Siapa yang menanam dia yang akan menuai setiap perbuatan pasti ada balasannya pepatah itu tidak pernah salah kehidupan Mas Fadil yang terlalu bebas membawanya ke sebuah kenistaan.
Pagi itu, Mas Fadil menepati janjinya untuk pulang ke rumah. Seperti biasa, ia duduk di sofa dengan menyandarkan tubuhnya yang tampak lelah. Aku menyodorkan segelas air putih yang langsung ditegak habis olehnya.
"Ini buat kamu," ucapnya seraya menyodorkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan.
"Terima kasih," jawabku sambil menatap uang yang ada di tangan.
"Cukup, cukupin sampai gajian. Ayah udah nggak punya uang," dengkusnya kesal.
Aku hanya mengangguk pasrah. Apa lagi yang bisa dilakukan selain menurut untuk menjaga perdamaian. Padahal, kebutuhan sehari-hari jauh lebih banyak dari uang yang diberikan Mas Fadil. Namun, aku tidak ingin menambah keruh suasana dengan memperdebatkan masalah uang.
Sesaat Kemudian, Mas Fadil pun perg
Tidak ada satu orang pun, yang tahu mengenai penyakit yang diderita Mas Fadil. Aku sengaja menutupnya serapat mungkin. Ini adalah aib yang sangat memalukan. Aku tidak ingin membuatnya semakin malu dan tidak memiliki harga diri lagi. Setelah skandal perselingkuhan yang menyebar ke umum akibat tingkahnya sendiri.Hari itu, Mas Fadil pulang ke rumah. Ia duduk di ruang tamu, wajahnya tampak murung. Ia membawa beberapa bungkus obat yang didapat dari klinik tempatnya berobat."Gimana, Yah, berapa lama proses penyembuhannya?" tanyaku seraya menyodorkan segelas air putih."Sekitar tiga bulan, tapi kalau obatnya habis dan masih sakit. Ayah harus kontrol lagi," ucapnya lemas."Sabar, Yah. Ayah sudah makan?" tanyaku untuk mengalihkan perhatiannya agar tidak larut dalam kesedihan."Belum," jawabnya datar."Makan dulu, ya. Terus langsun
Malam itu udara terasa sangat dingin. Tidak seperti biasanya kami masih belum bisa tidur. Padahal malam sudah semakin larut. Aku menemani Mas Fadil di ruang tamu. Ia tampak sedang mengerjakan tugas dari kantor."Tugas Ayah makin banyak, suasana Kantor juga semakin nggak enak. Apa Ayah mengundurkan diri saja?" ucapnya lirih.Aku hanya terdiam, mendengarkan semua keluh kesahnya. Entah sudah berapa ratus kali Mas Fadil ingin keluar dari perusahaan. Namun aku berusaha menahannya dan memberikan semangat. Kali, ini biarlah dia berfikir sendiri. Lelaki itu tampak sedih dan murung."Maaf, Ayah juga punya banyak hutang di luar. mungkin gaji untuk dua sampai tiga bulan ke depan tidak akan cukup," imbuhnya kembali penuh sesal."Uang bisa dicari, yang penting Ayah sudah kembali dan tidak pergi lagi," ucapku untuk menghiburnya."Bulan depan, Ayah juga harus membayar uang muka perumahan yang sudah Ayah pesan buat Melati."
Setelah pengakuan terakhir dari Mas Fadil. Aku berusaha untuk melupakan semua perbuatannya dahulu dan memulai kembali lembaran hidup yang baru.Biarlah dosa yang ia lakukan di pertanggung jawabkan sendiri di hadapan Allah. Aku hanya ingin menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak-anakku.Mentari pagi bersinar cerah hari itu. Mas Fadil sudah bersiap untuk pergi ke kantor sedari pagi. Kali ini sudah hampir satu minggu, Mas Fadil sudah tidak tinggal di rumah kontrakan lagi. Ia memilih untuk pulang pergi dari kantor ke rumah, agar bisa bertemu dengan anak-anak setiap hari.Perlahan tapi pasti, sikapnya mulai kembali seperti dulu. Ia mulai pergi ke masjid untuk menunaikan ibadah shalat dan mulai terdengar melantunkan ayat suci Al-Quran."Ayah, kerja dulu," ucapnya seraya tersenyum tipis.Aku mencium punggung tangannya takzim. Menatapnya hingga menghilang di ujung jalan.Anak-anak mulai terlihat ceria dan berse
Bulan yang penuh berkah tinggal menghitung hari. Aku masih berkutat untuk memenangkan kembali hati suamiku. Pikirannya perlahan mulai kembali Namun, tidak serta merta membuatnya melupakan Melati.Aku beberapa kali mendapati Mas Fadil masih mengintip akun media sosial Melati. Iya masih menyimpan harap dan rasa kepada perempuan iblis itu."Kenapa mesti ngintip-ngintip akun perempuan itu" tanyaku penasaran.Perasaan kesal dan marah seolah sudah tidak bisa ditahan lagi. Ingin rasanya menuntut penjelasan dari Mas Fadil. Aku Merasa dikhianati kembali secara diam-diam."Enggak, cuman lihat-lihat aja Takutnya dia masih ngarep sama Ayah," jawabnya asal."Terus, Ayah masih ngarep sama dia?" tanyaku lagi dengan tatapan tajam."Bukan begitu, Ayah cuman pengen tahu dia sudah move on atau belum? Kalau dia sudah move on Ayah bisa lebih tenang dan dia tidak akan mengganggu kita lagi," sahutnya berkilah.Aku t
Malam itu, seperti biasa selepas salat tarawih kami berkumpul di ruang keluarga. Mas Fadil masih meributkan tentang penghapusan akun media sosialnya kepada diriku.Tidak tahukah dirinya, aku terluka saat dia mengungkit nama wanita itu? Walau itu akan menjadi masa lalu. Namun, tetap saja rasa sakitnya seperti baru kemarin.Kali ini aku bergeming, tidak menghiraukan keluhan Mas Fadil yang tampak kebingungan.Ternyata, tidak mudah untuk mengembalikan semua seperti semula . Dia yang pernah menghancurkan kepercayaan yang kuberi.Tidak mungkin rasanya untuk kembali percaya seratus persen.Terkadang kami cekcok hanya karena kesalahpahaman. Di dalam benak saat ini, apapun yang dilakukan Mas Fadil seperti sesuatu yang harus dipertanyakan. Perasaan curiga dan rasa tidak percaya itu akhirnya membuat diri ini tersiksa seorang diri.Hari itu aku sengaja ngecek gawai Mas Fadil. Sesuatu yang sebenarnya akan membuat hati ini saki
Bulan Ramadhan sudah hampir setengahnya dilalui. Keadaan berangsur mulai membaik. Mas Fadil tidak tampak mengintip ataupun melihat profil si pelakor. Aku sudah bisa bernafas lega dan memulai lembaran yang baru.Malam itu, seperti biasanya selepas salat tarawih. Kami berkumpul di ruang tamu, membicarakan tentang rencana masa depan dan rencana menghadapi hari raya idul fitri yang sudah semakin dekat.Anak-anak selalu bersemangat membicarakan baju apa yang akan dibeli di hari raya nanti. Membicarakan rencana mudik ke rumah orang tua Mas Fadil.Sebenarnya, hati ini masih terluka oleh sikap mereka terhadapku kemarin. Ketidak perdulian mereka terhadap nasib rumah tangga yang sedang di ujung tanduk hingga penerimaan mereka terhadap sang pelakor. Masih terekam jelas di dalam benak dan masih terasa sakitnya di dalam hati."Ayah, Ayah aku dapat berapa pasang bajunya?" tanya si sulung bersemangat."Tanya aja sama Mama
Hampir satu jam lelaki itu pergi. Akhirnya ia pulang ke rumah masih dengan wajah ceria. Baru saja Mas Fadil duduk di atas sofa sambil menyandarkan tubuhnya. Tiba-tiba ketiga anakku menghampiri."Ayah, kapan beli baju lebaran?" tanya si sulung penuh pengharapan."Terserah mamah aja," jawab Mas Fadil seraya mengeluarkan dompet dari saku celananya. Kemudian memberikan sejumlah uang berwarna merah kepada diriku."Allhamdulilah, makasih, Ayah," ucapku penuh syukur."Asik, beli baju lebaran!" pekik ketiga anakku nyaring."Kita beli baju sekarang, ya?" tanya Kia dengan rengekan khasnya."Iya, iya, cepet mandi dulu," sahutku dengan tersenyum lebar.Alhamdulillah Allah masih menyayangi kami. Lebaran tahun ini pun, kami masih tetap bisa berkumpul. Anak-anak masih bisa tersenyum lebar bersama kedua orang tuanya. Badai yang sempat menerpa, akhirnya telah berlalu.Hari itu juga kami memu
Hari raya Idul Fitri tinggal menghitung hari.Semua persiapan menuju hari nan suci telah disiapkan. Aku telah Ttngah bersantai di ruang tamu saat itu, bersama Mas Fadil dan juga anak-anak.Seperti biasanya, hari libur, kami habiskan waktu bersama. Hitung-hitung menembus waktu yang terbuang selama Mas Fadil tersesat. Anak-anak tampak sudah lemas walaupun hari masih panjang. Aku menyuruh mereka untuk beristirahat di kamar agar tidak membatalkan puasa.Aku sedang asyik menonton beberapa video lucu di akun di gawai Mas Fadil. Kami menikmati saat-saat kebersamaan yang lama tidak kami rasakan. Canda dan tawa turut meramaikan suasana. Tiba-tiba Mas Fadil izin untuk pergi ke toilet.Aku Yang penasaran dengan aktifitas media sosial Mas Fadil, segera membuka gawai miliknya. Menelusuri akun media sosialnya. Mencari tahu siapa saja di daftar pencarian akun tersebut.Baris pertama, kedua sampai kesepuluh pun tidak ada yang mencurigakan. Ia menca