"An, coba jujur sama Mas, jangan diam saja. Sebenarnya selama ini kamu dapat uang dari mana? Kamu kerja apa hingga diam-diam bisa punya penghasilan seperti yang selama ini kamu dapatkan untuk membayar semua pengeluaran rumah tangga kita? Ayolah, An ... jujur sama mas? Istri yang baik tidak akan menyembunyikan rahasia sekecil apapun dari suaminya, kamu tahu itu 'kan? Kamu tahu 'kan kalau dalam aturan agama, istri boleh bekerja asal mendapatkan izin dari suaminya? Nah, kalau kamu gak jujur begini dan main rahasia-rahasiaan segala, apa kamu gak takut mas gak mengizinkan dan diam-diam kamu selalu menumpuk dosa?" ucap Mas Arya lagi seolah-olah sedang ngelindur.
Selama ini tanpa sepengetahuannya, ia ikut menikmati penghasilanku tanpa komplain sedikit pun dari mana aku mendapatkan uang, tapi saat aku menghentikan bala bantuan itu tiba-tiba saja ia bicara soal izin dari suami. Seenak jid*tnya saja."Izin katamu, Mas? Apa selama ini aku ninggalin rumah dan kew"Ana! Jangan pergi dulu! Aku belum selesai bicara! Mau ke mana kamu? Aku gak akan izinkan kamu pergi selama kamu masih sah berstatus sebagai istriku!" seru Mas Arya sembari mengejar lalu mencengkeram bahuku kuat hingga langkahku terpaksa kuhentikan.Diayunkan tangannya hingga posisiku sekarang menghadap ke arahnya."Oh ya? Kalau begitu sebentar lagi aku bukanlah istrimu lagi karena aku akan segera menggugat cerai kamu di pengadilan! Sekarang, lepaskan aku! Biarkan aku pergi, aku gak mau lagi hidup bersama laki-laki toksik seperti kamu!" sergahku keras sambil berontak berusaha melepaskan diri dari cekalan tangan Mas Arya."Kenapa? Karena dokter sialan itu? Benar 'kan kamu ada hubungan dengannya hingga tiba-tiba memutuskan pergi seperti ini? Kamu pikir dia lebih baik dariku? Begitu?" Mas Arya mengangkat kedua alisnya, tajam."Jangan sebut
"Kamu tetap di sini dan bantu ekonomi keluarga kita seperti biasanya. Jangan pergi. Apa kamu gak kasian sama Via kalau kita hidup terpisah-pisah? Toh, hidup sendiri pun kamu tetap butuh makan, Via juga butuh makan! Apa kamu juga gak kasian sama ibu, dia janda tua, merawat Mira yang masih kuliah pula, apa gak kasian kalau kekurangan biaya hidup dan Vira harus putus kuliah karena gak bisa bayar SPP? Tolong mas dan ibu, Ana. Jangan egois ...," tutur Mas Arya sambil menunjukkan ekspresi wajah sedih, tetapi mendengar ucapannya yang begitu terdengar ringan tanpa beban, emosiku makin bangkit saja rasanya, aku makin tak mengerti dengan jalan pikirannya. Dia yang laki-laki, dia yang jadi anak, masa aku terus yang harus memikirkan hidup orang tua dan adiknya? Gak salah?"Kamu 'kan laki-laki, Mas. Ibu dan Mira itu ibu sama adik kandungmu, masa aku yang harus terus-menerus memikirkan kebutuhan mereka?Selama tiga tahun ini aku selalu menutu
"Permisi! Aku mau lewat," ucapku memecah percakapan dua sosok manusia itu di teras.Mas Arya menoleh, wajahnya begitu terkejut mendapatiku membawa pakaian dan menggendong Via yang syukur, tak pernah rewel atau cengeng dan menurut saja saat kugendong setelah kubangunkan paksa dari tidurnya.Gadis kecilku itu seakan tahu kondisiku yang sedang tidak baik-baik saja dengan papanya sehingga hanya diam saja dalam gendonganku."Kamu mau ke mana, An?" tanya Mas Arya dengan nada suara khawatir dan cemas. Cemas aku pergi dan meninggalkannya dalam kesulitan sendirian."Urusan di antara kita sudah selesai, Mas. Jadi, biarkan aku
Setelah satu jam perjalanan, akhirnya taksi yang kunaiki pun memasuki sebuah perumahan kelas menengah milik orang tuaku.Kemarin aku memang sudah jujur pada bapak dan ibu bahwa Mas Arya menikah lagi dan beliau berdua mengatakan akan menerima kedatanganku jika sewaktu-waktu aku kembali lagi ke rumah mereka.Meski sedih dan prihatin, tapi kedua orang tuaku juga tak tega membiarkan diriku tersiksa dalam perkawinan yang tak lagi sehat bersama Mas Arya.Ibu menyambut saat aku tiba dan langsung mengambil cucunya dari gendonganku."Ana, masuk yuk. Kamu gak papa 'kan? Yang sabar ya, hidup kamu masih panjang, Nak. Gak usah ditangi
"Ana, kamu mau ke mana?" tanya ibu saat pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan berpakaian rapi.Pagi ini aku memang berencana hendak ke pengadilan agama setempat untuk bertanya mengenai proses mengajukan gugatan perceraian, mengingat tentu saja ini kali pertama aku akan melakukannya.Kutatap sendu wajah ibu lalu menyahut, "Ana mau ke pengadilan agama, Bu. Mau tanya-tanya proses mengajukan gugatan perceraian di sana. Ana merasa sudah gak bisa lagi bertahan dalam perkawinan yang gak sehat bersama Mas Arya. Maafkan Ana karena sudah salah pilih suami ya, Bu. Semoga selanjutnya gak terulang lagi," ucapku sembari menghela nafas gundah.Ibu tersenyum lalu mengangguk, "aamiin. Gak papa, An. Ibu dan Bapak mengerti kok. Kami menyerahkan semuanya padamu. Sebab kamu juga yang menjalani pernikahan. Kami sebagai orang tua hanya bisa mendukung dan mendoakan yang terbaik, semoga Allah memberikan kebaikan pada kamu. Ibu juga bisa merasakan perasaan kamu ya
Kalau masalah nafkah, ATM gaji mas kan sudah mas kasih ke kamu. Kalau gak cukup, ya gimana caranya kamu mengaturnya. Makanya dalam islam, istri itu harus bisa hidup hemat, harus bisa merasa cukup. Gimana gak boros kalau kamu maunya masak enak terus? Mulai sekarang kita cukup 'kan aja dari gajiku. Kita pindah ke kontrakan yang lebih kecil. Atau ... kamu dan Maya tinggal satu rumah saja, supaya gak perlu dua dapur yang harus mas pikirkan.Masalah kamu punya penghasilan, itu urusan kamu, terserah mau kamu gunakan untuk apa. Mas akan berusaha bertanggungjawab pada kalian berdua tanpa menggangu penghasilan kamu lagi. Mas akan kerja keras, kalau perlu mas nyambi jadi sopir ojek online biar bisa menafkahi istri-istri mas. Yang penting kalian berdua akur biar rumah tangga kita bisa sakinah, mawadah dan warahmah. Kalau orang lain bisa, kenapa kita nggak, An?" ucap Mas Arya lagi dengan nada tegas.Mendengar ucapannya, aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Sepe
Aku melangkahkan kaki menuju gedung pengadilan agama yang tampak menjulang tinggi di depanku.Keputusanku sudah sangat bulat. Aku akan mendaftarkan gugatan perceraian terhadap Mas Arya secepatnya.Aku pun melangkahkan kaki penuh percaya diri menuju meja informasi di depan sana dan menanyakan prosedur persyaratan untuk mengajukan gugatan perceraian pada petugas.Petugas bagian informasi pun menyebutkan apa-apa saja yang menjadi syarat mengajukan gugatan, yang ternyata tidaklah sulit. Hanya meminta bukti surat nikah, Kartu Tanda Penduduk dan uang panjar untuk biaya perkara.Setelah mendapatkan informasi itu, sesuai janji aku pun segera pulang kembali ke rumah dan memberi tahu ibu persyaratan apa saja yang diperlukan dan setelahnya segera mengumpulkan berkas yang diminta tersebut.Besok pagi aku akan kembali ke sana lagi untuk menyerahkan berkas ini dan menunggu panggilan sidang. semoga panggilan itu secepatny
dr..Wisnu? Tak kusangka akan bertemu lagi dengan lelaki itu, saat tak sengaja Via sakit dan dibawa ke RS untuk diobati.[Iya, dokter Wisnu, teman SMA Mbak dulu, mbak kenal kok, Ndre. Ya udah, mbak ke sana sekarang ya.]Lalu setelah mematikan sambungan, aku pun segera menuju rumah sakit.*****"Via, gimana? Kepalanya masih pusing? Sabar ya, Sayang. Banyak-banyak makan ya, biar cepat sembuh," ujar Wisnu sambil membelai lembut kepala Via lalu meminta ibu kembali menyuapkan bubur di tangannya ke mulut putri kecilku itu.Via hanya mengangguk pelan lalu menatap sendu. Mungkin badannya masih tak enak sehingga terlihat tak bersemangat. Meski demikian kulihat kondisinya cukup baik, tidak gelisah seperti malam tadi.Setelah menyemangati pasiennya, lelaki itu kemudian membalikkan punggungnya hingga saat ini ia dapat melihatku yang baru saja tiba di kamar perawatan ini.Melihat
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (132)Menyadari dirinya telah keceplosan bicara, Bu Wati pun buru buru meralat ucapannya supaya Bu Hasnah tak sadar jika putrinya sebenarnya memang telah berbadan dua."Eh, maaf ... salah ngomong. Maksudnya bukan hamil tapi biar cepat hamil, Hasnah. Maklum pengantin baru. Makanya harus banyak makan, biar rahimnya subur. Soalnya aku udah nggak sabar lagi pengen gendong cucu. Kamu juga kan, Hasnah?" ujar Bu Wati buru buru meralat ucapannya.Mendengar perkataan besannya itu, Bu Hasnah pun tersenyum lega dan gembira. Syukurlah, ternyata Hamidah bukannya sedang hamil melainkan berharap supaya bisa cepat hamil. Kalau begitu, dia pun tak keberatan karena sudah lama memang dia menginginkan kehadiran seorang cucu lagi dari Arya, sebab sekarang Via, putri Ana, mantan istri pertama Arya sudah sulit ia temui karena kesibukan cucunya tersebut sekolah. Belum lagi dia pun sibuk mengurus Arya yang sedang sakit.Bu Hasnah pun menganggukkan kepalanya dengan rona gembira.
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (131)"Bagaimana anak saya, Dok? Apa masih bisa diselamatkan?" tanya Bu Hasnah dengan perasaan sedih luar biasa saat melihat pria berseragam putih keluar dari ruang operasi di mana Arya beberapa saat yang lalu dibawa masuk untuk ditangani.Sudah sejak malam tadi sejak mendapatkan kabar kalau anak laki lakinya itu masuk rumah sakit akibat tertabrak mobil entah karena sebab apa, Bu Hasnah terus menerus menangis hingga sembab air mukanya.Dia tak bisa menyalahkan Bu Wati dan Hamidah yang telah membiarkan Arya berkeliaran di luar rumah di malam pengantin mereka sebab alasan Bu Wati, Arya tak bisa dilarang dan dicegah meski hari sudah malam saat hendak membeli sesuatu barang keperluannya. Itulah yang telah membuat kecelakaan tersebut bisa sampai terjadi.Dan Bu Hasnah pun terpaksa percaya begitu saja sebab sejauh ini dia memang tak tahu apa yang sebenarnya betul betul terjadi di rumah besannya tersebut malam tadi hingga akhirnya putranya itu harus mengalami t
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (130)Berpikir begitu, Bu Wati pun buru buru masuk kamar mandi dan berbisik di telinga putrinya."Midah, apa ... apa kamu hamil? Apa ... apa kamu dan Afandi sudah melakukan hal terlarang sebelum dia meninggal dunia dan kamu menikah dengan Arya? Kalau iya, kamu harus berdamai dengan Arya, Midah. Kamu nggak boleh menolak kehadirannya karena itu konyol namanya. Kamu butuh suami dan bapak untuk anak kamu, Midah! Ayok ikut Ibu ke kamar sekarang juga. Kita harus membicarakan ini sebelum kamu membuat keputusan yang salah dan membuat Arya pergi meninggalkan kamu!""Sebab kalau itu terjadi maka kemungkinan besar, anak kamu akan lahir tanpa bapak. Apa kamu mau hal Itu terjadi, Midah?" ucap Bu Wati yang tiba tiba merasa takut kalau Arya yang justru tak mau lagi dengan putrinya itu bila tahu putrinya itu ternyata sudah hamil sebelum menikah dengannya.Dia tak mau Hamidah hamil dan melahirkan tanpa suami. Dia tidak mau nama baiknya tercoreng. Itu sebabnya dia harus b
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (129)"Tok! Tok!Tok!"Sedang keduanya bertengkar, dari arah luar kamar terdengar ketukan pintu lumayan keras diiringi suara Bu Wati yang memanggil keras keduanya."Midah ... Arya, ada apa? Buka pintunya!" seru Bu Wati dari luar kamar.Hamidah memandang Arya sejenak seolah meminta pertimbangan, tapi tak lama kemudian karena Arya hanya diam saja tanpa reaksi, Hamidah pun buru buru membuka pintu dengan segera.Segera setelah dia membuka pintu, Bu Wati pun masuk dan menyerbu dengan tanya."Kamu kenapa Midah? Kok teriak teriak tadi? Apa Arya ganggu kamu?""Heh, Arya! Ibu kan sudah bilang, perkawinan kalian hanya sandiwara di atas kertas saja karena Ibu sudah minta tolong sama Ibu kamu untuk bisa menyelamatkan pernikahan putri Ibu yang terancam gagal karena Afandi meninggal dunia dan Ibu kamu sudah setuju!""Lantas sekarang kenapa Hamidah teriak teriak seperti tadi? Apa jangan jangan kamu ganggu dia ya? Kamu kan sudah janji kemarin nggak akan ganggu Hamidah!
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (128)"Lepaskan, Mas! Jangan sentuh aku! Apa kamu lupa perjanjian kita kemarin yang menyatakan kalau pernikahan kita hanya pernikahan pura pura di atas kertas saja dan di antara kita tak akan pernah ada malam pertama karena pernikahan kita bukan pernikahan sungguhan!" ujar Suster Hamidah sembari menepis keras tangan Arya yang berusaha menarik tubuhnya dan membuka pakaiannya.Namun, Arya hanya menyeringai lebar."Pernikahan kita bukan sungguhan? Midah, pernikahan kita tercatat sah di kantor urusan agama! Ijab qobul yang kita lakukan juga sah di mata agama. Kamu sekarang istriku! Sah di mata negara dan agama! Lalu kenapa kamu bilang pernikahan kita tidak sungguhan dan kamu menolak aku sentuh? Kamu mau masuk penjara karena sudah mempermainkan pernikahan? Kamu juga mau masuk neraka dan dilaknat malaikat karena menolak ajakan suami untuk memenuhi kewajiban kamu sebagai seorang istri? Iya?" Arya terlihat tak terima dengan penolakan Hamidah.Hamidah menggeleng
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (127)"Saya terima nikah dan kawinnya Hamidah binti Kusnadi dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai.""Sah.""Sah.""Sah "Semua hadirin yang hadir mengucapkan syukur setelah Arya selesai mengucapkan ijab qobul atas istri barunya, Suster Hamidah.Usai Arya mengucapkan penerimaan nikahnya, Suster Hamidah mengangkat wajahnya lalu dengan gerakan kaku karena tak menyangka bila dirinya akan dinikahkan paksa dengan Arya yang baru saja sembuh dari stroke yang diderita, mengangkat telapak tangan lalu mencium punggung tangan Arya yang sekarang telah menjadi suami sah nya itu dengan gerakan lunglai.Sungguh, meski dia tak membenci Arya, tapi dia sama sekali tak mencintai laki laki yang sekarang menjadi suaminya itu. Dia menganggap Arya hanyalah salah satu pasien yang harus dia terapi supaya segera sembuh dari sakitnya.Tapi ternyata, hari ini laki laki itu telah menghalalkan dirinya sebagai seorang istri. Arya akan mendampingi hidupnya hingga maut m
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (126)"Baiklah, Hasnah ... kalau begitu sesuai dengan rencana kami semula yakni hendak menikahkan Hamidah dengan almarhum Afandi pada tiga hari lagi, itu menjadi tanggal pernikahan Hamidah dengan Arya.""Benar kata kamu, aku harus menyelamatkan keluargaku dengan menikahkan putramu dengan putriku. Selain demi meminimalisir kerugian akibat gagal pesta setelah Afandi meninggal dunia, aku juga ingin menunaikan cita cita kita dulu yang hendak menjodohkan Hamidah dengan putramu.""Jadi tiga hari lagi kita nikahkan mereka ya, Hasnah! Kamu mau ngasih mahar apa untuk putriku? Kemarin rencananya Afandi mau memberi mahar sebuah mobil mewah dan perhiasan sebanyak seratus gram. Kalau kamu apa?" lanjut Bu Wati sembari menatap penuh harap wajah sahabat masa SMA nya itu.Namun, mendengar perkataan Bu Wati, Bu Hasnah melotot lebar. Merasa kaget dan shock ditanya soal mahar, apalagi dibandingkan dengan mahar yang seyogyanya akan diberikan oleh almarhum dokter Afandi pada
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (125)"Wati, apa kamu nggak malu kalau pesta pernikahan putri kamu terpaksa dibatalkan? Kamu bisa rugi besar lho kalau pesta putri kamu benar benar dibatalkan.""Saya aja nggak nyangka kalau Suster Hamidah itu ternyata adalah putri kamu. Aku pikir siapa. Kamu ingat nggak, dulu waktu kita masih SMA, kita pernah bercita cita ingin menjodohkan putra dan putri kita supaya mereka meneruskan persahabatan kita? Tapi apa daya aku kehilangan jejak kamu dan Arya pun kemudian menikah dengan gadis pilihannya, Ana.""Tapi sekarang pernikahan mereka sudah berakhir. Dan status Arya sekarang ini adalah duda. Jadi, tunggu apalagi, Wati? Sekarang lah saatnya kita jodohkan mereka kembali demi memenuhi niat baik kita dulu?""Arya dulu bekerja sebagai seorang ASN, Wati Tapi apa daya sekarang sudah diberhentikan.""Sekarang ini Arya sedang sakit. Tapi dia jadi semangat sembuh kembali setelah bertemu dengan anak kamu, Hamidah. Sayang, Hamidah ternyata hendak menikah hingga me
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (124) "Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un ... ." "Kamu yang sabar ya, Midah. Kami sudah berusaha, tapi Tuhan berkehendak lain. Nyawa calon suami kamu nggak bisa diselamatkan lagi. Kami turut prihatin, Midah ...," ucap rekan rekan sejawatnya yang begitu mendengar kabar kecelakaan calon suaminya, langsung gegas berkumpul di ruang ICU rumah sakit untuk memantau kondisi kesehatannya dan melakukan tindakan penyelamatan terhadap dokter muda yang merupakan calon suami Suster Hamidah tersebut, salah seorang suster di rumah sakit swasta ini. Hamidah mengusap air matanya lalu menatap nanar wajah calon suaminya yang telah terbujur kaku di atas brankar dengan ditutupi kain panjang. "Midah, kamu yang tabah ya, Nak. Semua ini sudah takdir Yang Maha Kuasa ...," tutur Ibunya pula sembari mengelus pelan pundak Hamidah. Sementara di sampingnya, calon mertua tampak meratap pilu menangisi kepergian putra mereka. Hamidah berkali-kali menghembuskan nafasnya demi mengurai s