Semalam sesaat setelah Darell berkata demikian pada Elaine, gadis itu tak bisa tidur sampai pagi. Rasanya sulit sekali untuk memejamkan mata. Otaknya terlalu sibuk memutar segala memori kenangan lamanya saat bersama dengan laki-laki, yang semalaman tidur dengan memeluk dirinya.
Padahal Elaine sudah berhasil melupakan hal itu. Tapi saat pertama kali dia bertemu lagi dengan Darell, perlahan kenangan itu kembali berputar dalam benaknya. Sampai tadi malam, rasanya semua kenangan itu memaksa untuk keluar dan meminta Elaine untuk kembali mengingatnya.
“Thanks, ya. Sorry kalau gue ngerepotin. Next time gue bakal ganti mie instan lo semalam.”
Seketika Elaine langsung menoleh ke arah Darell dengan wajah linglungnya.
“Ah, i-iya. Santai aja,” timpal Elaine. Dia melihat Darell sudah siap untuk pergi meninggalkan kosannya.
“Kalau gitu, gue pamit, ya. Thanks,” ucap Darell lagi, berpamitan untuk pergi dari kosan milik Elaine.
Elaine turun dari mobil berwarna hitam. Kemudian dia disambut dengan uluran tangan dari seorang laki-laki. Elaine terlihat sedikit ragu, ketika harus menerima uluran tangan itu.“Gue pegel, nih, Len,” ucap laki-laki itu sarkas.“Hah?” Elaine mengangkat kepalanya sedikit, melihat ke arah laki-laki itu. “Oh, iya,” balasnya cepat. Seketika dia menerima uluran tangan dari laki-laki tersebut.Akhirnya mereka masuk ke dalam gedung pertemuan dan segera menemui teman-temannya. Benar saja, saat mereka memasuki gedung Grace dan Valen sudah menyambut kedatangan mereka.“Thanks, ya, Rell. Lo mau ngangkut Elaine. Soalnya kalau nebeng sama gue suka ribetin ni anak,” kata Grace sambil menyikut sahabatnya.Elaine langsung menoleh dan melancarkan tatapan tajam. Tak lupa dia mendaratkan cubitan pada pinggang sahabatnya itu.“Aaaw!” pekik Grace.“Lo apa-apaan, sih?” bisi
“Kita cari penginapan aja di sini,” ucap Darell. Ia langsung mengeluarkan gawainya, mencoba mencari hotel atau penginapan terdekat. “Ini emang mobilnya kenapa?” tanya Elaine. “Nggak paham gue, bukan montir. Udah biar besok diurus di bengkel.” “Terus mobilnya di simpen di sini aja?” tanya Elaine lagi. Saat ini mereka berada di depan bengkel dekat gerbang tol. Tadi saat mobil milik Darell mogok di jalan tol, dia menelepon petugas jasamarga, dan mobilnya langsung diangkut ke gerbang tol terdekat. “Ya masa mau kita bopong, Len?” Elaine langsung merapatkan bibirnya. Entah kenapa dia agak kesal dengan jawaban dari Darell. Sedangkan Darell sedang sibuk dengan gawainya, mencoba mencari penginapan yang nyaman untuk mereka berdua. Angin malam mulai menusuk kulit. Elaine bisa merasakan rasa dingin yang menembus sampai ke tulang. Jelas saja, Elaine malam ini hanya menggunakan dress dengan lengan pendek dan bagian bawahnya cuman selutut. Wa
Elaine masih memalingkan wajahnya, dia tak sanggup jika harus menatap Darell. Gadis itu menjilat bibirnya yang terasa sangat kering, lalu menelan salivanya kasar.Gugup? Jelas. Tapi … bukankah ini yang diinginkan Elaine? Bukannya selama seminggu ini Elaine selalu bertanya-tanya perihal ungkapan Darell malam itu. Sekarang, ketika Darell sudah mencoba mengungkapkannya lagi secara sadar. Kenapa Elaine malah bingung?“Len, lo masih bangun, kan?” tanya Darell.“Hah?” Elaine seketika sadar dari lamunannya. “I-iya, masih, kok,” jawabnya tanpa melirik ke arah Darell.Terdengar helaan napas dari laki-laki yang ada di samping Elaine.“Jadi gimana?”“Gue nggak tahu,” jawab Elaine bingung.“Nggak tahu?” Darell mencoba mengulangi perkataan Elaine. “Maksud lo nggak tahu gimana?”Elaine meremas selimut. Ah, dia benar-benar tidak bisa mendeskripsikan per
Elaine langsung membawa laki-laki itu menuju kamar kosnya. Niatnya untuk jalan-jalan ke mini market diurungkannya begitu saja.“Kenapa lo ke sini?” tanya Elaine. Dia langsung menutup pintu kosannya.“Mau ketemu,” jawab laki-laki itu, yang kemudian menampilkan deretan gigi putihnya.Elaine mendesah. “Kenapa nggak bilang dulu gitu? Tiba-tiba main datang aja ke kosan gue,” komentar Elaine.“Mau surprise ceritanya. Lo mau ke mana malem-malem gini?” Darell menatap Elaine dari atas sampai bawah.“Ke mini market. Sekalian cari angin,” jawab Elaine. “Nggak usah surprise-surprise. Kalau gue tadi udah jalan ke mini market, lo pasti udah nungguin gue di depan kosan sampe lumutan.”Darell mendengus dan tersenyum meremehkan. “Lebay banget, lumutan apaan? Btw, sorry, ya. Akhir-akhir ini gue sibuk,” ucap Darell.“Iya. I know, lo udah ngomong itu berkali-kali, R
“Elaine, nanti jam makan siang free, nggak?”Mendapatkan pertanyaan seperti itu sontak Elaine mendongak.“Eh, Mas Varo.” Elaine mengalihkan perhatiannya sejenak. “Kayaknya nggak, soalnya saya ada survey ke lapangan. Ada apa?” tanya Elaine.Alvaro hanya menganggukkan kepalanya. “Kalau balik kantor?” tanyanya lagi.“Mmm ….” Elaine nampak berpikir. “Kayaknya bisa. Ada apa emangnya?” tanyanya penasaran.“Ya udah, balik kantor aja kalau gitu. Thanks, ya,” timpalnya. Kemudian Alvaro berlalu, meninggalkan Elaine yang sedang duduk di kursi kerjanya.Dahi Elaine berkerut. Dia penasaran dengan maksud dan tujuan Alvaro mengajaknya pergi. Tadi pertanyaannya tadi tidak dijawab oleh laki-laki itu.“Eh, Len. Ini coba baca dulu, siapa tahu bisa buat bahan.” Fathan, rekan kerjanya di bagian riset, memberikan beberapa file dokumen untuk di baca
“Lagi apa kalian di sini?” Suara bass itu mengagetkan Elaine dan Alvaro. Tak hanya mereka berdua, karyawan di toko perhiasan itu pun ikut terkejut.Elaine dan Alvaro sontak menoleh ke arah laki-laki itu. Betapa terkejutnya Elaine ketika dia mendapati Darell sedang berdiri di sana. Tak bisa ditutupi, wajah laki-laki itu terlihat marah. Elaine mematung beberapa detik di tempat.“Pa-Pak Darell,” ucap Alvaro tergagap.“Sedang apa kalian berdua di sini, hah?” tanya Darell lagi dengan nada setengah membentak.Alvaro terkesiap, pupilnya membulat. Dia bingung kenapa bosnya itu terlihat sangat marah sekarang.“A-anu i-itu—”“Ah! Kamu gagap? Atau nggak bisa jelasin apa yang sedang kalian lakukan di sini?” Darell menyela kalimat yang belum sempat keluar dari mulut Alvaro.“Lo ikut gue sekarang, Len!” tegas Darell. Di tariknya lengan kiri Elaine secara paksa. Namun seke
Darell merasa tak enak hati pada Elaine, tapi entah kenapa dia kesulitan untuk meminta maaf. Jujur saja, ada sedikit perasaan malu yang dia rasakan. Kenapa juga dia langsung marah tadi? Padahal dia bisa bicarakan baik-baik dengannya.Mobil milik Darell kini sudah terparkir di basement apartemennya. Seraya mereka turun dari mobil, pergi menuju lfit dan segera naik ke lantai di mana unit milik Darell berada.Tak ada suara di antara mereka berdua. Darell melihat Elaine dari pantulan dinding lift. Raut wajah kesal, bete, marah, dan kecewa itu jelas terlihat di wajah gadis yang sedang berdiri di belakangnya.“Maaf.”Akhirnya satu kata itu bisa lolos dari mulut Darell. Setelah sedari tadi dia berdiam saja. Bukan tidak mau meminta maaf, tapi rasanya agak sedikit berat karena dia tidak terbiasa.Tak ada jawaban dari Elaine. Sampai akhirnya pintu lift terbuka dan mereka segera melangkah menuju unit Darell.“Len,” panggil Darel
Darell membuka matanya perlahan, ketika dia mendengar bunyi alarm pada jam yang diletakkan di atas nakas. Tangan kirinya mencoba meraih jam tersebut dan langsung mematikannya.Laki-laki itu menggeliat, tapi tangan kanannya terasa berat. Saat dia menoleh ke sana, ternyata Elaine masih tertidur dengan wajah polosnya. Gadis itu tidur di atas tangan Darell. Ah, iya Darell ingat, semalam dia terus memeluknya.Mengingat kejadian semalam, Darell tersenyum senang. Bagaimana tidak? Dia merasa kehidupannya kembali. Harus diketahui, selama hampir dua tahun dia tinggal di Indonesia, dia melakukan puasa.Iya, puasa. Maksudnya selama ini Darell puasa dari kesenangannya bersama para wanita. Dia tak ingin menyentuh wanita lain, selain Elaine. Ya, jujur saja dia sedikit tersiksa. Apalagi untuk mendapatkan Elaine, dia harus bersabar. Elaine itu berbeda dengan para perempuan lainnya. Yang biasanya para perempuan itu akan mengantre dengan sendirinya.“Love you, Len,&rd