“Kau benar-benar wanita kampung tidak tahu diri! Dasar menantu sampah! Mertua sedang sakit dirawat di rumah sakit berhari-hari, tapi kau tidak menjenguk apalagi merawatku!”“Sekarang mertuamu pun sudah pulang, tapi kau tetap tidak menemuinya, kau malah sibuk di kamar tidur. Hanya tidur, tidur, dan tidur saja pekerjaanmu! Dasar pemalas!”Suara Mama Risa terdengar menggema. Dia sudah tidak bisa menahan amarahnya lagi, dia pun langsung berjalan menuju ke arah kamar Irani. Braakk!!!Mama Risa mendobrak pintu dengan begitu kencang. Semua orang pun mengikutinya dari belakang. Dia langsung masuk dan menuju ke ranjang sederhana tersebut. Namun, dia tidak mendapati keberadaan Irani.Matanya terus menatap sekeliling kamar tersebut dan menatap lemari. Biasanya di atas lemari tersebut terdapat tas milik Irani, tetapi saat itu dia tidak melihatnya. Karena rasa penasarannya, dia pun berjalan menuju ke lemari tersebut.Mama Risa membuka lemari itu dan betapa terkejut dirinya ketika melihat bahwa le
Wajah Irani terlihat penuh kecemasan. Pak RT Bahrum dan Bu RT Marni, mereka saling berpandangan. “Mbak Rani, kenapa kau berkata begitu?” tanya Bu Marni.“Iya, Mbak Rani, memangnya siapa yang akan memecatmu?” Pak Bahrum menimpali.Irani menundukkan wajahnya. Rasanya dia ingin sekali menangis karena sudah merasa sangat lelah dengan ujian demi ujian yang menimpa hidupnya. Dan tanpa terasa, air mata pun mengalir dengan deras membasahi pipinya. Bahunya berguncang hebat.Bu Marni dan Pak Bahrum yang melihat itu ikut merasa cemas. Bu Marni mendekati Irani dan memegang bahunya. Dia mengusap-usap punggungnya untuk memberikan semangat dan kekuatan.“Menangislah jika itu akan membuat hatimu lega,” ujarnya.Irani pun semakin mengeluarkan tangisannya. Namun, ketika dia teringat dengan bayi yang ada dalam kandungannya, dia berusaha sekuat mungkin untuk berhenti dari tangisannya tersebut.Karena dia tidak ingin membuat sang bayi ikut merasakan kesedihannya dan ikut stres. Lalu, dia menyusut air mat
Betapa terkejutnya Raymond ketika melihat wajah pengamen tersebut, yang ternyata merupakan seorang perempuan. Dia mengira jika pengamen itu adalah laki-laki karena mengenakan topi sehingga tidak terlihat wajah dan rambutnya yang panjang.Dengan bersusah payah, Raymond meneguk ludahnya. Perlahan, tangannya dia turunkan. Dia menggigit bibirnya dengan kuat karena merasa salah tingkah. Raymond menarik napas, kemudian dihembuskan dengan kuat.Sementara gadis tersebut, hanya menundukkan wajah. Perlahan, dia mulai bangkit. Lalu, dia berjalan dengan tertatih-tatih untuk meninggalkan tempat itu.Raymond yang masih sibuk dengan pikirannya itu, belum menyadari kepergian gadis tersebut. Gadis itu sudah berjalan semakin jauh menyusuri trotoar jalan.Ketika Raymond baru menyadari kepergiannya, lalu dia berlari mengejar gadis tersebut. “Nona, tunggu!” panggilnya.Akan tetapi, gadis itu terus melanjutkan langkah kakinya. Perasaan sakit dan perih di lututnya ia abaikan, sementara Raymond semakin mempe
Semua orang terkejut ketika melihat Irani yang tengah kesakitan sembari memegangi perutnya. Mereka berduyun-duyun menghampirinya.“Mbak Rani, kamu kenapa? Apa yang terjadi?” tanya mereka secara bersamaan.“Aduh, perutku sakit sekali, Bu, Pak.” Irani memegang perutnya.Bu Leha dan yang lainnya saling berpandangan. Lalu, dia berjalan mendekati Irani. Matanya terus tertuju pada perut Irani.“Maaf, Mbak Rani, ibu izin pegang perutnya, ya,” ujar Bu Leha.Irani hanya mengangguk karena dia sudah tak mampu untuk bersuara. Bu Leha pun langsung memegang perut Irani. Dan betapa terkejutnya dia, ketika memegang perut Irani yang sudah semakin membuncit.Mata Bu Leha sampai terbelalak lebar. Dia menatap Irani, kemudian beralih menatap yang lainnya. Semua orang merasa heran melihat mimik wajah Bu Leha. Rasa penasaran pun semakin besar pada diri mereka semua.“Bu Leha, ada apa?” tanya Bu Wati.“Iya, Bu Leha, kenapa mimik wajahmu seperti itu?” timpal Bu Namih.“M-maaf, Mbak Rani, apakah kamu ini sedan
Ketika siang hari, Mama Risa sengaja menghubungi Dona—sekretaris pribadi Raymond.“Halo, Dona, apakah Ray ada di kantor?” Mama Risa membuka percakapan.“Halo, maaf, ini dengan siapa?” Dona menjawab.“Aku mamanya Ray!”Dona sangat terkejut mendengarnya. Dia merasa salah tingkah sendiri dibuatnya. “Ah, iya, maaf, Nyonya, saya tidak tahu jika ini adalah Anda.”“Hmmm.”Mama Risa hanya menyahutnya dengan deheman saja. Dia menunjukkan sikap angkuhnya, sedangkan Dona di seberang sana, berusaha sebaik mungkin menghadapi sikap Mama Risa, yang dia anggap sebagai calon ibu mertua.“Maaf, Nyonya, Tuan Ray sudah dua hari ini tidak masuk kantor. Nomor ponselnya pun tidak aktif,” ucap Dona.Deg!Mama Risa tentu saja sangat terkejut mendengarnya. “Apaaa?!” teriaknya.Dona sampai menjauhkan gagang telepon dari telinganya. Dia pun ikut terkejut mendengar suara Mama Risa yang melengking itu.‘Omg, calon mertua gue kok gini amat, ya? Itu si Irani hebat banget deh bisa bertahan di rumah itu,’ batin Dona.
Semua orang saling berpandangan ketika mereka mendengar penuturan Irani. Bu Marni mendekati Irani dan melihat uang serta perhiasan tersebut.“Rani, apakah kamu bersungguh-sungguh ingin mempergunakan uang dan perhiasan ini sebagai modal?” tanya Bu Marni.“Iya, Rani, coba kamu pikir-pikir lagi. Karena kamu sedang hamil dan pasti membutuhkan modal untuk biaya persalinan,” timpal Bu Leha.Irani menunduk, kemudian dia mendongak dan menatap Bu Marni serta warga yang lainnya. Matanya sudah berkaca-kaca karena perasaan sedih kini menggelayuti hatinya.“Aku sudah berniat, Bu, Pak. Memang benar jika aku membutuhkan biaya untuk persalinanku nanti, tapi aku juga tidak akan mungkin jika selama kehamilan ini hanya berdiam diri saja.” Irani menghela napas.“Aku ingin mempergunakan uang dan perhiasan ini untuk modal menyewa lahan, dan kebutuhan yang lainnya. Semoga modal ini cukup,” sambungnya.Pak RT Bahrum saling bertatapan dengan sang istri. Mereka saling menganggukkan kepala. Pak Bahrum berjalan
Pagi hari pun tiba. Raymond terbangun sambil memegang kepalanya yang masih berdenyut nyeri. Dia duduk dan mengedarkan pandangan. Matanya menatap Ayunda yang masih terlelap di sofa.Kening Raymond mengernyit, matanya menyipit. Dia tengah berpikir, mengapa Ayunda tidur di sofa kamarnya, mengapa bukan tidur di kamar yang tamu. Dia berusaha mengingat apa yang telah terjadi. Namun, dia tidak bisa mengingatnya sama sekali.Perlahan kaki Raymond turun dari ranjang. Dia berjalan sempoyongan menghampiri Ayunda. Matanya menatap wajah Ayunda yang pucat, dan di keningnya terdapat noda darah yang sudah mengering.Raymond semakin mengernyitkan kening. Dia berusaha sekuat mungkin untuk bisa mengingat kejadian apa yang telah terjadi tadi malam, tetapi dia tetap tidak bisa mengingatnya.“Yunda, bangun. Mengapa kau tidur di sini, dan mengapa keningmu ada noda darah yang sudah mengering?” Raymond mengguncang bahu Ayunda.Ayunda menggeliatkan tubuh. Dia memegang kepalanya yang terasa nyeri. Matanya bersi
Semua orang saling bertatapan, kemudian mereka tertawa terpingkal-pingkal. Irani menatap heran pada mereka karena bukannya menolong, tetapi justru menertawakan.“Ahahaha ….”“K-kenapa k-kalian malah tertawa?” Irani bertanya dengan terbata.“Rani, jadi dari tadi kamu itu berjalan tergesa-gesa karena ketakutan sama laki-laki itu?” Bu Marni bertanya seraya menatapnya.Irani hanya mengangguk. Dia sudah kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaan ibu angkatnya itu, sementara lelaki yang sedari tadi mengikutinya malah selengehan. Irani benar-benar merasa sangat geram melihatnya.“Rani, perkenalkan, itu anak ibu yang baru pulang dari kota. Namanya Bahri. Bahri, perkenalkan, ini Rani saudara angkatmu, dia dari Kota Jakarta.” Bu Marni memperkenalkan anak kandung dan anak angkatnya.Irani terperanjat mendengarnya. Dia menatap Bu Marni, kemudian beralih menatap Bahri. “J-jadi, d-dia anak Ibu?”“Iya, Nak. Mungkin usianya tua sedikit darimu. Jadi, kau bisa memanggilnya Mas Bahri.”Irani terseny