Prang!Prang!Risa yang masih tertidur, seketika tersentak kaget begitu mendengar suara panci dan wajan yang saling dibenturkan. Bahkan, karena terlalu terkejutnya, tubuh wanita itu seketika bangkit dari pembaringan. Tak bisa dipungkiri, dada wanita itu terasa berdebar-debar."Alhamdulillah punya menantu yang rajiiinnnnn sekali." Suara sang ibu mertua terdengar dari luar sana. Kini, Risa baru menyadari kode yang diberi oleh sang mertua. "Huft!" Hembusan napas kasar keluar dari bibir Risa, setelahnya ia menoleh ke arah jarum jam yang ada di dinding. Dimana jarum jamnya menunjukkan pukul setengah lima pagi."Masih pagi buta loh ini. Bahkan, langit pun masih gelap," gerutu Risa yang kini memendang ke arah luar melalui jendela kaca yang ada di dalam kamar. Beberapa kali Risa menghela napas dalam-dalam lalu ia keluarkan secara perlahan, lalu wanita itu mengambil kunciran yang ia letakkan di atas bantal.Rambutnya digelung asal dan kemudian, ia menyibak selimut tipis yang sejak semalam
"Ibu kenapa?" tanya Risa lirih. Arjuna mendengkus, namun pada akhirnya lelaki itu berjalan mendekat ke arah sang ibu."Mas, ibu pingsan," rengek Putri sembari suara isak tangis yang terus keluar. Begitu dekat, Arjuna membopong tubuh sang ibu menuju kamar. Perlahan, lelaki itu membaringkannya di atas ranjang. "Put, ambilkan minyak kayu putih." "I–iya, Mas." Gegas Putri melangkah menuju etalase yang ada di ruang tengah, mengeluarkan kotak, lalu mengambil minyak yang diminta oleh sang kakak. Dan begitu menemukan, dengan setengah berlari Putri kembali menuju kamar. "Ini, Mas." Putri mengulurkan benda tersebut. Arjuna yang sedari menepuk-nepuk pelan pipi sang ibu pun menoleh, mengambil benda kecil itu. "Sayang, tolong berikan minyak ini ke ibu. Aku mau kabarin pihak kantor, datang agak telat." Risa yang berdiri di belakang sang suami mengangguk, lalu ia mengambil alih minyak tersebut. Begitu Arjuna pergi, Risa mendudukkan tubuhnya di samping sang ibu mertua. Gegas, ia membuka penutu
"Sepertinya ibu pura-pura pingsan tadi, Mas." Risa membuka obrolan saat keduanya melangkah menuju kamar."Masa pingsan dibuat mainan," ucap Arjuna sembari menoleh ke arah Risa dengan sekilas. "Iya, soalnya tadi begitu minyak masuk ke hidung ibu, dia langsung sadar." "Oh ya?" Risa mengangguk mantap. Sedangkan Arjuna tak lagi memberikan respon apapun. "Kita jadi pergi hari ini, Mas?" Tangan Arjuna yang hendak membuka pintu kamar terhenti. Dan membuat tangan kekar itu mengambang di udara. Pandangannya kini menatap ke arah sang istri. Dari sorot mata Arjuna, tanpa bicara sekali pun, Risa mengerti. Risa menghembuskan napas berat. Ia kecewa, sebab tak jadi keluar dari rumah yang ia anggap tak lebih dari sebuah neraka."Ya sudahlah, memang kenyamananku sangatlah tidak penting." Risa meraih gagang pintu, menekannya ke bawah, lalu ia mendorongnya, hingga membuat daun pintu terbuka seiring suara derit yang terdengar. "Mungkin kalau aku sudah keguguran, baru kamu tersadar." Risa tersenyu
"Maaf, Pak, semua hanyalah kesalahpahaman saja.""Kesalahpahaman bagaimana, Pak Arjuna? Lihatlah, bahkan sudah beredar di situs online. Dan lebih parahnya lagi tertulis nama perusahaan kita." Sang Direktur memutar laptopnya, menunjukkan layar kepada Arjuna. Dimana layar tersebut menampilkan sebuah berita dengan hot line. "Viral! Seorang Manager di Perusahaan Mentari Bersinar Digerebek Warga dan Istrinya sedang olah raga malam!"Arjuna hanya membaca judulnya saja, ia tak kuasa jika harus mengulas seluruh isi berita. "Di gambar ini juga terlihat jelas wajah Pak Arjuna loh." Kali ini layar laptop tersebut menampilkan Arjuna yang duduk di kursi dan di sampingnya ada Risa berada di tengah-tengah lahan kosong. Tak perlu memeras otak mengingatnya, kejadian itu masih terekam dengan jelas di kepalanya. Terlebih baru beberapa hari yang lalu. "Apa Rahma selaku istri saya datang ke sini, Pak?" Sang Direktur tersenyum samar, selanjutnya ia memutar kembali layar laptop menghadap ke arahnya."K
[Kamu masih mengingat anak kita?]Begitulah bunyi pesan masuk dari nomor Rahma. Dengan jemari yang bergetar karena dadanya yang telah dipenuhi oleh gemuruh, Risa mengetikkan pesan balasan. [Kamu masih mengharapkan Mas Arjuna setelah kamu permalukan di depan umum? Dan kamu menggunakan bayi itu agar dia kembali ke kamu? Cih! Rendah sekali!]Send.Tanpa berpikir lagi, jemari Risa langsung menekan tombol send. Tak menunggu lama, pesan balasan masuk dari nomor Rahma. [Ha ha, siapa yang berharap kembali dengan seorang lelaki pecundang? Pantang bagi seorang Rahma memungut kembali sampah yang sudah kubuang.]Balasan dari Rahma semakin membuat emosi Risa tak terkendali. Terlihat dari dadanya yang bergerak naik turun seiring napasnya yang semakin memburu. [Kalau memang begitu, tak usahlah menghubungi suamiku. Dia milikku, dan lihat saja, akan kubuat Mas Arjuna benar-benar lupa padamu dan bayi sialan itu!]Send. Tanpa diduga, Rahma hanya memberikan balasan berupa emoticon tertawa ngakak berd
"Oh ... jadi kamu mau mengemis lagi pada wanita itu? Kamu mau memohon-mohon padanya agar dia bisa menerimamu kembali? Iya? Begitu?" tuduh Risa, bibir itu tersenyum miris disela-sela air mata yang terus mengaliri wajahnya. Kepala Arjuna berdenyut nyeri. Ia menekan kuat-kuat gejolak emosi agar tak meledak begitu saja. "Dengarkan dulu!" lemah Arjuna berbicara.Bibir wanita itu masih mengeluarkan suara isak tangis, dan sesekali terlihat saat tangan Risa menghapus lelehan-lelehan air mata. "Tuduhanmu itu benar-benar gila dan tidak masuk akal, Ris! Aku, mengirimkan pesan itu ke Rahma karena aku mencoba agar dia sedikit luluh lalu mau menuruti permintaanku untuk membuat video klarifikasi itu." "Salah sendiri, kenapa kamu mau melakukan permintaan gila itu!" "Tolong ... diamlah dulu. Biar kuselesaikan ucapanku." Risa berdecak kesal. "Bukan hanya untuk menuruti permintaan ibu saja. Tapi aku juga memerlukannya untuk perusahaan."Akhirnya Arjuna menceritakan soal kejadian di kantor sewaktu
Dua minggu telah berlalu, kehidupan Rahma terasa begitu tenang tanpa gangguan dari lelaki bernama Arjuna. Ya, semenjak Risa mengirimkan pesan yang berisi hinaan, mereka tak lagi mengganggu ketenangannya. Dan, Rahma tentu saja menikmatinya.Terik sinar matahari terasa menyengat di kulit beberapa orang lelaki berkulit coklat yang tengah membangun sebuah toko kecil di halaman depan rumah Rahma. "Pak, diminum dulu es-nya," ucap Rahma sembari meletakkan es jeruk yang telah ia buat."Iya, Bu," jawab mereka bertiga secara serempak. Rahma hanya mengangguk, dan wanita itu memutar tubuh untuk kembali masuk ke dalam rumah. Mengingat seorang bayi mungil yang ia tinggalkan di kamar seorang diri. Saat Rahma baru saja melewati pintu rumah, tiba-tiba saja suara deru mesin mobil terdengar berhenti di depan rumah Rahma. Gegas wanita itu pun memutar tubuh, hingga bisa dilihatnya mobil siapa yang berhenti di depan rumahnya. "Mas Arjuna?" lirih Rahma. Ya, wanita itu hapal betul mobil sang mantan sua
Rahma tak putus asa, ia terus berusaha menutup daun pintu. Namun pada akhirnya Arjuna mendorong pintu hingga akhirnya terbuka dan hampir saja membuat tubuh Rahma terjatuh andai ia tak berpegangan pada sandaran sofa. "Maaf," lirih Arjuna. Gegas Rahma meraih tubuh mungil yang berada di dalam kereta. Ia menggendongnya sembari mendekap tubuh mungil itu dengan kuat. "Jangan khawatir, aku tidak akan mengambil anakmu." Ucapan Arjuna sedikit membuat Rahma bernapas lega. Namun, ia tak memberikan respon apapun. "Ada yang ingin aku bicarakan dan ini sangatlah penting sekali." Hening. Hanya suara detak jarum jam yang berhasil menelusup kedua gendang telinga keduanya. Arjuna dan Rahma masih bertahan di tempatnya berdiri. Seolah-olah telapak kakinya mengakar kuat di lantai. "Bisa kita duduk, Rahma? Sebentar saja. Hanya 30 menit." "30 menit terlalu lama, 10 menit.""20 menit.""5 m
Rahma terduduk dengan jantung yang terus berdebar-debar. Kata demi kata yang diucapkan oleh Hakim Ketua mampu dicerna dengan begitu baiknya. Tak bisa dipungkiri, masih ada sedikit rasa denyut saat ia mendapati jika rumah tangganya benar-benar hancur, mengingat biduk rumah tangga yang berlangsung terbilang tidak sebentar. Dan seketika setetes air mata menitik dari kedua sudut mata Rahma saat Hakim Ketua mengabulkan gugatannya. Tak ada yang Rahma tuntut, termasuk nafkah untuk sang buah hati. Apa yang Rahma harapkan dari sosok seorang Arjuna? Jangankan untuk memberi uang nafkah, mengingat anaknya saja tidak. Oleh sebab itulah Rahma memilih untuk tidak menuntut apapun itu. Rahma telah bertekad, akan membesarkan sang buah hati seorang diri. Dalam batinnya ia bersyukur karena perceraiannya berlangsung dengan begitu lancar tanpa kendala. Ditambah Arjuna yang tak pernah hadir dalam panggilan persidangan, membuat langkah Rahma untuk mendapatkan status sebagai seorang janda dengan begitu mud
Malam kian larut, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, pemilik warung meminta mereka untuk segera membubarkan diri. Dengan dibonceng oleh rekannya yang menjemputnya tadi, Arjuna kembali pulang. Brak!Brak!Arjuna menggebrak pintu beberapa kali, namun pintu tak kunjung terbuka. "Brak!"Satu gebrakan yang begitu keras membuat Risa yang tengah tertidur tersentak kaget. Bahkan membuat dada wanita yang kini tengah mengandung terasa berdebar-debar. Pandangan Risa beralih ke arah jarum jam yang menggantung di dinding. Dimana tengah menunjukkan pukul dua dini hari. Risa mendengkus kesal. Kemudian, ia bergegas beringsut dari ranjang lalu melangkah ke arah depan. Di sepanjang perjalanan, Risa terus menggerutu. Hingga akhirnya langkah wanita itu terhenti tepat di depan pintu. Segera ia mengambil kunci yang sebenarnya sudah ia letakkan di atas pintu, lalu segera membukanya, dan bersamaan dengan pintu yang terbuka, tiba-tiba ....Brugh!Tubuh Arjuna tersungkur, sebab Arjuna yan
"Mas, tadi mantan istrimu kok gitu ya?" tanya Risa setelah kepergian Rahma setelah selesai mengantarkan pesanannya. "Padahal, setau aku dia itu tipe orang emosional. Padahal tadi aku pengen sekali berantem sama dia. Membalaskan rasa sakit hatiku, setidaknya biar dia tau bagaimana rasanya dipermalukan," imbuh Risa. "Nggak tau. Ah, sudahlah, lupakan kejadian itu. Ambil positifnya saja, misal hal itu tidak terjadi, tidak mungkin kan kita bakalan bersatu dan memiliki bisnis yang luar biasa ini?" respon Arjuna, membuat Risa terdiam untuk sekedar mencerna dan memikirkan apa yang ia katakan. "Hm, bener juga sih. Tapi ya gimana, sakit hati kalau belum dibalaskan ya tetep saja kerasa," ucap Risa yang masih kekeh dengan pendirian. "Sudahlah, ayo siapkan semuanya. Acara akan segera dimulai." "Mas, nanti Mbak Marni nanti jangan dikasih nasi kotak ya. Aku masih kesel, bisa-bisanya dia sumpahin kita kena tipu." "Apa nggak keterlaluan kalau nggak diundang?" "Halah, biarin saja lah. Biar
"Aduhduh aduduh, yang dulunya kerjaan cuma ongkang-ongkang kaki, wajah glowing, terawat, sekarang jadi kucel, dekil dan penuh minyak!" "Kamu–" desis Rahma begitu melihat Risa dan Arjuna melangkah mendekat ke arahnya. "Kenapa? Kaget ya?" Risa menampilkan senyum sinisnya. Dengan melipat kedua tangannya di depan dada, Risa mendekat ke arah Rahma yang berdiri di depan pintu. "Lihatlah lah, Mas, istrimu yang dulu kamu puja-puja. Lihatlah sekarang, tubuhnya yang kurus kering, wajahnya kusam, jerawat dimana-mana, ditambah dengan mata panda pula. Ck! Menjijikkan," ucap Risa dengan begitu lancarnya. Ia mengibaskan tangannya, seolah tengah menunjukkan beberapa perhiasan yang menghiasi jemarin dan pergelangan tangannya. Bahkan sebelum memutuskan menemui Rahma yang sudah di depan, Risa langsung mengeluarkan kalung dari balik kaos agar terlihat di manik hitam milik Rahma.Senyum sinis tak hilang dari bibir berlipstik itu. "Dari sini kan kita bisa lihat siapa yang menderita, siapa yang bahagia
Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 6 pagi, dan sepagi itu Rahma sudah kembali dari pasar guna membeli bahan-bahan untuk membuat pesanan. Setelah membawa masuk semua barang belanjaannya, Rahma melangkah menuju ke arah kamar. Melihat keadaan sang bayi yang ditunggu oleh salah satu tetangga Rahma. Singkat cerita, 100 kotak nasi sudah siap. Segera Rahma membawa keluar lalu memasukkannya ke dalam mobil. "Gapapa kan, Bude, kalau Bude ikut antar buat gendong Rendy? Perjalanannya lumayan jauh, kasihan kalau aku dudukkan sendiri," ucap Rahma dengan nada sedikit tidak enak. Berbanding terbalik dengan tetangganya yang tersenyum dengan tulus. "Gapapa, Mbak Rahma. Ayo berangkat, biar nggak buru-buru nanti di jalan," ucap Bude Sumi. Rahma mengangguk, selanjutnya kedua perempuan dewasa itu pun melangkah menuju dimana mobil terparkir. Lalu detik kemudian, kendaraan roda empat itu mulai bergerak dan melaju membelah ramainya jalan raya. "Kalau Mbak Rahma banyak pesanan, Bude mau kok kalau
Hari terus berganti dengan hari, tanpa terasa Rahma telah melewati sidang pertama. Yaitu mediasi. Dengan ditemani oleh sang sahabat, Rahma mendatangi kantor pengadilan agama. Tak bisa dipungkiri, dadanya terus terasa berdebar-debar saat ia ia menginjakkan kaki di tempat ini. Hanya hitungan menit Rahma berada di dalam ruangan persidangan, hingga sepasang sahabat itu pun keluar dari ruangan dengan senyum merekah dan perasaan lega."Semoga saja sidang berikutnya Arjuna nggak datang," ucap Elisa saat keduanya melangkah menyusuri koridor dan menuju ke arah dimana mobil terparkir. "Semoga saja, Sa. Aku pun berharap demikian. Biar cepat selesai dan tidak berlarut-larut." "Tapi aku penasaran deh sama nasib mereka. Kira-kira mereka bahagia apa malah sebaliknya ya, Ma?" tanya Elisa. "Ya kita doakan saja yang terbaik untuk mereka." Rahma berucap dengan nada tulus. Meski ia disakiti, dikhianati dan dikecewakan sedemikian rupa, tak membuat hati wanita itu merasa dendam. Ia menganggap kalau se
DretDretPonsel yang sejak pagi Arjuna pegang, bergetar. Ada panggilan masuk, dan nama sang adik terpampang sebagai pemanggilnya. "Siapa, Mas?" "Putri," ucap Arjuna yang sepertinya masih bimbang untuk mengangkat panggilan tersebut ataukah tidak. "Oh, yaudah angkat saja." "Kalau bahas soal perhiasan ibu gimana?" tanya Arjuna sembari menoleh ke arah sang istri. "Tinggal bilang aja nggak tau, Mas. Beres."Sejenak Arjuna terdiam, namun pada akhirnya ia mengangkat panggilan itu juga. Dan setelah panggilan terhubung, Agus menempelkan benda pipih ke telinga kanannya. "Halo, Put, ada apa?" "Mas, ada surat panggilan sidang perceraian, 1 Minggu lagi," ucap Putri dari seberang sana, dengan sebuah amplop coklat yang baru saja ia terima. "Yaudah, biar di situ saja. Nggak penting juga." "Siapa, Put?" Sayup-sayup suara Bu Susan terdengar di telinga Arjuna. "Mas Arjuna, Bu.""Mana, biar ibu bicara sama dia." Nada suara Bu Susan begitu ketus. "Hal–"Cepat, Arjuna menjauhkan ponsel dari tel
"Aduh, Mas, zaman sekarang hati-hati deh kalau ikut investasi investasi macam gitu. Bukan gimana-gimana, zaman sekarang banyak sekali penipuan. Apalagi itu duit gede loh. Sayang banget kan kalau digondol orang." Marni mencoba menasihati. Namun, membuat Arjuna merasa jengah. "Itu kalau investasi bodong, Mbak. Kalau yang saya ikuti ini lain lagi. Sudah terpercaya. Dia temen baik saya, mana mungkin mau nipu. Ha ha ha, Mbak Marni ini ada-ada saja." Arjuna terkekeh, seolah-olah apa yang dia dengar dari mulut Marni hanyalah sebuah lelucon semata. "Jangankan temen baik, Mas. Sodara saja bisa tega kalau soal uang kok. Kenapa nggak Mas Arjuna coba buka usaha sendiri saja? Misalnya ya jualan apa kek, daripada buat investasi-investasi begitu. Kan sayang Mas kalau ditipu." Marni tak hentinya mencoba menasehati, namun semakin membuat Arjuna merasa kesal. "Terima kasih atas nasehatnya ya, Mbak Marni. Tapi mohon maaf sekali kalau pemikiran kita berbeda. Kalau saya ingin maju, mungkin Mbak Marni i
Jarum jam di dinding menunjukkan pukul delapan pagi. Hangatnya sinar matahari menyentuh kulit wajah Risa yang tubuhnya masih berbaring di atas ranjang dan di bawah selimut. Wanita itu menggeliat pelan, lalu kedua netranya mengerjap beberapa kali. Risa pun bergerak pelan. Mengubah posisinya dari semula tertidur miring, lalu menjadi berbaring setelah memindahkan tangan sang suami yang melingkar di pinggangnya. "Mas, bangun. Sudah jam 8," ucap Risa pelan saat ia melihat ke arah jarum jam yang menggantung di dinding. Risa segera menyibak selimut, lalu mendudukkan tubuhnya. Ditepuk pelanlah pipi kanan Arjuna beberapa kali hingga akhirnya lelaki itu mulai membuka mata. "Ada apa, Sayang?" tanya Arjuna dengan suara serak khas seorang yang baru saja bangun tidur. "Sudah jam 8 itu. Kita mau makan apa? Laper," ucap Risa sembari mengusap perutnya yang mulai terlihat membuncit. "Beli saja lah di luar." "Nggak ada motor, Mas. Mau jalan kaki?" ucap Risa. Arjuna menggeliat kuat-kuat sebelum