Elaine berjalan dengan langkah gontai. Mood-nya pagi ini benar-benar ambyar. Pasalnya tadi pagi Risa –ibu Tirta- menghubunginya. Wanita itu menanyakan tentang kondisi Elaine dan Tirta yang sedang tidak baik-baik saja.
‘Dasar pasti ngadu sama emaknya! Sejak kapan jadi pengadu gitu, sih?’ Tanpa sadar Elaine berdecih. Lalu dia memasakn wajah yang masam dan menyilangkan tangannya di dada.
“Pagi-pagi udah badmood. Gimana mau kerja dengan baik?”
Seseorang mengangetkan Elaine, buru-buru dia menoleh ke belakang. Betapa terkejutnya Elaine ketika melihat sosok laki-laki dengan berbalut jas rapi sedang berdiri di belakangnya.
“Eh?”
Mampus. Kenapa harus bertemu dengan Darell sepagi ini? Elaine mendesah, kacau sudah Rabu paginya ini.
“Di depan atasan, kamu berani mendesah seperti itu? Sudah tidak tahan bekerja di sini?” sinis Darell.
Elaine langsung membulatkan mata dan mengatupkan bibirnya. Di
“Tirta? Kok …?” Elaine terkejut ketika mendapari Tirta ada di hadapannya sekarang. Wait … ini bukan mimpi atau delusi, kan? “Kebetulan aku ada di Jakarta. Jadi aku mampir ke sini, dan mungkin malam ini aku menginap di sini aja, ya?” ucap Tirta. Karena dia sudah tak sungkan lagi dengan Elaine, laki-laki itu mencopot alas kakinya, dan langsung masuk ke kamar Elaine. “Kok kamu ada di sini, sih?” tanya Elaine. Dia yakin kalau sekarang dia sedang tidak berdelusi. Laki-laki yang baru saja melewatinya itu memang Tirta. “Kenapa? Kamu nggak senang?” tanya Tirta, melirik sinis ke arah Gladys. Gladys menutup pintu kosannya. Khawatir terjadi sebuah perang dan membuat heboh seisi kosan. “Bu-bukan gitu. Tapi Surabaya-Jakarta itu jauh, loh. Kok kamu bisa ada di sini? Kamu segaja ke sini? Dan … kenapa kamu nggak bilang?” cerca Elaine. Dia langsung menghampiri Tirta. Laki-laki itu menyimpan ranselnya dan langsung duduk lesehan, di atas karpet b
Panas. Menjengkelkan. Ah, kenapa juga Darell harus sampai datang ke sini dan melihat momen manis mereka berdua? Tapi kalau malam ini dia tidak datang menemui Elaine dan Tirta, dia akan kehilangan momennya.“Ah, sial! Gue nggak bisa menunggu lama lagi!”Darell langsung bangkit dari kursinya. Langkahnya kini menuntunnya mendekati tempat Tirta dan Elaine berada.“Wah, ada yang lagi malam mingguan, ya?” Nada sinis terdengar dari pertanyaan yang diajukan Darell.“Eh, salah ini masih Jum’at, jadi malam Sabtuan.” Darell buru-buru meralat ucapannya.Kini laki-laki itu berdiri tepat di samping Elaine dan Tirta. Dia melirik ke arah Elaine, gadis itu hanya diam, tidak bergerak sama sekali. Bahka
Darell hanya bisa bergeming, perasaannya kini tidak enak. Dia merasa bersalah pada Elaine. Harusnya dia menahan sedikit egonya. Harusnya dia tidak mengganggu mereka berdua. Harusnya dia tak mengungkit masalah pekerjaannya. Dan lihat, kini Elaine malah terluka akibat keegoisannya.‘Bodoh!’Darell memaki dirinya sendiri. Apalagi ketika tahu Elaine berbohong pada Tirta. Tapi jika dipikir ulang, semua ini bukan hanya kesalahannya saja. Tirtalah yang membuat Elaine marah dan pergi meninggalkan mereka.“Cih! Jaga mulut lo, Tir,” hardik Darell. Kalau saja Tirta tak menyinggung bagaimana hubungan Darell dan Elaine dulu, mungkin tidak akan seperti ini.Iya, Darell akui, dulu dia hanya bermain-main dengan wanita, tak terkecuali Elaine. Tapi setelah tahu bagaimana rasanya ditinggal secara tiba-tiba oleh Elaine, dia sadar. Elaine itu adalah perempuan yang mampu menghilangkan rasa sedihnya, yang sudah berakar bertahun-tahun. Bahkan mantan pacar
Elaine membeku di tempat. Kenapa ada laki-laki itu di sini? Apa dia membuntuti Elaine? Dan … kenapa wajahnya lebam?“Kenapa lo ada di sini?” tanya Elaine.“Karena gue mau minta maaf sama lo,” ucap laki-laki itu.Elaine menggeleng. “Maksudnya, kenapa lo bisa tahu gue bakal ke sini? Apa lo ngebuntutin gue?” Dia meralat pertanyaannya.“Feeling. Lo nggak akan mungkin balik ke kosan lo. Dan pasti tujuan lo cuman ke apartemen Grace. Jadi gue ke sini,” jawabnya.Gadis itu menghela napasnya. “Mending lo balik, Rell,” titah Elaine halus. Baru saja dia terhibur dan sedikit melupakan yang baru saja dia alami. Tapi sekarang malah harus bertemu dengan si sumber masalah.“Nggak, sebelum kita ngobrol.” Darell membantah perintah Elaine.“Apa yang mau diobrolin? Udahlah, wasting time banget. Mending gue istirahat, gue capek.” Elaine berusaha untuk tidak menggubr
“Tante, lihat aku udah bisa gambar dong.”Seorang anak perempuan yang besok akan genap berumur tiga tahun menghampiri Elaine. Dia membawa buku gambar dan memperlihatkan hasil gambarannya.“Wah, Ariel pinter, ya.” Elaine mengelus puncak kepala anak itu. Kemudian dia melihat hasil gambar anak tersebut. “Ini siapa aja?” tanya Elaine. Lalu dia mengangkat Ariel dan memangkunya.“Ini, aku, Mamah, Nenek, Kakek, sama Tante Elaine,” ucap Ariel sambil menunjuk setiap gambarnya.Elaine hanya tersenyum. Gadis yang sedang dipangku oleh Elaine adalah Ariella, dia anak dari Elsa dengan Rio. Setelah satu tahun pernikahan mereka, tiba-tiba saja Rio meninggalkan kakaknya. Keluarga Rio pun seolah lepas tangan dan tak ingin tahu dengan masalah anaknya.Akhirnya Elsa merawat Ariella sendiran, tanpa sosok Rio di sampingnya. Tapi Lena dan Robby tetap menemani anak sulungnya itu. Maka sangat wajar, jika Ariella tak menggamba
Elaine memandang layar komputer dengan tatapan kosong. Entah kenapa otaknya ini tak henti memikirkan foto yang diperlihatkan Elsa dua hari lalu. Elsa memberikan sebuah screnshoot dari status Tirta yang dia publish untuk teman dekatnya di akun Onstagram. Pada postingan itu terlihat seorang perempuan bersurai panjang sedang duduk membelakangi kamera. Kemudian pada foto tersebut Tirta membubuhkan tulisan ‘My Mood booster’ dan di akhiri dengan emoticon love. Sempat Elaine bertanya pada Tirta, tapi tentu dia tidak bertanya tentang postingan itu. Dia hanya bertanya apa kesibukan Tirta dan kenapa laki-laki itu sudah tidak suka update story di Onstagram. Tapi Tirta membalas dengan ketus. Karena malas berdebat, akhirnya Elaine mengalah. Tanpa sadar gadis itu menghela napas kasar di mejanya. Saat itu Alvaro sedang melewati meja kerja Elaine, dan mendengar helaan napas keputus asaan. “Kenapa, Len? Kerjaan dari saya berat?” tanya Alvaro dingin. “Eh?” Sont
Darell baru saja turun dari mobil dan langsung melangkahkan kakinya menuju lobi gedung perusahaannya. Namun kedua matanya itu langsung menangkap objek yang seketika membuat hatinya terusik. Dia melihat Elaine sedang berduaan dengan seorang laki-laki, dan Darell tak mengenali laki-laki itu. Segera Darell menghampiri mereka berdua. Urusannya dengan Tirta saja belum selesai, dan dia tak ingin menambah daftar urusannya dengan laki-laki lain. “Kamu!” seru Darell. Sontak Elaine dan laki-laki berbadan jangkung, yang terlihat lebih tua beberapa tahun dari Darell menoleh. Karena Darell tidak tahu siapa nama laki-laki itu. Dia langsung melirik ke arah id card yang menggantung di depan dadanya. Ah, ternyata manajer bagian promosi. Berarti laki-laki itu adalah atasan Elaine. “Kamu di cari Pak Sena di ruangannya,” imbuhnya. Tentu saja yang baru diucapkan Darell adalah sebuah kebohongan. Yang penting laki-laki itu harus segera menjauh dari Elaine. “
Terdengar suara bel yang menggema di stasiun Bandung. Kemudian disusul dengan pengumuman kedatangan kereta api dari Surabaya yang baru saja tiba di kota Bandung.Mendengar pengumuman tersebut, Elaine langsung beranjak dari kursi. Dia langsung menuju pintu exit penumpang kereta api. Saat ini dia sedang menunggu kedatangan Tirta. Rencananya hari ini dan besok, mereka akan survei untuk kebutuhan acara pernikahan mereka nanti.Tak lama kemudian Tirta datang dengan menggendong sebuah ransel dan membawa jinjingan pada tangan kanannya. Elaine langsung menyambut Tirta dengan senyuman.“Sini biar aku yang bawa,” ucap Elaine. Tapi Tirta tak memberikan jinjingannya itu. Dia malah merangkul Elaine dan mengajaknya untuk segera keluar dari stasiun.Mendapatkan perlakuan seperti itu Elaine sedikit lega. Setidaknya Tirta tidak berlaku ketus sekarang. Memang benar, dia hanya berprasangka buruk saja pada laki-laki itu. Ketika dia membuang jauh-jauh pikiran nega