijabnya sudah melejit, tapi Wita masih mempertahankan usaha handmadenya. Beragam kerajinan masih diproduksi oleh beberapa karyawannya yang setia menemaninya sejak tinggal di kontrakan sampai sekarang memiliki ruko sendiri. Beragam aksesoris hijab mulai dari bros, head piece, kalung, anting dan lain-lain. Berbahan flanel pun ada mulai dari gantungan kunci, jam dinding dengan beragam bentuk, sepatu buat bayi, bunga hias, kotak tissu hias dan lainnya. Aksesoris handmade itu dipajang tersendiri di bagian depan ruko sebelah kiri, sementara bagian kanan ada beberapa set gamis dengan hijabnya dan lantai ata
Seminggu dirawat di rumah sakit, akhirnya Zikri diperbolehkan pulang. Laki-laki itu benar-benar tak mengingat siapapun kecuali istrinya. Naomi kini sudah menjalani pemeriksaan dan ditahan di kantor polisi. Sementara Zikri pulang ke rumahnya didampingi Bi Sumi sebagai asisten rumah tangganya. Anjas dan Hanan masih memiliki hati, membiarkan Zikri pulih lebih dulu baru mengurus penangkapannya. Kasusnya ditangguhkan beberapa saat sampai Zikri bisa diajak kompromi. Semua bukti sudah ada dan kini diurus oleh pengacara Hanan. Hanan dan Syifa cukup lega setelah berhasil mengetahui siapa pengirim surat ancaman di hari kepergian papa mereka itu. Laki-laki yang juga menjadi dalang teror keluarganya beberapa hari belakangan. Zikri merencanakan banyak hal untuk menghancurkan bisnis dan keluarga Hanan. Kebenciannya terlalu dalam pada Hanan dan keluarganya sejak dia di penjara dia tahun silam. Tak hanya sekali Zikri dan Naomi merecoki kehidupan Hanan dan Wita, tapi berulang kali. Mereka seolah
Semalaman Naomi tak bisa tidur. Dia hanya guling-guling di kasur sembari sesekali membayangkan kehadiran kedua orang tuanya kembali. Papa dan mamanya telah tiada. Seharusnya dia bahagia karena masih memiliki kerabat dekat yaitu sang paman, adik kandung papanya sendiri. Namun, kerabat dekatnya justru membuat hidupnya di ambang kehancuran. Mereka yang awalnya terlihat baik, mendukung dan merangkul Naomi yang kesepian, justru bersekongkol merebut apa yang papanya wariskan. Terlebih saat Naomi masuk penjara. Rumah dengan segala fasilitasnya habis tak bersisa. Semua sudah berganti nama sang paman, lengkap dengan tandatangannya sendiri. Naomi tak sadar kapan dia menandatangani surat itu. Yang dia tahu, sang paman sering datang menjenguknya di awal-awal Naomi masuk penjara. Meminta perempuan itu menandatangani ini itu dengan alasan syarat untuk banding, minta keringanan, pembebasan bersyarat dan alasan lainnya. Kenyataannya, Naomi tetap menjalani masa tahanan normal seperti pada umumnya
Mobil yang dikendarai Hanan berhenti di garasi. Suasana sudah cukup malam, nyaris jam sebelas mereka sampai di rumah. Pak Sasro turun dari mobil diikuti Ahmad dan Naomi. Perempuan itu terdiam sejenak di samping mobil sebelum akhirnya mantap melangkahkan kaki menuju teras. Gerbang ditutup dan dikunci oleh Pak Sasro, sementara Hanan membuka pintu utama. Terdengar jawaban dari Wita dan Syifa dari ruang makan saat Hanan mengucap salam. Kedua perempuan itu melangkah beriringan menuju ruang tengah. Keduanya shock saat melihat Naomi berdiri di antara Pak Sasro dan seorang laki-laki yang belum mereka kenali. "Naomi?" Syifa pun ternganga melihat perempuan itu bergeming tak jauh darinya. "Zikri yang meminta Ahmad melakukan semua itu, Sayang." Hanan menjatuhkan bobotnya ke sofa lalu Wita dan Syifa pun duduk di sebelahnya. "Mas Anjas mana, Kak?" Syifa terlihat cemas saat suaminya tak ikut dengan mereka. Dia takut jika Anjas kenapa-kenapa, apalagi saat ini posisinya sedang hamil muda. "An
"Apa yang terjadi, Njas? Zikri gimana?" Hanan kembali bertanya dengan sedikit gugup. "Zikri kecelakaan saat mau numpang di truk sayur, Mas. Dia terjatuh lalu terserempet mobil. Sekarang kami bawa ke rumah sakit Khadijah. Sebaiknya Mas Hanan langsung ke kantor polisi saja untuk mengurus masalah ini. Dengan begitu, polisi akan lebih cepat bertindak dan mengusut kejahatan Zikri dan Naomi. Barang kali ada kejahatan lain yang belum kita ketahui." "Oke, Njas. Kamu hati-hati di sana." "Siap. Nanti kalau ada sesuatu aku kabari lagi. Sekarang baru mau ke UGD, Mas. Pak Sasro kuminta balik ke rumah Zikri. Takutnya Naomi sama Ahmad kabur kalau cuma Mas Hanan yang menjaga mereka." "Oke, Njas. Kalau begitu aku tunggu Pak Sasro datang." Anjas mengiyakan lalu menutup obrolan. Di saat menunggu kedatangan Pak Sasro itu, Hanan pun mulai berpikir jika ucapan adik iparnya itu ada benarnya. 'Sebaiknya memang meminta bantuan polisi untuk mengusut tuntas soal ini. Setidaknya agar papa lebih tenang di
Rumah dua lantai itu terlihat sepi. Pagarnya pun terkunci rapat. Tak ada motor atau mobil di garasi. Sunyi dan hening. Rumput tumbuh subur di taman depan rumah, sebagian temboknya pun sudah mengelupas, pertanda rumah ini tak terurus dan tak berpenghuni lagi. "Gimana, Mad? Zikri tak tinggal di sini lagi," ujar Hanan sembari menghela napas kasar. "Kalau begitu, saya ikut rencana bapak saja. Kalau harus telepon Pak Zikri sekarang juga tak apa-apa," ujar lelaki yang masih diborgol itu. Hanan dan Anjas pun saling tatap lalu sama-sama mengangguk. "Mana handphonemu? Saya yang panggilkan Zikri. Sesuai rencana yang sudah aku susun tadi, kamu harus bertanya dengan jelas alamat rumahnya atau tempat kalian bertemu. Jangan macam-macam jika mau aman," ancam Hanan kemudian. Ahmad pun mengerti. Dia meminta Hanan untuk memanggil nama Bos Zikri di kontak handphonenya. Tak berapa lama panggilan terhubung. Hanan sengaja menyalakan loud speaker agar bisa ikut mendengarkan obrolan Ahmad dengan lawan
[By, sepertinya aku harus keluar dari kota ini untuk sementara waktu. Setidaknya sampai kondisi aman. Bos memintaku segera pergi malam ini juga. Aku akan ke terminal sekarang. Kalau ada waktu, kemarilah. Sekalian ada oleh-oleh untuk kamu dan teman yang lain. Anggap saja ini traktiran terakhirku di sini untuk kalian] Pesan dari Ahmad membuat Robby buru-buru ke kontrakannya kembali lalu mengambil jaket dan melakukan motornya menuju terminal. Dia sangat mengkhawatirkan teman kontrakannya itu. Dia berpikir ingin melihat Ahmad dalam keadaan baik-baik saja sebelum kepergiannya. Tepat di saat Robby pergi dari area kontrakan, Pak Sasro yang diminta Hanan mengawasi gerak-gerik Robby pun mengikutinya dari belakang dengan sebuah motor. Sengaja pakai motor agar lebih leluasa mengawasinya dari jarak dekat. Dengan jaket hitam, masker dan helm Pak Sasro lebih bebas mengikuti Robby tanpa dicurigai. Dia pun bisa melajukan motornya di belakang Robby lalu mengikutinya ke area terminal. [Di sampin