Udara Pegunungan Helkin terasa panas, mereka berada di bawah kaki gunung api itu tepat ketika matahari di atas kepala. Sengatan panas serta hembusan angin yang membawa debu pasir di sekitar gunung berbatu menyulitkan perjalanan. Vivian kesulitan bernapas dan pandangannya mengabur karena debu. Berkali-kali dia terbatuk, menutup mulut dan melindungi pernapasannya. Aaron membuka jubahnya, menutupi seluruh tubuh Vivian dengan jubah abu-abu panjang yang melilit tubuhnya selama perjalanan. Vivian tidak protes, dia menerima segala keputusan Aaron. Dan rasa lelah berkepanjangan kini mulai menyerangnya.
Ksatria yang berjalan di belakang mereka tidak terlihat terganggu sama sekali, dan terus menuntun kudanya melewati bebatuan. Gerakan pasukan itu tidak lagi lambat seperti sebelumnya, kini mereka memacu kuda masing-masing dengan kecepatan tinggi. Membuat Vivian mau tak mau menggenggam baju cokelat berlengan pendek Aaron hingga tertarik ke depan, membuat Aaron tidak nyaman dan sedikit te
Jemy mengetuk-ketuk jarinya di atas meja kayu panjang tempat makan ksatria istana. Sudah empat hari lebih dia merasa khawatir karena belum juga mendapat kabar tentang puterinya, dia bergerak gelisah dan memandang sekitar dengan geram. Jemy tidak lagi fokus pada makanan di hadapannya, pikirannya selalu berkelana pada Vivian yang mungkin saja kelaparan, membuat nafsu makannya menguap ke udara.Raja Dimitri menatap Jemy prihatin. Dia juga ikut merasakan bagaimana pria itu menderita karena puterinya yang tak kunjung ada kabar. Dalam hati, Raja Dimitri juga bertanya kenapa hingga saat ini Aaron tidak kunjung kembali."Ikutlah denganku, kita latihan di lapangan." Raja Dimitri mengajak Jemy dengan kerendahan hati, meskipun semua perkataannya adalah perintah bagi ksatria dalam aliansi.Jemy menolak. "Tidak, terima kasih. Aku ingin kembali ke kamarku."Saat ia hendak beranjak, seorang pria berlari ke arah mereka dengan segulung surat di tangan. Jemy menatap surat
Segerombolan pasukan berkuda memasuki gerbang istana. Mereka disambut oleh Aaron dan beberapa petinggi. Aaron menatap pasukan tersebut dalam selimut duka, hal biasa yang terjadi ketika usai berperang. Tanpa berbicara pun mereka tahu siapa yang gugur.“Yang Mulia, maafkan kami,” ucap Morio sambil menunduk diikuti seluruh pasukan yang berbaris di belakangnya.Aaron menghela napas, tangannya terkepal. Dia tak tahu harus bagaimana dalam situasi ini, ditatapnya satu per satu pasukan itu dalam diam. Hanya matanya saja yang menunjukkan betapa ia kehilangan.“Kembalilah ke tempat kalian masing-masing. Istirahat dan pulihkan tenaga kalian.” Itu bahasa halus untuk menyuruh pasukannya agar tidak memikirkan apa pun dan melupakan kejadian yang baru saja terjadi.“Baik, Pangeran.” Pasukan itu membubarkan diri, membawa kuda masing-masing ke istal dan memasuki ruangan khusus ksatria.Jrender menatap Aaron yang masih memandang ge
Vivian berkeliling di Istana Moon Kingdom. Dia berjalan sambil melompat-lompat, menari-nari kecil mengikuti irama senandungnya. Suaranya begitu pelan, takut ada yang mendengarnya bernanyi. Entah sejak kapan nyanyian dilarang dan tidak ada yang tahu apa alasannya. Namun, Vivian suka bersenandung. Dia melakukannya secara diam-diam agar tidak ada yang menegur. Langkahnya terhenti, begitu pula dengan senandungnya saat melihat seseorang yang memakai sepasang sepatu tutu yang indah terbuat dari bulu burung flavo bertabur permata berdiri sejajar tepat di atas rumput di hadapan Vivian. Kepala Vivian memindai dari bawah hingga ke atas, melihat siapa gerangan yang berdiri di hadapannya.Dahinya mengernyit bingung mendapati wajah seorang gadis yang seumuran dengannya. Bisa dikatakan gadis itu keturunan bangsawan atau mungkin seorang puteri. Hal itu terlihat dengan apa yang dipakainya. Mulai dari kaki hingga kepala, semua tampak mewah dan indah. Vivian bahkan merasa silau dengan
Pembersihan besar-besaran. Begitulah bunyi perintah dari Raja Dimitri. Setelah kesepakatan yang mereka buat, akhirnya dibutuhkan tindakan tegas untuk mengurangi perselisihan di tubuh Aliansi dengan melakukan pemeriksaan. Sejak beberapa waktu yang lalu Raja Dimitri membentuk tim khusus untuk melakukan pengintaian, pemantauan, serta memata- matai anggota aliansi yang dicurigai. Dan, ternyata hasilnya sangat mengejutkan. Hampir seluruh anggota Aliansi, termasuk para petinggi di Moon Kingdom melakukan penghianatan.Mulai dari membocorkan rahasia dari dalam serta melakukan perusakan dan permainan curang. Merampas dagangan rakyat, meminta uang pasar yang menekan pedagang di istana sendiri maupun yang datang ke negara satuan Aliansi.“Ini tidak bisa dibiarkan. Kita harus melakukan tindakan tegas.” Raja Dimitri meminta orang kepercayaannya untuk mengumpulkan penghianat itu. Harus ada hukuman jelas di antara mereka.Setidaknya ada dua ratus tiga puluh tiga pe
Raja Dimitri, Raja Torigus, Raja Fous, Raja Radin IX dan Ratu Maya menduduki bangku kebesaran yang melingkar dengan sepuluh bangku mengelilingi satu meja batu bundar besar. Mereka berada di tengah ruangan khusus kerajaan. Vivian dan Jemy yang bergabung belakangan dipersilahkan duduk dan mengisi salah satu dari lima bangku yang kosong. Vivian menatap kelima raja itu dengan cemas. Dia tidak mengerti mengapa dibawa ke tempat ini. Raja Dimitri dapat melihat kecemasan Vivian. Raja Agung itu berdiri dari tempatnya dan berjalan ke meja batu bundar besar yang di tengah-tengahnya kosong.“Vivian, kami sudah berdiskusi dan bermaksud untuk mengatakan ini. Mengingat usiamu yang akan menginjak delapan belas tahun,” kata Raja Dimitri sembari menunggu reaksi dari Vivian.Gadis itu masih diam dan menatap Raja lainnya dengan takut-takut. Raja Dimitri menyentuh meja batu besar tadi dan terlihat cahaya berpendar dengan aneka warna bergaris tipis, kini berpadu membentuk jalina
Mata itu menatap nyalang ke arah gadis yang kini menggigil kedinginan disiram air danau buatan yang berada di belakang halaman istana. Suara jerit ketakutannya menggema membangunkan setiap orang di istana. Bulan bulat penuh keperakan menggantung indah di langit malam bertabur bintang, menyinari langkah kaki-kaki ksatria yang bergerak cepat menyusul suara jeritan berasal. Ada tawa di sana, sebuah tawa merendahkan, mengejek penuh cela pada gadis yang masih menggigil nyaris beku di tengah danau. Suara tawanya semakin jelas saat rombongan ksatria sudah mengelilinginya, membentuk barisan bagaikan kumpulan semut memperebutkan gula.“Tolong aku!” jerit Hera dari tengah danau.Air matanya bercampur dengan air danau, tidak terlihat sama sekali bahwa dia baru saja menangis, hanya bengkak merah di pipinyalah yang menunjukkan keadaannya yang sedikit menyedihkan dengan baju basah seluruhnya. Mulai dari kaki hingga kepala, semua tampak kacau. Semakin membuat Silvia puas.
Silvia menepis tangan Aaron, bergerak menjauh dan menenangkan napasnya yang memburu menahan amarah sejak tadi. Setelah menguasai diri barulah dia sadar di mana dirinya saat ini. Ada begitu banyak kepala binatang buas berjejer rapi di dinding ruangan itu, dan terlihat sebuah tempat tidur besar di sudut dengan lemari berwarna hitam terbuat dari kayu maniro yang berusia ribuan tahun, juga perlengkapan perang seperti baju zirah emas dan puluhan pedang aneka bentuk serta ukuran terpajang rapi di sebelahnya.Kamar ini begitu luas dengan dominasi abu-abu kehitaman. Penerangan satu-satunya hanya dari lentera kecil dan beberapa lilin yang terpasang di dinding batu. Penciuman Silvia dapat merasakan bau maskulin dari bunga lilac, kulit kayu troof serta kayu maniro dari lemari, dan keringat? Oh itu keringatnya sendiri, karena upaya memberontaknya. Silvia menatap ke bawah kakinya, dia merasakan bulu-bulu halus di kaki telanjangnya. Gadis itu baru ingat
Gelap, kata pertama yang terucap dari bibir mungilnya. Tangannya menyilang di atas kepala, menutupi kedua mata dengan telapak tangan halus yang berpeluh hingga membuat wajahnya basah. Dia tersadar saat mendengar derit pintu yang terbuka, menunjukkan sosok menjulang tinggi dengan cahaya terang di balik punggungnya, sehingga menutupi wajahnya yang tersembunyi dari cahaya. Jelas itu seorang pria, dengan jubah kerajaan dan pedang di sebelah celana kiri dengan potongan rambutnya yang rapi berwarna hitam sedikit keemasan dan lambang Moon Kingdom berbentuk bulan dengan dua sayap di tengahnya tampak berkilau terkena bias cahaya dari sarung tangan yang dipakainya.Samar-samar Vivian melihat sudut-sudut bibir pria itu tertarik ke atas saat menatapnya, dan ia dapat merasakan tatapannya yang tajam, namun penuh perlindungan, tidak menyakiti ataupun mengintimidasi, karena memang begitulah cara pria itu memandang sesuatu tanpa emosi tergambar di wajahnya yang tentu saja sangat dipu