Gadis cerewet itu tiba-tiba terdiam. Menikmati kecupan yang Arsen berikan. Baru beberapa detik bercumbu mesra, Arsen langsung mendorong pelan tubuh Gladis. Dia kembali teringat tentang masa lalunnya.
Kali ini tentang kakek dan Lexi yang sedang bersamanya. Namun semua ingatan itu hanya terbatas, seperti pecahan puzzle. Gladis mengambil sisa minuman di botol. Arsen ingin menghentikannya karena dia tidak ingin gadis mabuk sampai teler parah.
Sayangnya belum sempat ia merebut botol itu, Gladis sudah menghabiskan air beralkohol tersebut. Arsen mencubit pipi Gladis. "Bisa ya, kamu minum alkohol tapi kaya minum air putih?"
"Bisa lah! Makanya ini minum sedikit aja ... sedikit, nih, segini!"
Lagi, Gladis memaksa Arsen untuk meminumnya. Pria tampan itu masih berfikir ulang kali. "Nanti kalo aku ikut mabuk gimana?" tanyanya.
Gladis malah tertawa cengengesan
Saat mereka terbuai dengan gejolak asmara. Tanpa disadari Melinda telah mendapatkan foto dari Arsen dan Gladis saat di halte tadi. Dia menelfon seseorang yang membantunya mencari informasi tentang Arsen. Dengan senyum sinisnya, ia memperhatikan potret di ponselnya. Dia menanyakan kebenaran kabar tersebut. Diam-diam di belakang Lexi dan yang lainnya, Melinda mencari tahu keberadaan mantan tunangannya. Perempuan licik itu berani membayar mahal demi bisa menemukan Arsen. "Akhirnya aku mendapatkanmu lagi!" ucap Melinda. Sekali lagi dia melihat foto di chat room sosial medianya. Senyuman yang mengambang kini berubah menjadi kecut. Dirinya sampai memakai kaca mata demi bisa melihat dengan jelas, siapa wanita dengan tinggi sebahu Arsen yang menggandeng tangan pria tampan itu? Foto yang diambil saat Gladis menghadap kesamping, ke arah Arsen. "Kenapa dia seperti tak asing? tapi siapa?" Keteganga
"Ini di luar kendali, jadi ...." "Jadi apa?!" Gladis menahan sakit dan sesal menjadi satu. Arsen tidak menyangka akan menjadi seperti ini. Wanita di hadapannya menangis tersedu-sedu. Dia tak tega melihat Gladis bersedih, apalagi ini juga kesalahannya. Jika saja mereka bisa menahan setandalam diri mereka masing-masing, mungkin tidak akan seperti ini. Arsen memeluknya dan mengusap lembut kepala Gladis. Dia berusaha menenangkan gadis cantik itu. "Aku akan bertanggung jawab. Sayang, tenanglah! aku mohon, aku tidak bisa melihatmu menangis. Aku berjanji!" Bak, terbius dengan ikrar yang diutarakan Arsen. Gladis perlahan bisa menenangkan dirinya. Bagaimanapun juga, dia hanya seorang gadis yang selalu akan menjaga kesuciannya. Dirinya hanya takut jika Arsen sembuh dari amnesianya dan malah menyalahkan Gladis karena telah membohonginya. Terutama jika A
"Lusa, aku akan ke luar kota!" tuturnya kepada Arsen dengan nada datar dan tanpa menoleh ke arahnya. "Untuk apa? kau marah kepadaku? kau mau meninggalkanku?"Arsen menjadi panik. Bola matanya bergerak dengan cepat. Terlihat juga jakunnya naik turun, nampak sekali jika dirinya sedang gelisa. Gladis berbalik dengan mengangkat sudut bibirnya. 'Oke! dia bisa dipercaya,' batinnya. Gagal bagi dirinya untuk bersikap acuh kepada pria itu. Arsen mendekatinya dan memeluknya. Memohon agar Gladis tidak meninggalkannya. "Hustt! siapa yang akan meninggalkan siapa? Rugi sekali jika aku meninggalkanmu. Jadi aku berangkat keluar kota karena ada rapat dari perusahaan untuk menemui kolega di sana." "Kamu tau, betapa takutnya aku? berapa lama?" "M-maaf .... Sehari saja kok." Senyum ramah dan tatapan mata penuh kasih yang biasa dia perlihatkan untuk Arsen
Dia tidak mau mengingat lagi kejadian malam itu. Sakit masih terasa, ia merasa seperti ujian mental dan fisik. Belum lagi beban nanti yang harus dirinya tanggung, karena dia juga tidak tau nasib kedepannya seperti apa? "J-jadi gimana?" Jenni terus menghujani Gladis dengan rasa penasarannya. "Gimana apanya?" Suara si pria manja dari belakang membuat mereka terkejut.Bulu kuduk keduanya sampai berdiri. Mereka menoleh kebelakang untuk memastikan sumber suara tersebut. Reska berdiri di depan pintu dengan melipat tangan dan menyipitkan matanya. Jenni mengangkat kedua bahunya ketika Gladis memberi isyarat, kenapa Reska bisa berada di sana? "Kalian seperti menyembunyikan sesuatu?" Sebelum Jenni membuka mulutnya, Gladis lebih dulu meremas tangannya. Mereka saling melirik satu sama lain. "E-enggak kok, gimana lusa aja, ini soal perjalanan bisnis," alasan Gladis kepada teman pria
Pada akhirnya mereka bertiga memutuskan untuk meninggalkan catatan kecil di atas meja. Dengan alasan Gladis pergi ke minimarket dengan Jenni. Saat di jalan Jenni menanyakan alasan Steve harus bertemu dengan sahabatnya itu. Gladis tidak bisa menjawab, karena dirinya sendiri juga belum tau. "G-gimana kalo ternyata Abang lo udah tau soal ...." Jenni ingin mengingatkan kepada Gladis. Namun belum selesai ucapan gadis tomboy itu, mulutnya langsung disumpal oleh Gladis. Dengan mata memelototi Jenni, dia tidak ingin Reska tau. Jenni mengangkat kedua tangannya, tanda dia menyerah. 'hampir aja!' batinnya. Benar saja, Reska curiga mereka berdua menyembunyikan sesuatu darinya. Matanya menelusuri setiap gerak gerik kedua sahabatnya itu. Jenni mulai risih dengan pandangan pria berpostur tinggi itu. "Apa sih, gak ada yang aneh-aneh ya? Perasaan lo doang itu." Tak mau ambil pusing, mereka bertiga akhir
Steve masih ragu untuk menjawab. Entah apa yanng dipikirkan lelaki bertato itu. Namun faktanya dia juga sering ada untuk Jenni walau sebatas teman curhat. Tetapi, sebenarnya Steve sudah dijodohkan oleh ayahnya dengan gadis lain. Mungkinkah yang selalu ada akan kalah dengan yang sebatas virtual? Sayangnya, jawaban dari Steve sangat jauh berbeda dari bayangan kedua gadis itu. Pria gondrong itu hanya menganggap Jenni sebagai adiknya. Perhatian yang selama ini dia berikan hanya karena Jenni memang dekat dengan Gladis. Jenni mendengar jawaban tersebut langsung berbalik dan ingin pergi, tapi bahunya di tahan oleh Reska. "Lo mau kemana?" "L-lepasin!" Dengan air mata yang telah menggenang di pelupuk yang tertutupi kaca mata hitam, Jenni menahan sesak di dadanya. Sementara kedua kakak beradik itu terus melanjutkan obrolan mereka. Dengan mengerutkan dahi, Steve kembali berb
Akan tetapi, Reska malah menantang kembali gadis cantik itu. Mungkin, jika itu adalah Gladis, dia tidak akan berani melawannya. Langkah kaki sudah tak seimbang lagi, membuat Jenni seakan terlempar ke samping. Jenni menginjak pinggiran kolam renang yang licin dan .... Byurrr! mereka berdua tercebur ke kolam renang yang lumayan dalam. Reska sudah naik terlebih dahulu. Namun Jenni masih berada di dalam air karena dia tidak bisa berenang. Dengan mulut menahan air agar tidak tersedak, dia berusaha untuk naik ke permukaan. Sedangkan Reska sudak sampai ke tepian. Dia melihat sahabatnya sedang kesusahan, Reska langsung berusaha membantunya. "Kamu gak papa?" tanya Reska panik. Namun, Jenni masih bersikap acuh dan dingin. "Lepasin gue!" Dengan mata merah menahan perih dan mulut yang terbuka sedang mengatur nafas, Jenni berusaha menjauhkan dirinya dari Reska. Mereka berdua berusaha naik ke daratan. &
"Siapa ini? seperti pernah melihat nomor ini?" Sejurus kemudian Gladis berbalik, berusaha merebut ponselnya dari tangan Arsen. Tak ingin diganggu, Arsen langsung memencet tombol bewarna merah untuk mematikan sambungan telepon. Karena perebutan ponsel tersebut, kini tangan Gladis berada di belakang. Keduanya digenggam oleh Arsen, terkunci tak bisa bergerak. Arsen menyejajarkan wajahnya dan memandangi wajah ayu yang merona milik kekasihnya. Mata Gladis membulat, terlihat bingung dan polos membuat kesan imut. Ia ingin menarik tangannya namun sulit terlepas dari genggaman tangan Arsen. Perlahan namun pasti, Arsen mulai mencium bibir manis Gladis. "Lain kali jangan gitu ya, cantik! Kalo pergi bilang dulu!" Gladis semakin membulatkan matanya, seolah tak percaya dengan apa yang se