Elaine masih memalingkan wajahnya, dia tak sanggup jika harus menatap Darell. Gadis itu menjilat bibirnya yang terasa sangat kering, lalu menelan salivanya kasar.
Gugup? Jelas. Tapi … bukankah ini yang diinginkan Elaine? Bukannya selama seminggu ini Elaine selalu bertanya-tanya perihal ungkapan Darell malam itu. Sekarang, ketika Darell sudah mencoba mengungkapkannya lagi secara sadar. Kenapa Elaine malah bingung?
“Len, lo masih bangun, kan?” tanya Darell.
“Hah?” Elaine seketika sadar dari lamunannya. “I-iya, masih, kok,” jawabnya tanpa melirik ke arah Darell.
Terdengar helaan napas dari laki-laki yang ada di samping Elaine.
“Jadi gimana?”
“Gue nggak tahu,” jawab Elaine bingung.
“Nggak tahu?” Darell mencoba mengulangi perkataan Elaine. “Maksud lo nggak tahu gimana?”
Elaine meremas selimut. Ah, dia benar-benar tidak bisa mendeskripsikan per
Elaine langsung membawa laki-laki itu menuju kamar kosnya. Niatnya untuk jalan-jalan ke mini market diurungkannya begitu saja.“Kenapa lo ke sini?” tanya Elaine. Dia langsung menutup pintu kosannya.“Mau ketemu,” jawab laki-laki itu, yang kemudian menampilkan deretan gigi putihnya.Elaine mendesah. “Kenapa nggak bilang dulu gitu? Tiba-tiba main datang aja ke kosan gue,” komentar Elaine.“Mau surprise ceritanya. Lo mau ke mana malem-malem gini?” Darell menatap Elaine dari atas sampai bawah.“Ke mini market. Sekalian cari angin,” jawab Elaine. “Nggak usah surprise-surprise. Kalau gue tadi udah jalan ke mini market, lo pasti udah nungguin gue di depan kosan sampe lumutan.”Darell mendengus dan tersenyum meremehkan. “Lebay banget, lumutan apaan? Btw, sorry, ya. Akhir-akhir ini gue sibuk,” ucap Darell.“Iya. I know, lo udah ngomong itu berkali-kali, R
“Elaine, nanti jam makan siang free, nggak?”Mendapatkan pertanyaan seperti itu sontak Elaine mendongak.“Eh, Mas Varo.” Elaine mengalihkan perhatiannya sejenak. “Kayaknya nggak, soalnya saya ada survey ke lapangan. Ada apa?” tanya Elaine.Alvaro hanya menganggukkan kepalanya. “Kalau balik kantor?” tanyanya lagi.“Mmm ….” Elaine nampak berpikir. “Kayaknya bisa. Ada apa emangnya?” tanyanya penasaran.“Ya udah, balik kantor aja kalau gitu. Thanks, ya,” timpalnya. Kemudian Alvaro berlalu, meninggalkan Elaine yang sedang duduk di kursi kerjanya.Dahi Elaine berkerut. Dia penasaran dengan maksud dan tujuan Alvaro mengajaknya pergi. Tadi pertanyaannya tadi tidak dijawab oleh laki-laki itu.“Eh, Len. Ini coba baca dulu, siapa tahu bisa buat bahan.” Fathan, rekan kerjanya di bagian riset, memberikan beberapa file dokumen untuk di baca
“Lagi apa kalian di sini?” Suara bass itu mengagetkan Elaine dan Alvaro. Tak hanya mereka berdua, karyawan di toko perhiasan itu pun ikut terkejut.Elaine dan Alvaro sontak menoleh ke arah laki-laki itu. Betapa terkejutnya Elaine ketika dia mendapati Darell sedang berdiri di sana. Tak bisa ditutupi, wajah laki-laki itu terlihat marah. Elaine mematung beberapa detik di tempat.“Pa-Pak Darell,” ucap Alvaro tergagap.“Sedang apa kalian berdua di sini, hah?” tanya Darell lagi dengan nada setengah membentak.Alvaro terkesiap, pupilnya membulat. Dia bingung kenapa bosnya itu terlihat sangat marah sekarang.“A-anu i-itu—”“Ah! Kamu gagap? Atau nggak bisa jelasin apa yang sedang kalian lakukan di sini?” Darell menyela kalimat yang belum sempat keluar dari mulut Alvaro.“Lo ikut gue sekarang, Len!” tegas Darell. Di tariknya lengan kiri Elaine secara paksa. Namun seke
Darell merasa tak enak hati pada Elaine, tapi entah kenapa dia kesulitan untuk meminta maaf. Jujur saja, ada sedikit perasaan malu yang dia rasakan. Kenapa juga dia langsung marah tadi? Padahal dia bisa bicarakan baik-baik dengannya.Mobil milik Darell kini sudah terparkir di basement apartemennya. Seraya mereka turun dari mobil, pergi menuju lfit dan segera naik ke lantai di mana unit milik Darell berada.Tak ada suara di antara mereka berdua. Darell melihat Elaine dari pantulan dinding lift. Raut wajah kesal, bete, marah, dan kecewa itu jelas terlihat di wajah gadis yang sedang berdiri di belakangnya.“Maaf.”Akhirnya satu kata itu bisa lolos dari mulut Darell. Setelah sedari tadi dia berdiam saja. Bukan tidak mau meminta maaf, tapi rasanya agak sedikit berat karena dia tidak terbiasa.Tak ada jawaban dari Elaine. Sampai akhirnya pintu lift terbuka dan mereka segera melangkah menuju unit Darell.“Len,” panggil Darel
Darell membuka matanya perlahan, ketika dia mendengar bunyi alarm pada jam yang diletakkan di atas nakas. Tangan kirinya mencoba meraih jam tersebut dan langsung mematikannya.Laki-laki itu menggeliat, tapi tangan kanannya terasa berat. Saat dia menoleh ke sana, ternyata Elaine masih tertidur dengan wajah polosnya. Gadis itu tidur di atas tangan Darell. Ah, iya Darell ingat, semalam dia terus memeluknya.Mengingat kejadian semalam, Darell tersenyum senang. Bagaimana tidak? Dia merasa kehidupannya kembali. Harus diketahui, selama hampir dua tahun dia tinggal di Indonesia, dia melakukan puasa.Iya, puasa. Maksudnya selama ini Darell puasa dari kesenangannya bersama para wanita. Dia tak ingin menyentuh wanita lain, selain Elaine. Ya, jujur saja dia sedikit tersiksa. Apalagi untuk mendapatkan Elaine, dia harus bersabar. Elaine itu berbeda dengan para perempuan lainnya. Yang biasanya para perempuan itu akan mengantre dengan sendirinya.“Love you, Len,&rd
Ringan. Entah kenapa Elaine merasa hatinya terasa lebih ringan. Maksudnya, selama ini dia terus menanggung beban kehidupannya. Tapi gara-gara dia menaiki wahana tadi, dia merasa semua bebannya itu hilang.Elaine sadar, selama dia berada di wahana tersebut, dia selalu mengumpat. Ah, mungkin jika ditayangkan di televisi, tayangan itu tidak lulus sensor. Awalnya umpatan itu dia khususkan untuk Darell yang berengsek. Sudah tahu dia tidak suka dengan wahana mengerikan itu, tapi laki-laki itu tetap memaksanya.Namun lama kelamaan, umpatan itu tidak ditujukan untuk Darell. Tapi untuk orang-orang yang selama ini sudah memberikan beban kehidupan untuknya. Ah, kalian pasti sudah tahu siapa orang yang dimaksud oleh Elaine.“Kenapa ketawa? Lo sehat, kan? Belum gila?” tanya Darell pada Elaine.Gadis itu langsung menoleh ke arah Darell. Dia menatap laki-laki itu dengan keadaan masih tertawa.“Gue kok ngerasa takut sama lo, ya, Len,” kata
“Pak, ada panggilan dari resepsionis. Katanya ada yang cari Bapak,” bisik Sheial, saat mereka berdua keluar dari ruang rapat.“Siapa?” Darell balik bertanya. Seingatnya dia tak memiliki janji temu dengan orang lain hari ini.“Namanya Christine, katanya temen Bapak waktu di Amerika.”Mendengar nama Christine disebut oleh sekretarisnya, membuat pupil Darell membulat. Ah, dia ingat beberapa hari lalu Christine menghubunginya dan memberi kabar bahwa dia akan ke Indonesia. Saat itu Darell lupa membalas pesan Christine karena dia sibuk bersama dengan Elaine. Mana sempat dia membalas pesan wanita lain.“Oke, thanks. Suruh dia masuk ke ruangan saya, saja,” titah Darell. Bertemu dengan Christine di ruang kerjanya akan lebih baik, jika harus di tempat umum. Apalagi kalau sampai ketahuan Elaine, bisa berabe urusannya.Darell selama ini tidak pernah menceritakan kehidupannya dulu saat di Amerika pada Elaine. Piki
“Ilen, gue pergi dulu, ya.”“Mau ke mana?” tanya Elaine penasaran.Malam ini penampilan Darell sangat rapi sekali. Dia benar-benar memperhatikan penampilannya dari atas sampai bawah.“Ketemu temen,” jawabnya sembari mengenakan arloji di pergelangan tangannya. “Lo nggak usah nunggu gue, kayaknya gue bakal balik telat. Bye.”Darell mengacak rambut Elaine sebagai salam perpisahan.“Ish! Apa, sih? Malah ngacak rambut gue. Kalau mau pergi, ya pergi aja,” sungut Elaine.“Ya udah. Jangan terima tamu dari siapa pun,” pesan Darell. Kemudian laki-laki itu sudah menghilang di balik pintu.Elaine hanya mendengus dan kemudian fokus dengan pekerjaannya. Dia masih harus banyak riset untuk pekerjaannya. Karena untuk proyek ini, Elaine diberi tanggung jawab lebih oleh atasannya.“Tapi dia mau ketemu siapa, ya?” gumam Elaine penasaran.Tiba-tiba saja dia t