Sejak mendapat salam dari laki-laki bernama Galang, Kinar memang suka senyum-senyum sendiri. Namun, bukan berarti dia telah merasakan jatuh cinta. Lebih tepatnya ia hanya mengagumi sosok tampan itu.
Jengah. Hampir tiap hari ia menghadiri acara resepsi pernikahan. Dari teman semasa sekolah, teman kerja hingga anak dari rekan kerja ayahnya. Hal itu membuat Kinar menjadi bumerang.
Kinar masih berdiri di depan cermin untuk memastikan tampilannya agar terlihat sempurna. Kali ini, atasan kebaya berbahan brokat warna merah marun dipadu padankan dengan bawahan rok batik belahan samping, membalut tubuh rampingnya. Fix! Tampilan Kinar telah paripurna saat akan menghadiri resepsi pernikahan sepupunya.
"Ish, males sebenarnya! Mana besok mesti meeting sama Pak Ghani, lagi!" dengus Kinar kesal.
Kinar lantas kembali menatap cermin, menyelipkan rambut yang ia biarkan terurai itu ke belakang telinga, agar tidak menutupi sebagian wajahnya. Sesaat kemudian melangkah ke luar kamar, menemui bapak, ibu dan juga adiknya yang telah siap berangkat menuju acara resepsi anak sang paman.
"Wah, Mbak Kinar cantik banget, lho, Mbak," ujar Dayu menatap takjub.
"Idih lebay!" ketus Kinar bernada bercanda.
"Bener yang dibilang adikmu itu, Kinar! Kamu cantik malam ini. Ibu doakan nanti ada yang naksir di sana!" timpal sang ibu kemudian.
"Udah deh, Bu, stop! Kalau Ibu gini terus, malah Kinar gak mau berangkat, lho!" balas Kinar yang jengah tiap kali sang ibu membahas soal jodoh, jodoh dan jodoh.
"Gak gitu maksud, Ibu, Nar," ujar Widya sedikit melunak agar anak gadisnya itu tidak ngambek.
Tin! Tin!
Bunyi klakson kendaraan roda empat yang dikemudikan sang ayah berbunyi, menandakan agar Kinar, ibunya dan juga sang adik agar segera naik.
"Bu, jangan lupa kunci pintunya!" seru Ridwan lagi kepada Widya.
Kinar dan Dayu lebih dulu beriringan menaiki mobil, disusul sang ibu.
Kendaraan roda empat itu kemudian melaju meninggalkan rumah. Menembus jalanan menuju acara resepsi pernikahan sepupu Kinar.
Kinar yang duduk persis di belakang jok ibunya, menoleh menatap ke luar jendela kaca mobil. Jalanan tampak lengang dan gelap karena minim lampu penerangan jalan. Gadis dua puluh dua tahun itu menghela napas panjang. Ia merasakan begitu jengah. Apalagi, Kinar telah memprediksi apa yang bakalan terjadi nanti begitu berada di tempat resepsi pernikahan sepupunya itu.
"Pelan-pelan aja, deh, Pak. Jalanan sini ini memang gelap. Masih untung sekarang, ya, Pak, gak ada begal. Kalau jaman dulu, kan, ngeri!" ujar Widya yang mengeluh jalanan tampak gelap.
"Bentar lagi sampe, kan, Bu?" sela Kinar sambil menyentuh lengan sang ibu dari belakang.
"Iya. Tuh, jalan depan sana itu nanti belok, udah sampe deh!" sahut Widya kemudian sambil menoleh sejenak.
"Suara musiknya juga udah kedengeran, kan, Mbak? Kupingku salah gak, sih?" celetuk Dayu.
"Aturan calon suamimu ikut, lho, Yu," timpal Kinar.
"Dia gak bisa, Mbak. Lagi ke luar kota."
Tak terasa mobil yang dikemudikan Ridwan berhenti saat beberapa orang berusaha menghentikan, agar meletakkan aman mobil di tempat parkir yang telah disediakan. Kinar lantas turun dari mobil diikuti Dayu dan juga ibunya.
"Tunggu Bapak dulu aja, deh, Bu! Jadi, kita bareng-bareng jalan kaki ke sananya!" usul Kinar yang melihat ibunya seakan-akan sudah tidak sabar menuju tempat resepsi.
"Iya juga, ya, Nar," sahut ibunya yang tampak malu-malu.
Tak berapa lama, Ridwan telah menghampiri keluarganya, kemudian jalan bersama menuju tempat resepsi yang telah padat tamu undangan. Paman Kinar sebagai sang empunya hajat menyulap halaman rumahnya menjadi tempat resepsi yang lumayan mewah.
Kinar menatap sekeliling di tengah-tengah padatnya tamu undangan yang telah duduk. Tenda panjang dengan hiasan rumbai-rumbai perpaduan warna putih dan keemasan menambah elegan tempat resepsi pernikahan sepupunya itu. Sejenak, Kinar membayangkan jika dirinya menjadi pengantin.
"Hei, Mbak Kinar! Baru datang juga?"
"Astaga, Lin, kamu, kok, bisa sampe sini juga? Jangan-jangan pacarmu, teman pengantin laki-lakinya, ya?" sahut Kinar.
"Idih ngaco, Mbak Kinar! Kayla, kan, teman aku waktu SMP, Mbak!"
"Oh ya?"
"Iya, Mbak. Ya udah, deh aku duduk dekat Mbak Kinar aja. Biar ada temen ngobrol juga, Mbak. Dayu, ikut juga, Mbak?"
"Ikut. Tapi, mungkin duduk dekat Ibu, kali?"
Kinar yang bertemu rekan sekantornya lantas duduk berdampingan. Prosesi adat pengantin telah dimulai. Kinar berusaha menyaksikan prosesi demi prosesi acara pengantin tersebut.
"Mbak Kinar! Mbak, kenal cowok yang duduk di sebelah sana itu, gak, sih?" tanya Linda sambil menyentuh lengan Kinar yang sedang serius menatap ke arah pengantin.
"Siapa? Yang mana?"
"Itu, Mbak! Yang pake kemeja lengan panjang warna coklat. Aku gak kenal, tapi dari tadi liat terus ke arah sini, trus kayak nunjuk-nunjuk, Mbak Kinar, gitu, deh!"
Kinar mengarahkan pandangannya lalu tercengang melihat Galang. Laki-laki itu yang menitipkan salam untuk dirinya saat menghadiri acara pertunangan Marisa saat itu. Ia ternyata juga hadir di acara resepsi pernikahan sepupu Kinar tersebut.
"Mbak Kinar, kenal?" tanya Linda.
"Untuk ngobrol dan tatap muka, sih belum. Cuma, pernah tau cowok itu, sih."
"Pantes aja, dari tadi, tuh, ngliatin ke sini terus, Mbak. Kayaknya naksir, Mbak Kinar, tuh. Ayuk, Mbak gaet aja! Ganteng, lho."
"Ah, kamu!"
Kinar menyela ucapan Linda, padahal dalam batinnya berbunga-bunga. Sekilas ia melirik ke arah laki-laki yang dimaksud. Kinar tersipu malu, wajahnya merona seketika saat pandangannya bersirobok dan mendapat balasan senyum serta lambaian tangan dari Galang.
Tak terasa resepsi telah berakhir. Sang pengantin diarak menuju jalan untuk bersalaman dengan para tamu yang beranjak pulang. Sedangkan Kinar masih duduk di tempatnya, menanti bapak, ibu dan juga adiknya yang belum ketahuan duduk di sebelah mana.
Ia melongok ke arah jam yang membelit pergelangan tangannya. Batinnya sedikit risau ingin segera pulang karena harus menyiapkan keperluan meeting untuk atasannya, besok.
Kinar beranjak dari duduk, kemudian berjalan menuju rumah sang paman. Ia mencari keberadaan ayahnya yang hendak diajaknya pulang.
"Pak, masih lama?" bisik Kinar bertanya pada ayahnya yang sedang asyik mengobrol. Di situ juga ada ibunya. Sedangkan Dayu tampak asyik mengobrol dengan sepupunya yang lain.
Resepsi pernikahan sang sepupu memang menjadi ajang silaturahmi keluarga besar sanak saudara Kinar.
"Bentar, Kinar. Bapak gak enak, kan, sama pamanmu kalau buru-buru pulang?" sahut sang ayah membuat Kinar kesal.
"Kinar besok kerja, Pak. Mana mesti nyiapin keperluan meeting Pak Ghani!" cicit Kinar yang telah sewot sejak tadi.
"Ya udah, kamu pamit dulu sama keluarga pamanmu dan tunggu di depan sana!" seru sang ayah kemudian.
***
Kinar semakin kesal saja karena sang ayah tak juga muncul. Padahal telah lima belas menit ia menunggu. Sebentar-sebentar pandangannya tertuju pada rumah sepupunya.
"Kinar! Kamu beneran, Kinar, kan?"
Kinar tersentak saat tiba-tiba Galang menyapanya. Jantungnya seketika berdegup kencang dan ia merasakan gugup. Tanpa sadar ia mundur beberapa langkah saking kagetnya.
"I-iya, benar. Kenapa, ya?"
"Ayo, aku antar pulang!"
"Maaf. Aku lagi nunggu Bapak, kok. Rasanya gak perlu, deh, Mas," tolak Kinar sambil tersenyum tipis dan kedua tangannya menelungkup di depan dada.
"Kata suami Kayla aku disuruh nganter kamu, lho?"
"Ah, mungkin Mas Galang salah orang, kali, ya," balas Kinar.
"Coba, deh, kamu tanya sama Pras! Soalnya, dia tadi bilang minta tolong sama aku, suruh nganterin pulang kakak sepupu Kayla, tadi bilangnya," terang Galang.
"Oke. Aku tanya dulu ke sana, ya?"
Galang tampak mengangguk. Kinar lantas membalikkan badan, melangkah pelan menuju rumah pamannya. Ia ingin memastikan kebenaran ucapan Galang. Bagi Kinar, dirinya harus lebih berhati-hati sebagai wanita. Jaman sekarang banyak modus yang digunakan laki-laki untuk mendekati mangsanya.
Kinar dengan cepat menemui Galang lagi yang masih berada di tepi jalan depan tempat resepsi. Laki-laki itu tersenyum menatap Kinar yang makin mendekat."Tebakanku pasti bener, kan?" "Ternyata iya, Mas. Bapakku yang tadi meminta tolong sama suaminya Kayla.""Ya udah. Sekarang kamu tunggu di sini, aku mau ambil motor dulu. Oke?""Siap."Kinar mengangguk, kemudian tersenyum menatap punggung atletis milik Galang yang terbalut kemeja lengan panjang itu. Tempat parkir yang lumayan dekat dari tempat resepsi, membuat Galang yang telah mengendarai motor dengan cepat menghampiri Kinar lagi."Ayo naik!"Kinar masih terpaku sambil salah tingkah menatap motor sport yang dikendarai Galang. Gadis itu merasa kikuk, karena kebingungan untuk naik dengan keadaan jok belakang yang menungging. Padahal Kinar mengenakan rok panjang dengan belahan samping."Gimana naiknya, ya, Mas?""Bonceng cewek aja!" seru Galang sambil tersenyum ke arah Kinar yang masih tampak bingung.Kinar lantas berusaha untuk naik di
Flashback 4 tahun yang laluHaykal membuat kesepakatan untuk tidak saling telponan atau mengirimkan pesan saat Kinar ke Bandung, dengan dalih agar gadis itu konsentrasi memilih kampus yang tepat. Selain itu, Haykal juga bilang pada Kinar agar perjumpaannya saat Kinar pulang ke Jakarta jadi lebih seru. Apalagi, perpisahan itu baru pertama kalinya dijalani keduanya. Satu bulan tidaklah lama.Cowok itu memang ada-ada saja, membuat ide seperti itu membuat Kinar semakin tergila-gila padanya. Kinar berharap begitu tiba di Jakarta, ia ingin segera bertemu dengan kekasihnya itu. Rasa rindunya telah tertumpuk selama dua puluh sembilan hari dan harus segera ditukar dengan perjumpaan yang indah.Kinar benar-benar tiba di rumahnya. Rasa lelah usai perjalanan kurang lebih enam jam lamanya tidak ia rasakan, saking inginnya segera berjumpa dengan Haykal. Setelah mandi dan mengobrol dengan sang adik, Kinar melangkah menuju teras.Dengan menggenggam segelas es jeruk, ia mengawasi dan menyapa warga kom
Hari-hari berlalu, Kinar masih pada aktivitas rutinnya bekerja. Jam dinding kantor hampir mendekatinya jam pulang. Beruntung, laporan harian telah selesai dikerjakan Kinar, dan tinggal menghadap pimpinan saja. Kinar juga menatap sang teman yang juga telah selesai membuat laporan. Jadi nanti keduanya bisa menghadap sang pimpinan secara bersamaan.Kinar beranjak dari ruangan menuju toilet untuk merapikan wajah, berdandan sebelum menuju ruangan sang pimpinan. Dengan cepat, ia pun kembali ke ruangannya lagi."Wah, udah cantik aja. Kamu ini sempat-sempatnya, mau pulang aja, dandan dulu?" celetuk Linda."Iya dong.""Tapi menurutku, Mbak Kinar tuh, gak guna dandan, kalau ada cowok yang dekat-dekat tapi malah ditolak tanpa ba-bi-bu," ujar Linda kemudian terkekeh.Kinar tak menyahut. Keduanya lantas menuju ruang pimpinan. Usai menyerahkan laporan harian tentang kinerja promosi beberapa tujuan wisata yang diadakan di kantor tour and travel tempatnya bekerja, Kinar keluar ruangan. Tentu saja ber
Dengan langkah terburu-buru Kinar melenggang menuju rumah, begitu turun dari bis. Berjalan sendirian karena Linda tidak masuk kerja. Rasa lelah dan lapar yang mendera membuat Kinar ngin segera sampai rumah. Ia begitu kelelahan di kantor karena banyak berkas proposal yang harus diperiksanya sebelum dilaporkan pada pimpinan."Oalah ... Mbak Kinar baru pulang? Ada tamu cowok di rumahnya, lho, Mbak!" seru seorang tetangga, saat Kinar sampai di depan rumah tetangga tersebut, yang berselang tiga rumah dari rumahnya. Kinar lantas menanggapinya hanya dengan tersenyum tipis. "Siapa sih?" batin Kinar sambil berjalan menuju rumah.Rasa penasaran seketika menelusup dalam dada Kinar, menggantikan rasa lapar yang menderanya.Kendaraan roda dua model sport telah terparkir di halaman rumah dan sepasang sendal juga terlihat di depan teras. "Dia lagi, dia lagi! Nyebelin banget nih orang. Mau apa sih, dia?" gerutu Kinar dalam batin karena tahu jika yang bertamu di rumahnya adalah Galang. Laki-laki ya
Dengan mengenakan kaus berbalut jaket berbahan jeans dan bawahan celana panjang berbahan yang sama dengan jaket, Kinar mematut di depan cermin. Rambut lurusnya ia biarkan tergerai, tak lupa bedak warna nude menghias wajah, serta lipstik warna soft juga menghiasi bibirnya."Nah, gitu dong! Sesekali jalan sama cowok. Liburan kok cuma ngurung di rumah," canda Widya ketika anak gadisnya meminta izin, berpamitan.Widya tersenyum, kemudian mengantar Kinar hingga teras. Wanita itu menyaksikan sang anak gadis dan Galang jalan berdua mengendarai motor. Saat dalam perjalanan, sesekali Kinar merenggangkan letak duduk agar tidak menempel di punggung Galang. Tangannya pun berusaha berpegangan pada besi di belakang jok. Ia harus mawas diri, pikirnya."Mau Mas ajak ke mana, aku ini?" tanya Kinar sambil menepuk bahu Galang pelan. "Tenang aja! Aku akan mengajakmu ke tempat yang indah," balas Galang sambil menoleh. "Tempat indah gimana maksudnya?!" gertak Kinar yang mulai sewot."Ada deh!"Deg. Jan
Kinar seketika merasa kecewa dan menyesal, tetapi ia terlanjur memberi tantangan, dan Galang telah menerima tantangan tersebut."Ya udah, soal status gak masalah. Yang penting, kan, jadi laki-laki itu harus bisa bertanggung jawab kalau sudah jadi suami," jawab Kinar kemudian, setelah terdiam beberapa saat.Kali ini Kinar benar-benar hilang akal. Dia yang selama ini tidak mudah takluk dengan seorang laki-laki, tiba-tiba luluh di hadapan seorang duda bernama Galang."Ya udah pulang, yok!" ajak Galang sambil berdiri menyodorkan tangan menggapai Kinar agar bangkit dari duduk. "Sebentar lagi, ya! Aku, kok, tumben masih pengen menikmati angin di sini sama kamu, Mas."Galang menatap heran, batinnya tersenyum. Laki-laki itu merasa jika usahanya mulai menampakkan hasil.Kinar tiba-tiba menarik tangan Galang agar kembali duduk di sampingnya lagi. Gadis itu merasa aneh sendiri, mendadak menginginkan untuk duduk berlama-lama, berduaan dengan Galang.Dada Kinar makin bergetar hebat, usai ia memin
Tiga hari berlalu usai Kinar memberi tantangan pada Galang. Ia yang telah kembali pada rutinitasnya kini tampak tersengal-sengal begitu tiba di rumah sepulang dari kerja. Guratan lelah tercetak jelas di wajah ayu Kinar. Bagaimana tidak? Hari ini, ia dituntut menyelesaikan laporan pekerjaan sebelum masa kontrak kerjanya berakhir beberapa hari lagi."Assalamualaikum ... Kinar pulang, Bu," ucapnya sambil tersenyum kecut di hadapan Widya yang sedang berada di teras. "Gak dijemput, Galang? Kayaknya udah tiga hari ini, gak ke sini, ya, Nar?" tanya Widya yang berjalan tepat di belakang Kinar. Keduanya sama-sama masuk rumah."Gak, Bu. Kinar laper banget, mau makan dulu, Bu.""Mendingan mandi dulu, gih, biar seger!""Nanti aja, Bu, soalnya Kinar tadi gak sempat ke kantin. Kinar harus nyelesain laporan sebelum libur kontrak kerja abis, Bu," gerutu Kinar.Kinar sejenak menatap wajah ibunya yang tersenyum. Widya sangat paham jika anak gadisnya itu sedang kelelahan."Ya udah sana makan dulu, abis
Jantung Kinar berdegup makin kencang, menunggu dengan cemas kelanjutan tanggapan ayahnya dan juga Galang."Benar, Pak!" jawab Galang singkat. Secara bergantian Kinar memandang ke arah Galang dan juga sang bapak. Wajah Galang seketika bersemu merah, sepertinya ia juga menahan gugup. "Tapi sudah benar-benar cerai secara sah, kan? Disimpan akta cerainya?" cecar Ridwan kemudian."Iya, Pak.""Ya sudah. Kalau kamu serius sama Kinar ... bawa orangtuamu ke sini, sekalian akta ceraimu, ya!" seru Ridwan kemudian."Iya, Pak. Besok, kalau gak ada halangan, Bapak saya, saya ajak ke sini." Galang tersenyum sambil melirik ke arah Kinar, membuat gadis itu merasa lega usai mendengar pernyataan bapaknya."Ya udah, lanjut ngobrol sama Kinar, ya!" Ridwan kemudian meninggalkan mereka berdua di ruang tamu. "Yes! Akhirnya aku diterima sebagai calon mantu!" pekik Galang sambil mendekatkan wajah ke wajah Kinar. Kedua tangan Galang juga terulur, mencubit lembut pipi Kinar karena gemas."Siapa bilang diterima
Kinar tak menjawab sepatah kata pun, ketika sang bapak memberikan pilihan agar berpisah dari Galang. Terbesit di pikiran Kinar, ketakutan jika melahirkan tanpa suami serta menjanda di usia muda. Meskipun kedua orangtuanya itu memberikan jaminan untuk mengasuh buah hati yang dilahirkan Kinar, kelak.Hampir tiap hari buliran bening selalu menghiasi wajah Kinar. Bayang-bayang hidup tanpa suami dan cemoohan orang tentang figur seorang janda, datang silih berganti di kepalanya.Kinar menghela napas dalam, kemudian meraih air putih di gelas dan meneguknya tanpa sisa. Kemudian merebahkan tubuh lagi menghadap dinding kamar. Hampir tiap malam, ia sulit memejamkan mata. Sejak Galang selalu datang menjemput paksa dalam keadaan mabuk dan mengendarai motor yang knalpotnya bersuara cempreng memekakkan telinga, Kinar merasa trauma.Hening. Hanya suara gesekan dedaunan yang tertiup angin terdengar risau. Jam di dinding menunjukkan malam semakin merangkak naik. Kinar bangkit dari kasur dan melangkah k
Galang kemudian mendekat, lantas memeluk Kinar dengan erat sembari mengucap maaf berkali-kali.Mendengar itu, Kinar lantas merasa tersentuh dan berusaha memaafkan, meskipun itu hanya terucap dalam batinnya. Galang melepaskan pelukan, kemudian masih saja tak bergeser ke mana-mana sambil duduk meringkuk.Perlahan Kinar menarik lengan Galang dan mengajaknya tidur di kasur. Laki-laki itupun menurut saja dan segera membaringkan tubuh di samping Kinar.Keduanya lantas terlelap dengan posisi lengan Galang melingkar di pinggang Kinar hingga pagi.***Kinar berusaha membangunkan suaminya dengan secangkir kopi yang masih mengepulkan asap tebal."Mas, bangun! Aku sudah bikinkan kopi buat kamu," ujar Kinar sembari menepuk pelan lengan Galang.Galang mengucek kemudian memicingkan mata ke arah Kinar. Sejurus kemudian, ia juga mengulas senyum."Makasih, ya, Sayang ...," ucap Galang dengan lembut membuat batin Kinar meleleh seketika.Kinar membalas dengan senyuman, sembari mengalunkan doa dalam hati,
Kinar ikut-ikutan menonton dan kelakuan pemeran antagonis di tayangan yang ditontonnya mirip sekali dengan kelakuan sang suami."Andai saja, Ibu tahu Mas Galang seperti itu, bagaimana lagi sikap Ibu, ya?" Kinar bertanya-tanya dalam batin. Ia lantas mengangkat sebelah tangan, memijit bagian pelipisnya yang menegang.Pandangan Kinar kabur, hingga layar televisi terlihat tak jelas. Lamunannya mengembara, mengenang betapa bencinya ia saat itu pada Galang. Anehnya, selang beberapa kali laki-laki itu datang ke rumahnya, bayangan Galang selalu hadir di pelupuk mata Kinar. Lambat laun ia merindukan laki-laki itu, seolah-olah tiap waktu Kinar ingin menatap wajah Galang."Coba kalau Galang kayak laki-laki di tipi itu, Nar, udah Ibu tampar-tampar mukanya. Masak istri sebaik itu, kok, disakiti mulu? Hei, Nar! Walah, malah ngelamun!" seru Widya sembari menyentuh lengan Kinar. Seketika Kinar tersentak dan lamunannya buyar begitu saja."Em ... iya. Apa, Bu?" jawab Kinar terbata, karena tak mendengar
"Kinar ...?" sapa Widya yang tersentak kaget melihat Kinar berdiri di depan pintu. Sesaat, keheningan tercipta, kemudian Kinar dan sang ibu sama-sama mengulas senyum."Tumben, Ibu baru buka pintu?" tanya Kinar sembari menggandeng lengan dan bergelayut manja di pundak ibunya itu, saat memasuki rumah.Meskipun Widya telah melihat guratan jejak kesedihan di mata Kinar, wanita paruh baya itu sama sekali belum bertanya."Aku mau tiduran dulu di kamar ya, Bu. Kangen, udah lama," pamit Kinar begitu tiba di ruang keluarga.Widya menatap wajah Kinar dan mengangguk, lantas mengelus lengan anaknya itu dengan lembut. Seolah-olah wanita paruh baya yang masih tampak cantik itu, merasakan ada sesuatu yang terjadi dengan Kinar.Kinar lantas melangkah menuju kamar, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan berukuran 3×4 meter itu. Kinar tak luput membuka jendela dan kain gorden bermotif kupu-kupu warna-warni. Sejenak ia menghirup udara dari luar kamar, kemudian merebahkan badan di kasur sembari men
Malam beranjak naik, Kinar dan Galang terbaring di kasur saling berhadapan. Kinar berancang-ancang untuk mengeluarkan amunisi pertanyaan yang telah memenuhi rongga dadanya."Kenapa melototin aku kayak gini, Nar?" tanya Galang tanpa merasa bersalah sedikit pun terhadap Kinar."Banyak yang ingin kutanyakan sejak tadi. Tolong jawab yang jujur, jangan ada kebohongan lagi. Aku udah muak selama ini, Mas!" cetus Kinar tanpa basa-basi.Galang tampak mengernyitkan dahi, seolah-olah heran dengan sikap istrinya. Bagaimana tidak heran? Kinar yang selama ini dikenalnya begitu pendiam dan penurut, kini tiba-tiba mengeluarkan tanduk. Tampak marah dan berani melawan."Apa yang pengen kamu tanyakan sama aku, Nar? Apa?!" bentak Galang yang merasa terintimidasi.Plak!Satu tamparan dari Kinar melayang ke sebelah pipi Galang saat keduanya telah sama-sama duduk tegak saling berhadapan. Kinar lantas memutar badan menghadap dinding. Hati istri mana yang tidak terguncang hebat, mendengar sang suami pergi ber
Kinar lantas melirik ke arah satu buku tulis usang milik Galang. Satu-satunya harapan yang masih tertinggal untuk menemukan uang miliknya yang disimpannya beberapa hari yang lalu itu.Halaman pertama dan seterusnya, kosong tak ada tulisan, pun tak ada lembaran uang terselip di sana. Masih penasaran, tangan Kinar sigap membuka lembar selanjutnya. Ia tercengang, ada sejumlah nama wanita yang tertulis di lembaran buku tersebut. Dan nama Kinar Mayangsari ada di urutan nomor 34."Apa maksudnya?" gumam Kinar sambil menatap deretan nama tersebut. "Ada nama Mbak Astuti juga?" lanjutnya.Dari sekian nama wanita tersebut, Kinar hanya mengenal nama Astuti sebagai mantan istrinya Galang, serta Lisa dan Siti sebagai mantan pacar yang pernah diceritakan suaminya tersebut. Sedangkan selain ketiga nama tersebut, Kinar sungguh-sungguh tak mengenalnya.Kinar yang syok dan bertanya-tanya itu, lantas duduk di sisi kasur sembari memegang buku tulis usang itu."Kenapa, sebagian diberi tanda centang, begini
"Dari mana, Nar?" tanya Galang sambil mengunyah makanan, hingga seperti terdengar orang bergumam."Dipanggil Bude depan rumah, tuh!" sahut Kinar kemudian."Pasti, dia cerita tentang aku, ya, Nar?" selidik Galang."Ngapain cerita tentang kamu, Mas? Toh, aku sendiri udah mulai tau siapa, Mas, kok!" sergah Kinar."Gak percaya! Gak mungkin dia gak cerita, mulutnya itu suka nyinyir," sanggah Galang sembari beranjak dari duduk, kemudian melangkah menuju dapur.Kinar melangkah ke kamar, membaringkan tubuhnya sejenak. Seketika terlintas di pikirannya wajah sang ibu, membuat getaran rindu datang menyergap batinnya.Hampir dua bulan Kinar tidak bertemu dengan orangtuanya sendiri, membuat batinnya makin tersiksa. Wajah-wajah keluarganya seolah-olah di pelupuk matanya sedang melambaikan tangan, memanggil Kinar.Ia lantas mengelus pelan perutnya sembari mulutnya komat-kamit berdoa. Kinar menangis, tetesan air matanya tak terasa membasahi bantal. Batinnya ingin sekali mengajak Galang, mengunjungi b
Setelah bersusah payah memasak di dapur akhirnya Kinar benar-benar lega karena masakannya matang juga. Meskipun, ia merasakan matanya berair menahan asap kayu bakar yang menguar.Dia yang terbiasa dengan peralatan modern di rumahnya, dihadapkan pada situasi yang benar-benar berbeda. Kinar ingin sekali mengeluh, akan tetapi dirinya merasa malu karena telah menjadi konsekwensinya menikah dengan Galang yang keadaannya serba kekurangan."Sabar, Kinar! Sabar!" gumam Kinar dalam batin sambil tangannya mengusap dada.Kinar terpaku seakan-akan menajamkan indera pendengarannya. Dengkuran keras dari dalam kamar terdengar hingga ke dapur. Lelaki yang disebutnya suami itu rupanya telah tertidur pulas.***Wajah Kinar tampak segar usai mandi. Ia lantas termenung sendirian di ruang tamu. Maklum, jarak antara rumah tetangga atau pun saudara iparnya lumayan jauh, terpisah oleh kebun-kebun yang lumayan luas.Sang ibu mertua beraktivitas di sawah miliknya. Meskipun lanjut usia, ibu mertuanya itupun m
Kinar menahan geram selama dalam perjalanan pulang. Namun, ia telah mempersiapkan amunisi untuk menyerang suaminya. Dadanya serasa ingin meledak, menyadari sikap Galang yang nyatanya jauh di luar perkiraannya.Dia memilih terdiam di teras untuk melepas lelah, ketimbang menyusul suaminya masuk rumah begitu turun dari kendaraan. Kinar duduk menyandarkan punggung sambil melipat lengan di depan dada.Tak berselang lama, Galang muncul dari dalam rumah. Rupanya, laki-laki itu telah berganti baju dengan mengenakan kaus bergambar tengkorak dan bawahan celana pendek yang sengaja dirobek, khas anak muda. Kinar menatap heran sambil menggeleng pelan."Cepet dikembalikan motor orang, Mas!" seru Kinar dengan menatap jengah. Bola matanya naik turun memerhatikan gelagat suaminya itu."Biarin! Mau aku bawa dulu. Aku mau cari angin!" tukas Galang."Brengsek! Dia malah mau pergi? Aku, kan, mau tanya sejak tadi. Oalah, Setan!" Batin Kinar mengumpat kesal."Oh ya, Mas, mana uang yang dikasih Bapak buat be