Suara lenguhan mendominasi kamar apartemen yang cukup besar. Nampak seorang laki-laki dan perempuan sedang melakukan aktivitas panas di atas ranjang. Entah sudah berapa lama mereka melakukan hal itu. Yang pasti keringat sudah bercucuran di tubuh mereka.
“Oh … aku sampai,” lenguh perempuan berambut pirang.
“Kita lepaskan bersama, Sayang,” balas laki-laki yang sedang di atasnya. Ia mempercepat iramanya, sampai mereka memekik berdua mencapai puncak bersama.
Kini laki-laki itu membaringkan tubuhnya di samping sang perempuan. Napas mereka tesengal-sengal, merasa lelah dengan aktivitas yang baru saja mereka lakukan. Setelah dirasa tenaganya terisi kembali, sang laki-laki beranjak dan mulai mengenakan pakaiannya.
“Tidak ada ronde selanjutnya?” goda perempuan itu.
“Nope. Aku harus kembali,” jawabnya sambil mengancingkan kemeja.
Perempuan itu memajukan bibirnya, kesal. Padahal dia masih ingin bercinta dengan laki-laki itu.
“Oh, come on,
“Gimana hubungan lo sama Tirta, kapan nikahnya?” tanya Darell.Sekarang Darell sedang bersama Elaine di apartemennya. Tadi saat Darell hendak pulang, dia melihat Elaine yang sedang menunggu di drop point depan perusahaannya. Ya, gadis itu berhasil masuk dan diterima menjadi karyawan di perusahaannya. Darell ingat betul bahwa ini adalah cita-cita sang gadis saat sudah lulus kuliah nanti. Seolah tak ingin kehilangan kesempatan, Darell langsung membawa Elaine masuk ke dalam mobilnya.Saat Darell menarik Elaine masuk mobilnya tadi, gadis itu sangat terkejut ketika mendapati Darell di hadapannya. Namun Darell tak menghiraukannya, toh Elaine pun tak menolak ketika dirinya mencoba menarik dan sekarang berakhir di apartemennya.Mendengar pertanyaan Darell barusan, Elaine menautkan alisnya. Kenapa dia tahu perihal rencana pernikahannya dengan Tirta? Seingatnya dia tak pernah bercerita tentang hal tersebut.“Eh? Nikah … kenapa lo kepo, sih?
Setelah keluar dari apartemen Darell, Elaine langsung menghentikan taxi dan segera pulang. Perasaannya sedikit kesal sekarang. Sepanjang perjalanan, Elaine membayangkan momen yang baru saja terjadi bersama dengan Darell. Tidak, itu bukanlah sesuatu yang dia inginkan. Elaine sedang menguatkan dirinya sendiri, untuk tidak goyah.Sesampainya Elaine di kos-kosannya, dia langsung memasuki kamar. Melempar tasnya dengan sembarang dan menghemaskan tubuhnya ke atas kasur. Dia telungkup sambil membenamkan wajahnya pada bantal.Tiba-tiba saja air mata keluar membasahi pipinya. Iya, sedari tadi dia memang ingin menangis tapi dia mencoba untuk menahannya. Dia merasa kesal dengan sikap Darell yang ternyata tidak berubah sejak dulu. Seenaknya!“Berengsek! Kenapa harus ketemu? Kenapa juga dia harus jadi atasan gue?” umpatnya. Dalam hatinya kini banyak perasaan yang muncul dan berkecamuk di sana. Antara senang, sedih, kecewa, dan tentunya marah.Beberapa menit
Direktur Utama.Kini Elaine berdiri tepat di depan pintu jati besar. Ternyata ini adalah ruangan Direktur Utama. Elaine mendesah, sekarang dia tahu orang yang baru saja mengirim pesan padanya. Tapi … tiba-tiba Elaine merasa sedikit ragu.‘Masa sih Darell yang kirim pesan? Seinget gue, gue udah block semua kontaknya.’“Maaf, kamu siapa? Ada yang bisa saya bantu?” Seorang perempuan menepuk pundak Elaine. Sontak gadis itu menoleh ke belakang. Dia melihat seorang perempuan cantik, putih, dan juga langsing. Rambutnya yang bergelombang menambah kesan feminim pada perempuan itu.Elaine melirik ID card milik perempuan itu. Sheila Lestari, Secretary.‘Oh, ternyata sekretaris,’ batin Elaine. Lantas gadis itu tersenyum pada perempuan yang bernama Sheila.“Ah … sa-saya Elaine dari divisi marketing. Tadi saya mendapatkan pesan untuk datang ke ruangan direktur,” jawab Elaine.Sheila mema
“Gue pengin kita kayak dulu lagi. Gue pengin lo ada di samping gue lagi. Lo mau, kan?” tanya Darell penuh harap. Mendengar pertanyaan seperti itu, Elaine seolah disadarkan oleh sebuah kenyataan. Segera dia menarik dirinya dan beranjak dari pangkuan Darell. “Gila, ya! Gue udah tungangan, Rell. Please, nggak usah ganggu hidup gue. Gue sekarang udah bahagia sama Tirta,” sanggah Elaine. Darell langsung beranjak. “Bahagia? Yakin lo bahagia sama cowok yang pernah nyakitin lo?” Bahagia? Tentu yang diucapkan Elaine itu kebohongan belaka. Dia tidak merasa bahagia sama sekali. Selama empat tahun menjalin hubungan dengan Tirta pun, dia lakukan dengan perasaan terpaksa. “Kenapa diem? Bener, kan, kalau lo nggak bahagia sama dia? Ya udah kalau nggak bahagia, kenapa lo tetep mau lanjut sama cowok sialan itu?” cerca Darell. Dirinya merasa kesal pada Elaine yang mau merelakan masa depannya untuk keluarganya sendiri. “Inget, Len. Cowok itu yang udah bikin lo fr
Elaine langsung menyamabar ponsel yang sedang dipegang oleh Darell. Dia melirik ke arah layar. Mata Elaine membulat ketika mengetahui orang yang sedang melakukan panggilan dengan Darell adalah tunangannya. Buru-buru Elaine mematikan panggilan itu.Elaine menatap Darell dengan tatapan penuh rasa marah. Sedangkan Darell hanya menyeringai puas. Ingin rasanya Elaine menghardik Darell sekarang juga. Tapi itu akan hanya membuang-buang waktu saja. Akhirnya dia memutuskan untuk membalikkan badan dan pergi dari ruangan Darell.“Sejak kapan dia jadi emosian kayak gitu, ya?” gumam Darell. “Ah, gue nggak peduli. Yang pasti gue udah menyalakan sumbu api dan sekarang tinggal menyusun rencana lain.” Darell beranjak dari sofa dan kembali fokus dengan pekerjaannya.Sedangkan Elaine, dia kini sedang berada di toilet. Dirinya butuh membasuh wajah untuk sedikit menengkan pikirannya. Jujur saja, pikiran dan hatinya sama-sama tidak karuhan sekarang. Bagaimana
“Len, lo kenapa? Kesambet apa?” tanya seorang perempuan dari seberang telepon. Elaine langsung tersentak, dia membelalakan matanya. Sejurus kemudian dia melihat nama yang tertera pada layar ponselnya.Grace.“Halo, Len?” panggil Grace bingung, karena dia tak mendapatkan sahutan dari sahabatnya.Elaine buru-buru menempelkan benda pipih itu pada telinganya. “Sorry, Grace, gue kira Tirta,” sesal Elaine.“Kenapa lagi? Lo lagi berantem sama dia?” tanya Grace.Jujur saja Grace sudah jenuh jika harus mendengar cerita sahabatnya yang selalu bertengkar dengan tunangannya itu. Tapi … kalau dibiarkan dia tidak tega. Apalagi dia tahu betul Elaine terpaksa melakukan hubungan ini. Jadi Grace tak mungkin meninggalkan Elaine, walau sebenarnya dia sudah sangat kesal.“Ya begitulah,” jawab Elaine sambil menghela napas berat.“Kenapa? Masalah apalagi? Dia masih terlalu posesif dan
Bosan. Seharusnya Darell tadi menolak acara makan malam ini. Ya, sekarang dia sedang bersama kedua orang tua dan juga kakaknya. Mereka sedang menghadiri jamuan makan malam bersama rekan bisnis sang ayah. Sejujurnya, Darell tidak terlalu tertarik dengan hal-hal seperti ini.Di sela-sela obrolan ringan antara kedua keluarga itu, Darell mencoba melirik ponselnya. Sudah beberapa jam dia tidak memainkan benda pipih itu. Waw, ternyata sudah banyak sekali pesan yang masuk. Tapi dari sekian banyak pesan, dia mencoba melihat pesan dari Elaine. Ternyata gadis itu tidak membaca pesannya sama sekali.Darell merasa sedikit kesal. Kemudian dia melihat ada beberapa belas pesan di grup tiga sekawannya; Darell, Valen, dan Kale. Dia langsung membaca pesan tersebut. Seketiak dia mendekatkan diri pada ibunya.“Ma, aku harus pergi.”Ibunya itu mengerutkan kening dan sedikit mendekat pada sang anak. “Ada apa?” tanyanya.“Sesuatu yang mendes
Sinar matahari menerobos jendela kamar. Elaine mengerang dan merasakan silau pada matanya. Dia mencoba merentangkan tangan dan kakinya, kemudian mengucek sebelah matanya. Ah, kenapa kepalanya masih terasa sangat pusing? Oh iya, Elaine ingat semalam dia mabuk padahal cuman meneguk dua gelas wiski. Sungguh noob sekali Elaine ini. Kemudian kedua mata gadis itu mulai terbuka secara perlahan. Namun tiba-tiba dua terperanjat sampai terlonjak dan beralih dengan posisi duduk. “Gue di mana?” gumamnya. Kamar ini bukanlah kamar kosnya, dan kamar ini bukan juga kamar apartemen Grace. Elaine masih mencoba memindai tempat itu dan mengingat kejadian semalam. Tapi dia tak ingat apa pun. Dan tempat siapa ini? Apa semalam Elaine di culik seorang om-om? Elaine langsung mengecek pakaiannya sendiri. Kemudian dia menghela napas lega ketika mendapati pakaiannya masih sama, utuh, dan tak ada yang berubah sedikit pun. “Terus ini di mana?” tanya Elaine. Kemudian dia me
Elaine paham betul dengan maksud dari ucapan Darell. Makanya dia langsung menoleh dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Hahaha. Kenapa, Sayang?” Darell terkekeh sampe bahunya bergetar. “Nggak papa,” jawab Elaine sekenanya. Merapatkan bibirnya dan masih enggan untuk menatap Darell. Jujur saja, Elaine merasa malu saat Darell berkata demikian. Dia mengingat kejadian bertahun-tahun silam, ketika dirinya pertama kali bertemu dengan Darell. Elaine memang gila saat itu. “Kamu nyesel nggak, Len?” tanya Darell. “Nyesel apa?” sahut Elaine sambil menoleh. Darell terlihat tersenyum senang, ternyata umpannya ditangkap dengan baik oleh Elaine. Dia sengaja bertanya seperti itu agar bisa melihat wajah istrinya yang sedang memerah karena malu. “Nyesel ngajak aku tidur dan kasih aku sesuatu yang berharga dihidup kamu. Padahal dulu kamu nggak kenal aku sama sekali,” kata Darell. Elaine memejamkan matanya dan langsung mengigit bibir bawahnya
Elaine tersentak, matanya tiba-tiba membulat maksimal, saat dia melihat sosok laki-laki yang sudah lama tak ia lihat. Kenapa dia bisa ada di sini? Mau apa dia ke sini? Pertanyaan itu berkecamuk dalam benak Elaine.“Tenang, di sini gue bukan mau ngacauin acara spesial lo, kok,” ucap laki-laki itu, seolah tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Elaine. Dia adalah Tirta, yang tiba-tiba muncul setelah sekian lama menghilang.Berbeda dengan Elaine yang terkejut. Darell hanya menatap sinis laki-laki itu. Sampai Tirta berani mengacau di hari bahagianya, dia tak akan segan membunuh laki-laki itu di sini, sekarang juga.“Gue ke sini cuman mau ngucapin selamat doang. Ya, walau gue sadar diri gue nggak lo undang, Len. Tapi nggak salah, kan, kalau gue datang ke sini dan kasih selamat sama lo,” ungkapnya.“Padahal lo nggak usah repot-repot ke sini,” sambar Elsa. Dia juga sama terkejutnya dengan Elaine. Khawatir laki-laki itu akan berla
“Kenapa, Len? Kok diem?” tanya Grace. “Jangan kaget tapi,” kata Elaine. Shani dan Grace langsung saling melempar pandang. “Dua minggu lagi,” ucapnya kemudian. “Hah?” Benar saja Grace dan Shani kompak memekik. “Wait, Len. Itu … maksudnya Darell baru ngelamar lo di acara perusahaannya minggu lalu, loh. Kok udah dua minggu lagi?” tanya Grace. “Iya, sorry memang dadakan. Tante Martha pengin cepet. Dia tahu gimana perjuangan gue sama Darell, dan dia nggak mau ada yang ganggu hubungan kita lagi. Makanya minta buat cepet.” Elaine menghela napas. “Bonyok gue juga kaget pas Tante Martha minta percepet. Awalnya Papa minta buat sekitar dua bulan lagi, karena kita belum ada persiapan apa pun. Tapi Tante Martha kekeuh pengin cepet. Sorry, ya,” ucap Elaine. “Parah. Kok ngeduluin Grace, sih? Padahal dia yang dilamar duluan, tapi lo yang nikah duluan,” kata Shani terkekeh. Grace hanya mendelik kesal. Sungguh Elaine adalah perempuan yan
Mata Elaine membulat, saat Darell memanggil namanya dan melontarkan pertanyaan yang membuatnya mematung seketika. Mimpi apa Elaine semalam? Kenapa Darell melamarnya secara tiba-tiba dan di tempat umum seperti ini? Sungguh, tidak ada tanda-tanda bahwa Darell akan melamarnya. Elaine tersentak saat merasakan ada tangan yang merangkulnya. Dia langsung menoleh dan mendapati Martha yang sedang menyadarkan Elaine dari keterkejutannya. Jantung Elaine kini berdetak dengan cepat, semburat merah pun muncul di pipinya. Apalagi saat dia melihat ke arah sekeliling dan mendapati beberapa pasang mata memperhatikan dirinya. Bagaimana ini? Apa yang harus Elaine katakan? Sungguh, ini adalah hal yang tak pernah terbayangkan oleh Elaine. Walau sebelumnya, memang Darell pernah melamarnya. “Elaine, jangan membuat Darell menunggu,” bisik Martha, saat seorang crew datang sembari membawa microphone untuk Elaine. “Ta-tapi, Tante aku—” “Jawab saja,” selanya sambil
“Ngapain ke sini?” tanya Elaine, saat dirinya dan Darell sampai di sebuah butik mewah.“Beli soto. Ya, beli baju, lah. Kenapa masih nanya, sih?” timpal Darell yang langsung menggenggam tangan Elaine dan menariknya ke dalam.Tak bertanya lagi, Elaine hanya mengikuti Darell. Walau dia masih penasaran, kenapa juga Darell membawanya ke butik mewah? Tak banyak pergerakan yang dilakukan Elaine sampai akhirnya Darell langsung menegurnya.“Kenapa diem aja? Pilih bajunya, dong,” kata Darell.Elaine menoleh dengan mata membulat. “Buat apa? Aku harus tahu dulu alasan kamu bawa aku ke sini. Baru aku bisa pilih baju,” balas Elaine.Ya … bagaimana Elaine akan memilih baju, jika dia saja tidak tahu harus menghadiri acara apa? Pasalnya butik tersebut menjual baju formal untuk perempuan; gaun, blazzer dan lain-lain, tentu saja dengan desain dan harga yang wah. Mungkin butuh beberapa bulan bagi Elaine untuk seke
“A-anu, apa kamu sedang sibuk?”Darell mematung beberapa detik, ketika melihat Elaine ada di hadapannya. Kemudian dia menggeleng dengan cepat. “Oh, nggak. Kenapa?” tanya Darell.“Boleh kita bicara sebentar?” tanya Elaine dengan sedikit canggung.“Boleh, kok. Masuk aja,” ajak Darell. Dia mempersilakan Elaine untuk memasuki kamarnya. Di sana mereka berdua duduk bersebelahan di sebuah sofa kecil. Darell melihat gadis itu sedang meremas jarinya, sepertinya dia sedang merasa gugup.“Ada apa?” tanya Darell dengan nada yang sangat lembut. Mencoba memberikan kenyamanan pada Elaine. Walau sebenarnya jantungnya ini sedari tadi berdegup dengan kencang.Jujur saja, Darell ingin memeluk gadis itu sekarang juga, mencurahkan segala kerinduan dan rasa kekhawatirnya selama ini. Namun, melihat kondisi Elaine yang seperti itu, dia mengurungkan niatnya.“Mmm … anu itu ….” Ada
Semua terasa cepat, sampai-sampai Darell masih belum begitu paham dengan situasi yang sedang berkecamuk di ruang keluarga kediaman Bumantara.‘Kenapa Elaine ada di sini? Kenapa Mama terlihat sangat marah? Dan kenapa ada Varell di sini? Apa semua ini rencanyanya?’ Semua pertanyaan itu terus berputar di kepala Darell.Mata Darell melihat ke arah amplop cokelat yang baru saja ditaruh oleh Varell tepat di depan Tio Admar. Merasa penasaran dengan isi amplop itu. Apalagi saat dia melihat ekspresi Tio yang terkejut saat membuka amplop tersebut. Tak hanya Tio, tapi Chelsea dan Clarisa pun merasa terkejut dengan apa yang dilihatnya. Bahkan Chelsea menangis saat melihat isi dari amplop tersebut.Merasa penasaran, Darell langsung menghampiri Tio dan menyambar beberapa lembar kertas yang sedang dipegang oleh laki-laki itu. Tak ada perlawanan dari Tio, mungkin karena saking terkejutnya dia.Darell langsung membaca, membuka lembar demi lembar dokumen yang s
Bagai disambar petir, Pandu benar-benar terkejut dengan kedatangan sosok Elaine di rumahnya. Sontak laki-laki itu berdiri dari sofa yang sedang didudukinya. Matanya membelalak dan mulutnya sedikit menganga, saking terkejutnya. ‘Kenapa gadis itu ada di sini?’ batin Pandu. Melihat Elaine muncul dengan tiba-tiba di kediaman Bumantara, membuat Darell langsung berlari ke arahnya. Ia langsung mengecek kondisi Elaine. “Kamu baik-baik saja?” tanya Darell dengan nada khawatir. Belum juga Elaine menjawab pertanyaan Darell, Martha sudah langsung memberang. “Maksudmu gadis ini, kan?” tanyanya. Keluarga Admar hanya diam saja, mereka menoton pertengkaran antara Martha dan Pandu. Namun, bukan berarti mereka senang dan menikmatinya. Melainkan Tio dan Chelsea terlihat sangat gusar. “Ke-kenapa dia ada di sini?” tanya Pandu dengan terbata-bata. “Seenaknya kamu mengancam anakmu sendiri dengan melibatkan orang lain, yang tidak bersalah sama sekali!
Tidak. Tidak bisa! Elaine tidak ingin sampai Darell menuruti permintaan ayahnya dan menikah dengan Chelsea. Bagaimanapun rasa sayang dan cintanya pada Darell sangat besar. Apalagi saat mengetahui perjuangan Darell untuk mempertahankannya.“Gue nggak bisa diem aja,” gumam Elaine. Dia mencoba memikirkan cara bagaimana dia bisa keluar dari sini, menemui Pandu dan menenatng usahanya.Elaine tidak bisa membiarkan Darell berjuang sendirian. Dia rasa, dirinya juga harus berusaha mempertahankan hubungan mereka berdua. Tapi bagaimana? Elaine medesah saat otaknya terasa tumpul, tak bisa memikirkan apa pun.***Keesokan harinya.Darell terlihat sangat kacau sekali. Kemarin, dia seharian mencari keberadaan Elaine tapi ia tak kunjung menemukannya. Perasaan khawatir semakin mencuat dari dalam diri Darell, ketika dia mengingat bahwa hari ini adalah tenggat waktu untuknya.Tok. Tok. Tok.Darell langsung menoleh