Kehidupan baru Elaine dimulai. Kini dia bertekad untuk berubah, dan akan lebih memperhatikan penampilannya. Bukan berarti dulu Elaine adalah anak yang cupu, culun, dan kuper. Hanya saja dulu gadis ini terlalu cuek dengan penampilan. Dia tidak pernah mengenakan bedak dengan benar, tak pernah memoles bibirnya dengan lip balm, dan selalu mengucir rambut panjangnya. Kali ini dia bertekad untuk berubah, gadis ini ingin menunjukkan eksistensi dirinya.
“Good! Pokoknya lo harus bikin si Tirta nyesel gak pilih loh!” ucap Grace saat mereka baru saja berbelanja makeup juga baju untuk Elaine kenakan saat dia sudah kuliah.
Saat ini Elaine, Shani, dan Grace sedang berada di kosan Elaine. Dua gadis ini sengaja mengunjungi sahabatnya, untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja. Persahabatan mereka kini menemukan jarak. Karena kini mereka berkuliah di tiga kampus yang berbeda.
“Btw dia sekampus sama lo kan?” tanya Shani memastikan.
Elaine menganggukan kepalanya. “Dia anak FIB,” jawab Elaine sembari membereskan makeupnya di meja riasnya.
“Pokoknya lo kudu memastikan dia nyesel nyakitin hati Elaine yang lembut ini,” kata Shani lagi. Mereka bertiga mencoba memberikan semangat pada Elaine.
Elaine senyum penuh harapan. Grace dan Shani saling bertatapan, mereka senang melihat sahabatnya sudah bangkit dari keterpurukan. Memang ya, wanita itu akan menangis dulu saat dia baru saja patah hati. Namun, setelah itu dia akan bangkit dan mencoba untuk mengikhlaskan semuanya.
***
“Itu kan anak manajemen angkatan baru? Namanya siapa?” bisik seorang laki-laki ketika Elaine berjalan di koridor fakultasnya.
Ya, Elaine adalah mahasiswa manajemen di salah satu kampus negeri ternama. Sejak masa ospek, tak sedikit dari mahasiswa baru atau mahasiswa lama yang memperhatikan Elaine. Gadis ini benar-benar mencuri perhatian para mahasiswa manajemen lainnya.
“Elaine kalau nggak salah. You know, doi juga pinter. Gue dapat bocoran dari bidang akademik kalau dia itu peringkat satu dari jalur masuk SNMPTN,” bisik laki-laki lainnya. Kini mereka mengekori Elaine dari belakang.
Elaine hanya tersenyum senang. Selama sekolah dia tidak pernah mendapatkan pujian atas penampilannya. Kini dia bisa mendapatkan dua pujian sekaligus: pertama karena kepintarannya, dan kedua karena penampilannya.
Elaine memasuki ruang kelas, hari ini adalah kuliah pertamanya. Ketika gadis itu menapakkan kakinya di kelas, beberapa pasang mata sudah menatapnya. Kemudian gadis itu tersenyum pada teman sekelasnya.
“Len, sini duduk di sini!” seru seorang perempuan pada Elaine. Dia adalah Veni, teman pertama Elaine di kampus. Anaknya energik dan supel. Hampir sebelas dua belas dengan Elaine ketika SMA. Tapi kali ini Elaine ingin menunjukan sisi elegan dari dirinya.
Elaine melemparkan senyum pada Veni. Kemudian gadis itu segera duduk di samping gadis berambut pendek.
“As always penampilan lo tetep the best!” puji Veni.
“Gue masih belajar, Ven. Lo juga nggak kalah oke kok,” balas Elaine pada teman barunya itu.
Tak lama kemudian seorang dosen perempuan masuk ke dalam kelas. Memperkenalkan dirinya dan tentunya memperkenalkan mata kuliah yang akan dipelajari bersama selama satu semester ke depan.
Jam istirahat pun tiba. Untuk di hari pertama Elaine kuliah ini, jadwalnya seperti sekolah. Di mulai pukul 07.00 dan baru istirahat pukul 12.00. Untungnya sehabis ini, tidak ada lagi mata kuliah yang menunggu mereka.
Elaine dan Veni memutuskan untuk ke kantin mahasiswa. Mereka berniat untuk makan siang, sebelum nanti akan ke perpustakaan untuk mencari buku yang direkomendasikan oleh dosennya tadi. Namun sayang, kantin yang ramai membuat mereka kesulitan mendapatkan tempat duduk.
Tiba-tiba ada seorang laki-laki melambaikan tangannya pada Elaine dan Veni. Terlihat dia hanya duduk berdua bersama seorang laki-laki dan masih ada space untuk mereka berdua. Tanpa berpikir panjang Elaine dan Veni menghampirinya.
“Nggak papa kita duduk di sini?” tanya Veni sungkan.
“Iya, lagian nggak ada kursi lagi kan? Btw kalian anak manajemen bukan?” tanya laki-laki itu.
Elaine dan Veni menarik kursi sambil manggut. Mereka menyimpan piring yang berisi makan siangnya.
“Lo Elaine kan?” tanya laki-laki itu pada Elaine.
Elaine melirikkan matanya pada kedua laki-laki itu. Rada aneh, karena Elaine tidak mengenali mereka berdua. Kemudian dia menganggukan kepalanya.
“Iya, gue Elaine dan ini Veni. Anak manajemen juga.” Elaine memperkenalkan Veni pada mereka. Tak enak jika hanya Elaine yang dikenal, sedangkan orang yang bersamanya tidak dikenal atau bahkan hanya dianggap sebagai angin lalu saja.
“Oh. Kenalin gue Bisma dan ini Dicky. Sama kok anak manajemen juga tapi satu tahun di atas kalian.” Laki-laki yang ternyata bernama Bisma itu memperkenalkan dirinya.
“Oh, hai Kak.” Mendadak dua gadis ini menjadi sungkan, setelah mengetahui ternyata mereka berdua adalah kakak seniornya.
“Haha, santai-santai gue kagak senioritas kok,” ucap Bisma.
Akhirnya mereka berdua: Elaine dan Veni menghabiskan makan siang mereka ditemani Bisma dan Dicky. Kedua seniornya pun sharing pengalaman pada dua juniornya itu. Menceritakan mata kuliah yang lumayan sulit, sampai ke karakter dosen di semester satu ini. Lumayan, Elaine dan Veni mendapatkan pengetahuan baru.
Di tengah ke ingar-bingaran kantin mahasiswa di jam makan siang. Terdapat beberapa gerombolan laki-laki … lebih tepatnya empat orang laki-laki yang sedang mengobrol bersama. Salah satu diantara mereka ada yang memperhatikan ke arah meja Elaine.
“Lo tahu nggak, ada anak manajemen yang cantik loh!” seru seorang laki-laki yang sedari tadi memperhatikan Elaine.
“Maba?” timpal seorang temannya yang mengenakan kemeja hitam.
“Yep. Gue kalau iseng lewat FEB suka tuh denger kalau ada anak manajemen yang cantik,” balas laki-laki tadi.
“Mana? Lo ada fotonya nggak? Jangan ngomong cantik kalau lo nggak ada fotonya,” ucap seorang laki-laki yang duduk di sebrangnya, mengenakan kemeja berwarna navy.
“Kagak ada fotonya, tapi ada orangnya.” Kemudian laki-laki itu mengarahkan pandangan teman-temannya pada Elaine. “Lo lihat ada 2 orang cewek sama 2 orang cowok duduk di sana?” Laki-laki itu menunjuk meja Elaine.
“Oh iya gue lihat!” seru laki-laki berkemeja hitam. “Biar gue tebak, pasti yang pakai baju putih kan?” tebaknya.
Laki-laki itu menjentikkan jarinya. “Mata lo jeli, bro. Iya yang pakai baju putih. Cantik kan?”
“Lumayan lah, walau anak kita ada yang lebih cantik dari dia. Tapi … masih selevel sama gue lah itu cewek,” ungkap laki-laki berkemja navy.
Salah satu laki-laki lain, yang mengenakan kemeja biru langit yang memiliki bercak putih, menyipitkan matanya. Dia mencoba fokus dengan objek yang ditunjukkan oleh temannya itu. Perasaannya, ia mengenali sosok perempuan yang sedang mereka perbincangkan.
“Biar gue tebak namanya. Namanya Elaine bukan?” Tiba-tiba laki-laki berkemeja biru langit angkat bicara.
Sontak ketiga temannya itu menoleh kearahnya, terkejut.
“Loh, kok tahu namanya?” tanya laki-laki pembuka topik penuh selidik. “Jangan-jangan lo udah ngincer ya?” tanyanya lagi.
“Hah.” Laki-laki berkemeja biru langit itu mendengus dan menyeringai. Kemudian dia membuang muka, tak lagi memandangi Elaine.
***
Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Tadi setelah dari perpustakaan, KM kelas menyuruh anak-anaknya berkumpul. Mau tidak mau, Elaine dan Veni kembali ka fakultas. Mereka membicarakan mengenai teman-teman yang tidak kebagian buku di perpustkaan, dan berinsiatif untuk membeli secara kolektif.
Setelah pertemuan itu Elaine pulang sendirian ke kosannya. Karena kosannya dengan Veni berlawanan arah, akhirnya gadis itu pulang sendirian ke kosannya. Suasana di sekitar sudah tidak terlalu ramai. Mungkin karena sudah lumayan sore juga.
Saat Elaine sedang berada di gang jalan menuju kosannya. Tiba-tiba dia dicegat oleh seorang laki-laki.
“Hai, Elaine. Apa kabar?” sapa laki-laki itu.
Sontak Elaine menghentikkan langkahnya. Terkejut ketika mendapati sesosok laki-laki yang menghalangi jalannya. Saking terkejutnya Elaine sampai mundur satu langkah.
Kosan Elaine lumayan jauh dari jalan raya. Dia harus melewati gang sempit yang hanya muat satu motor. Ya, sepertinya memang gang ini diperuntukan untuk mereka yang pejalan kaki.Gadis yang sedang mengenakan kemeja putih dengan corak bunga itu, melangkah dengan santai. Namun ketika dia hendak sampai ke kosannya, tiba-tiba dia dikejutkan oleh kehadiran seorang laki-laki.“Hai, Elaine. Apa kabar?” sapa laki-laki itu.Sontak Elaine menghentikkan langkahnya. Kemudian gadis itu melihat wajah laki-laki yang mencegatnya, ya sebut saja dia mencegat Elaine. Saking terkejutnya melihat wajah laki-laki itu, Elaine memundurkan langkahnya.“Tirta?” ucap Elaine kaget.“Wah, wah!” Tirta menepuk tangannya. “Jadi gini cara lo balas dendam sama gue?” tanya Tirta. Laki-laki itu melangkah dan sekarang posisinya berdiri di depan Elaine.“Hmm … tapi bagi gue lo nggak banyak berubah,” ucap Tirta semb
“Darell?” batin Elaine, kini jantungnya berpacu dengan cepat. Dia bisa meraskan wajahnya sedikit panas.Seketika Elaine sadar dan mengalihkan pandangannya ke depan. Tak ingin membuat kecurigaan di depan banyak orang. Dia haraus tenang dan tinggal berpura-pura tidak tahu dan tidak mengenali laki-laki tampan di sampingnya ini. Sesuai dengan kesepakatan yang dia minta pada malam itu.“Len, ngapain bengong mulu dah? Ini buku lo sampe jatuh,” ucap Veni sembari memberikan buku Elaine yang sudah dia ambil dari lantai.“Eh?” Elaine melihat ke arah Veni. “Iya, sorry. Thanks loh udah diambilin,” katannya berterima kasih. Elaine meraih buku yang diberikan oleh Veni. Sejurus kemudian dia langsung menyibukkan dirinya dengan membaca buku.Sesekali Elaine melirik Darell, takut saja laki-laki itu melakukan hal-hal yang mencurigakan. Tapi ternyata dia tidak bergeming sedikitpun. Hal itu membuat Elaine meras
“Gue pernah denger gosip. Banyak cewek yang rela buat jalan sama dia, terus ya gitu menggoda dia buat tidur sama dia. Tapi DITOLAK SEMUA!” ucap Nurri dengan penekanan.“UHUK … UHUK.” Elaine terbatuk, dia tersedak mie ayam yang sedang dia makan. Karena dia terkjeut dengan ucapan yang baru saja dia dengar, dari gadis yang duduk di sampingnya itu.Veni yang melihat Elaine tersedak langsung panik dan memberikan minum pada temannya itu. Sedangkan Timmi dan Nurri, mereka terkejut dan langsung terdiam tak melanjutkan lagi pembicaraannya.“Lo kenapa?” tanya Veni khawatir.Elaine masih meneguk air pemberian Veni. “Duh … keselek,” jawabnya. “UHUK.” Dia terbatuk lagi. Tenggorokannya kini terasa tidak enak sekali, seperti ada sesuatu yang mengganjal.“Kenapa sih bisa keselek, macem bocah aja,” keluh Veni.Elaine merasa sedang diperhatikan oleh dua orang yang sedang dud
“Kak, kakak ada kelas lagi habis ini?” tanya Veni ketika pembagian kelompok selesai.“Ada, kenapa?” balas Darell.“Oh, kalau gitu kita bahas untuk materinya nanti ya. Kita coba cari jadwal yang sama-sama kosong. Sekarang saya boleh minta nomor kakak?” tanya Veni dengan sopan. Dia masih tidak tahu sifat Darell seperti apa, jadi dia berbicara secara formal.“Mana handphone lo?” pinta Darell. Sejurus kemudian Veni memberikan ponselnya pada laki-laki tampan itu. Darell langsung memencet layar ponsel milik Veni dan menyimpan nomornya, kemudian memberikan pada Veni. “Nih, nanti calling aja. Btw, ngomongnya santai aja. Pake gue lo juga nggak papa. Sesantainya lo aja,” ucap Darell yang kemudian beranjak dari kursinya.“Oh, oke kalau gitu, Kak,” balas Veni senang. Ternyata anaknya slow juga, nggak kaku dan senioritas.“Yuk ah, gue pamit dulu,” ucapnya dan k
“Kenapa nggak lo aja yang nolongin dan nyamperin dia sih, Rell?” tanya Ghaida kepada laki-laki yang sedang bersamanya itu.Ternyata laki-laki yang meminta Ghaida untuk menyelamatkan Elaine adalah Darell. Ketika dia sedang duduk di selasar FEB, matanya menemukan Elaine yang ditarik paksa oleh seorang laki-laki. Dia bisa melihat bahwa gadis itu tidak suka. Namun apa daya, Elaine terlihat tak bisa melawan.“Gue? Kalau gue yang nyamperin, lo bisa nanggung kalau dia baper sama gue? Dia anak Manajemen 31, sekelas sama gue di matkul Pak Dzul. Kalau dia baper gimana? Lo tau kan, cewek nggak bisa dibaikin sedikit sama cowok. Apalagi cowok ganteng kayak gue,” jawab Darell. Padahal dia tidak Elaine menjadi curiga, bahwa sebenarnya Darell tak sanggup berpura-pura tak mengenal Elaine.Kenangan malam itu selalu muncul di benaknya. Darell sangat menikmatinya, tapi tidak dengan lawan mainnya. Itu merupakan pengalaman pertama, ketika sang wanita tak memba
“Oh iya. Gak usah di bawa pulang kali ya. Ini gue kenalin sekarang. Namaya Darell, dan ini cowok gue,” ucap Elaine angkuh.DUAR!Tiba-tiba Darell dikagetkan dengan ucapan Elaine untuk kali kedua. Pertama, jelas saja saat dia meminta untuk tidur bersamanya. Kedua, ya saat ini! Yang dengan secara tiba-tiba dia meperkenalkan Darell sebagai pacaranya pada kedua orang peremuan yang Darell tak tahu mereka siapa.“Hah? Masa cowok seganteng ini mau sama lo sih, Laine?” cibir Elsa. Jujur dari raut wajahnya, Elsa benar-benar tak percaya dengan ucapan Elaine. “Hei! Lo bener pacarnya Elaine?” tanya Elsa pada Darell.Darell masih melongo. Dia benar-benar merasa bingung dengan ini semua. Sebenarnya ada apa ini?“Bilang iya aja, nggak usah malu.” Tiba-tiba Elaine menggandeng tangan Darell. Wajahnya mendongak menatap laki-laki itu. Kemudian dia mengedipkan sebelah matanya, mengirimkan sinyal pada Darell.
Darell melangkahkan kakinya keluar dari fakultas. Rencananya dia akan nongkrong bareng Valen dan Kale. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti, ketika melihat seorang gadis yang tak asing di matanya sedang ditarik paksa oleh seorang laki-laki.Darell memfokuskan matanya pada objek yang sedang dia pindai. Kemudian dia mendapati laki-laki yang menarik gadis itu adalah laki-laki yang beberapa hari lalu juga melakukan hal yang sama pada sang gadis. Merasa ada yang tidak beres, Darell mencoba mengikuti mereka. Entah kenapa cowok ini tiba-tiba ingin tahu dengan urusan orang lain. Intinya sih, ini perintah dari hatinya.“Apa sih?” ucap sang gadis. Darell mengintip sepasang manusia yang tadi dia buntuti. Gadis itu terlihat sangat emosi pada sang laki-laki. Nada bicaranya sudah meninggi dari tadi.“Jangan ke PD-an! Plis Tirta, gue udah nggak ada rasa sama lo lagi. Udah sana lo fokus sama Elsa. Bahagiakan dia, jangan sampe lo bikin dia sakit hati. Apa
Satu hari sebelumnya...Sepulang dari mengantar Elaine ke kosannya pasca membeli buku, Darell langsung pulang ke apartemennya. Karena lapar dia mencoba memasak makanan yang tersedia di kulkasnya. Tadi sepulang dari membeli buku, Elaine enggan untuk makan siang terlebih dahulu. Jadi terpaksa Darell juga menunda rasa laparnya.“Itu cewek kenapa sih? Random banget sumpah. Nggak pernah godain gue, tapi dia malah bilang ke orang lain kalau gue pacarnya?” ucap Darell disela-sela makan siangnya. Dia sedang bertanya pada dirinya sendiri.Kemudian dia teringat momen ketika gadis itu mengajaknya tidur. “Itu termasuk godain gue nggak sih?” gumamnya bingung. “Kayaknya iya. Tapi … kenapa dia bilang untuk nggak saling kenal kalau ketemu lagi. Itu cewek kenapa sih?” Lagi-lagi, Darell mulai penasaran dengan Elaine.Laki-laki itu mencoba menghabiskan makanan yang ada pada piringnya. Setelah itu dia meraih ponselnya untuk
Elaine paham betul dengan maksud dari ucapan Darell. Makanya dia langsung menoleh dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Hahaha. Kenapa, Sayang?” Darell terkekeh sampe bahunya bergetar. “Nggak papa,” jawab Elaine sekenanya. Merapatkan bibirnya dan masih enggan untuk menatap Darell. Jujur saja, Elaine merasa malu saat Darell berkata demikian. Dia mengingat kejadian bertahun-tahun silam, ketika dirinya pertama kali bertemu dengan Darell. Elaine memang gila saat itu. “Kamu nyesel nggak, Len?” tanya Darell. “Nyesel apa?” sahut Elaine sambil menoleh. Darell terlihat tersenyum senang, ternyata umpannya ditangkap dengan baik oleh Elaine. Dia sengaja bertanya seperti itu agar bisa melihat wajah istrinya yang sedang memerah karena malu. “Nyesel ngajak aku tidur dan kasih aku sesuatu yang berharga dihidup kamu. Padahal dulu kamu nggak kenal aku sama sekali,” kata Darell. Elaine memejamkan matanya dan langsung mengigit bibir bawahnya
Elaine tersentak, matanya tiba-tiba membulat maksimal, saat dia melihat sosok laki-laki yang sudah lama tak ia lihat. Kenapa dia bisa ada di sini? Mau apa dia ke sini? Pertanyaan itu berkecamuk dalam benak Elaine.“Tenang, di sini gue bukan mau ngacauin acara spesial lo, kok,” ucap laki-laki itu, seolah tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Elaine. Dia adalah Tirta, yang tiba-tiba muncul setelah sekian lama menghilang.Berbeda dengan Elaine yang terkejut. Darell hanya menatap sinis laki-laki itu. Sampai Tirta berani mengacau di hari bahagianya, dia tak akan segan membunuh laki-laki itu di sini, sekarang juga.“Gue ke sini cuman mau ngucapin selamat doang. Ya, walau gue sadar diri gue nggak lo undang, Len. Tapi nggak salah, kan, kalau gue datang ke sini dan kasih selamat sama lo,” ungkapnya.“Padahal lo nggak usah repot-repot ke sini,” sambar Elsa. Dia juga sama terkejutnya dengan Elaine. Khawatir laki-laki itu akan berla
“Kenapa, Len? Kok diem?” tanya Grace. “Jangan kaget tapi,” kata Elaine. Shani dan Grace langsung saling melempar pandang. “Dua minggu lagi,” ucapnya kemudian. “Hah?” Benar saja Grace dan Shani kompak memekik. “Wait, Len. Itu … maksudnya Darell baru ngelamar lo di acara perusahaannya minggu lalu, loh. Kok udah dua minggu lagi?” tanya Grace. “Iya, sorry memang dadakan. Tante Martha pengin cepet. Dia tahu gimana perjuangan gue sama Darell, dan dia nggak mau ada yang ganggu hubungan kita lagi. Makanya minta buat cepet.” Elaine menghela napas. “Bonyok gue juga kaget pas Tante Martha minta percepet. Awalnya Papa minta buat sekitar dua bulan lagi, karena kita belum ada persiapan apa pun. Tapi Tante Martha kekeuh pengin cepet. Sorry, ya,” ucap Elaine. “Parah. Kok ngeduluin Grace, sih? Padahal dia yang dilamar duluan, tapi lo yang nikah duluan,” kata Shani terkekeh. Grace hanya mendelik kesal. Sungguh Elaine adalah perempuan yan
Mata Elaine membulat, saat Darell memanggil namanya dan melontarkan pertanyaan yang membuatnya mematung seketika. Mimpi apa Elaine semalam? Kenapa Darell melamarnya secara tiba-tiba dan di tempat umum seperti ini? Sungguh, tidak ada tanda-tanda bahwa Darell akan melamarnya. Elaine tersentak saat merasakan ada tangan yang merangkulnya. Dia langsung menoleh dan mendapati Martha yang sedang menyadarkan Elaine dari keterkejutannya. Jantung Elaine kini berdetak dengan cepat, semburat merah pun muncul di pipinya. Apalagi saat dia melihat ke arah sekeliling dan mendapati beberapa pasang mata memperhatikan dirinya. Bagaimana ini? Apa yang harus Elaine katakan? Sungguh, ini adalah hal yang tak pernah terbayangkan oleh Elaine. Walau sebelumnya, memang Darell pernah melamarnya. “Elaine, jangan membuat Darell menunggu,” bisik Martha, saat seorang crew datang sembari membawa microphone untuk Elaine. “Ta-tapi, Tante aku—” “Jawab saja,” selanya sambil
“Ngapain ke sini?” tanya Elaine, saat dirinya dan Darell sampai di sebuah butik mewah.“Beli soto. Ya, beli baju, lah. Kenapa masih nanya, sih?” timpal Darell yang langsung menggenggam tangan Elaine dan menariknya ke dalam.Tak bertanya lagi, Elaine hanya mengikuti Darell. Walau dia masih penasaran, kenapa juga Darell membawanya ke butik mewah? Tak banyak pergerakan yang dilakukan Elaine sampai akhirnya Darell langsung menegurnya.“Kenapa diem aja? Pilih bajunya, dong,” kata Darell.Elaine menoleh dengan mata membulat. “Buat apa? Aku harus tahu dulu alasan kamu bawa aku ke sini. Baru aku bisa pilih baju,” balas Elaine.Ya … bagaimana Elaine akan memilih baju, jika dia saja tidak tahu harus menghadiri acara apa? Pasalnya butik tersebut menjual baju formal untuk perempuan; gaun, blazzer dan lain-lain, tentu saja dengan desain dan harga yang wah. Mungkin butuh beberapa bulan bagi Elaine untuk seke
“A-anu, apa kamu sedang sibuk?”Darell mematung beberapa detik, ketika melihat Elaine ada di hadapannya. Kemudian dia menggeleng dengan cepat. “Oh, nggak. Kenapa?” tanya Darell.“Boleh kita bicara sebentar?” tanya Elaine dengan sedikit canggung.“Boleh, kok. Masuk aja,” ajak Darell. Dia mempersilakan Elaine untuk memasuki kamarnya. Di sana mereka berdua duduk bersebelahan di sebuah sofa kecil. Darell melihat gadis itu sedang meremas jarinya, sepertinya dia sedang merasa gugup.“Ada apa?” tanya Darell dengan nada yang sangat lembut. Mencoba memberikan kenyamanan pada Elaine. Walau sebenarnya jantungnya ini sedari tadi berdegup dengan kencang.Jujur saja, Darell ingin memeluk gadis itu sekarang juga, mencurahkan segala kerinduan dan rasa kekhawatirnya selama ini. Namun, melihat kondisi Elaine yang seperti itu, dia mengurungkan niatnya.“Mmm … anu itu ….” Ada
Semua terasa cepat, sampai-sampai Darell masih belum begitu paham dengan situasi yang sedang berkecamuk di ruang keluarga kediaman Bumantara.‘Kenapa Elaine ada di sini? Kenapa Mama terlihat sangat marah? Dan kenapa ada Varell di sini? Apa semua ini rencanyanya?’ Semua pertanyaan itu terus berputar di kepala Darell.Mata Darell melihat ke arah amplop cokelat yang baru saja ditaruh oleh Varell tepat di depan Tio Admar. Merasa penasaran dengan isi amplop itu. Apalagi saat dia melihat ekspresi Tio yang terkejut saat membuka amplop tersebut. Tak hanya Tio, tapi Chelsea dan Clarisa pun merasa terkejut dengan apa yang dilihatnya. Bahkan Chelsea menangis saat melihat isi dari amplop tersebut.Merasa penasaran, Darell langsung menghampiri Tio dan menyambar beberapa lembar kertas yang sedang dipegang oleh laki-laki itu. Tak ada perlawanan dari Tio, mungkin karena saking terkejutnya dia.Darell langsung membaca, membuka lembar demi lembar dokumen yang s
Bagai disambar petir, Pandu benar-benar terkejut dengan kedatangan sosok Elaine di rumahnya. Sontak laki-laki itu berdiri dari sofa yang sedang didudukinya. Matanya membelalak dan mulutnya sedikit menganga, saking terkejutnya. ‘Kenapa gadis itu ada di sini?’ batin Pandu. Melihat Elaine muncul dengan tiba-tiba di kediaman Bumantara, membuat Darell langsung berlari ke arahnya. Ia langsung mengecek kondisi Elaine. “Kamu baik-baik saja?” tanya Darell dengan nada khawatir. Belum juga Elaine menjawab pertanyaan Darell, Martha sudah langsung memberang. “Maksudmu gadis ini, kan?” tanyanya. Keluarga Admar hanya diam saja, mereka menoton pertengkaran antara Martha dan Pandu. Namun, bukan berarti mereka senang dan menikmatinya. Melainkan Tio dan Chelsea terlihat sangat gusar. “Ke-kenapa dia ada di sini?” tanya Pandu dengan terbata-bata. “Seenaknya kamu mengancam anakmu sendiri dengan melibatkan orang lain, yang tidak bersalah sama sekali!
Tidak. Tidak bisa! Elaine tidak ingin sampai Darell menuruti permintaan ayahnya dan menikah dengan Chelsea. Bagaimanapun rasa sayang dan cintanya pada Darell sangat besar. Apalagi saat mengetahui perjuangan Darell untuk mempertahankannya.“Gue nggak bisa diem aja,” gumam Elaine. Dia mencoba memikirkan cara bagaimana dia bisa keluar dari sini, menemui Pandu dan menenatng usahanya.Elaine tidak bisa membiarkan Darell berjuang sendirian. Dia rasa, dirinya juga harus berusaha mempertahankan hubungan mereka berdua. Tapi bagaimana? Elaine medesah saat otaknya terasa tumpul, tak bisa memikirkan apa pun.***Keesokan harinya.Darell terlihat sangat kacau sekali. Kemarin, dia seharian mencari keberadaan Elaine tapi ia tak kunjung menemukannya. Perasaan khawatir semakin mencuat dari dalam diri Darell, ketika dia mengingat bahwa hari ini adalah tenggat waktu untuknya.Tok. Tok. Tok.Darell langsung menoleh