"Temam satu kelas? berarti mereka semua muridku dulu?"
Jenni disenggol teman wanita yang berada di sampingnya. Bertanya sebenarnya ada apa dan kenapa Gladis bisa diperlakukan seperti itu. Jika Arsen adalah Reska mungkin itu hal yang wajar. Mereka sudah tahu sejak dulu pria manja tersebut memang menyukai Gladis.
Tetapi ini berbeda dengan pemandangan yang sedang mereka saksikan. Jenni memberi tau kepada temannya. "S-sebenarnya pak Arsen hilang ingatan ... tapi jangan bilang-bilang sama orang lain!" Gadis itu memperingatkannya.
Dia juga takut jika keberadaan Arsen diketahui oleh orang lain. Terutama tunangan yang baru ia bicarakan. "Bagaimana? apa kamu mengingat sesuatu .... Pak Arsen?" Gladis sampai bingung menempatkan posisinya saat ini.
Arsen mencoba menelusuri setiap wajah yang ada. Namun, dia tetap tidak mengingat apapun. Reska tiba-tiba menggandeng Gladis. Akan tet
"I-izin? tentang apa itu?" Gladis duduk dengan tenang dipangkuan pria tampan itu sambil melingkarkan tangannya di leher arsen. "Bolehkah aku menciummu?" Spontan Gladis menundukkan wajahnya. Dia menahan tawa sekaligus menyembunyikan pipi yang tambah memerah. Baru kali ini ada seorang pria dengan sopan meminta izin untuk menciumnya. Biasanya dia akan menampar pria yang mendekatinya yang mencoba berbuat tak senonoh. Ia juga sering mematahkan jari ataupun pergelangan tangan pria mesum yang sering dijumpainya di bar. "Boleh, silakan." Gladis menatap dalam mata Arsen dan mengangkat kedua sudut bibirnya. Dengan perlahan, Arsen mendekatkan wajahnya. Refleks Gladis menutup kedua kelopak matanya pelan-pelan. Bibir beradu bibir. Dengan lembut dia mengecup bibir indah merah jambu milik Gladis. Gadis cantik itu seakan tak sabar. Dia melumat bibir Arsen dan dibalas ol
"Tapi, saat aku menciummu tadi, aku bisa mengingat masa laluku dengan jelas." "Benarkah?!" Gladis semakin terkejut mendengar pengakuan Arsen. Ia menganggap kata-kata Arsen hanya candaan karena kekasihnya itu ingin mencium dirinya lagi. Gladis mencoba berfikir logis. Dia menanyakan apa saja yang Arsen ingat. "Semua seperti fragmen yang terpecah-pecah, masa lalu saat aku kecil. Tentang orang tua dan kejadian yang tidak menyenangkan. Tapi aku tidak bisa merasakan perasaan apa itu, hanya saja saat aku bersamamu, aku tau ini perasaan suka." Gadis cantik itu tersenyum mendengar pengakuan dari kekasihnya. Sebelumnya, dia sempat takut jika Arsen mengingat semuanya. Akan tetapi setelah mendengarkan Arsen, dia jadi mengerti dan memahaminya. "Jika itu masalahnya. Nah, kamu akan sangat bahagia selama kamu menyukaiku kan?" tanya Gladis. "Itu benar, tetapi logikamu selalu a
Gadis cerewet itu tiba-tiba terdiam. Menikmati kecupan yang Arsen berikan. Baru beberapa detik bercumbu mesra, Arsen langsung mendorong pelan tubuh Gladis. Dia kembali teringat tentang masa lalunnya. Kali ini tentang kakek dan Lexi yang sedang bersamanya. Namun semua ingatan itu hanya terbatas, seperti pecahan puzzle. Gladis mengambil sisa minuman di botol. Arsen ingin menghentikannya karena dia tidak ingin gadis mabuk sampai teler parah. Sayangnya belum sempat ia merebut botol itu, Gladis sudah menghabiskan air beralkohol tersebut. Arsen mencubit pipi Gladis. "Bisa ya, kamu minum alkohol tapi kaya minum air putih?" "Bisa lah! Makanya ini minum sedikit aja ... sedikit, nih, segini!" Lagi, Gladis memaksa Arsen untuk meminumnya. Pria tampan itu masih berfikir ulang kali. "Nanti kalo aku ikut mabuk gimana?" tanyanya. Gladis malah tertawa cengengesan
Saat mereka terbuai dengan gejolak asmara. Tanpa disadari Melinda telah mendapatkan foto dari Arsen dan Gladis saat di halte tadi. Dia menelfon seseorang yang membantunya mencari informasi tentang Arsen. Dengan senyum sinisnya, ia memperhatikan potret di ponselnya. Dia menanyakan kebenaran kabar tersebut. Diam-diam di belakang Lexi dan yang lainnya, Melinda mencari tahu keberadaan mantan tunangannya. Perempuan licik itu berani membayar mahal demi bisa menemukan Arsen. "Akhirnya aku mendapatkanmu lagi!" ucap Melinda. Sekali lagi dia melihat foto di chat room sosial medianya. Senyuman yang mengambang kini berubah menjadi kecut. Dirinya sampai memakai kaca mata demi bisa melihat dengan jelas, siapa wanita dengan tinggi sebahu Arsen yang menggandeng tangan pria tampan itu? Foto yang diambil saat Gladis menghadap kesamping, ke arah Arsen. "Kenapa dia seperti tak asing? tapi siapa?" Keteganga
"Ini di luar kendali, jadi ...." "Jadi apa?!" Gladis menahan sakit dan sesal menjadi satu. Arsen tidak menyangka akan menjadi seperti ini. Wanita di hadapannya menangis tersedu-sedu. Dia tak tega melihat Gladis bersedih, apalagi ini juga kesalahannya. Jika saja mereka bisa menahan setandalam diri mereka masing-masing, mungkin tidak akan seperti ini. Arsen memeluknya dan mengusap lembut kepala Gladis. Dia berusaha menenangkan gadis cantik itu. "Aku akan bertanggung jawab. Sayang, tenanglah! aku mohon, aku tidak bisa melihatmu menangis. Aku berjanji!" Bak, terbius dengan ikrar yang diutarakan Arsen. Gladis perlahan bisa menenangkan dirinya. Bagaimanapun juga, dia hanya seorang gadis yang selalu akan menjaga kesuciannya. Dirinya hanya takut jika Arsen sembuh dari amnesianya dan malah menyalahkan Gladis karena telah membohonginya. Terutama jika A
"Lusa, aku akan ke luar kota!" tuturnya kepada Arsen dengan nada datar dan tanpa menoleh ke arahnya. "Untuk apa? kau marah kepadaku? kau mau meninggalkanku?"Arsen menjadi panik. Bola matanya bergerak dengan cepat. Terlihat juga jakunnya naik turun, nampak sekali jika dirinya sedang gelisa. Gladis berbalik dengan mengangkat sudut bibirnya. 'Oke! dia bisa dipercaya,' batinnya. Gagal bagi dirinya untuk bersikap acuh kepada pria itu. Arsen mendekatinya dan memeluknya. Memohon agar Gladis tidak meninggalkannya. "Hustt! siapa yang akan meninggalkan siapa? Rugi sekali jika aku meninggalkanmu. Jadi aku berangkat keluar kota karena ada rapat dari perusahaan untuk menemui kolega di sana." "Kamu tau, betapa takutnya aku? berapa lama?" "M-maaf .... Sehari saja kok." Senyum ramah dan tatapan mata penuh kasih yang biasa dia perlihatkan untuk Arsen
Dia tidak mau mengingat lagi kejadian malam itu. Sakit masih terasa, ia merasa seperti ujian mental dan fisik. Belum lagi beban nanti yang harus dirinya tanggung, karena dia juga tidak tau nasib kedepannya seperti apa? "J-jadi gimana?" Jenni terus menghujani Gladis dengan rasa penasarannya. "Gimana apanya?" Suara si pria manja dari belakang membuat mereka terkejut.Bulu kuduk keduanya sampai berdiri. Mereka menoleh kebelakang untuk memastikan sumber suara tersebut. Reska berdiri di depan pintu dengan melipat tangan dan menyipitkan matanya. Jenni mengangkat kedua bahunya ketika Gladis memberi isyarat, kenapa Reska bisa berada di sana? "Kalian seperti menyembunyikan sesuatu?" Sebelum Jenni membuka mulutnya, Gladis lebih dulu meremas tangannya. Mereka saling melirik satu sama lain. "E-enggak kok, gimana lusa aja, ini soal perjalanan bisnis," alasan Gladis kepada teman pria
Pada akhirnya mereka bertiga memutuskan untuk meninggalkan catatan kecil di atas meja. Dengan alasan Gladis pergi ke minimarket dengan Jenni. Saat di jalan Jenni menanyakan alasan Steve harus bertemu dengan sahabatnya itu. Gladis tidak bisa menjawab, karena dirinya sendiri juga belum tau. "G-gimana kalo ternyata Abang lo udah tau soal ...." Jenni ingin mengingatkan kepada Gladis. Namun belum selesai ucapan gadis tomboy itu, mulutnya langsung disumpal oleh Gladis. Dengan mata memelototi Jenni, dia tidak ingin Reska tau. Jenni mengangkat kedua tangannya, tanda dia menyerah. 'hampir aja!' batinnya. Benar saja, Reska curiga mereka berdua menyembunyikan sesuatu darinya. Matanya menelusuri setiap gerak gerik kedua sahabatnya itu. Jenni mulai risih dengan pandangan pria berpostur tinggi itu. "Apa sih, gak ada yang aneh-aneh ya? Perasaan lo doang itu." Tak mau ambil pusing, mereka bertiga akhir
Kevin membuka lebar pintu ruang rapat yang masih ricuh. Terlihat Melinda hanya menunduk saat dimaki oleh salah satu pemegang saham. Sejurus kemudian semua mata yang ada disana melihat kearah Arsen. Tak terkecuali Melinda yang langsung tersentak melihat Arsen berdiri di ambang pintu. "A-arsen?" gumamnya. Begitu bos arogan itu masuk dan memposisikan dirinya di hadapan semua orang. Dengan wajah serius, dia memandangi orang-orang yang beraada di hadapannya, beberapa saat kemudian, ia melihat beberapa lembar kertas berisi laporan bulanan. Tiba-tiba saja Arsen meminta maaf. "Kepada direktur dan pemegang saham yang terhormat! Saya sangat menyesal atas apa yang terjadi hari ini dengan permintaan maaf yang tulus." Arsen lalu membungkuk di hadapan semuanya. Hal tersebut membuat semua orang yang mengetahui sifat aslinya terheran-heran, termasuk Kevin dan Melinda. Bagaimana bisa seorang Arsen A
Tanpa bosa-basi lagi, mereka berdua segera pergi ke kantor. Sementara keadaan di kantor sedang ricuh karena rapat bulanan para pemegang yang mulai curiga karena hasil pembagian profit tidak sesuai dengan uang yang masuk. Mereka menanyakan kemana Arsen sebenarnya. [Arsen sudah kembali! Bersiap-siaplah] Isi pesan singkat di ponsel Melinda dan CFO perusahaan saat mereka masih rapat dari seseorang. Begitu membaca pesan tersebut, wajah gadis bermata sipit itu langsung berubah menjadi pucat pasi. Obrolan orang-orang disekitarnya seolah-olah hanya angin lalu. Dengan badan gemetar, CFO perusahaan beringsut keluar dari suasana ruangan yang masih ricuh. Melinda duduk mematung dengan tatapan mata kosong. Pikirannya menjadi kosong seperti terhipnotis. Salah satu pemegang saham meninggikan nada bicaranya, menuduh Arsen dalang dibalik semua kerugian yang terjadi. Karena memang faktanya, semua kesenja
Saat Gladis menciumnya, ketika mereka menghabiskan malam bersama. Memberi perhatian untuknya, mencubit tangannya waktu terasa sakit, momen dimana pertama kali Arsen bertemu Gladis di Rumah sakit sampai Arsen mengingat tentang benturan keras saat dirinya di dalam mobil. Seketika itu juga, Arsen langsung tersadar dan sudah berada di Rumah sakit. Sebelumnya, saat pekerjaannya hampir selesai, Gladis ditelepon seseorang dengan nomor yang tak dikenal. Gladis menyipitkan mata saat melihatnya. Awalnya dia ragu untuk menerima telepon dari nomor rumahan tersebut. "H-halo ...." "Halo selamat siang, ini dari rumah sakit ... Apa benar ini Gladis? Nomor anda tersimpan di kontak darurat milik pasien atas nama Arsen Adyatama." Deg! Benar perasaan Gladis yang sedang tidak nyaman dan gelisah dari tadi. Pihak rumah sakit memberi tahu jika Arsen mengalami kecelakaan jatuh dari tangga dengan kondi
"Kirimkan lokasinnya sekarang! aku akan segera menuju kesana!" ucap Kevin saat ditelepon oleh orang yang dia sewa. Melinda sangat heran saat melihat gelagat Kevin yang sangat gugup. Dia berusaha mengejar Kevin sambil berteriak, "Kevin tunggu!" Sayangnya, Kevin tidak menggubris suara Melinda karena dia juga diberi tau jika Arsen dalam bahaya. Gadis bermata sipit itu terus mengejarnya sampai ke basement parkiran mobil. Dengan cepat, sebelum Kevin masuk kedalam mobil, dia menarik lengan pria tersebut. "Tunggu! Ada apa?" "M-maaf nona, saya buru-buru!" Kevin melepas genggaman Melinda dan masuk kedalam mobil. Tanpa menoleh lagi ke arah melinda, dia langsung menancap gas. Sementara Arsen masih menganalisa keadaan sekitar. Berusaha mencari celah jalan keluar. Sadar, orang-orang yang mengikuti tau bahwa Arsen mengetahui jika sedang diikuti. Mereka semakin me
Begitu Arsen duduk, dia berkata dengan wajah serius, "Jawab aku dengan jujur!" Gladis mengerutkan dahinya dengan mulut sedikit terbuka. Dia tidak mengerti kenapa tiba-tiba Arsen berbicara seperti itu. Bahkan bukan ucapan selamat malam ataupun sekedar say hay. "Mengapa kamu bisa secantik ini?" Pertanyaan Arsen disambut gelak tawa oleh Gladis. Gadis cantik itu sudah berfikir yang tidak-tidak. "Apaan sih? receh banget." Gladis melirik ke arah pengunjung restoran lain. Mereka saling curi-curi pandang terhadap Arsen, namun sayang yang diperhatikan hanya memandang satu wanita di depannya. "Kamu juga. Bisa gak sih? tampannya disimpan aja!" Gladis membalas ucpan Arsen. Tak berselang lama, makanan yang dipesan sudah siap tersaji. Mereka berdua menikmati makanan itu. Saat sedang makan, Arsen melihat ada pasangan lain yang sedang suap-suapan dengan mesranya. Sejurus
Pada akhirnya pria tua itu menandatangani satu berkas berisi perjanjian pembagian profit keuntungan. Dia membubuhkan tanda tangannya di atas materai. Melinda selalu memasang senyum ramahnya. sampai pada akhirnya, pria tua itu pergi dan Melinda langsung menelpon CFO perusahan. "Mangsa lama kembali memakan kail yang terpasang," ucapnya sambil mengangkat sebelah sudut bibirnya. Sementara itu, Gladis dan Jenni sedang istirahat di kantor. Mereka membicarakan tentang perkembangan kerja sama antara Anthem dan Adyatama. Saat di tengah-tengah obrolan, Jenni teringat tentang ucapan teman lamanya waktu reuni tempo hari. Kata tunangan yang terlintas dibenaknya. Ingin sekali ia memberitahukan hal tersebut kepada Gladis. Namun melihat kedekatan sahabatnya itu dengan Arsen, membuatnya tak tega untuk mengungkapkan kebenarannya. Gladis melihat cara memandang Jenni tidak seperti biasanya, membuat dirinya penas
"Jangan terlalu percaya kepadaku! Aku tak sebaik dugaanmu, aku takut suatu saat nanti kamu akan terluka dan membenciku .... Selamat pagi." Setelah berbicara seperti itu, Arsen mendaratkan satu kecupan di jidat Gladis. Sedangkan Gladis sendiri tertegun karena saat sedang mendengarkan ucapan Arsen tiba-tiba ia dicium. Pagi itu, dia bersiap pergi bekerja seperti biasanya. Beberapa saat kemudian, Jenni datang untuk menjemput Gladis. Mereka bersiap untuk berangkat bersama. Di jalan Jenni bertanya kepada Gladis tentang keberangkatannya besok dan tentu saja, tentang steve yang besok harus berangkat ke luar negeri. "Dia bilangnya besok, tp kemarin pagi dia langsung berangkat. Gak tau deh kenapa?" "What?! Eh, tapi kok loe bisa tau?" "Tadi bokap call pake nomornya dia." Jenni terbelalak tak percaya. Dia benar-benar kecewa karena Steve tidak be
Arsen mengerutkan dahinya. Memahami setiap kata yang diucapkan oleh Mateo. Semuanya memang benar, tapi apa yang harus ia katakan dengan jujur? Semua membuatnya bingung. "Maksud tuan?" "Kau butuh uang berapa?" Arsen semakin bingung dengan ucapan pria paruh baya tersebut. Dirinya tidak membutuhkan uang. Selama ini kebutuhannya selalu dicukupi oleh Gladis. Sejenak Arsen memalingkan pandangannya, tidak berani menatap layar ponsel yang berada di hadapannya. "Maksud anda? Ah, maaf tuan, saya tidak mengerti. Tapi ... Saya hanya ingin bersamanya!" "Sudahlah, katakan kepadaku berapa banyak yang kau inginkan jika meninggalkan putriku!" Arsen menoleh kebelakang, melihat pintu kamar yang Gladis tempati. Masih tertutup rapat tandanya gadis yang sedang dibicarakan masih tertidur. Tidak ingin Gladis mendengar pembicaraan dengan ayahnya, Arsen memut
Melinda gelagapan dengan pertanyaan CFO tersebut. Dia tidak menyangka akan diragukan oleh partnernya. Sejauh ini dirinya sendiri juga tidak memikirkannya. Karena perbuatannya tidak ada yang mencurigai sampai pada rapat pemegang saham waktu lalu. "Jika aku terseret masalah, maka aku juga akan membawamu!" CFO itu mengancam Melinda. Dengan mata terbuka lebar dan alis yang hampir menyatu, melinda menjawab dengan ketus ucapannya. Dia meyakinkan jika mereka tidak akan terkena masalah jika CFO tersebut tidak berbuat yang aneh-aneh. Pagi hari, suasana di hotel tempat Reska dan Jenni menginap sangat tenang. Tetapi berbanding terbalik dengan kondisi kamar yang mereka huni. Kedua sahabat itu masih saja menyalahkan satu sama lain tentang kejadian yang mereka lalui, walaupun itu hal sepele. Seperti saat ini, ketika ingin pulang dan berangkat kerja, Reska ingin menumpang dengan Jenni karena dia