Bi Iyam mendekatkan wajahnya di perut Irani. “Cucu nenek, nanti jangan bandel, ya, ‘Nak. Harus kasihan pada ibumu. Doakan Ibu supaya nanti bisa berjuang untuk melahirkan dan menghidupi kamu. Nanti kalau sudah besar, bisa datang ke sini lagi untuk bertemu dengan Nenek dan Kakek.”Dengan susah payah Irani memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Dia benar-benar merasa sangat bahagia dan terharu atas perlakuan Bi Iyam. “Terima kasih, Nenek, atas semua kebaikan dan doa Nenek. Sekarang, aku akan menjadi anak yang baik untuk Ibu.” Irani berbicara menirukan suara anak kecil dengan suara bergetar.Setelah itu, dia pun pergi meninggalkan kediaman Rabbani. Irani diantarkan oleh Bi Iyam keluar dari pintu gerbang kediaman Rabbani tersebut.Semua pelayan bahkan security menatap kepergian Irani dengan sendu. Bahkan ada yang menitikkan air mata karena merasa sedih. Dan ada yang tertawa bahagia karena ada sederet orang yang tidak menyukai kehadiran Irani.Irani pun berpamitan pada mereka dengan berlinan
Siang itu, Irani terlihat tengah sibuk membersihkan dan merapikan rumah kontrakan yang disewanya.Saat kemarin dia sampai di Desa Suka Tani tersebut, dia langsung mendapatkan rumah kontrakan yang kecil dan sederhana. Namun, Irani sangat bersyukur karena rumah kontrakan tersebut berbentuk satu rumah yang memiliki ruangan-ruangan lengkap seperti rumah pada umumnya. Dan harganya pun termasuk terjangkau.Sementara lowongan pekerjaan yang tertera di plang, ternyata sudah tutup. Irani sempat merasa kecewa karena plang masih dipajang, tetapi lowongan sudah tutup. “Mengapa plang masih ada di sana jika sebenarnya sudah tidak membuka lowongan lagi?” Begitulah pertanyaan yang dilontarkan Irani pada warga desa tersebut.“Mungkin lupa mencabut plang tersebut.”Begitulah jawaban dari warga Desa Suka Tani yang menjawab pertanyaan Irani. Akhirnya, Irani mencari pekerjaan lain yang ada di desa tersebut. Berhubung di Desa Suka Tani itu mayoritas pekerjaannya bertani maka Irani akan mencari pekerjaan
“Kau benar-benar wanita kampung tidak tahu diri! Dasar menantu sampah! Mertua sedang sakit dirawat di rumah sakit berhari-hari, tapi kau tidak menjenguk apalagi merawatku!”“Sekarang mertuamu pun sudah pulang, tapi kau tetap tidak menemuinya, kau malah sibuk di kamar tidur. Hanya tidur, tidur, dan tidur saja pekerjaanmu! Dasar pemalas!”Suara Mama Risa terdengar menggema. Dia sudah tidak bisa menahan amarahnya lagi, dia pun langsung berjalan menuju ke arah kamar Irani. Braakk!!!Mama Risa mendobrak pintu dengan begitu kencang. Semua orang pun mengikutinya dari belakang. Dia langsung masuk dan menuju ke ranjang sederhana tersebut. Namun, dia tidak mendapati keberadaan Irani.Matanya terus menatap sekeliling kamar tersebut dan menatap lemari. Biasanya di atas lemari tersebut terdapat tas milik Irani, tetapi saat itu dia tidak melihatnya. Karena rasa penasarannya, dia pun berjalan menuju ke lemari tersebut.Mama Risa membuka lemari itu dan betapa terkejut dirinya ketika melihat bahwa le
Wajah Irani terlihat penuh kecemasan. Pak RT Bahrum dan Bu RT Marni, mereka saling berpandangan. “Mbak Rani, kenapa kau berkata begitu?” tanya Bu Marni.“Iya, Mbak Rani, memangnya siapa yang akan memecatmu?” Pak Bahrum menimpali.Irani menundukkan wajahnya. Rasanya dia ingin sekali menangis karena sudah merasa sangat lelah dengan ujian demi ujian yang menimpa hidupnya. Dan tanpa terasa, air mata pun mengalir dengan deras membasahi pipinya. Bahunya berguncang hebat.Bu Marni dan Pak Bahrum yang melihat itu ikut merasa cemas. Bu Marni mendekati Irani dan memegang bahunya. Dia mengusap-usap punggungnya untuk memberikan semangat dan kekuatan.“Menangislah jika itu akan membuat hatimu lega,” ujarnya.Irani pun semakin mengeluarkan tangisannya. Namun, ketika dia teringat dengan bayi yang ada dalam kandungannya, dia berusaha sekuat mungkin untuk berhenti dari tangisannya tersebut.Karena dia tidak ingin membuat sang bayi ikut merasakan kesedihannya dan ikut stres. Lalu, dia menyusut air mat
Betapa terkejutnya Raymond ketika melihat wajah pengamen tersebut, yang ternyata merupakan seorang perempuan. Dia mengira jika pengamen itu adalah laki-laki karena mengenakan topi sehingga tidak terlihat wajah dan rambutnya yang panjang.Dengan bersusah payah, Raymond meneguk ludahnya. Perlahan, tangannya dia turunkan. Dia menggigit bibirnya dengan kuat karena merasa salah tingkah. Raymond menarik napas, kemudian dihembuskan dengan kuat.Sementara gadis tersebut, hanya menundukkan wajah. Perlahan, dia mulai bangkit. Lalu, dia berjalan dengan tertatih-tatih untuk meninggalkan tempat itu.Raymond yang masih sibuk dengan pikirannya itu, belum menyadari kepergian gadis tersebut. Gadis itu sudah berjalan semakin jauh menyusuri trotoar jalan.Ketika Raymond baru menyadari kepergiannya, lalu dia berlari mengejar gadis tersebut. “Nona, tunggu!” panggilnya.Akan tetapi, gadis itu terus melanjutkan langkah kakinya. Perasaan sakit dan perih di lututnya ia abaikan, sementara Raymond semakin mempe
Semua orang terkejut ketika melihat Irani yang tengah kesakitan sembari memegangi perutnya. Mereka berduyun-duyun menghampirinya.“Mbak Rani, kamu kenapa? Apa yang terjadi?” tanya mereka secara bersamaan.“Aduh, perutku sakit sekali, Bu, Pak.” Irani memegang perutnya.Bu Leha dan yang lainnya saling berpandangan. Lalu, dia berjalan mendekati Irani. Matanya terus tertuju pada perut Irani.“Maaf, Mbak Rani, ibu izin pegang perutnya, ya,” ujar Bu Leha.Irani hanya mengangguk karena dia sudah tak mampu untuk bersuara. Bu Leha pun langsung memegang perut Irani. Dan betapa terkejutnya dia, ketika memegang perut Irani yang sudah semakin membuncit.Mata Bu Leha sampai terbelalak lebar. Dia menatap Irani, kemudian beralih menatap yang lainnya. Semua orang merasa heran melihat mimik wajah Bu Leha. Rasa penasaran pun semakin besar pada diri mereka semua.“Bu Leha, ada apa?” tanya Bu Wati.“Iya, Bu Leha, kenapa mimik wajahmu seperti itu?” timpal Bu Namih.“M-maaf, Mbak Rani, apakah kamu ini sedan
Ketika siang hari, Mama Risa sengaja menghubungi Dona—sekretaris pribadi Raymond.“Halo, Dona, apakah Ray ada di kantor?” Mama Risa membuka percakapan.“Halo, maaf, ini dengan siapa?” Dona menjawab.“Aku mamanya Ray!”Dona sangat terkejut mendengarnya. Dia merasa salah tingkah sendiri dibuatnya. “Ah, iya, maaf, Nyonya, saya tidak tahu jika ini adalah Anda.”“Hmmm.”Mama Risa hanya menyahutnya dengan deheman saja. Dia menunjukkan sikap angkuhnya, sedangkan Dona di seberang sana, berusaha sebaik mungkin menghadapi sikap Mama Risa, yang dia anggap sebagai calon ibu mertua.“Maaf, Nyonya, Tuan Ray sudah dua hari ini tidak masuk kantor. Nomor ponselnya pun tidak aktif,” ucap Dona.Deg!Mama Risa tentu saja sangat terkejut mendengarnya. “Apaaa?!” teriaknya.Dona sampai menjauhkan gagang telepon dari telinganya. Dia pun ikut terkejut mendengar suara Mama Risa yang melengking itu.‘Omg, calon mertua gue kok gini amat, ya? Itu si Irani hebat banget deh bisa bertahan di rumah itu,’ batin Dona.
Semua orang saling berpandangan ketika mereka mendengar penuturan Irani. Bu Marni mendekati Irani dan melihat uang serta perhiasan tersebut.“Rani, apakah kamu bersungguh-sungguh ingin mempergunakan uang dan perhiasan ini sebagai modal?” tanya Bu Marni.“Iya, Rani, coba kamu pikir-pikir lagi. Karena kamu sedang hamil dan pasti membutuhkan modal untuk biaya persalinan,” timpal Bu Leha.Irani menunduk, kemudian dia mendongak dan menatap Bu Marni serta warga yang lainnya. Matanya sudah berkaca-kaca karena perasaan sedih kini menggelayuti hatinya.“Aku sudah berniat, Bu, Pak. Memang benar jika aku membutuhkan biaya untuk persalinanku nanti, tapi aku juga tidak akan mungkin jika selama kehamilan ini hanya berdiam diri saja.” Irani menghela napas.“Aku ingin mempergunakan uang dan perhiasan ini untuk modal menyewa lahan, dan kebutuhan yang lainnya. Semoga modal ini cukup,” sambungnya.Pak RT Bahrum saling bertatapan dengan sang istri. Mereka saling menganggukkan kepala. Pak Bahrum berjalan
4 tahun kemudian“Irana, jangan lari ke jalan terus, Nak, banyak kendaraan.” Suara Irani terdengar berteriak seraya berlari mengejar seorang gadis kecil.“Ibu, aku mau ke rumah Ayah Bahri.” Gadis kecil tersebut berbicara seraya berlari.Meskipun usia gadis kecil itu baru 3 tahun lebih, tapi dia sangat pintar sekali. Suaranya pun tidak terdengar cadel seperti kebanyakan anak-anak kecil pada umumnya.Irana, itulah nama gadis kecil tersebut. Anak yang dikandung oleh Irani 4 tahun lalu. Irana memanggil Bahri ayah karena selama ini Bahri lah yang selalu membantu Irani mengurusnya. Jadi, Irana taunya bahwa Bahri merupakan ayahnya.Walaupun Irani sudah Berulang kali menjelaskan pada sang anak, bahwa Bahri bukanlah ayahnya, tetapi Irana tidak mempercayainya. Dia tetap menganggap bahwa Bahri lah ayahnya karena lelaki itulah yang selama ini selalu mengurusnya seperti anak sendiri.Letak rumah Bahri yang tidak begitu jauh dari rumah Irani, membuat Irana begitu mudah untuk pulang pergi sendiri. N
Sementara itu, di kediaman Rabbani. Kini keluarga besar Rabbani dan orang tua Irani tengah berkumpul di ruang keluarga. Mereka sedang bermusyawarah tentang permasalahan rumah tangga anak mereka.“Di mana kita akan mencari Irani? Sedangkan tidak ada akses sedikitpun untuk berhubungan dengannya. Apalagi dia sedang hamil. Aku benar-benar sedih memikirkannya.” Bu Ina terisak-isak.Mama Risa mendekatinya. “Bu Ina, tolong maafkan aku. Semua ini salahku karena aku selalu bersikap buruk pada Irani.” Mama Risa pun terisak.“Maafkan aku juga, Bu, Pak. Karena selama aku menjadi suaminya, aku juga selalu bersikap buruk. Hingga akhirnya kami bercerai.” Raymond berkata dengan mimik wajah yang terlihat murung.Pak Ahmad dan Bu Ina menarik napas dengan berat. Dada mereka bergemuruh setiap kali mendengar pernyataan Mama Risa dan Raymond, yang mengakui dengan jujur tentang sikap buruk mereka pada Irani.Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Semua yang sudah terjadi tidak akan bisa kembali seperti semu
Pak Ahmad terpancing emosi karena Raymond tak kunjung menjawab pertanyaannya tentang keberadaan Irani.Plak! Plak!Bugh! Bugh!Akhirnya, Pak Ahmad menampar dan memukul Reynand serta Raymond secara bergantian. Amarahnya benar-benar sudah memuncak. Wajah kedua kakak beradik itu, kini sudah babak belur.Akan tetapi, mereka menerima semua perlakuan Ayah Irani tersebut karena mereka menyadari dan mengakui kesalahan yang telah mereka perbuat.Mama Risa histeris melihat kedua putranya yang dihajar habis-habisan oleh Pak Ahmad. Dia berusaha untuk memasang badan, dan memohon untuk dihentikan. Namun, Papa Rabbani menahannya.“Pak Ahmad, tolong hentikan. Kasihan kedua putraku!” teriak Mama Risa.“Pa, tolong kedua putra kita. Mengapa Papa hanya diam saja?!” Mama Risa histeris pada sang suami.“Ma, tenanglah. Ini semua hukuman yang pantas untuk kedua putra kita. Karena mereka telah berbuat kesalahan pada Irani.” Papa Rabbani mengelus-elus punggung Mama Risa.“Pa, mengapa kau tega pada putra-putra
Mata Irani membulat mendengar ucapan Bahri. Bagaimana tidak, di saat yang sedang genting seperti ini pun, Bahri masih tetap menyebalkan dan membuatnya kesal.Dengan sekuat tenaga Irani mencubit perut Bahri, hingga membuat lelaki tersebut menjerit karena merasakan perih di kulit perutnya.“Aww, aduh … Maharani, mengapa kau mencubitku? Aiiss, ini sangat sakit dan perih sekali rasanya,” ujar Bahri.“Karena kau selalu saja menyebalkan, Mas Bahri. Di saat aku sedang kesakitan dan kram seperti ini pun, kau masih saja bersikap seperti itu, huh!” Irani mendelikkan mata.“Ehehe … jangan marah-marah, nanti cantikmu hilang.”Ingin rasanya Irani kembali mencubit Bahri, tetapi rasa nyeri kembali menderanya. Akhirnya, dia hanya menurut saja mengikuti Bahri menuju ke arah motor, kemudian Bahri memboncengnya.Bahri menuju ke rumah seorang bidan yang membuka praktek di desa tersebut. Tidak butuh waktu lama, mereka telah sampai. Bahri bergegas menuntun Irani.“Assalamualaikum, Bu Bidan, tolong periksa
Semua orang sangat terkejut mendengar pertanyaan dari sepasang suami istri yang baru saja datang tersebut.Reynand dan Raymond saling melepaskan pelukan karena nama mereka dipanggil. Mereka menatap ke arah sumber suara. Reynand menatap sepasang suami istri paruh baya tersebut, dia mengernyitkan kening karena kebingungan sebab dia tidak mengenal mereka.Sementara Raymond, wajahnya sudah memucat. Dia menatap kedua orang tersebut dengan bibir yang gemetar. “Ayah mertua, Ibu mertua,” gumamnya.Ayunda yang berdiri tepat di sampingnya, bisa mendengar dengan jelas gumaman Raymond tersebut. Entah mengapa, perasaannya semakin tak menentu mendengar Raymond yang memanggil kedua orang tersebut dengan sebutan ayah mertua dan ibu mertua.“Raymond, jawab pertanyaan ibu. Di mana Irani, putriku?” ujar Bu Ina—Ibu Irani.“Iya, Nak Ray, mana Irani?” timpal Pak Ahmad—Ayah Irani.Raymond kehilangan kata-kata. Otaknya benar-benar buntu, sementara kedua orang tuanya menatap Raymond dan besannya secara bergan
Suara teriakan seorang lelaki menghentikan tindakan para pemuda tersebut. Mereka beralih menatap ke arah sumber suara.Ayunda sangat mengenal suara itu. Dia mendongakkan wajah dan menatapnya. “Tuan Raymond,” gumamnya.“Kalian ini juga seorang perempuan, tetapi kalian malah menertawakannya. Di mana hati nurani kalian sebagai sesama perempuan?!” Raymond berteriak pada rombongan gadis yang tadi menertawakan Ayunda.Setelah itu, Raymond pun mulai berkelahi dengan para pemuda itu, sedangkan Edo berlari meminta bantuan para pengunjung lainnya, yang kala itu masih berada di alun-alun tersebut.Tentu saja perkelahian tersebut tidak seimbang. Karena Raymond yang hanya seorang diri, melawan beberapa orang. Dia kewalahan dan menjadi bulan-bulanan. Tubuhnya sudah tergeletak di rerumputan, ditendang oleh mereka. Raymond menutup wajahnya dengan tangan agar wajahnya tidak semakin lebam.Ayunda yang melihat itu berlari ke arah Raymond. Dia memeluk kepalanya dengan erat seraya menangis. Dia tidak teg
Semua orang saling bertatapan, kemudian mereka tertawa terpingkal-pingkal. Irani menatap heran pada mereka karena bukannya menolong, tetapi justru menertawakan.“Ahahaha ….”“K-kenapa k-kalian malah tertawa?” Irani bertanya dengan terbata.“Rani, jadi dari tadi kamu itu berjalan tergesa-gesa karena ketakutan sama laki-laki itu?” Bu Marni bertanya seraya menatapnya.Irani hanya mengangguk. Dia sudah kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaan ibu angkatnya itu, sementara lelaki yang sedari tadi mengikutinya malah selengehan. Irani benar-benar merasa sangat geram melihatnya.“Rani, perkenalkan, itu anak ibu yang baru pulang dari kota. Namanya Bahri. Bahri, perkenalkan, ini Rani saudara angkatmu, dia dari Kota Jakarta.” Bu Marni memperkenalkan anak kandung dan anak angkatnya.Irani terperanjat mendengarnya. Dia menatap Bu Marni, kemudian beralih menatap Bahri. “J-jadi, d-dia anak Ibu?”“Iya, Nak. Mungkin usianya tua sedikit darimu. Jadi, kau bisa memanggilnya Mas Bahri.”Irani terseny
Pagi hari pun tiba. Raymond terbangun sambil memegang kepalanya yang masih berdenyut nyeri. Dia duduk dan mengedarkan pandangan. Matanya menatap Ayunda yang masih terlelap di sofa.Kening Raymond mengernyit, matanya menyipit. Dia tengah berpikir, mengapa Ayunda tidur di sofa kamarnya, mengapa bukan tidur di kamar yang tamu. Dia berusaha mengingat apa yang telah terjadi. Namun, dia tidak bisa mengingatnya sama sekali.Perlahan kaki Raymond turun dari ranjang. Dia berjalan sempoyongan menghampiri Ayunda. Matanya menatap wajah Ayunda yang pucat, dan di keningnya terdapat noda darah yang sudah mengering.Raymond semakin mengernyitkan kening. Dia berusaha sekuat mungkin untuk bisa mengingat kejadian apa yang telah terjadi tadi malam, tetapi dia tetap tidak bisa mengingatnya.“Yunda, bangun. Mengapa kau tidur di sini, dan mengapa keningmu ada noda darah yang sudah mengering?” Raymond mengguncang bahu Ayunda.Ayunda menggeliatkan tubuh. Dia memegang kepalanya yang terasa nyeri. Matanya bersi
Semua orang saling berpandangan ketika mereka mendengar penuturan Irani. Bu Marni mendekati Irani dan melihat uang serta perhiasan tersebut.“Rani, apakah kamu bersungguh-sungguh ingin mempergunakan uang dan perhiasan ini sebagai modal?” tanya Bu Marni.“Iya, Rani, coba kamu pikir-pikir lagi. Karena kamu sedang hamil dan pasti membutuhkan modal untuk biaya persalinan,” timpal Bu Leha.Irani menunduk, kemudian dia mendongak dan menatap Bu Marni serta warga yang lainnya. Matanya sudah berkaca-kaca karena perasaan sedih kini menggelayuti hatinya.“Aku sudah berniat, Bu, Pak. Memang benar jika aku membutuhkan biaya untuk persalinanku nanti, tapi aku juga tidak akan mungkin jika selama kehamilan ini hanya berdiam diri saja.” Irani menghela napas.“Aku ingin mempergunakan uang dan perhiasan ini untuk modal menyewa lahan, dan kebutuhan yang lainnya. Semoga modal ini cukup,” sambungnya.Pak RT Bahrum saling bertatapan dengan sang istri. Mereka saling menganggukkan kepala. Pak Bahrum berjalan