Mas Bara memasuki kamar dengan pelan. Ia terlihat kesusahan saat membuka pintu. Tangan kirinya di tekuk di depan dada lalu duduk di kasur dengan wajah meringis. “Gimana rasanya enak 'kan?” wajahku kesal melirik Mas Bara. Hatiku benar-benar hancur dengan tingkah Mas Bara hari ini. “Kamu jangan ngomong kaya begitu dong, Bel. Aku lagi sakit gini kamu malah kaya gitu,” gerutu Mas Bara. “Kamu nggak tau perasaan aku gimana, Heh?” tanyaku dengan mata berkaca-kaca. “Oke, aku minta maaf udah ninggalin kamu di restoran,” kata Mas Bara dengan santainya. “Gampang banget kamu bilang maaf ya, Mas?” aku berdiri membelakangi Mas Bara. “Kamu udah ninggalin aku gitu aja di restoran dan kamu malah pergi sama Arum. Sementara aku tungguin kamu lama banget. Akhirnya kamu dapet karma 'kan Mas? Kamu kecelakaan sama Arum. Kenapa engga sekalian aja kamu meninggal saat kecelakaan itu,” ucapku dengan keras menatap Mas Bara. “Kamu gila ya? Omongan kamu tuh udah kaya orang gila tau nggak?”
Acara sunatan di adakan di sebuah gedung. Bagas sudah terlihat sembuh dengan sempurna. Dia bahkan sudah bisa berjalan dan menggunakan celana. Wajahnya tampak bahagia menyambut teman-teman yang hadir. Acara sunatan ini sengaja di lakukan di gedung karena juga bersamaan dengan ulang tahun Bagas. “Ingat ya, Bella. Kita disini harus terlihat mesra. Sebentar lagi pasti saudara Mama akan datang. Paman dan bibi aku akan ke sini pastinya. Kamu harus selalu tersenyum di depan semuanya,” ucap Mas Bara berbisik kepadaku. Kami berdua berdiri berdampingan sambil menyambut wali dari teman-teman Bagas. Sementara Mama juga ada di samping Bagas. Mama terlihat bahagia di sana. Wajahnya benar-benar terlihat segar. Dia terus bercakap dengan para wali dari teman teman Bagas. “Heh, Bella!” seru Mas Bara dengan mencubit lenganku. “Au! Apaan sih, Mas? Sakit banget tau,” gerutuku sambil mengelus lenganku. “Itu lihat disana ada Paman dan bibi. Kita harus berpura-pura mesra di depan mereka,”
“Aduh, Bel. Mama kayaknya lemes sekali nih,” bisik mama dengan wajah yang lemas. Di balik make up-nya yang terlihat fresh. Namun wajahnya terlihat lemas sekali. Aku langsung saja memegang lengan mama. “Ya sudah, ya sudah. Kita istirahat aja yuk! Duduk di belakang dulu yuk,” ucapku kepada mama. Akupun berbisik kepada Siska. “Siska, mama kayaknya kecapean. Aku urusin mama dulu ya,” kataku lalu Siska mengangguk. Broto terlihat gelisah saat melihat aku dan mama berjalan dengan pelan. Kini mama sudah berada di belakang. Ruangan paling belakang yang ada di gedung ini. Mama bersender di sofa. Mama dengan baju kebaya dan sanggul itu terlihat kelelahan sekali. Aku mencoba mengipasi mama dan berusaha membantu mama minum air putih. “Ada apa ini?” tanya Broto dengan wajah panik. “Mama kayaknya kecapean,” kataku dengan lirih. Mantunya saja terlihat panik melihat mama. Sementara Mas Bara anak kandung mama sendiri malah tidak terlihat. Terakhir aku lihat Mas Bara ber
“Udah, mama nggak usah mikirin Mas Bara .nanti pasti Bella telfon mas bara. Sekarang mama istirahat aja dulu ya?” Mama sedikit ragu. “Udah mama istirahat aja. Mama pasti kan cape banget,” kataku dengan menyentuh lengan mama. “Ya sudah, kalau gitu mama istirahat dulu ya, Bel. Kamu jangan lupa telfon Bara, ya?” Pinta mama dengan wajah lembut. “Iya, Ma. Bella nggak akan lupa. Ya udah mama istirahat ya,” kataku sambil menyelimuti mama. Lalu aku segera keluar dari kamar mama. Tanganku memegang kening yang berkerut. Sungguh aku ingin sekali memarahi Mas Bara sekarang juga. “Mas, kamu di mana sekarang? Mama cariin kamu. Dia khawatir sama kamu. Dari acara sesi foto foto kamu nggak ada sampai acara selesai. Udah cepetan kamu pulang sekarang. Mama khawatir banget sama kamu, Mas,” kataku dengan keras di dalam kamarku. Ku dengar suara Mas Bara yang menghembuskan nafas dengan kesal. “Yaudah, aku pulang sekarang juga,” jawabnya dengan cepat lalu matikan telfon begitu saj
"Sebaiknya kalian nggak usah cerita sama mama. Kalian cerita sama mama kalau sudah benar-benar sidang ketukan palu kalau kalian sah bercerai. Gimana bener kan?” kataku kepada mereka berdua. “Ya mungkin itu yang terbaik, Mbak. Sebenarnya aku nggak mau nyakitin mama. Tapi mau gimana lagi,” kata Siska dengan wajah manja. “jadi nanti setelah bercerai kamu akan kemana Siska? Maksud Mbak. Kamu tinggal dimana nanti sama Doni?” Tanyaku dengan lirih. “Aku sama Doni akan tinggal di Australia Mbak. Karena dia mendapatkan pekerjaan disana,” kata Siska dengan tersenyum. Sementara kulihat Broto yang berwajah sedih. “Oh, ya sudah kalau gitu, ingat ya? Apa kata Mbak, kalian berdua kabari saat sudah cerai saja dan kalian kalau mau ngabarin harus ke Jakarta nggak boleh dia telfon. Ngerti?” tegasku. “iya, Mbak baik,” kata Siska dan Broto. Aku meninggalkan mereka berdua. Kini aku berniat akan membereskan barang-barang kembali bersama Mirna. “Eh, udah selesai ya ini semua Mirna?” t
“Gimana, Dok keadaan mama?” tanyaku dengan sopan. “Ibu Linda terkena anemia. Saran saya, beliau jangan sampai merasa kelelahan. Jika sudah lelah harus segera istirahat. Ini saya kasih resep untuk ibu Linda. Ada penambah darah dan beberapa vitamin. Pokoknya ingat pesan saya ya? Jangan sampai kecapean ibu Linda,” dokter mengatakan kepadaku dengan serius. “Baik dok,” ucapku dengan tegas. Setelah dokter itu memberikan resep kepadaku. Aku langsung mengantar dokter ke depan rumah untuk mengantarnya pulang. Kini aku memasuki kembali kamar mama. Ternyata mama sudah sadar dan sedang berbincang dengan Mas Bara. Ku lihat mereka berdua terlihat hangat. Coba saja pemandangan ini bisa di lihat setiap hari. Aku ingin sekali Mas Bara bisa terus menyayangi mamanya. Aku ingin Mas Bara bisa terus mendampingi mama seperti ini. Sayangnya dia sering kali pergi tanpa pamit. Kemana lagi kalau bukan ke kos kosan Arum. “Gimana ma? Udah enakan?” tanyaku dengan lembut sambil duduk di sisi ranja
Mataku menyipit saat melihat layar ponsel. Panggilan masuk dari Siska. Adik iparku, Siska. “Hallo ada apa, Sis?” tanyaku dengan heran. Kenapa dia meneleponku. “Besok Siska mau ke Jakarta, Mbak,” jawab Siska dengan singkat. “Oh, kamu mau nengokin mama?” tanyaku. “Iya, Mbak. Soalnya tadi pagi Mas Bara telfon dan katanya mama sakit. “Oh, iya mama juga sempet bilang kalau. Mbak Bella di suruh buat hubungin kamu. Ya, mungkin mama masih kangen sama kamu,” kataku mengingat perkataan mama tadi pagi. “Iya, Mbak. Tapi Siska bingung nanti harus jawab apa. Siska kan nanti ke Jakartanya Cuma sendirian aja,” kata Siska dengan nada lirih. “Emangnya kamu udah pisah rumah sama Broto?” tanyaku dengan serius. “Udah, Mbak. Aku di usir dari rumah. Ya udahlah aku juga udah nggak mau lagi sama dia. Sekarang aku ada di apartemen Doni, Mbak,” jelas Siska gadis cantik yang memiliki satu anak itu. “Jadi Bagas sama Broto? Terus kamu seatap sama Doni maksudnya?” cecarku dengan geram.
Suara Bel berbunyi. Aku sedang mencuci sayuran terpaksa menghentikan aktivitasku. “Biar aku aja, Mirna,” cegahku karena pembantuku akan berjalan ke depan. “Oh baik, Mbak.” Jawab Mirna dengan sopan. Aku langsung saja berjalan kembali menuju ke arah ruang tamu. Aku yakin tamu itu adalah Siska. Ku buka pintu dengan pelan. Siska melihatku dengan wajah datar. Lalu masuk begitu saja tanpa mengucapkan salam. Mungkin dia masih merasa kesal. Saat di telfon lalu aku memberikan ceramah islami kepadanya. Dia langsung pergi ke kamar mama. Aku melihatnya dari belakang dengan hati yang sabar. Mungkin karena Siska masih muda dariku dan dia juga memiliki anak. Jadi mungkin Siska masih seperti anak-anak. Aku ikut masuk ke dalam kamar mama. “Ma, gimana kabarnya?” tanya Siska dengan wajah berbinar. Ia menyentuh lengan mama. Mama kaget melihat Siska. Ia menaruh majalah dan langsung memeluk anak keduanya dengan hangat. “Ya Allah, Siska kamu kenapa nggak bilang mau kesini?” ta
BAB 45 “Kamu gimana sih, Mas? Kenapa malah aku yang harus jagain mama kamu?” Keluh Arum saat sudah pulang dari rumah sakit. Ia benar benar kelelahan sekali. “Heheh, maaf ya, habis gimana dong. Kan aku mau kerja. Siapa lagi kalau bukan kamu. Bella di telfon juga nggak di angkat,” kata Mas Bara dengan santai terus melihat ekspresi kasihan Arum yang membuatnya lucu. “Kayaknya nih, ya Mas, Bella sengaja deh mau ngerjain aku,” kata Arum sambil menuangkan air panas di cangkir yang berisi bubuk kopi. “Sengaja gimana maksud kamu?” tanya Mas Bara bingung. “Iya, lah dia sengaja bikin aku supaya ke rumah sakit terus nemenin mama kamu deh, gila ya mas. Aku tuh bener bener cape banget.loh, memenuhi semua keinginan mama kamu. Udah gitu apa yang di minta mama kamu itu ada yang bikin kesal banget. Kaya ngebacain dia majalah,terus juga koran. Ngupasin buah apel, buah anggur. Buah anggur aja minta di kupas mas. Ya Allah. Cape banget deh aku,” kata Arum dengan memijat sendiri pundakny
BAB 44 “Mama kenapa bisa begini, Bel?” Tanya Mas Bara dengan cemas. “Iya Mas, nggak tahu katanya dadanya sesak,” ucapku dengan cemas. Melihat mama yang kini hanya terdiam tidak bisa berbicara panjang lebar. “Ya udah, bara akan telfon dokter untuk ke sini ya,” ucap Mas bara dengan cepat. Sungguh aku takut banget kalau mama kenapa-kenapa. Aku terus memijat lengan mama dengan lembut sambil menunggu kedatangan dokter. Kini sang dokter datang dan ternyata mama di suruh di rawat di rumah sakit. “Memangnya nggak bisa disini aja ya dok?” tanyaku kepada dokter. “Nggak bisa Bu, maaf sekali karena kondisinya benar benar tidak baik,” jawab dokter itu. Akhirnya aku dan Mas Bara sepakat membawa mama ke dokter. Mungkin aku harus sabar lagi. Seperti biasanya aku menemani mama di rumah sakit. Sungguh aku sangat sedih sekali. Malam ini mama terus menerus minta ini dan itu. Aku merasa tidak di berikan waktu untuk istirahat. “Ma, udah ya ma. Aku mau istirahat dulu ya, ma,”
“Kaget ya? ada aku disini?” tanya Arum dengan kedua mata berlensa itu terbuka lebar melihatku. “Kamu ngapain disini Arum?” tanyaku masih belum mengizinkannya masuk. “Ya, mau ketemu Mas Bara dong, masa mau ketemu kamu sih,” kata Arum dengan wajah kesal. “Nggak bisa Arum, kamu harus pulang sekarang juga,” tegasku dengan cepat di hadapannya. “Siapa, Bel?” tanya mama dengan mendekat ke arahku. “Oh ini, Ma,” ucapku lalu terpaksa membuka pintu dengan lebar lebar. “Sore, Tante, saya mau ketemu sama produser Bara ada? Saya mau tanya tanya tentang casting film,” ucap Arum dengan sok ramah. “Oh, iya iya silahkan masuk,” seru mama dengan cepat dan mempersilahkan Arum masuk. Arum seketika itu melihatku dengan sinis dan ia langsung saja duduk di sofa ruang tamu ini. “Kalau gitu biar mama yang panggil Bara ya, kamu disini aja Bel,” kata Mama kepadaku. Lalu dia langsung pergi ke kamar Mas Bara. Setelah mama pergi. Aku kembali melihat Arum dengan wajah sinis ya. “K
Hari ini Mas Bara tidak pulang malam seperti biasanya. Mas Bara pulang jam setengah tujuh. Aku menyambutnya dengan ramah. Kucium punggung tangan Mas Bara yang penuh dengan kerja keras itu. Aku buatkan dia minuman hangat berupa STMJ susu telur madu jahe. Pasti dia suka sekali. “Ini Mas, buat kamu. Supaya badan bisa lebih hangat,” ucapku kepada Mas Bara sambil memberikan cangkir kecil ini. “Apa ini, Bella?” Tanya Mas Bara melihat minuman yang berwarna kuning kecoklatan itu. “Itu susu telur madu jahe mas,” jawabku tersenyum. “Hem, enak banget baunya,” hidung Mas Bara di dekatkan kepada cangkir. Kini Mas Bara langsung menyeruput minuman itu dengan nikmat. “Gimana enak 'kan Mas?” tanyaku penasaran. “Hem, mantap! Enak banget, satu cangkir aja sih nggak cukup kayaknya,” seru Mas Bara sambil melihat cangkir yang di pegangnya. “Masih banyak kok, Mas di dapur,” jawabku dengan lembut. Kebahagian seorang istri itu begitu sederhana. Mendapatkan pujian dari sang s
Pagi hari yang cerah. Aku bersyukur kali ini Mas Bara berada di sampingku. Kebahagian sederhana adalah ketika bangun tidur dan menengok melihat teman hidup di samping kita. Itu saja sudah sangat bersyukur. Kondisi Mas Bara mulai membaik meski agak pusing sedikit katanya. Mama juga sangat mewanti-wanti sekarang kalau Mas Bara pergi pasti dia selalu mengingatkan agar berdoa dan pasang sabuk pengaman. “obatnya udah di minum 'kan Mas?” tanyaku kepada Mas Bara yang sibuk menata kertas kertas untuk di masukan ke dalam tasnya. “Iya, udah aku minum, Bel,” jawab Mas Bara singkat dengan menutup tas kerjanya. “Oh, Iya Mas. Ini ada bekal buat makan siang,” ucapku tersenyum sembari memberikan kotak yang sudah ku isi dengan makanan kesukaan Mas Bara. Mas Bara terlihat bingung sesaat melihat kotak yang masih aku pegang ini. “Tadi udah di bawain bekal sih, sama Arum,” tangan Mas Bara menggaruk kepala bagian belakangnya. Aku mengernyit penasaran. “Bekal dari Arum? Arum ke s
*** “Assalamu’alaikum?” ucapku yang sudah ada di ruang makan. “Walikumsalam, Bella,” jawab Mama sambil tangannya di cium olehku. “Loh? Bara mana? Kenapa kamu sendirian aja?” tanya Mama dengan melihat ke belakangku. “Iya, Ma. Tadi Mas Bara tiba tiba di telfon sama bosnya. Ya otomatis aku harus pulang sendiri deh, ma. Tapi nggak papa kok, ma,” ucapku dnegan berbohong kepada mama. “Ya sudah sini duduk, dulu,” ajak mama dengan melihat tempat duduk yang kosong di sebelahnya. “Jadi gimana kamu di hotel? Aman kan semuanya? Enak nggak disana?” tanya mama kepadaku dengan antusias. “Iya, Ma. Enak banget disana. Aku seneng banget bisa menghabiskan waktu bersama Mas Bara,” jawabku dengan senyum manis yang di buat buat. “Syukurlah, Bella. Semoga tahun ini ya, kamu bisa hamil. Amin ya Allah,” ucap mama dengan penuh harapan. Wajahnya melihatku dengan hangat. Aku memegang tangan mama dengan lembut. “Insya Allah doa mama terkabul ya, ma..Bella akan mengusahakan keinginan
Hari ini aku sudah siap dengan segalanya. Perasaan itu akan aku jaga. Aku akan berusaha untuk tenang nantinya. “Kita langsung jalan aja ya sayang,” kata Mas Bara dengan pakaian santai. Namun ia membawa pakaian untuk nanti akad. “Yaudah, yuk!” jawabku mencoba tegar. Aku dan Mas Bara sudah mengatakan kepada mama di hari sebelumnya. Kalau kita berdua akan pergi berdua saja ke sebuah wisata pantai. Mama percaya dan sangat senang melihat kemesraan aku dan Mas Bara kala itu. Lebih tepatnya adalah kemesraan palsu. “Sudah siap, ya?” sapa mama yang melihat aku dan Mas Bara dengan bergandengan tangan dan berpakaian santai namun tetap terlihat keren. “Kalau gitu Bella sama Mas Bara berangkat ya, Ma,” ucapku sambil tersenyum. Ya Allah maafkan aku, Ma. Aku berbohong demi kebaikan mama juga. “Ya sudah kalian hati-hati ya di jalan. Yang lama juga nggak papa. Sekalian honeymoon juga nggak papa kok. Pulangnya nanti besok aja, ya kan? Bara kamu pesen hotel dong nanti di sana. Yah y
Aku sudah sangat siap bertemu dengan Arum. Kulihat diriku di bayangan cermin. Gamis panjang dan kerudung segiempat yang menutupi dada. Sementara wajahku yang bersih dan putih aku biarkan tanpa bedak. Aku hanya memakai sedikit pelembab dan krim agar terlihat lebih segar. Kedua bulu mataku memakai maskara supaya mata ini terlihat lebih bagus. Kini aku sudah sampai di sebuah kafe yang terlihat hanya ada beberapa orang saja. Aku memasuki kafe itu dan aku naik ke tangga. Karena aku sudah memesan tempat di atas. Kakiku sudah sampai di lantai atas. Kulihat pemandangan hiruk pikuk jalanan terlihat ramai. Angin segar juga menyapaku di tempat ini. Aku duduk dengan tenang. Hati ini ada sedikit rasa gugup. Tetapi aku berusaha tenang dengan cara beberapa kali menghirup nafas dan mengeluarkannya lembut. Sekitar sepuluh menit dua minuman sudah datang di meja. Cangkir itu berisi kopi dan dua kue kecil yang ada di atas piring terlihat cantik. Hari ini aku akan bertemu seorang peremp
“maksud kamu, aku bisa menjalani poligami ?” tanyaku dengan serius. “Iya kamu bisa,” kata Ayu dengan yakin. “Lagian nih ya. Kalau kamu mundur itu emang bisa buat kamu bahagia? Belum tentu kan? Kamu masih harus memulai dengan yang baru. Kalau kamu maju juga nggak ada yang salah kan? Kalau kamu maju mempertahankan rumah tangga kamu. Kamu bakalan dapat pahala yang lebih besar. Kamu merawat mama mertua dengan sabar. Kamu juga menjadi istri yang di madu. Tapi kamu tetap sabar. Ya udah sih, tujuan kita hidup di dunia ini kan untuk akhirat kelak. Bukan untuk egoisnya kita. Kalau kita egois mungkin udah dari dulu kamu cerain Bara. Tapi ini kamu mikirnya untuk kebaikan kamu di akhirat nanti. Jadi kamu nggak usah mundur,” jelas ayu dengan yakin. “Toh, kalau kamu maju Mas Bara juga masih sayang kan sama kamu. Jadi untuk apa juga kamu mundur?” Ayu seolah meyakinkan aku untuk tetap mempertahankan rumah tangga. “Makasih ya atas semua nasihat kamu, Yu. Aku akan pikir matang-matang ten