[Okelah kalau gitu. Tapi gimana ini? Jadi nggak kita keluar? Mas udah siap-siap ini soalnya?] tanyaku lagi memastikan.
[Besok aja gimana, Mas? Mas kan pagi-pagi gini biasanya jualan? Apa hari ini nggak?]
[Nggak, Mit.]
[Kenapa?]
[Kan rencana pengen ajak kamu jalan tadi, tapi kamunya nggak bisa.] balasku.
[Ya, udah. Kalau mas ikut sekalian gimana? Jadi bisa sekalian kenalan sama calon istri kakak sepupuku itu?]
[Boleh. Kalau gitu tungguin ya, setengah jam lagi mas sampe ke sana. Di mana tempatnya?]
[Di deretan pertokoan jalan Sudirman. Mas ke sana aja dulu. Nanti aku hubungi kalau udah sampe. Lokasinya gak jauh dari situ kok.] balas Mitha lagi.
[Oke.]
Aku pun segera bersiap-siap. Setelah pamit pada ibu, bergegas aku meluncur menuju tempat yang disebutkan Mitha tadi.
*****
Aku mengangkat wajah saat dari kejauhan melihat mobil Alphard yang dinaiki Mitha berhenti tepat di parkiran depan pertokoan jalan Sudirman,
POV ARYA"Ya, kamu kenapa? Kok wajahmu pucat gitu?" sambut ibu saat aku sampai dan masuk ke rumah dengan langkah kaki terburu-buru.Usai meninggalkan kompleks pertokoan tadi aku memang langsung pulang ke rumah, ingin berembuk dengan ibu bagaimana caranya mengatasi masalah yang sedang kuhadapi saat ini."Gawat, Bu. Ternyata calon istri sepupu Mitha itu adalah Ana. Untung saja aku buru-buru kabur waktu hendak dikenalin tadi, kalau nggak, gak tau, deh Bu gimana kejadiannya. Bisa-bisa Mitha nggak mau lagi berhubungan sama aku," sahutku dengan nada mengeluh dan nafas memburu.Mendengar perkataanku, ibu tampak membelalak kaget."Apa? Jadi calon istri sepupu Mitha itu Ana? Yang bener, Ya? Bukannya mereka keluarga orang terpandang di kota ini? Mau gitu besanan sama keluarga Ana? Ck ...ck...ck... beruntung banget sih nasib si Ana! Lepas dari kamu sekarang jadi calon mantu konglomerat! Jangan-jangan pake jalan gak bener it
Benar saja. Tak berapa lama aku menunggu, kulihat bayangan perempuan itu sedang keluar rumah sambil menggendong Via yang mungkin ikut belanja bersamanya.Ah, kebetulan sekali! Sudah lama aku menahan rasa rindu pada buah hatiku itu. Pagi ini sepertinya selain bisa bertemu Ana untuk mengajaknya bekerja sama, aku juga akan bisa melampiaskan rasa itu.Ya, bagus sekali jika aku dan Mitha jadi menikah. Aku tentu tak akan sulit bertemu Via sebab kami sudah jadi satu keluarga kembali.Berpikir begitu, aku pun menjadi semakin semangat untuk cepat-cepat mengutarakan maksud hatiku pada Ana.Dari seberang jalan ini, kulihat sosok wanita itu sedang menunggu jalan sepi dari kendaraan untuk menyeberang.Wanita itu tak melihatku sebab aku sengaja menyembunyikan diri dari penglihatan orang. Sengaja wajah kuhadapkan ke arah dalam toko supaya ia tak bisa melihat.Akhirnya tak lama kemudian, kulihat wanita itu memasuki
"Gimana, Ya? Jadi kamu bilang sama Ana soal jangan ganggu hubungan kamu dengan Mitha? Gimana tanggapan dia?" tanya ibu begitu aku pulang ke rumah dengan wajah ditekuk ke dalam. Suntuk.Ya, jawaban Ana soal Mitha tadi mau tak mau membuat batinku terpukul dengan telak.Aku tak menyangka jika Mitha ternyata bukan wanita yang mau dikendalikan laki-laki seperti yang kuinginkan.Ia ternyata bukan wanita yang bersedia mengorbankan harta benda yang dimilikinya demi membahagiakan suami. Entah benar atau tidak, setidaknya itu keterangan yang kudapat dari Ana tadi.Padahal jujur niatku mendekati wanita itu salah satunya adalah demi bisa hidup enak tanpa perlu bekerja terlalu keras.Aku juga ingin mendapatkan modal untuk mengembangkan usaha jual gorengan yang kulakukan agar menjadi lebih besar dari sekarang.Namun, jujur keterangan dari Ana soal Mitha tadi membuat semangatku mendekati wanita cantik itu mulai goy
Mendengar perkataanku, sesaat MItha memicingkan matanya."Mas mau cari pinjaman modal?" tanyanya sambil mencomot tempe goreng dan memakannya bersama cabai rawit.Sejak kami menjadi dekat, Mitha memang tak segan-segan untuk mampir meski tetap juga ia membayar dan meletakkan uang itu begitu saja di dekat keranjang jualan.Dan aku tidak menolak sebab butuh uang dan lagipula ia belumlah sah menjadi istri dan tanggung jawabku."Iya. Mas pengen mengembangkan usaha supaya menjadi lebih besar. Tapi siapa yang mau minjamin modal, ya?""Memangnya Mas butuh berapa?" tanya Mitha dengan nada tenang."Seratus juta rupiah, Mit!" sahutku dengan nada bersemangat.Sepertinya Mitha merespon apa yang kusampaikan."Hmm ... besar juga ya? Tapi bisa kok kalau mas memang benar-benar serius ingin mengembangkan usaha. Oh ya, kalau boleh tahu keuntungan mas jualan dalam sehari berapa?" tanya Mitha lagi, ser
POV ARYA"Arya, kamu jadi ketemu Mitha tadi?" tanya ibu saat aku pulang dari berjualan sore ini.Menghempaskan tubuh ke sofa, kutatap wajah ibu dengan tatapan lemah."Jadi, Bu. Tapi ternyata benar yang dikatakan Ana, Mitha perempuan yang nggak bisa dimanfaatkan," keluhku dengan nada kecewa.Ibu yang mendengar, ikut menghela nafas."Jadi gimana? Kamu nggak jadi dong menikahi dia?" Ibu menatapku.Aku balik menatap ibu."Menurut ibu gimana? Apa aku masih harus menikahi wanita seperti itu? Aku ini ingin punya istri yang bisa membantuku menaikkan taraf hidup keluarga, Bu. Seperti Ana dulu, yang diam-diam selalu menghandle kebutuhan keluarga kita tanpa kita sadari. Jadi, aku nggak perlu capek kerja keras sendiri seperti ini," sahutku lagi."Iya, tapi di mana bisa nyari istri kayak Ana lagi, Ya? Seribu satu wanita seperti itu. Nggak akan bisa ditemukan lagi. Huh, kalau saja waktu itu ibu tahu, semua yang kita nikmati ini duit da
POV ARYA"Bu, jangan menangis terus. Alhamdulillah, Nak Arya sudah sadar kembali. Lebih baik kita banyak berdoa demi kesembuhan Nak Arya."Satu suara terdengar di telingaku. Suara bapak tua yang kemarin kutolong dari kecelakaan yang hampir menimpanya tetapi justru menyebabkan aku menjadi korban."Bapak bisa bilang begitu karena Bapak nggak merasakan apa yang saya rasakan. Anak saya yang selama ini jadi tulang punggung keluarga kami, harus mengalami kecelakaan parah seperti ini karena menyelamatkan Bapak, siapa yang tidak sedih, Pak? Bagaimana kami bisa makan kalau putra saya cacat dan buta seperti ini?" sergah ibu dengan nada keras sembari terus sesenggukan.Aku yang mendengarnya ikut menjadi sedih dan terkejut.Apa? Jadi sekarang aku adalah pria cacat dan buta? Pantas saja kakiku sulit sekali digerakkan dan mata juga tak bisa melihat apa-apa.Ternyata kecelakaan akibat menolong bapak tua kemarin itu, meny
POV AUTHORDokter Wisnu berjalan lunglai menyusuri koridor rumah sakit dengan kening berkerut. Hatinya sungguh tak tenang.Entah skenario apa yang sedang Tuhan turunkan padanya, di saat sedang mempersiapkan pernikahan dengan Ana seperti saat ini, ayahnya justru harus berurusan dengan Arya. Meskipun berkat lelaki itu juga sang papa selamat dari kecelakaan.Barusan papanya sudah melihat kondisi Arya yang sudah sadar dari koma selama dua hari dan sudah pula bertemu dengan ibu lelaki itu yang meminta agar keluarga besarnya bersedia menanggung seluruh pengobatan Arya hingga lelaki itu sembuh kembali.Bukan itu saja, pere
Pagi ini, Pak Baskoro menjenguk Arya ke rumah sakit dan bertemu dengan Bu Hasnah yang sedang menyuapi makan putranya itu.Saat melihat Pak Baskoro, wanita paruh baya itu menggeser tubuhnya lalu mempersilahkan laki-laki tua itu duduk di sisi tubuh Arya.Pak Baskoro pun duduk lalu tersenyum pada Arya meski ia tahu laki-laki itu tak bisa melihat."Ya, gimana? Kamu masih betah dirawat di rumah sakit ini atau mau dirawat di rumah saja? Kebetulan rumah untuk kamu sudah bapak siapkan, lokasinya nggak jauh dari rumah bapak juga biar bapak nggak susah kalau mau jenguk kamu. Gimana?" ujar Pak Baskoro pada Arya.Arya tersenyum lalu mengangguk."Saya pengennya dirawat di rumah aja, Pak. Bosan di sini. Tapi rumahnya gimana ya? Besar apa kecil? Saya pengennya yang ada tamannya, biar saya bisa duduk-duduk sambil santai di taman, Pak?" sahut Arya."Taman?" Pak Baskoro tampak mengingat-ingat. "Kayaknya nggak ada tamannya sih, Ya. Kamu mau yang ada tamannya?
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (132)Menyadari dirinya telah keceplosan bicara, Bu Wati pun buru buru meralat ucapannya supaya Bu Hasnah tak sadar jika putrinya sebenarnya memang telah berbadan dua."Eh, maaf ... salah ngomong. Maksudnya bukan hamil tapi biar cepat hamil, Hasnah. Maklum pengantin baru. Makanya harus banyak makan, biar rahimnya subur. Soalnya aku udah nggak sabar lagi pengen gendong cucu. Kamu juga kan, Hasnah?" ujar Bu Wati buru buru meralat ucapannya.Mendengar perkataan besannya itu, Bu Hasnah pun tersenyum lega dan gembira. Syukurlah, ternyata Hamidah bukannya sedang hamil melainkan berharap supaya bisa cepat hamil. Kalau begitu, dia pun tak keberatan karena sudah lama memang dia menginginkan kehadiran seorang cucu lagi dari Arya, sebab sekarang Via, putri Ana, mantan istri pertama Arya sudah sulit ia temui karena kesibukan cucunya tersebut sekolah. Belum lagi dia pun sibuk mengurus Arya yang sedang sakit.Bu Hasnah pun menganggukkan kepalanya dengan rona gembira.
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (131)"Bagaimana anak saya, Dok? Apa masih bisa diselamatkan?" tanya Bu Hasnah dengan perasaan sedih luar biasa saat melihat pria berseragam putih keluar dari ruang operasi di mana Arya beberapa saat yang lalu dibawa masuk untuk ditangani.Sudah sejak malam tadi sejak mendapatkan kabar kalau anak laki lakinya itu masuk rumah sakit akibat tertabrak mobil entah karena sebab apa, Bu Hasnah terus menerus menangis hingga sembab air mukanya.Dia tak bisa menyalahkan Bu Wati dan Hamidah yang telah membiarkan Arya berkeliaran di luar rumah di malam pengantin mereka sebab alasan Bu Wati, Arya tak bisa dilarang dan dicegah meski hari sudah malam saat hendak membeli sesuatu barang keperluannya. Itulah yang telah membuat kecelakaan tersebut bisa sampai terjadi.Dan Bu Hasnah pun terpaksa percaya begitu saja sebab sejauh ini dia memang tak tahu apa yang sebenarnya betul betul terjadi di rumah besannya tersebut malam tadi hingga akhirnya putranya itu harus mengalami t
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (130)Berpikir begitu, Bu Wati pun buru buru masuk kamar mandi dan berbisik di telinga putrinya."Midah, apa ... apa kamu hamil? Apa ... apa kamu dan Afandi sudah melakukan hal terlarang sebelum dia meninggal dunia dan kamu menikah dengan Arya? Kalau iya, kamu harus berdamai dengan Arya, Midah. Kamu nggak boleh menolak kehadirannya karena itu konyol namanya. Kamu butuh suami dan bapak untuk anak kamu, Midah! Ayok ikut Ibu ke kamar sekarang juga. Kita harus membicarakan ini sebelum kamu membuat keputusan yang salah dan membuat Arya pergi meninggalkan kamu!""Sebab kalau itu terjadi maka kemungkinan besar, anak kamu akan lahir tanpa bapak. Apa kamu mau hal Itu terjadi, Midah?" ucap Bu Wati yang tiba tiba merasa takut kalau Arya yang justru tak mau lagi dengan putrinya itu bila tahu putrinya itu ternyata sudah hamil sebelum menikah dengannya.Dia tak mau Hamidah hamil dan melahirkan tanpa suami. Dia tidak mau nama baiknya tercoreng. Itu sebabnya dia harus b
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (129)"Tok! Tok!Tok!"Sedang keduanya bertengkar, dari arah luar kamar terdengar ketukan pintu lumayan keras diiringi suara Bu Wati yang memanggil keras keduanya."Midah ... Arya, ada apa? Buka pintunya!" seru Bu Wati dari luar kamar.Hamidah memandang Arya sejenak seolah meminta pertimbangan, tapi tak lama kemudian karena Arya hanya diam saja tanpa reaksi, Hamidah pun buru buru membuka pintu dengan segera.Segera setelah dia membuka pintu, Bu Wati pun masuk dan menyerbu dengan tanya."Kamu kenapa Midah? Kok teriak teriak tadi? Apa Arya ganggu kamu?""Heh, Arya! Ibu kan sudah bilang, perkawinan kalian hanya sandiwara di atas kertas saja karena Ibu sudah minta tolong sama Ibu kamu untuk bisa menyelamatkan pernikahan putri Ibu yang terancam gagal karena Afandi meninggal dunia dan Ibu kamu sudah setuju!""Lantas sekarang kenapa Hamidah teriak teriak seperti tadi? Apa jangan jangan kamu ganggu dia ya? Kamu kan sudah janji kemarin nggak akan ganggu Hamidah!
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (128)"Lepaskan, Mas! Jangan sentuh aku! Apa kamu lupa perjanjian kita kemarin yang menyatakan kalau pernikahan kita hanya pernikahan pura pura di atas kertas saja dan di antara kita tak akan pernah ada malam pertama karena pernikahan kita bukan pernikahan sungguhan!" ujar Suster Hamidah sembari menepis keras tangan Arya yang berusaha menarik tubuhnya dan membuka pakaiannya.Namun, Arya hanya menyeringai lebar."Pernikahan kita bukan sungguhan? Midah, pernikahan kita tercatat sah di kantor urusan agama! Ijab qobul yang kita lakukan juga sah di mata agama. Kamu sekarang istriku! Sah di mata negara dan agama! Lalu kenapa kamu bilang pernikahan kita tidak sungguhan dan kamu menolak aku sentuh? Kamu mau masuk penjara karena sudah mempermainkan pernikahan? Kamu juga mau masuk neraka dan dilaknat malaikat karena menolak ajakan suami untuk memenuhi kewajiban kamu sebagai seorang istri? Iya?" Arya terlihat tak terima dengan penolakan Hamidah.Hamidah menggeleng
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (127)"Saya terima nikah dan kawinnya Hamidah binti Kusnadi dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai.""Sah.""Sah.""Sah "Semua hadirin yang hadir mengucapkan syukur setelah Arya selesai mengucapkan ijab qobul atas istri barunya, Suster Hamidah.Usai Arya mengucapkan penerimaan nikahnya, Suster Hamidah mengangkat wajahnya lalu dengan gerakan kaku karena tak menyangka bila dirinya akan dinikahkan paksa dengan Arya yang baru saja sembuh dari stroke yang diderita, mengangkat telapak tangan lalu mencium punggung tangan Arya yang sekarang telah menjadi suami sah nya itu dengan gerakan lunglai.Sungguh, meski dia tak membenci Arya, tapi dia sama sekali tak mencintai laki laki yang sekarang menjadi suaminya itu. Dia menganggap Arya hanyalah salah satu pasien yang harus dia terapi supaya segera sembuh dari sakitnya.Tapi ternyata, hari ini laki laki itu telah menghalalkan dirinya sebagai seorang istri. Arya akan mendampingi hidupnya hingga maut m
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (126)"Baiklah, Hasnah ... kalau begitu sesuai dengan rencana kami semula yakni hendak menikahkan Hamidah dengan almarhum Afandi pada tiga hari lagi, itu menjadi tanggal pernikahan Hamidah dengan Arya.""Benar kata kamu, aku harus menyelamatkan keluargaku dengan menikahkan putramu dengan putriku. Selain demi meminimalisir kerugian akibat gagal pesta setelah Afandi meninggal dunia, aku juga ingin menunaikan cita cita kita dulu yang hendak menjodohkan Hamidah dengan putramu.""Jadi tiga hari lagi kita nikahkan mereka ya, Hasnah! Kamu mau ngasih mahar apa untuk putriku? Kemarin rencananya Afandi mau memberi mahar sebuah mobil mewah dan perhiasan sebanyak seratus gram. Kalau kamu apa?" lanjut Bu Wati sembari menatap penuh harap wajah sahabat masa SMA nya itu.Namun, mendengar perkataan Bu Wati, Bu Hasnah melotot lebar. Merasa kaget dan shock ditanya soal mahar, apalagi dibandingkan dengan mahar yang seyogyanya akan diberikan oleh almarhum dokter Afandi pada
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (125)"Wati, apa kamu nggak malu kalau pesta pernikahan putri kamu terpaksa dibatalkan? Kamu bisa rugi besar lho kalau pesta putri kamu benar benar dibatalkan.""Saya aja nggak nyangka kalau Suster Hamidah itu ternyata adalah putri kamu. Aku pikir siapa. Kamu ingat nggak, dulu waktu kita masih SMA, kita pernah bercita cita ingin menjodohkan putra dan putri kita supaya mereka meneruskan persahabatan kita? Tapi apa daya aku kehilangan jejak kamu dan Arya pun kemudian menikah dengan gadis pilihannya, Ana.""Tapi sekarang pernikahan mereka sudah berakhir. Dan status Arya sekarang ini adalah duda. Jadi, tunggu apalagi, Wati? Sekarang lah saatnya kita jodohkan mereka kembali demi memenuhi niat baik kita dulu?""Arya dulu bekerja sebagai seorang ASN, Wati Tapi apa daya sekarang sudah diberhentikan.""Sekarang ini Arya sedang sakit. Tapi dia jadi semangat sembuh kembali setelah bertemu dengan anak kamu, Hamidah. Sayang, Hamidah ternyata hendak menikah hingga me
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (124) "Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un ... ." "Kamu yang sabar ya, Midah. Kami sudah berusaha, tapi Tuhan berkehendak lain. Nyawa calon suami kamu nggak bisa diselamatkan lagi. Kami turut prihatin, Midah ...," ucap rekan rekan sejawatnya yang begitu mendengar kabar kecelakaan calon suaminya, langsung gegas berkumpul di ruang ICU rumah sakit untuk memantau kondisi kesehatannya dan melakukan tindakan penyelamatan terhadap dokter muda yang merupakan calon suami Suster Hamidah tersebut, salah seorang suster di rumah sakit swasta ini. Hamidah mengusap air matanya lalu menatap nanar wajah calon suaminya yang telah terbujur kaku di atas brankar dengan ditutupi kain panjang. "Midah, kamu yang tabah ya, Nak. Semua ini sudah takdir Yang Maha Kuasa ...," tutur Ibunya pula sembari mengelus pelan pundak Hamidah. Sementara di sampingnya, calon mertua tampak meratap pilu menangisi kepergian putra mereka. Hamidah berkali-kali menghembuskan nafasnya demi mengurai s