Mas Nazril!
Akhirnya setelah sekian kali mengetik dan menghapus chat, hanya kata itu yang terkirim tapi belum ada balasan darinya. Saat ini aku sedang dalam perjalanan ke sebuah acara haul seorang kyai.
Seminggu yang lalu aku sudah kembali ke rumah mama, sedikit demi sedikit aku sudah mulai menerima kehadiran Om Yuda, dengan keluarga Gisel aku juga sudah minta maaf karena sempat menolak mereka. Alhamdulillah Allah membukakan pikiranku, hidup memang seperti ini banyak sekali yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Yang bisa kita lakukan adalah melewatinya dengan penuh syukur.
Dan dari sekian banyak orang, hanya dengan Mas Nazril aku belum bisa kembali seperti sebelumnya. Entahlah kenapa, setiap malam aku selalu mengetik pesan tapi tidak pernah terkirim. Dia juga seminggu ini tidak terlihat di rumah sakit, kata mas Edo masih sibuk di Jakarta.
"Kita mau ke mana sih Om?" Tanyaku memecah keheningan. Aku duduk di belakang bersama Bi
Nazril Point Of View. "Mas, kamu gugup enggak sih?" "Biasa saja!" "Kamu enggak takut ketemu papa?" "Enggak!" "Kamu enggak bingung mau ngomong apa sama papa?" "Sudah siap!" "Kamu tadi sudah sarapan kan?" "Sudah Lin." "Oh ya, alhamdulillah. Kamu butuh tenaga banyak soalnya!" Haha, Ya Allah calon istri gue! Gemes banget sih gue sama Ralin, pengen gue....enggak jadi deh! Astaghfirullah, ampuni hamba yang pikirannya sudah travelling kemana-mana Ya Allah. Gue janji ini terakhir kalinya gue pergi berdua saja sebelum nikah, enggak bagus untuk kesehatan otak dan hati gue soalnya. Menumpuk dosa juga. Sepanjang perjalanan dari rumah Tante Rani menuju rumah papanya, dia tidak berhenti ngomong. Satu hal yang baru gue sadari, frekuensi bicaranya akan meningkat 100% ketika dia sedang gugup alias jadi cerewet banget. "Bisa enggak sih kita n
Ralin Point Of View. Sepanjang perjalanan ke rumah tidak ada obrolan sama sekali. Jika biasanya akan sangat menyenangkan ngobrol dengan orang ini, sekarang aku lebih tertarik dengan pemandangan jalan. Aku juga menyesal karena menyetujui ajakannya untuk makan di dekat rumah sakit, jadi harus lebih lama sampai rumah. Aku masih belum paham dengan pikirannya, dia yang selalu ngertiin aku, dia yang paham dengan keadaanku tapi tidak berkutik sedikitpun di depan papa. Aku enggak akan sanggup untuk menuruti keinginan papa, tapi apa aku juga sanggup melepas pria ini? "Lin!" Panggilnya memecah keheningan. "Kalau itu caranya biar aku bisa nikah sama kamu, aku akan meneruskan spesialis seperti keinginan papa Mas!" Aku sudah memikirkannya sejak tadi. Dia sudah membuat hidupku berubah dan aku enggak tahu lagi bagaimana jalani hidup kalau harus kehilangan dia. Terdengar kolokan ya? Tapi itu yang aku rasakan. "K
Pagi ini setelah jaga malam aku mengendarai mobilku menuju restoran Bang Iky. Mas Nazril menyuruhku untuk kesana, karena rasa bersalahku kemarin aku terpaksa mencoret jadwal tidur dan menyanggupi untuk ke restoran. "Ini dia, sini Lin!" Ucap Mbak Syifa ketika aku baru datang. Di sana sudah ada beberapa orang yang merupakan sepupu Mas Nazril. "Orang kalau cantik, belum mandi saja masih tetap cantik ya? Heran Si Narin pakai jurus apa sampai Ralin mau!" Ucap salah satu sepupu yang bernama Sada. "Dia sudah mandi pastilah, selalu penuh persiapan!" Sahut Mas Nazril. "Mbak Sada bisa saja, tenang Mbak jangan khawatir bau!" Jawabku sambil menerima pelukan dari Mbak Sada. "Percaya sih aku sama kamu, cuma enggak sama yang itu!" Katanya sambil menunjuk Mas Nazril. Di sini selain Mbak Sada, ada juga Ilyas dan orangtuanya, Mbak Syifa lalu ada kembaran ayahnya Ilyas juga katanya baru sampai dari Bandung. Hampir semuanya yang ada di sini aku su
Nazril Point Of View. Setelah sholat subuh tadi gue sudah enggak bisa tidur lagi. Rasanya gini amat ya mau nikah? Lebih deg-degan daripada nunggu pengumuman kelulusan. Semalam gue dan seluruh keluarga sudah berada di hotel tempat acara. Meskipun kamar kita dalam satu lantai tapi gue belum ketemu Ralin sejak kemarin. Seminggu ini gue sengaja tidak menghubunginya, kata Mas Abimana sensasinya akan jauh berbeda. Gue coba saja, semoga semingguan enggak bertukar pesan dia enggak lupa sama gue. Ya enggak bakalan lah! Dia kan cinta banget sama gue! Satu jam kemudian gue sudah siap dan langsung menemui umi abi untuk minta restu mereka. Umi mencium keningku berulang kali, matanya sudah berkaca-kaca. "Jadi suami yang bisa mengayomi istri, ketika kamu mengucap ijab qabul berarti kamu sudah siap mengambil semua tanggung jawab akan hidup istri kamu." Ujar abi menasehati gue. Beberapa saat suasana haru menyelim
Acara ngunduh mantu di pesantren tidak jauh beda seperti acara-acara sebelumnya. Hanya ada acara singkat dan alhamdulillah banyak keluarga kyai kenalan Abi yang berkenan datang dan memberikan doa untuk kami. Tapi acara kali ini agak sedikit lebih besar karena banyak tamu yang datang. Mungkin karena pernikahan gue adalah pernikahan terakhir dari generasi cucu simbah, itu berarti masih lama lagi pesantren akan punya hsajatan pernikahan, ya lihat saja keponakan gue masih pada piyik-piyik begitu.Tadi pagi-pagi sekali semua keluarga pulang, gue dan istri pulang ke rumah Mama Rani karena segala proses disiapkan di sana, mulai dari rias dan lain-lain. Gue sebenarnya enggak pengen ada acara besar di pesantren, cukup satu kali saja di hotel kemarin cuma kata umi nanti dikira gue anak pungut karena semua pernikahan cucu simbah diadakan acara serupa, ya sudah mengalah saja.Sore ini acara sudah selesai, tapi kesibukkan masih cukup padat di sini. Gue masih ngobrol bareng saudara-
Ralin Point Of View. "Itu Nazril kenapa Lin? Kok kaya lesu begitu?" Aku hanya tersenyum geli mendengar pertanyaan mama. Malu sama mama kalau harus kasih tahu alasanya. "Capek mungkin. Ralin ke kamar dulu ya Ma!" Aku bergegas menyusul Mas Nazril yang sudah naik ke kamar. Kita baru pulang dari jaga siang. Tapi sebelumnya aku belok ke dapur dulu untuk membuatkannya kopi hitam. Seminggu sudah aku menyandang status sebagai istri seorang Ahmad Nazril. Sejauh ini hanya bahagia dan senang yang aku rasakan. Mas Nazril sosok suami yang sangat baik untukku. Sudahlah ya enggak usah diceritain lagi bagaimana baiknya dia. Dia sedang mandi ketika aku masuk. Aku membereskan baju kotornya dan merapikan tempat tidur. "Ini kopinya Mas, aku gantian mandi ya!" Kataku saat dia keluar dari kamar mandi. "Jangan wangi-wangi mandinya!" Katanya dengan lesu. Aku merapatkan bibir menahan tawa dan segera masuk
"Kok enggak diangkat Mas?" "Kalau sampai tiga kali baru aku angkat. Tengah malam gini ngapain hubungi suami orang, kalau darurat pasti telepon lagi." "Iya-iya Mas, enggak usah sambil nangis begitu jawabnya." Aku tertawa geli melihat ekspresinya, mungkin dia kira aku akan marah. "Aku khawatir kamu salah paham Lin, baru kita bahas eh sudah nongol saja orangnya." "Baru juga aku katakan kan Mas, aku percaya sama kamu!" "Kok kamu manis sih Lin??" "Idih, enggak jadi ah! Aku mau ke bawah dulu!" Obrolan kami terputus karena bunyi ponsel Mas Nazril dan lagi-lagi dari Kak Lya. "Telepon lagi tuh Mas!" "Kamu yang angkat saja!" Katanya sambil menyerahkan ponsel padaku. Dengan sedikit ragu aku mengangkat telepon Kak Lya. "Assalamualaikum!" "Waalaikumsalam, Ralin?" "Iya Kak, ada apa?" "Oh, maaf ganggu Lin malam-malam. Cuma mau kasih tahu teman seangkatan ada yang meninggal.
Siang ini aku mengantar umi dan abi menghadiri acara pernikahan saudara. Aku sendiri yang menyetir mobilnya, karena tadi malam Mas Nazril berangkat ke Singapura bersama Prof. Danu. "Kalau capek gantian Abi Lin!" Ucap Abi. "Enggak usah Bi, sudah dekat kan?" "Habis perempatan itu, kiri jalan." "Iya Bi!" "Besok jadi kamu nyusul Nazril?" Tanya umi. "Insyaallah Umi, mau kasih kejutan ceritanya." Besok pagi setelah turun jaga aku akan berangkat ke Singapura. Rencananya mau kasih kejutan untuk Mas Nazril, agak mendadak juga sih, kemarin aku iseng tanya sama Mas Edo bisa enggak tukar jadwal. Dan setelah tahu alasanku, dia malah dengan senang hati tukar jadwal denganku. Malahan lebih semangat dariku. "Jadi Nazril belum tahu Nak?" "Hehe belum Umi." "Wah pasti besar kepala itu anak!" Sahut abi. "Kayaknya tiap hari besar kepala itu anak kamu Mas!" "Giliran yang jelek-jelek anakku ya Rin!" Umi
Siang ini kesibukan pesantren lebih terasa karena malam nanti adalah malam inti dari acara wisuda santri. Jika biasanya acara santri putri diadakan di siang hari, tahun ini abi dan seluruh keluarga juga pengurus pesantren sepakat untuk mengadakannya dimalam hari dimulai sehabis maghrib. Banyak wali santri yang sudah berdatangan dari berbagai daerah, penginapan-penginapan yang sengaja disiapkan oleh para santri sudah banyak yang penuh. Kebahagiaan santri salah satunya ya saat-saat seperti ini, jadi kangennyantri.Padahal dari semua saudara, gue yang paling bandel. Gue hanya nyantri dari MI sampai Mts selebihnya gue dirumah ini, ngaji sama simbah dan abi. "Yang ikut wisuda banyak juga ya Mas, berarti habis ini berkurang banyak ya?" Tanya Ralin. "Ya enggak mesti langsung pada pamit Lin, biasanya kalau yang enggak kuliah atau nikah masih pada disini nerusin ngaji, itu kemarin juga santri baru alhamdulillah sudah masuk banyak cuma kan b
Nazril Point Of View. “Lin, lapar!” Ucap gue dengan ekspresi yang semenyedihkan mungkin karena gue tahu istri gue yang cantik ini bakalan ngomel-ngomel kalau gue makan selarut ini. Dan benar saja, Ralin malah merapatkan selimutnya. Gue yakin bukan karena dia enggak mau melayani gue, tapi karena dia sayang sama gue. Sekarang sudah hampir jam satu, tadi gue dan Ralin habis ngobrol banyak. Kita memang punya satu waktu khusus untuk ngobrol berdua yang biasa kita sebut dengan sesi kejujuran dan itu harus kita lakukan. Gue kenal Ralin, dia adalah tipe orang yang susah untuk cerita tentang kesedihannya, memilih memendamnya sendiri. Makanya gue sengaja membuat acara sesi kejujuran itu, awalnya hanya iseng tapi semakin lama menjadi sebuah keharusan karena dari situ gue bisa tahu banyak hal tentang perasaan Ralin. Intinya dibuat nyaman dulu baru dia mau cerita. “Masakin nasi goreng dong Lin!” Gue masih berusaha ke
Ralin Point Of View “Terimakasih kesempatan yang diberikan kepada saya untuk berbicara. Yang pertama saya ingin mengucapkan syukur pada Allah karena begitu banyak hal baik dan berkesan dalam hidup saya hingga detik ini. Yang kedua terimakasih pada pihak rumah sakit yang telah memberikan kesempatan pada saya untuk bisa bergabung dalam operasi ini, suatu kehormatan dan ilmu berharga bagi saya.” “Selanjutnya saya sangat ingin berterimakasih pada seseorang yang telah memberikan kebahagiaan terbesar dalam hidup saya selain keluarga, seseorang yang menjadi alasan saya untuk terus menjadi pribadi yang lebih baik, seseorang yang menjadi alasan saya untuk segera pulang ke rumah, dan seseorang yang menjadi alasan saya untuk tetap kuat. Maaf jika masih belum bisa menjadi yang terbik, maaf jika masih terus membuatmu bersedih, terimakasih karena tetap bertahan di sampingku, terimakasih karena te
Nazril Point Of View Benar kata istri gue kalau setiap harinya kita lalui dengan perasaan syukur dan bahagia, waktu akan terasa cepat. Itulah yang gue rasakan, lima hari dalam seminggu gue kerja dirumah sakit kadang juga bisa keluar kota atau bahkan sesekali ke luar negeri dan setiap gue sampai rumah ada anak dan istri gue yang sudah menyambut. Melihat senyum mereka membuat capek gue seketika hilang, pelukan mereka membuat gue kembali semangat berjuang mencari nafkah buat mereka. Dan itu semua membuat waktu begitu cepat berlalu tanpa terasa Rey sudah berumur dua tahun. Sudah aktif banget lari kesana kemari. Kata umi Rey itu fotocopyan gue banget pas waktu kecil, anaknya enggak bisa diem apa-apa pengen dipegang, kalau bahasa jawanyaglidikbanget, kata umi dulu waktu gue kecil pernah minum air bekas cucian piring, mungkin itu kali ya rahasia ganteng gue?? Ha ha Gue sangat bersyukur Rey tumbuh sehat dan
Nazril Point Of View Benar kata istri gue kalau setiap harinya kita lalui dengan perasaan syukur dan bahagia, waktu akan terasa cepat. Itulah yang gue rasakan, lima hari dalam seminggu gue kerja dirumah sakit kadang juga bisa keluar kota atau bahkan sesekali ke luar negeri dan setiap gue sampai rumah ada anak dan istri gue yang sudah menyambut. Melihat senyum mereka membuat capek gue seketika hilang, pelukan mereka membuat gue kembali semangat berjuang mencari nafkah buat mereka. Dan itu semua membuat waktu begitu cepat berlalu tanpa terasa Rey sudah berumur dua tahun. Sudah aktif banget lari kesana kemari. Kata umi Rey itu fotocopyan gue banget pas waktu kecil, anaknya enggak bisa diem apa-apa pengen dipegang, kalau bahasa jawanyaglidikbanget, kata umi dulu waktu gue kecil pernah minum air bekas cucian piring, mungkin itu kali ya rahasia ganteng gue?? Ha ha Gue sangat bersyukur Rey tumbuh sehat dan
"Lin! Mama duluan ya! Enggak enak sama Tante Sinta dan keluarga!" "Ya sudah deh Ma, duluan saja sama Om Yuda nanti Ralin nyusul!" "Jangan lama-lama enggak enak kalau datangnya belakangan!" "Iya Ma!" Aku masih sibuk menyiapkan segala keperluan Reyshaka dan Mas Nazril. Hari ini adalah hari resepsi pernikahan Gisel dan Mahesa. Mama dan Om Yuda sudah pamit duluan, tadi di grup keluarga Bang Arkan bilang sudah mau jalan. Tapi lihatlah dua jagoanku, masih asyik bermain air di kamar mandi! "Mas!! Sudah belum mandinya? Yang lain sudah pada berangkat!" Teriakku dari luar kamar mandi. "Sebentar!!" "Dari 10 menit yang lalu kamu juga bilang sebentar!" Dia tidak menghiraukanku, malah asyik bermain dengan Reyshaka di kamar mandi, anaknya juga terdengar senang sekali bermain air, dia teriak-teriak dan tertawa. Kalau seperti ini sudah pasti akan terlambat, untung kemarin kita hadir di acara pemberkatan Gisel dan Mahesa jadinya kalau ha
Hari ini di pesantren diadakan acara aqiqah anakku, tepat di hari ketujuh kelahirannya, Mas Nazril tetap menyembelih dua kambing walaupun anak kita masih di rumah sakit. Dua hari yang lalu alhamdulillah aku sudah boleh pulang dan setiap pagi aku selalu pergi ke rumah sakit mengantar ASI sekalian menjenguk Reyshaka. Acaranya hanya syukuran biasa dengan mengundang warga sekitar pesantren untuk ikut mendoakan anakku dan juga membagikan masakan aqiqahnya pada warga setempat. Karena hanya dua ekor kambing dan itu tidak mencukupi untuk warga pesantren, Mas Nazril membeli satu ekor sapi untuk disembelih dan dimasak untuk keluarga dan para santri. Sekali-kali menyenangkan hati para santri katanya, sebagai ucapan terimakasih juga karena selama ini para santri banyak membantu keluarga kita. "Lin, besok aku ada kerjaan ke Jakarta selama tiga hari." Kata Mas Nazril yang sibuk dengan laptopnya. "Berangkatnya hari ini Mas?" "Aaaaaa." Sebelum menjawab dia membuka mu
Ralin Point Of View Malam ini aku masih harus menahan diri untuk melihat anakku karena keadaan kami belum memungkinkan. Sejak dia lahir aku sama sekali belum bisa mennyentuhnya dan melihat wajahnya. Saat ini aku hanya tinggal berdua dengan Mas Nazril, dia masih tertidur. Kasihan sekali pasti capek banget sejak kemarin harus kesana kemari mengurusi aku. Mama, umi dan yang lainnya sudah pamit sejak tadi. Sebenarnya mama ingin tinggal tapi aku larang, beliau sejak kemarin juga banyak begadang menemani aku, mama orangnya enggak kuat kalau kurang tidur. Jika dipaksakan malah akan meriang berhari-hari. "Lin!" Aku menoleh ke arahnya, dia tersenyum lalu ke kamar mandi. "Aku sholat isya dulu ya!" Katanya setelah keluar dari kamar mandi. Sementara dia sholat aku sibuk membalas chat dari teman-teman yang mengucapkan selamat atas kelahiran anakku. Dan chat terbanyak datang dari Gisel, sejak kemarin dia terus
Gue masih mondar-mandir di depan ruang operasi, 5 menit yang lalu gue diusir sama dr. Alfaina keluar ruang operasi. Sejak Ralin mulai masuk gue sudah ikut sama dia, kasih dia dukungan tapi lama-kelamaan gue banyak omong jadilah gue diusir keluar dari kamar operasi. Ternyata bukan cuma Ralin yang jadi banyak omong kalau gugup, gue pun sama. Tadi gue gugup dan khawatir banget alhasil mulut gue enggak bisa diem. Rencana operasinya mundur jadi sore hari karena harus menaikkan hb Ralin dulu dan sejak semalam dia harus berjuang melawan rasa sakit. Alhamdulillah selain Bude Nilna masih ada dua lagi pendonor dariKangMadi dan saudara Mama Rani, jadi Ralin punya persedian 6 kantong darah. "Ril, duduklah! Tambah pusing Umi lihatnya!" Tegur Umi. "Iya Umi, gugup! Maaf!" "Ya semua juga gugup dan khawatir, kamu jangan bikin tambah puyeng!" Gue hanya nyengir, merasa bersalah. Saat ini gue ditemani mama dan umi, selain itu ada