Keesokan harinya
Mas Fadil sudah berangkat kerja sejak pagi. Aku tinggal bersama Fariz di kontrakan.
Pagi itu, aku sengaja berselancar di beberapa media sosial. Untuk bisa menang, aku harus mengenali musuh yang ada di hadapan. Pencariaku pun terhenti pada sebuah akun bernama Melati.
"Apakah ini akun perempuan iblis itu?" tanyaku di dalam hati.
Netraku membeliak saat mekihat sosok perempuan yang muncul di beranda akun tersebut. Wanita itu terlihat cantik, menarik dan memesona dibeberapa foto. Akan tetapi, tampak sesuai umur dengan beberapa kerutan wajah, di foto lainnya.
Sorot matanya tajam menyimpan sejuta rahasia. Tingginya di bawah tinggi badanku. Ia memiliki kulit putih terlihat dari postingan foto seksi tanpa hijab. sosok wanita penggoda lebih tepatnya. Itulah gambaran Melati di mataku.
Entah apa yang membuat Fadil bertekuk lutut kepadanya. Sifat dan perilaku Melati jauh dari sosok wanita idaman
Kehadiran Melati dan beberapa wanita di kehidupan Mas Fadil membuatnya semakin lalai. Bukan saja lalai terhadap ibadah, tapi juga melalaikan tugasnya di pekerjaan.Entah berapa jam waktu yang ia curi dari jam bekerja hanya untuk berjalan-jalan dan memadu kasih dengan Melati.Aku sudah tidak tinggal di kontrakan Mas Fadil lagi. Iya memulangkan dan tidak mengizinkan untuk tinggal di sana.Hari itu adalah hari Jumat. Biasanya Mas Fadil akan pulang ke rumah selepas bekerja. Aku segera menghubungi untuk menanyakan kepulangannya. Setelah menunggu beberapa lama. Lelaki itu tidak juga membalas pesanku. Barulah, aku tahu lelaki itu pergi ke cintabumi lewat lewat status di media sosialnya. Ia membagikan perjalannya dengan riang gembira.Tidak seperti biasanya, Mas Fadil yang terkenal disiplin dan rajin. Membolos kerja pada hari Jumat. Lelaki itu rela mengabaikan pekerjaan demi untuk bertemu dengan kekasih gelapnya. Aku ha
Seperti biasanya, setiap akhir tahun para karyawan mendapatkan bonus dari perusahaan. Biasanya Mas Fadil mendapatkan dua kali lipat dari gaji pokoknya.Hari itu, Adi mengirimkan pesan bahwa bonus akhir tahun sudah cair dan ia mendapatkan tiga kali dari gaji pokoknya. Sepertinya, tidak jauh berbeda dengan yang didapatkan oleh Mas Fadil.Aku gelisah di dalam rumah. Membayangkan semua uang bonus akhir tahun dipakai oleh Mas Fadil bersenang-senang dengan Melati.Lalu, bagaimana dengan kami? Bagaimana dengan hutang yang semakin menumpuk karena uang jatah bulanan yang diberikan Mas Fadil selalu kurang. Aku terpaksa berhutang kesana kemari untuk menutupi kekurangannya.Aku termenung seorang diri. Gelisah menatap layar gawai beberapa kali, tapi, tidak juga ada pesan yang datang dari suamiku itu. Sepertinya, ia lupa bahwa ada anak dan istri yang harus diberikan haknya.Malam pun berlalu dengan kegelisahan dan kekhawatiran akan jatah bi
Setelah tragedi kalung itu, Melati lebih menunjukkan bahwa ia telah menguasai Fadil. hampir seluruh waktu di hari libur Mas Fadil tersita bersamanya. Lelaki yang masih menjadi suamiku itu pulang hanya beberapa jam saja dalam satu minggu.Wanita itu telah menguatkan tali jeratannya. Ia mengikat kuat, Mas Fadil sehingga tidak bisa lepas darinya. Namun, aku tidak mau kalah oleh seorang pelakor yang hanya bisa merebut milik orang lain. aku memutar otakku agar Mas Fadil bisa pulang ke rumah. Aku masih memiliki Allah yang akan selalu menuntunku.Dering gawai membuyarkan lamunanku. Terlihat notif pesan dari Mas Fadil.[Aku akan mengirimkan gugatan perceraian ke pengadilan. Tolong siapkan berkas-berkas yang aku minta]Isi pesannya berhasil menyayat kembali hati ini, terasa perih. Namun hati ini seolah sudah kebal dengan rasa sakit. Walaupun masih terasa sakit, tapi kali ini sakit itu dibarengi dengan rasa panas di dalam dada.
Hingar bingar suara petasan dan terompet terdengar di segala penjuru. kerlip kembang api menghias hampir seluas cakrawala.Hampir semua orang merayakan malam pergantian tahun dengan suka cita. Berkumpul dan bercengkrama dengan keluarga dan sanak saudara.Namun, di rumahku mendung masih bergelayut. Seolah enggan pergi dari hidup kami. Ketiga anakku tampak murung di depan televisi. Tidak seperti tahun-tahun kemarin yang ceria dan semarak dengan kehadiran Mas Fadil."Mah, Ayah nggak pulang?" tanya Kia dengan mimik sedih."Sudahlah, jangan nanyain Ayah terus!" hardikku kesal.Entah kenapa hari itu, emosiku seperti naik ke ubun-ubun saat mendengar nama Mas Fadil. Dadaku terasa panas dan sesak. Apalagi saat melihat postingan Melati.Wanita iblis itu memposting kebersamaannya bersama Mas Fadil di sebuah taman. Beserta teman dan keluarganya. Hati ini perih bagai tersayat sembilu.Aku dan anak-anak yan
Siapa yang menanam dia yang akan menuai setiap perbuatan pasti ada balasannya pepatah itu tidak pernah salah kehidupan Mas Fadil yang terlalu bebas membawanya ke sebuah kenistaan.Pagi itu, Mas Fadil menepati janjinya untuk pulang ke rumah. Seperti biasa, ia duduk di sofa dengan menyandarkan tubuhnya yang tampak lelah. Aku menyodorkan segelas air putih yang langsung ditegak habis olehnya."Ini buat kamu," ucapnya seraya menyodorkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan."Terima kasih," jawabku sambil menatap uang yang ada di tangan."Cukup, cukupin sampai gajian. Ayah udah nggak punya uang," dengkusnya kesal.Aku hanya mengangguk pasrah. Apa lagi yang bisa dilakukan selain menurut untuk menjaga perdamaian. Padahal, kebutuhan sehari-hari jauh lebih banyak dari uang yang diberikan Mas Fadil. Namun, aku tidak ingin menambah keruh suasana dengan memperdebatkan masalah uang.Sesaat Kemudian, Mas Fadil pun perg
Tidak ada satu orang pun, yang tahu mengenai penyakit yang diderita Mas Fadil. Aku sengaja menutupnya serapat mungkin. Ini adalah aib yang sangat memalukan. Aku tidak ingin membuatnya semakin malu dan tidak memiliki harga diri lagi. Setelah skandal perselingkuhan yang menyebar ke umum akibat tingkahnya sendiri.Hari itu, Mas Fadil pulang ke rumah. Ia duduk di ruang tamu, wajahnya tampak murung. Ia membawa beberapa bungkus obat yang didapat dari klinik tempatnya berobat."Gimana, Yah, berapa lama proses penyembuhannya?" tanyaku seraya menyodorkan segelas air putih."Sekitar tiga bulan, tapi kalau obatnya habis dan masih sakit. Ayah harus kontrol lagi," ucapnya lemas."Sabar, Yah. Ayah sudah makan?" tanyaku untuk mengalihkan perhatiannya agar tidak larut dalam kesedihan."Belum," jawabnya datar."Makan dulu, ya. Terus langsun
Malam itu udara terasa sangat dingin. Tidak seperti biasanya kami masih belum bisa tidur. Padahal malam sudah semakin larut. Aku menemani Mas Fadil di ruang tamu. Ia tampak sedang mengerjakan tugas dari kantor."Tugas Ayah makin banyak, suasana Kantor juga semakin nggak enak. Apa Ayah mengundurkan diri saja?" ucapnya lirih.Aku hanya terdiam, mendengarkan semua keluh kesahnya. Entah sudah berapa ratus kali Mas Fadil ingin keluar dari perusahaan. Namun aku berusaha menahannya dan memberikan semangat. Kali, ini biarlah dia berfikir sendiri. Lelaki itu tampak sedih dan murung."Maaf, Ayah juga punya banyak hutang di luar. mungkin gaji untuk dua sampai tiga bulan ke depan tidak akan cukup," imbuhnya kembali penuh sesal."Uang bisa dicari, yang penting Ayah sudah kembali dan tidak pergi lagi," ucapku untuk menghiburnya."Bulan depan, Ayah juga harus membayar uang muka perumahan yang sudah Ayah pesan buat Melati."
Setelah pengakuan terakhir dari Mas Fadil. Aku berusaha untuk melupakan semua perbuatannya dahulu dan memulai kembali lembaran hidup yang baru.Biarlah dosa yang ia lakukan di pertanggung jawabkan sendiri di hadapan Allah. Aku hanya ingin menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak-anakku.Mentari pagi bersinar cerah hari itu. Mas Fadil sudah bersiap untuk pergi ke kantor sedari pagi. Kali ini sudah hampir satu minggu, Mas Fadil sudah tidak tinggal di rumah kontrakan lagi. Ia memilih untuk pulang pergi dari kantor ke rumah, agar bisa bertemu dengan anak-anak setiap hari.Perlahan tapi pasti, sikapnya mulai kembali seperti dulu. Ia mulai pergi ke masjid untuk menunaikan ibadah shalat dan mulai terdengar melantunkan ayat suci Al-Quran."Ayah, kerja dulu," ucapnya seraya tersenyum tipis.Aku mencium punggung tangannya takzim. Menatapnya hingga menghilang di ujung jalan.Anak-anak mulai terlihat ceria dan berse
Setelah memutuskan hubungan dengan Fadil. Suasana di kantor terasa kaku dan canggung. Lelaki itu kembali cuek dan acuh. Begitupun dengan diriku yang sudah tidak ingin kembali terlibat dengan dirinya.Mba Vera menasehati berulang kali agar tidak kembali kepada Fadil. Kami fokus dengan pekerjaan masing-masing. Dia berhasil naik jabatan dan itu membuatnya semakin menyombongkan diri.Aku tidak banyak terpengaruh dan hanya fokus mencari uang. Hari demi hari mulai terasa membosankan. Sampai saat kami mendapat tugas ke luar kota."Kamu bantu Fadil buka di cabang baru ya," pinta Manager perusahaan saat kami tengah mengadakan meeting."Iya, Pak," jabawku singkat."Awas lo, hati-hati jangan masuk perangkap Fadil lagi," bisik Mba Vera yang duduk tepat di sampingku.Aku hanya berdehem sambil mengangguk.***Suasana di kota Kecil tempat kami ditugaskan sangat asri. Udaranya cukup dingin, tapi menyegarkan. Aku di sana hanya untuk satu bulan saja. Kami masih tidak bertegur sapa.Ada satu wanita berna
Fadil dan aku berdiri tepat di depan pintu rumah kos. Kami terdiam untuk beberapa saat. Dia menatapku lekat, sebuah tatapan hangat yang mencairkan hati yang mulai membeku. Akan tetapi, hati ini menolak, berusaha membentengi diri agar tidak goyah. aku berusaha untuk mengalihkan pandangan dan menghindari tatapannya."Kita balikan aja?" Tanyanya seraya menggenggam telapak tanganku erat.Aku sempat kaget untuk beberapa saat. Jantung ini terasa berdegup kencang, berpacu lebih cepat. Pertahanan di dalam hati sepertinya mulai roboh. Merasakan sentuhan lembut di telapak tangan, membuatku sedikit gugup dan salah tingkah. Ada sebuah euforia di dalam hati, tapi aku tahan sebisaku agar tidak terlalu terlihat."Gimana?" Tanyanya lagi seperti tidak sabar.Entah setan apa yang mendorong kepala ini. Aku mengangguk dengan spontan. kini, pertahanan ku telah benar-benar roboh. Hati ini memang selemah itu dan mudah luluh."Makasih," ucapnya dengan tersenyum lebar.Tampak rasa puas dan kemenangan di raut m
Suasana rumah mendadak ramai, keluarga Mas Fadil sibuk berkemas sambil tertawa. Aku segera masuk ke dalam kamar dengan perasaan tidak menentu.Tangan ini rasanya lemas saat membuka isi dompet yang hanya tersisa beberapa lembar untuk bekal anak sekolah sampai tanggal gajian."Yah, uang bensin sama tol di ayah ya? aku.udah ga ada simpanan," tanyaku dengan tatapan cemas."iya," jawabnya dengan eksfresi bingung."Emang ayah masih punya uang lebih buat ke kolam renang?" tanya ku lagi untuk memastikan."Nggak ada, tapi ga pa- pa, tenang aja," jawabnya yang mencoba untuk tenang.Padahal jauh di dalam hati, aku tahu betul bahwa Mas Fadil sedang memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan tambahan uang. Sesekali, lelaki itu melirik ke arah satu- satunya perhiasan yang aku pakai, sebuah cincin dan sebuah gelang yang melingkar manis di lengan dan jadi."Eit ... kemarin udah jual dua cincin loh, buat tahlil ibu. Ini yang terakhir," tukasku sambil menyembunyikan lengan."Apaan sih, GR ... ayah g ma
Hari hampir pagi saat kami sampai di rumah. Anak2 tampak lelah dan langsung masuk ke kamar, begitu pun dg Mas Fadil yang tampak letih.Laki-laki itu terlihat sedih dan terpukul. Tapi, entah kenapa dengan perasaan diriku. Tidak ada rasa sedih atau pun kehilangan, hanya simpati saja.Beberapa kali kuyakinkan diri ini ' kok nggak sedih? nggak nangis? apa aku masih normal? yang meninggal itu ibu mertua kamu loh, ibu dari suami kamu?' pertanyan itu hilir mudik di dalam benak.Namun, entah lah aku tetap merasa biasa saja, rasa ini sepertinya telah mati akibat rasa sakit saat melihat Ibu berfoto dengan Ira. Salahkah aku yang sudah tidak berempati lagi terhadap mertua atau pun keluarganya. Luka di dalam hati ini sepertinya enggan pergi dan masih terasa perih. Aku memang sudah memaafkan semuanya. Tapi, ingatan ini masih lekat dan mungkin tidak akan pernah lupa dengan setiap perbuatan dan perkataan mereka.***keesekan harinyaSeperti biasa, pagi yang sibuk dengan segala drama anak-anak yang ak
Tepat pukul 01.30 Kami sampai di rumah Mas Fadil. Suasana rumah sudah agak sepi.Hanya ada keluarga inti saja di dalamnya. Anak, cucu dan menantu.Di halaman rumah, masih berjejer kursi dan tenda seadanya. Bendera kuning masih tertancap di samping pagar rumah.Kami masuk dengan mengucapkan salam yang disambut oleh saudara-saudara Mas Fadil.Kakak beradik itu saling berpelukan dalam tangis yang menyayat hati. Suasana haru sangat terasa. Kesedihan telah menyelimuti rumah masa kecil mas Fadil itu.Membuat diriku yang sulit menangis sedari tadi, menjadi luruh dalam tangisan bersama seisi rumah."Tadi udah dilama-lamain ngurus jenazahnya biar bisa nunggu kamu, tapi tetep nggak keburu," bisik kakak tertua Mas Fadil yang menyesalkan keterlambatan sang adik.Mas Fadil hanya tersenyum, menahan getir di dalam hatinya. Sosok yang selalu menjadi penyemangat dan alasan dirinya kembali ke rumah itu.Kini telah tiada dan terkubur berkalang tanah seorang diri. Tidak akan terlihat lagi senyuman dari wa
"Ibu meninggal, tolong ngebut dikit, Zi!" Pintaku cemas."Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un."Semua orang terdiam dan saling berpandangan. Suasana di dalam mobil menjadi tegang seketika."Ibu beneran meninggal?" Tanya Luna seperti tidak percaya."Iya, masa Mamah becanda. Ayah yang bilang tadi."Bumi dan Kia tampak tertunduk sedih. Aku sibuk dengan pikiran ku sendiri.Takut tidak bisa datang tepat waktu. Takut Mas Fadil menyalahkan aku karena acara liburan ini. Takut tidak sempat menghadiri pemakaman Ibu gara-gara keterlambatan diriku.Suasana jalanan tiba-tiba macet. Jalanan penuh, pengendara motor dan mobil berdesakan.Aku semakin gelisah dan takut. Menatap ke luar dengan tatapan liar. Berharap mobil ini bisa terbang melewati jalanan macet ini."Aduh, gimana ya, takut nggak keburu. Takut Mas Fadil marah," rutukku dengan wajah cemas."Udah, tenangkan diri. Kalo takdirnya harus ketemu dulu sama jenazahnya Ibu pasti bakal ketemu. Tapi kalo sebaliknya, ya ikhlaskan saja," jawab Bapak deng
Dua minggu berlalu, ibu masih sakit dan Mas Fadil masih sibuk bekerja. Jarak dan waktu tidak memungkinkan kami untuk setiap saat berkunjung ke sana.Kami hanya bisa memantau keadaan ibu dari jauh. Mas Fadil menyempatkan vc beberapa kali dengan ibu dan keluarga.Aktivitas tetap berjalan seperti biasanya.****Libur semester kali ini Adi membuat rencana untuk mengadakan liburan bersama di sebuah pantai di kota pelabuhan ratu.Ia sudah memesan beberapa kamar hotel jauh-jauh hari. Sengaja menyiapkan kamar untuk ibu, adik juga jatah kamar untuk diriku dan anak-anak.Malam sudah terasa dingin. Aku duduk di ruang tamu, menemani Mas Fadil yang sedang mengerjakan tugas kantor."Mas, Adi ngajak liburan ke pantai."Aku memulai pembicaraan seraya mendekat dan duduk di samping dirinya."Pantai mana?" Tanya Mas Fadil yang masih sibuk dengan laptopnya, tanpa menoleh ke arahku."Pelabuhan ratu, Sukabumi," jawabku pelan.Hening, suasana kembali hening. Kami sama-sama tahu bahwa pantai dan kota itu me
"Cepat siapkan beberapa baju!" pintanya dengan mimik panik."Baju siapa? Ayah mau ke mana?" tanyaku yang terbawa panik.Mas Fadil masih sibuk dengan gawainya. Ia seperti sedang membalas beberapa pesan dengan raut muka serius."Ada, apa?" tanyaku sambil menarik salah satu lengannya.Mas Fadil terdiam seketika, menatap wajahku dalam. Seperti ingin mengatakan sesuatu yang penting."Ibu sakit, besok kita ke sana.""Sakit apa?" tanyaku yang sempat terhenyak untuk sepersekian detik."Nggak tahu, yang jelas kita ke rumah Ibu besok pagi."Aku pun terdiam, menatap wajah sedih Mas Fadil. Tampak jelas rasa takut dan khawatir di raut muka lelaki itu."Kamu punya uang kan? ada berapa?" Tanya Fadil dengan mimik tegang."Ada, tinggal Satu juta.""Pakai dulu buat beli bensin sama bayar tol."Aku hanya mengangguk pasrah. Untunglah ada uang sisa hasil menulis dan uang kontrakan yang seharusnya untuk biaya hidup sehari-hari, harus aku relakan juga untuk kepentingan yang lebih mendesak.Laki-laki memang b
Hari itu, di luar panas terik matahari sangat menyengat kulit. Hari Minggu ini kami masih setia berada di dalam rumah.Hari nyuci dan beres-beres sedunia. Hampir semua pekerjaan rumah telah selesai dikerjakan.Kia bertugas mencuci sepatu dan tas sekolah miliknya. Aa Fariz bertugas membereskan mainan yang berserakan di lantai, bekas dirinya sendiri.Sementara Mas Fadil, asik memandikan dan memberi makan burung kesayangannya.Si bungsu masih terlelap. Wajah mungilnya membuatku gemas dan ingin mencubit pipi merah itu.Walau pada awalnya, aku tidak begitu menginginkan dia ada. Namun, setelah perjuangan panjang dan drama melahirkan yang memacu adrenalin.Aku mulai menyayangi si bungsu. Apalagi saat melihat Mas Fadil begitu sayang kepada si bungsu.Untuknya Adiva adalah penyelamat. Yang mengalihkan perhatiannya dari hal-hal yang tidak baik. Membuat dirinya fokus dan kembali ke jalan yang lurus.Selang beberapa menit Mas Fadil tiba-tiba berbaring di sampingku sambil memainkan gawai."Mah, aya