“Sorry, gue telat,” ucap Darell dengan raut wajah bersalah.
Elaine hanya diam, tak segera menanggapi permintaan Darell. Darell tahu betul, pasti Elaine merasa kesal karena harus menunggunya selama dua jam. Wanita mana yang tahan untuk menunggu?
“Sorry,” ulangnya dengan lirih.
Elaine menghela napas, kemudian dia tersenyum kecut. Bagaimanapun dia tidak bisa menyembunyikan rasa kesal dan kecewanya.
“Iya, nggak papa,” timpal Elaine.
“Mau ke mana?” tanya Darell.
Mendengar pertanyaan Darell, Elaine mendengus. “Mau pulang. Gue ada urusan lain,” katanya ketus. Jika perempuan sudah kesal, jangan harap mendapatkan pengampunan darinya hari itu juga.
“Pulang? Jadi … kita nggak jadi makan malamnya?” tanya Darell lagi. Sumpah, dia tidak tahu harus bersikap seperti apa. Ini adalah kesalahannya.
“Next time, ya. Gue harus balik.”
“Kalau gitu,
“Siapa?”Hening. Orang di balik pintu itu tidak menjawab pertanyaannya. Karena penasaran, Elaine memmutuskan untuk membuka pintu kosannya. Mungkin saja ada tetangganya yang mau meninta bantuan atau meminjam sesuatu.Saat Elaine membuka pintu kamarnya lebar-lebar, dia terkejut dengan sosok yang kini berdiri tepat di hadapannya. Seorang laki-laki dengan berbalut jas berwarna navy berdiri dengan tegap di depan Elaine.“Darell? Ngapain ke sini?” tanya Elaine yang tak bisa menyembunyikam perasaan terkejutnya. Laki-laki itu nampak basah, walau tidak sebasah dirinya tadi.“Gue mau minta maaf,” jawab Darell cepat.Elaine merasa canggung sekarang. Tidak. Yang seharusnya meminta maaf adalah dirinya, bukan Darell.“Maafin gue,” sesal Darell.Elaine menjilat bibirnya yang mendadak terasa kering. “Masuk dulu. Nggak enak kalau berdiri di luar,” ajak Elaine. “Lagian, lo basah begitu,&
Kruuk~Sebuah suara yang tidak diharapkan tiba-tiba saja memecah keheningan mereka. Darell langsung memejamkan mata dan mengigit bibir bawahnya. Bisa-bisanya perutnya ini berbunyi disaat seperti ini.Elaine langsung menoleh ke arah Darell yang sedang menahan rasa malunya. Kemudian dia mencoba menahan tawanya. Lucu. Serius, melihat Darell menahan malu itu membuat Elaine ingin tertawa. Tapi dia takut kualat jika menertawakan orang yang sedang kelaparan.“Lo laper? Gue masakin makan malam dulu, ya,” kata Elaine.“Hah?” Darell langsung melihat ke arah Elaine. “Nggak usah, biar gue balik aja,” kilah Darell sembari menyembunyikan rasa malunya.Elaine beranjak dari duduknya. Kemudian dia menuju sebuah lemari, mengambil sebuah handuk dari dalam sana.“Lo ke kamar mandi dulu, gih. Keringin dulu baju dan badan lo, nanti masuk angin. Biar gue masakin sesuatu, tapi sorry kalau cuman ada mie instan. Cuman ada itu
“Tumben banget Jakarta mati listrik gini, sih?” rutuk Elaine. Dia merasa kesal, karena Elaime paling tidak suka dengan kondisi seperti ini. Hujan besar, dibarengi dengan petir, ditambah dengan listrik yang padam.“Kayaknya karena hujan petir gini, deh. Mungkin ada gangguan,” timpal Darell. Kemudian dia memberikan ponsel yang sedang dia pegang pada sang empunya.“Sorry, gue main ambil handphone lo. Soalnya handphone gue mati, terus gue nggak tahu senter di mana. Makanya gue pakai handphone lo,” imbuhnya.“Oh.” Elaine menerima benda pipih itu. “Nggak masalah. Thanks udah nyusulin gue ke dapur,” ucap Elaine. Lalu dia membuka lemari kecil dan mengeluarkan lampu darurat miliknya.“Persiapan banget, ya?” kata Darell.“Ya jelas, lah.” Elaine menyimpan lampu itu di meja bundar. “Btw, lo nyaman nggak pakai kemeja gitu? Mau gue pinjemin kaos ke tetangga kosan yang
Semalam sesaat setelah Darell berkata demikian pada Elaine, gadis itu tak bisa tidur sampai pagi. Rasanya sulit sekali untuk memejamkan mata. Otaknya terlalu sibuk memutar segala memori kenangan lamanya saat bersama dengan laki-laki, yang semalaman tidur dengan memeluk dirinya.Padahal Elaine sudah berhasil melupakan hal itu. Tapi saat pertama kali dia bertemu lagi dengan Darell, perlahan kenangan itu kembali berputar dalam benaknya. Sampai tadi malam, rasanya semua kenangan itu memaksa untuk keluar dan meminta Elaine untuk kembali mengingatnya.“Thanks, ya. Sorry kalau gue ngerepotin. Next time gue bakal ganti mie instan lo semalam.”Seketika Elaine langsung menoleh ke arah Darell dengan wajah linglungnya.“Ah, i-iya. Santai aja,” timpal Elaine. Dia melihat Darell sudah siap untuk pergi meninggalkan kosannya.“Kalau gitu, gue pamit, ya. Thanks,” ucap Darell lagi, berpamitan untuk pergi dari kosan milik Elaine.
Elaine turun dari mobil berwarna hitam. Kemudian dia disambut dengan uluran tangan dari seorang laki-laki. Elaine terlihat sedikit ragu, ketika harus menerima uluran tangan itu.“Gue pegel, nih, Len,” ucap laki-laki itu sarkas.“Hah?” Elaine mengangkat kepalanya sedikit, melihat ke arah laki-laki itu. “Oh, iya,” balasnya cepat. Seketika dia menerima uluran tangan dari laki-laki tersebut.Akhirnya mereka masuk ke dalam gedung pertemuan dan segera menemui teman-temannya. Benar saja, saat mereka memasuki gedung Grace dan Valen sudah menyambut kedatangan mereka.“Thanks, ya, Rell. Lo mau ngangkut Elaine. Soalnya kalau nebeng sama gue suka ribetin ni anak,” kata Grace sambil menyikut sahabatnya.Elaine langsung menoleh dan melancarkan tatapan tajam. Tak lupa dia mendaratkan cubitan pada pinggang sahabatnya itu.“Aaaw!” pekik Grace.“Lo apa-apaan, sih?” bisi
“Kita cari penginapan aja di sini,” ucap Darell. Ia langsung mengeluarkan gawainya, mencoba mencari hotel atau penginapan terdekat. “Ini emang mobilnya kenapa?” tanya Elaine. “Nggak paham gue, bukan montir. Udah biar besok diurus di bengkel.” “Terus mobilnya di simpen di sini aja?” tanya Elaine lagi. Saat ini mereka berada di depan bengkel dekat gerbang tol. Tadi saat mobil milik Darell mogok di jalan tol, dia menelepon petugas jasamarga, dan mobilnya langsung diangkut ke gerbang tol terdekat. “Ya masa mau kita bopong, Len?” Elaine langsung merapatkan bibirnya. Entah kenapa dia agak kesal dengan jawaban dari Darell. Sedangkan Darell sedang sibuk dengan gawainya, mencoba mencari penginapan yang nyaman untuk mereka berdua. Angin malam mulai menusuk kulit. Elaine bisa merasakan rasa dingin yang menembus sampai ke tulang. Jelas saja, Elaine malam ini hanya menggunakan dress dengan lengan pendek dan bagian bawahnya cuman selutut. Wa
Elaine masih memalingkan wajahnya, dia tak sanggup jika harus menatap Darell. Gadis itu menjilat bibirnya yang terasa sangat kering, lalu menelan salivanya kasar.Gugup? Jelas. Tapi … bukankah ini yang diinginkan Elaine? Bukannya selama seminggu ini Elaine selalu bertanya-tanya perihal ungkapan Darell malam itu. Sekarang, ketika Darell sudah mencoba mengungkapkannya lagi secara sadar. Kenapa Elaine malah bingung?“Len, lo masih bangun, kan?” tanya Darell.“Hah?” Elaine seketika sadar dari lamunannya. “I-iya, masih, kok,” jawabnya tanpa melirik ke arah Darell.Terdengar helaan napas dari laki-laki yang ada di samping Elaine.“Jadi gimana?”“Gue nggak tahu,” jawab Elaine bingung.“Nggak tahu?” Darell mencoba mengulangi perkataan Elaine. “Maksud lo nggak tahu gimana?”Elaine meremas selimut. Ah, dia benar-benar tidak bisa mendeskripsikan per
Elaine langsung membawa laki-laki itu menuju kamar kosnya. Niatnya untuk jalan-jalan ke mini market diurungkannya begitu saja.“Kenapa lo ke sini?” tanya Elaine. Dia langsung menutup pintu kosannya.“Mau ketemu,” jawab laki-laki itu, yang kemudian menampilkan deretan gigi putihnya.Elaine mendesah. “Kenapa nggak bilang dulu gitu? Tiba-tiba main datang aja ke kosan gue,” komentar Elaine.“Mau surprise ceritanya. Lo mau ke mana malem-malem gini?” Darell menatap Elaine dari atas sampai bawah.“Ke mini market. Sekalian cari angin,” jawab Elaine. “Nggak usah surprise-surprise. Kalau gue tadi udah jalan ke mini market, lo pasti udah nungguin gue di depan kosan sampe lumutan.”Darell mendengus dan tersenyum meremehkan. “Lebay banget, lumutan apaan? Btw, sorry, ya. Akhir-akhir ini gue sibuk,” ucap Darell.“Iya. I know, lo udah ngomong itu berkali-kali, R