"Loh, kalian?" Papa Afnan datang bersama Abang Justin memotong ucapan Nisa. Tadi mereka berdua sedang berada di halaman belakang, ketika ingin memanggil Mama Githa mereka dikagetkan dengan kedatangan sahabat-sahabat Diva.
"Ada apa?" tanya Papa Afnan mendudukkan dirinya di samping Mama Githa diikuti Abang Justin.
"Maaf, Om," ucap Adit. Dia merasa bersalah kepada orang tua kekasihnya ini, padahal mereka mempercayakan Diva kepadanya. Namun sekarang Diva justru hilang, itu semua karena dia yang tidak becus dalam menjaga Diva.
"Maaf kenapa?" tanya Papa Afnan mengernyit bingung.
"Bentar, ini kalian kesini semua ada apa? Terus Diva kemana?" tanya Abang Justin menatap mereka satu persatu.
"Maaf, Diva hilang, Bang," jawab Adit.
Keluarga Diva syok. Pikiran mereka mendadak blank.
"Maksud lo apa?" teriak Abang Justin.
"Diva hilang, Bang," jawab Adit menundukkan kepalanya merasa bersalah.
Mama Githa langsung menangis histeri
"Bos." Merasa di panggil, Adit menoleh, ternyata Bara dan Revan sudah kembali."Semuanya sudah siap," ucap Revan melapor.Adit mengangguk. Kemudian pandangannya beralih ke sahabat Diva."Kalian ikut," ucap Adit singkat yang dijawab anggukan semangat oleh ketiganya. Mereka senang bisa ikut serta menyelamatkan Diva."Om, saya dan yang lain akan berangkat sekarang," pamit Adit kepada Papa Afnan.Papa Afnan bangkit, menepuk pelan bahu Adit. "Tolong selamatkan Diva dan buat kalian, hati-hati. Kalau butuh bantuan, segera telepon Om dan kalian harus kembali dalam keadaan selamat.""Saya akan berusaha menyelamatkan Diva, Om," tegas Adit."Hati-hati ya," pesan Mama Githa pelan.Adit mengangguk, lalu berjalan mendekati Mama Githa untuk berpamitan. "Minta do'anya, Tan." Adit mencium punggung tangan Mama Githa. Tanpa sadar matanya berkaca-kaca, dia merasa sangat bersalah karena tidak bisa menjaga Diva hingga membuat Mama Githa
Semuanya langsung menoleh ke arah Revan yang berteriak."Kenapa?" tanya Adit berjalan mendekati Revan."I - tu," tunjuk Revan ke bawah kakinya.Semuanya langsung menunduk guna melihat apa yang ada di kaki Revan. Dahi Adit mengernyit, kemudian berjongkok untuk mengambil robot kecil yang bergerak di kaki Revan."Robot?" tanya Daniel heran saat melihat robot kecil di tangan Adit."Ha?" Revan melongo tidak percaya. Bagaimana bisa di gedung kosong seperti ini ada robot? Padahal dia sudah mengira bahwa itu adalah ular. Hancur sudah image dia di depan semuanya, apalagi tadi dia teriaknya sangat kencang."Kok ada robot sih? Sialan, gue merinding," ucap Bara mengusap tengkuk kepalanya. Siapa yang tidak takut jika di dalam gedung kosong apalagi posisinya di hutan, tiba-tiba ada robot kecil yang bergerak."Bentar, ini ada suratnya," celetuk Nisa mengambil robot itu dari tangan Adit."Baca!""Banyak orang yang membenci aku, padahal
Mendengar ucapan Abang Justin, mereka kembali berfikir keras tentang siapa dalang di balik semua ini."Iya, kalau dia enggak kenal Adit, enggak mungkin dia sampai tahu tanggal lahirnya," sahut Nisa menggigiti kuku jarinya. Dia cemas, jantungnya berdegup kencang, memikirkan segala kemungkinan siapa yang menjadi dalang ini semua."Gue pusing," ucap Adit mengacak rambutnya frustrasi."Untuk masalah itu nanti saja, sekarang kita lanjut ke tahap selanjutnya," usul Daniel.Adit mengangguk dan berjalan keluar dari ruangan diikuti yang lain. Selama berjalan, tidak ada yang membuka suara sama sekali, mereka sibuk dengan pikirannya sendiri. Hingga sampai lah mereka semua di depan pintu berwarna hitam pekat, hanya itu satu-satunya pintu yang berada di lorong ini. Adit berusaha membuka pintu, tetapi pintunya sangat sulit dibuka. Hingga tiba-tiba datang seorang kakek-kakek berjubah hitam dari samping kanan mereka."Khem," deham kakek itu dengan wajah yang begit
Melihat Adit yang terjatuh akibat dipukul dari belakang oleh salah satu orang yang berbaju hitam, membuat Abang Justin bergegas menghampirinya. Mereka hanya bisa menoleh sekilas ke arah Adit karena pertarungan masih berlangsung, tetapi di dalam hati mereka berdo'a semoga Adit baik-baik saja."Dit, bangun!"Adit mengerjapkan matanya beberapa kali, kepalanya terasa begitu pening."Gue tahu lo kuat," ucap Abang Justin.Adit mengangguk, kemudian berdiri secara perlahan dengan di bantu Abang Justin. Setelah Adit berdiri dengan sempurna, mereka berdua kembali berkelahi dengan orang berbaju hitam itu.Setelah hampir 2 jam mereka habiskan untuk bertarung, akhirnya pihak lawan tumbang semua. Dengan napas yang tidak beraturan, sahabat Adit serta sahabat Diva melangkah mendekat, berkumpul menjadi satu. Wajah mereka semua terdapat luka, bahkan beberapa ada yang keluar darah."Dit, beberapa anggota ada yang tumbang, mereka hanya pingsan," ucap Daniel mem
Lorong rumah sakit begitu ramai, derap langkah kaki saling bersahutan, berlari dengan wajah panik serta air mata yang mengalir deras. Mereka adalah orang tua Adit dan Diva. Setelah mendapat kabar bahwa Adit dan Diva terjun dari rooftop, mereka segera berangkat menuju rumah sakit. Orang tua mana yang tidak kaget, jika mendengar berita kalau anaknya jatuh dari rooftop. Semuanya syok, tidak menyangka kalau akan terjadi hal seperti ini. "Adit sama Diva mana?" tanya Bunda Desi setelah sampai di depan ruang UGD. "Masih di tangani, Tan," jawab Daniel. "Duduk dulu, Bun!" ajak Ayah Aryo menuntun Bunda Desi untuk duduk. Mereka hanyut dalam pikirannya masing-masing, di dalam hati mereka terus berdo'a untuk keselamatan Adit dan Diva. Mama Githa yang terlalu shock sampai jatuh pingsan, membuat tangis ketiga sahabat Diva semakin keras. Mereka tahu apa yang dirasakan Mama Githa, apalagi Diva merupakan anak perempuan satu-satunya. "Diva akan baik-baik aja 'ka
Seseorang yang Diva panggil, langsung mendongakkan kepalanya. "Ngapain lo disini, Karin?" tanya Diva datar. Ya, ternyata seseorang yang duduk di samping Ayah Aryo adalah Karin. Sahabat Adit dan sekaligus duri di dalam hubungannya. "Memangnya enggak boleh?" tanya Karin melirik Diva sinis. "Diva, mau ketemu Adit ya?" tanya Bunda Desi menyela, dia tidak mau ada keributan disini. Walaupun sebenarnya sedari tadi dia sudah gedek ingin mencakar wajah Karin. "Iya, Bunda," jawab Diva. Karin yang melihat cara bicara Bunda Desi pun menjadi kesal. Sedari tadi, mereka tidak ada yang mengajaknya berbicara. Sekalipun ada, nada bicara mereka akan ketus, tidak seperti kepada Diva yang lemah lembut. Gue akan balas lo, Va, Batin Karin tersenyum miring. "Pa, Adit," ucap Diva meminta Papa Afnan mendorong kursi rodanya mendekati pintu ruangan Adit. Papa Afnan me
"Lo ngomong apa, Bar?" tanya Revan yang samar-samar mendengar ucapan Bara. "Itu ... hidungnya Diva keluar darah," jawab Bara menunjuk darah yang menetes ke lantai. Mendengar ucapan Bara, sontak semuanya langsung mengalihkan pandangannya ke arah Diva yang memejamkan matanya. "Nak," panggil Mama Githa menepuk pipi Diva pelan. "Bawa ke ruangannya, Bang!" perintah Papa Afnan cemas. Dia takut terjadi apa-apa dengan Diva. Apalagi Diva yang baru saja sadar dan langsung mendapat kabar tentang Adit. Tanpa berkata apa pun, Abang Justin langsung berlari kencang, tetapi tetap hati-hati dan diikuti Papa Afnan dan Mama Githa. Sahabat Diva dan Adit yang baru saja akan menyusul, langsung menghentikan langkahnya kala mendengar ucapan dari Karin. "Itu karma karena sudah mengambil Adit dari gue," ucap Karin tersenyum puas. "Karma? Seharusnya yang dapat karma itu lo, karena sudah menjadi orang ketiga di hubungan Adit dan Diva. Lagian dulu lo nolak Adit 'k
Mereka menjadi terdiam dengan kepala yang menunduk, merasa bersalah. Mereka tidak ada pikiran sampai sejauh itu. Jika tahu begini, mungkin mereka akan mengiyakan ajakan Diva tanpa berpikir dua kali."Sorry, Va. Kita enggak tahu," sesal Mira menatap Diva dengan raut sendunya. Dia terus merutuki dirinya sendiri yang kalau berbicara suka asal ceplos.Dada Diva menjadi sesak, air matanya berlomba-lomba untuk keluar. "Apa kalian pikir, gue mau dance itu cuma untuk have fun aja?""Dek, sudah. Mereka lagi capek, belum istirahat dari tadi. Kamu tidur aja yuk!" ajak Abang Justin melerai."Maaf," ucap Diva menghapus air matanya lalu berbaring. Mungkin dengan tidur bisa menenangkan hati dan pikirannya.Setelah memastikan bahwa Diva sudah tertidur lelap, Abang Justin berjalan menuju sofa, tempat para sahabat adiknya berada. Dia merasa tidak enak, padahal mereka telah membantu dia menyelamatkan Diva."Obati dulu luka kalian dan maaf karena ucapan Diva ta
Adit mengalihkan pandangannya seraya menghela napas pelan. Kemudian kembali menatap kedua sahabatnya dengan raut serius. Meskipun ragu, dia akan mengatakannya karena mereka harus tahu kebenarannya."Karin hamil." Adit berkata dengan suara yang begitu pelan. Namun meskipun begitu, Bara dan Revan masih dapat mendengar dengan jelas.Tubuh keduanya mendadak kaku dengan mulut setengah terbuka. Mereka tidak salah dengar 'kan?"Ha ha pasti itu cuma alasan lo biar enggak dimarahi kami 'kan?" tanya Revan tertawa garing.Tawa Bara menguar, seolah apa yang diucapkan Adit adalah hal paling lucu. "Lo emang enggak pantes ngelawak, Dit. Nanti berguru sama gue. Jangan bawa-bawa kehamilan anjir, ngeri gue."Tangan Adit terangkat menepuk bahu kedua sahabatnya diikuti dengan gelengan kepala."Gue enggak lagi ngelawak. Ini beneran, Karin hamil anak gue," ucap Adit berhasil menghentikan tawa Bara.Raut wajah laki-laki yang suka bercanda itu berubah menjad
Kini giliran mereka yang terdiam. Benar-benar tidak menyangka dengan jawaban Diva yang sedikit menyentil hati mereka. Hati dan perasaan seseorang memang tidak bisa ditebak. Kemarin suka dan sekarang benci. Revan mengkode Bara melalui lirikan mata. Diam-diam dia meringis tidak enak. Berada di situasi seperti ini sangat tidak nyaman. "Va, sorry, gue engg-" "Enggak papa kok," sela Diva memotong ucapan Bara dengan wajah datarnya yang semakin membuat laki-laki itu merasa bersalah. "Gue minta maaf. Gue sama sekali enggak maksud ngomong gitu," cicit Bara. Daniel maju selangkah lalu mengusap rambut Diva lembut. "Pikirin baik-baik sebelum membuat keputusan." Diva hanya mengangguk pelan. Melihat pemandangan di depannya membuat Nisa mengalihkan pandangannya. Hatinya berdenyut sakit. "Ngelihat lo kayak gini malah bikin gue sa
Dengan posisi yang masih membelakangi Adit, Diva mengukir senyum tipis penuh luka. Di posisinya ini, dia juga melihat kedua sahabatnya yang berdiri kaku beberapa langkah di depannya. Perlahan Diva membalikkan badannya, menatap laki-laki yang sudah memberikan banyak rasa kepadanya. "Kenapa harus marah? Gue enggak marah sama sekali. Lagi pula lo enggak punya kesalahan yang harus gue marahin, Adit." "Terus, kenapa lo beda?" tanya Adit menatap Diva sayu. Diva menoleh ke samping lalu menarik napas pelan dan kembali menatap Adit. Namun kali ini tatapannya tidak lagi lembut, melainkan datar. "Apanya yang beda? Gue emang kayak gini. Lo 'kan enggak kenal sama gue, jadi wajar kalau ngerasa gue beda," jawab Diva tenang. Langkah kaki Adit perlahan membawanya mendekat ke arah Diva. "Gue minta maaf kalau ada salah. Gue ... gue ngerasa enggak suka sama sikap lo yang kayak gini, Diva," ucapnya bersungguh-sungguh. "Semua kesalahan lo udah gue maafin ko
Baru saja Nisa akan menjawab, suara dentingan sendok mengalihkan perhatian semuanya. Pelakunya adalah Diva. Dia sengaja sedikit membanting sendok karena terlalu risih dengan tatapan dua laki-laki yang tak lain adalah Adit dan Daniel. "Loh, Va, lo mau ke mana?" tanya Mira heran saat melihat Diva bangkit dari duduknya, padahal mereka belum selesai bahkan baru saja mulai. "Kelas," jawab Diva singkat dan langsung melenggang pergi. Meninggalkan tanda tanya besar untuk sahabatnya. "Makanannya belum habis loh," tunjuk Tika ke arah makanan Diva yang baru termakan sedikit. Mereka saling pandang lalu menggeleng dengan kompak. Mereka bingung kenapa Diva menjadi seperti ini. Disuruh bercerita menolak, mau menebak pun mereka juga tidak bisa. Karena ekspresi Diva terlihat biasa saja, tidak ada emosi. "Diva sebenarnya kenapa sih?" tanya Bara bertopang dagu menatap ke arah perginya Diva.
"Pagi, Cantik," sapa Bara kepada Diva yang lewat di depannya dengan senyum lebar.Diva menoleh dan tersenyum tipis. "Pagi, Bar," balasnya kemudian langsung melenggang pergi, tanpa menatap inti dan anggota danger lainnya.Bukan hanya Bara yang merasa heran, tetapi semua yang ada di parkiran juga merasa kalau Diva sedikit berbeda. Biasanya gadis itu akan menyapa dengan riang, bahkan ikut bergabung. Apalagi jika ada Adit.Namun sekarang, gadis cantik itu hanya membalas dengan singkat tanpa melihat ke yang lain. Bahkan ke Adit pun tidak."Diva kenapa cuek gitu ya?" tanya Bara menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Apa kalimat sapaannya salah, sampai Diva marah karena dipanggil cantik?"Dia juga enggak nyapa kita. Tumben banget dia enggak semangat gitu, padahal di sini ada Adit," sahut Revan menatap punggung Diva yang semakin menjauh."Mungkin udah enggak mau lagi sama Adit," celetuk Bara asal.Mendengar celetukan sahabatnya, Adit langsung
Diva tersenyum tipis, dengan pelan dia melepas pelukan Tika yang begitu erat. Bukannya tidak senang, tetapi di sebelahnya ada Mira yang sudah tertidur pulas. Dia tidak mau mengganggu sahabatnya itu hanya karena terjepit oleh Tika. "Gue enggak papa kok. Maaf udah buat lo khawatir," jawab Diva merasa bersalah. "Terus lo ke mana? Kenapa enggak balik ke kelas? Kenapa di toilet juga enggak ada?" tanya Tika beruntun. Nisa menghela napas pelan mendengar pertanyaan Tika. Sudah dia duga, gadis itu pasti bertanya secara bertubi-tubi. "Lo enggak bisa tanya satu-satu ya, Tik? Gue pusing dengarnya." "Gue enggak tanya sama lo, jadi lebih baik lo diam aja. Mimpi apa gue bisa punya sahabat kayak lo sama Mira. Gampang emosi dan suka komentar sama apa yang gue lakuin," gerutu Tika memberenggut kesal. Diva menggelengkan kepalanya pelan menyaksikan perdebatan para sahabatnya. Sudah tidak asing lagi jika
"Bu Sukma masih ngejar kita, gimana nih?" tanya Tika di sela larinya. " Gue udah capek anjir." Meskipun napasnya terasa menipis, tetapi Tika juga tidak mau berhenti. Karena kalau berhenti, yang ada dia ketangkap oleh Bu Sukma lalu diberi hukuman. Oh no! Dirinya tidak mau berurusan dengan matahari apalagi toilet. "Gimana kalau ke kelas aja? Gue juga capek, berasa di kejar orang gila, deg-degan parah," sahut Bara setelah melihat ke belakang dan ternyata benar apa yang dikatakan Tika, Bu Sukma masih mengejar mereka berdua dengan penggaris kayu yang diacungkan. Tika mengangguk menyetujui. "Oke, daripada dihukum bersihin toilet yang baunya bikin mual, lebih baik gue berperang sama pelajaran. Dadah, Bara Jelek," pamitnya seraya melambaikan tangan lalu berlari menuju kelasnya. "Sialan lo bocah! Awas aja ya, gue bikin jatuh cinta klepek-klepek lo. Nanti bilangnya 'aku enggak mau pisah sama kamu' atau enggak 'a
"Lo harus bisa atur emosi, Mir," celetuk Revan memecah kesunyian di antara keduanya. Sejak kepergian Daniel dan Nisa, dia sengaja mengajak Mira ke taman belakang. Karena menurutnya, hanya tempat itu yang cocok untuk menenangkan diri. Selain sejuk, tempatnya pun tidak ramai dan hanya segelintir siswa yang berlalu lalang. "Apa pun yang menyangkut sahabat gue, gue enggak bisa tinggal diam, Van. Apalagi ini Diva, sahabat yang paling gue sayang," sahut Mira menatap lurus ke depan. Dia berusaha menahan emosinya supaya tidak meledak. Bagaimana pun juga, di sini ada Revan dan dia tidak mau laki-laki itu menjadi korbannya. Karena yang bermasalah itu Adit, bukan sahabatnya. Huh, rasanya dia ingin menghajar wajah tampannya sampai babak belur, atau kalau perlu menonjok giginya sampai rontok. Supaya menjadi jelek dan otomatis tidak akan ada lagi perempuan yang menyukainya. "Gue tau apa yang lo rasain, tetapi percum
"Kenapa? Lo ingat sesuatu?" tanya Mira melirik Adit dengan tangan yang bersedekap."Enggak, gue cuma ngerasa pernah ada di posisi kayak gini," jawab Adit menatap meja dengan pandangan kosongnya.Jujur, sampai sekarang dia merasa bingung dengan dirinya sendiri. Entah apa yang terjadi sebelumnya, tetapi di beberapa situasi dia merasa familiar. Seolah pernah mengalaminya. Namun dia juga tidak ingat kapan situasi itu terjadi.Kekehan kecil keluar dari mulut Mira. "Lo emang pernah ada di posisi ini, kejadian yang sama tetapi beda tempat. Sayangnya sekarang lo lagi amnesia, jadi enggak inget kejadian menegangkan waktu itu," ujarnya santai."Mir," tegur Nisa menyenggol lengan Mira pelan, memperingati gadis itu agar tidak berbicara macam-macam yang dapat membuat Adit memaksa ingatannya.Ketiga inti danger hanya diam membisu, tidak menegur Mira atau pun menenangkan Adit yang mulai meremas rambutnya."Apa benar yang dibilang dia?" tanya Adit menatap s