"APA katamu?" pekik sebuah suara di seberang sambungan. "Iya, Nona. Mereka ... tampaknya menyewa seorang gadis lain untuk menggantikan posisi Anda," jawab sang kaki tangan kepercayaan itu melaporkan. "Oh, shit! Pasti ini pekerjaan si nenek peyot itu. Sialan! Siapa memangnya gadis itu? Gimana mungkin dia bisa gantiin aku?" Suara di seberang tampak jauh lebih mengamuk daripada sebelumnya. "Itu ... wajah si gadis lugu itu mirip dengan Nona Zoya." Spontan ia terperangah saat mendengar jawaban dari Bobi, seorang bodyguard yang dipercayainya untuk menjadi kaki tangan terpercaya saat ia meninggalkan Jakarta dan menyuruhnya mengawasi Dante. "Mirip aku? Mana mungkin!" bantahnya tak percaya. "Memang berbeda, Nona. Semuanya, hanya saja ... ada garis wajah yang mirip di antara kalian berdua. Cuma dari segi penampilan saja yang jelas terlihat lain." Bobi menjawab sependapatnya. Zoya kini mengernyitkan wajahnya, berpikir keras. “Kamu kirim fotonya kepadaku sekarang. Mau kulihat seperti apa gad
Esoknya, bertepatan dengan ketika Dante ada keperluan meeting dengan salah satu klien penting di sebuah restoran, Zoya yang diberitahu oleh mata-matanya segera bersiap diri akan melakukan sebuah paksi. Ya, ia akan menampakkan kelebat dirinya di depan Dante untuk mengetahui apakah pria itu masih akan terpengaruh oleh dirinya atau tidak sama sekali. Esoknya, bertepatan dengan ketika Dante ada keperluan meeting dengan salah satu klien penting di sebuah restoran, Zoya yang diberitahu oleh mata-matanya segera bersiap diri akan melakukan sebuah paksi. Ya, ia akan menampakkan kelebat dirinya di depan Dante untuk mengetahui apakah pria itu masih akan terpengaruh oleh dirinya atau tidak sama sekali. “Mari kita lihat apakah Dante masih mencariku atau sudah fokus pada si gadis palsu itu,” lirihnya sambil mengulas senyum penuh arogan. Sungguh gadis bernama Adriana itu sama sekali tidak ada apa-apanya dengan dirinya. Entah bagaimana bisa Dante mengira dia adalah Zoya? Menyebalkan! Ia sudah deng
“Saya takut, Nyonya. Kalau sampai benar yang tadi itu Zoya asli bagaimana kira-kira?” tanya Adriana sambil memasang wajah cemas dan panik.Ia jelas tak pernah menipu orang sebelum ini. Dan karena perintah Nyonya Wanda, ia jadi menipu Dante serta banyak orang lain sekarang. Menyebabkannya terus berada dalam kebingungan dan ketakutan akan melakukan kesalahan hingga kedoknya terbongkar atau akan ada orang lain yang mengenalinya.“Tapi aku belum mendapat kabar apa pun dari orang-orangku, Adroana. Kurasa Zoya belum muncul di kota ini lagi karena mereka pasti sudah tau kalau benar begitu.” Nyonya Wanda berusaha menenangkan Adriana sambil berpikir keras hingga keningnya tampak mengernyit, menimbulkan kerutan di wajah yang biasanya masih sekencang gadis muda.Perawatan kulit wanita itu pasti memakan biaya besar, Adriana seringkali memikirkan soal itu. Karena memiliki anak seusia Dante, seharusnya membuat Nyonya Wanda juga pasti setua ibunya. Tapi, nyatanya kalau dilihat dari wajah dan penampi
Dante serius dengan ucapannya. Ia sudah menunggu Adriana turun dari kamar begitu malam mulai menjelang, seperti yang ia katakan. Mau tak mau Adriana bersiap untuk ikut ke mana pun pria itu akan membawanya.Ya ampun, ke salon untuk perawatan? Itu sama sekali bukan kebiasaannya. Bahkan ia belum pernah sekalipun pergi ke salon kecuali hanya untuk potong rambut biasa. Itupun bukan di salon mewah yang pastinya jadi langganan Zoya. Hanya sebuah salon pangkas rambut murah di pinggiran dekat dengan rumahnya dulu. Salon yang menggratiskan keramas serta pijatan sedikit lebih lama asalkan membawa dua pelanggan potong rambut yang lainnya.Ya, Adriana seringkali datang bertiga dengan temannya untuk mendapatkan fasilitas gratisan itu. Ia rela menyisir ke kelas-kelas untuk mengajak siapa pun yang sedang waktunya pangkas rambut. Kalau diingat hidupnya di sekolah dulu, sangat menyenangkan dengan berbagai pengalaman seru berburu gratisan.Mendadak ia rindu kampung halaman. Namun, remasan jemari Dante y
Adriana akhirnya hanya memasang senyum simpul karena tak tahu harus menjawab sapaan itu seperti apa. Ia mana tahu siapa nama si resepsionis ataupun bagaimana Zoya biasa memanggilnya.Ada seorang wanita berseragam sama dengan sang resepsionis yang kini menghampiri Adriana dan mempersilakannya mengikuti ke ruang yang akan dipakainya treatment.“Mari ikut saya, Nona,” ajaknya yang disambut dengan lega oleh Adriana. Setidaknya ada yang mngarahkannya harus ke mana dan bagaimana, pikirnya membatin dalam diam. Ia menoleh sebentar ke arah Dante yang sudah duduk di sofa dan mulai mengeluarkan ponsel dari saku bajunya. Pasti untuk membunuh waktu, pikirnya lagi.Dan siapa sangka hal mengejutkan terjadi ketika Adriana telah berada di dalam salah satu kamar treatment tempatnya akan menjalani body massage dalam rangkaian body spa tersebut. Sesosok orang dikenal yang paling tak diharapkannya untuk bertemu di sana malah berdiri tegak dan kini tengah saling berpandangan dengan wajah terperangah.Dia l
Emma menggeleng-gelengkan kepalanya sambil melihat jam dinding. Ia lalu bergegas melaksanakan tugasnya.“Sana berbaring!” perintahnya menyuruh Adriana sambil menunjuk ke ranjang single yang terletak di ruangan tersebut. Ia sendiri sedang mempersiapkan bahan untuk dipakai memijat Adriana di sebuah meja tempat terletak berbagai botol aromatherapy serta lotion berbagai arian.“Mau jasmine atau rose atau apa?” tanyanya ketika melihatAdriana terpaksa telah berbaring tengkurap dengan mengenakan kemben yang telah dipersiapkan.“Apa saja. Aku nggak pernah spa, Emma. Lakukan saja seperti biasanya,” jawab Adriana sekenanya. Ia hanya ingin semuanya cepat selesai karena ia tahu Emma pasti masih akan mengejarnya dengan pertanyaan tentang apa yang telah terjadi padanya semenjak pergi dari kontrakan gadis itu.Emma pun memilihkan aromatic jasmine yang menurutnya memang paling banyak disuklai pelanggan.“Oh, ya, kok kamu kerja di sini sih sekarang? Apa ternyata waktu itu kamu kena masalah meskipun su
“Ah, jadi gadis itu adalah sahabat si upik abu palsu?” Zoya bergumam sendiri setelah menerima laporan dari mata-mata yang disuruhnya untuk terus mengikuti ke mana saja Adriana pergi.“Betul, Nona. Sepertinya mereka kawan sekampung atau semacam itu,” jawab sang mata-mata meyakinkan.Zoya meringis senang. Sekelebat ide muncul di benaknya untuk membuat Adriana kalah.“Sepertinya aku jadi punya ide bagaimana untuk membongkar kedoknya tanpa aku sendiri yang campur tangan. Berikan padaku alamat temannya itu!” titah Zoya ke seberang sambungan.“Siap! Nanti akan saya selidiki dulu!” Sang mata-mata pun menyatakan kesanggupan.Sementara itu, Emma yang sudah jam pulang kerja yaitu jam delapan malam, sedang berjalan ke arah halte bis di mana ia biasa menunggu bis lewat untuk menuju rumah kontrakannya. Di jam seperti itu, memang masih adalah jam pulang yang wajar bagi pekerja non negeri yang biasanya memiliki sistem kerja shift. Saat itu ada beberapa pria dan dua wanita yang juga sedang berdiri, s
Sesampai di rumah, Dante tak membukakan pintu mobil untuk Adriana. Ia langsung bergegas masuk rumah dan naik ke dalam kamarnya tanpa lupa membanting pintu.Adriana merasa menyesal telah menolak aksi Dante tadi. Tapi apa daya, dirinya sama sekali belum terbiasa dengan tindakan semesra itu. Terlebih di tempat umum seperti tadi.Tak disangka, ternyata Nyonya Wanda memperhatikan yang terjadi terhadap sikap putranya. Wanita itu lantas meminta salah satu pelayan yang tadinya tengah menuangkan teh herbal hangat untuknya di ruang tengah untuk memanggilkan Adriana agar menghadap.Adriana yang sudah menyangka bahwa ia lambat laun akan dipanggil oleh mama Dante itu pun datang ke ruang tengah dengan langkah ragu dan pandangan tertunduk malu-malu. Gerangan apa yang mau disampaikan olehnya coba? Sungguh sulit menjelaskan bahwa ia tak nyaman dengan tingkah mesum putra Nyonya Wanda di depan mamanya sendiri. Ya ampun!Sambil menghirup tehnya, Nyonya Wanda menatap lekat Adriana yang berdiri mematung di