Mendengar ucapan sang nona, Mervile hanya bisa diam dan mengangguk pasrah. Apa lagi yang bisa dilakukan pria itu? Bukankah semua perkataan nonanya tak bisa dibantah?! "Kau dengar itu, hei bodyguard bodoh?" Kali ini Tuan Aroon kembali bersuara. Merasa menang dengan perkataan wanitanya yang terdengar seperti kalimat pembenaran atas ucapannya. "Sudah, Tuan. Jangan membuang waktu lagi. Kalian akan menghabiskan hari ini untuk bertengkar di sini?" Alessandra menatap bergantian dua pria yang sering terlibat adu mulut dan tenaga itu. "Dan Tuan, ada benarnya jika tadi Anda juga memoles ini dengan foundation." Tangan Alessandra menyentuh wajah sang pria yang tampak memar."Jangan khawatirkan aku, Alessa. Tidak masalah bagiku." Tangan Tuan Aroon memegang tangan yang membelai wajahnya. Sejoli itu tampak mesra, membuat yang melihatnya sedikit canggung, terlebih Mervile yang notabene pecinta rahasia sang wanita. "Dan kau Mervile, wajahmu juga memar. Kau ambil foundation di kamarku jika kau ingi
"Kau kenapa berteriak tiba-tiba seperti orang tidak waras?" Alessandra bertanya setelah berjingkat kaget. Tangan yang tadi memegang ponsel, reflek menekan-nekan dadanya. Tertangkap di netra wanita tersebut terpancar aura suram dari raut sang bodyguard. Ia merasa pria tersebut layaknya orang yang ... frustasi. Mervile yang baru menyadari aksinya, menepikan kendaraan, mengusap wajah lalu berkata, "Maaf. Maaf.""Kau baik-baik saja?" tanya Alessandra yang direspons dengan anggukan. "Sungguh? Tapi wajahmu menandakan kau tak baik-baik saja. Pagi ini penampilanmu terlihat berantakan. Ada apa?" Bola mata Alessandra bergerak menyorot penampilan Mervile dari ujung kepala hingga kaki. Dari penelisikannya dapat disimpulkan bahwa bodyguard itu berpenampilan tak seperti biasanya. Wajah kusut dengan tatanan rambut berantakan. Kalau tak salah dirinya menduga ... bodyguard itu tak menggunakan pomade pagi ini. Lalu pakaian? Kenapa terlihat sekusut mukanya? "Sungguh. Barusan hanya reaksi spontan saja
Sementara di sisi lain, mantan bos Alessandra dan mantan temannya sedang melihat seksama acara TV yang tersiar secara live. Revano memamerkan senyum miring sehingga kerutan di sekitar sudut bibirnya semakin kentara. Dadanya terasa panas seperti tersulut api langsung dari pemantiknya. Matanya melotot tajam pada dua orang yang telah membuat harga dirinya porak-poranda. Bagaimana tak porak-poranda? Ketika dirinya menawarkan cinta dengan bergelimangan harta yang menyokongnya, wanita itu secara terus terang menolaknya, tapi saat ini? Wanita itu terlihat percaya diri tampil dengan seorang pria. Pria yang ia yakini memenangi keberuntungan atasnya. Revano tak sanggup menyembunyikan kegeramannya. Melihat itu, Sabrina yang duduk tak jauh darinya, tak dapat menahan mulutnya untuk tak menanggapi apa yang membuat dirinya senang dan puas. "Lihatlah, Bos. Mereka berdua tampak serasi," ucapnya seraya menarik sudut bibirnya di akhir kata. "Bungkam mulutmu! Jangan kau coba memprovokasiku!" sentak
Kaki jenjangnya mengayun tak sabaran ke arah nonanya yang sedang duduk di atas ranjang king size dengan ukiran emas di kaki dan headboard-nya. Kehadirannya yang tiba-tiba sontak membuat kedua insan terperanjat. Tuan Aroon dan Alessandra reflek berdiri. "Kurang ajar!" erang murka Tuan Aroon. Matanya menatap nyalang. Gigi atas dan bawahnya saling bergesekan. Rahangnya terasa keras ia rasakan. Darahnya seketika berpusat pada ubun-ubun karena kemarahan. Ia sangat murka. Merasa terusik. "Kau yang kurang ajar!" Tatapan Mervile tak kalah sengitnya. Mervile tampak kehilangan sopan santun terhadap pria paruh baya tersebut. "Lepaskan tangan nona saya!"Tangan Tuan Aroon yang masih bertaut dengan tangan Alessandra, dipaksa lepas oleh tangan bodyguard itu. Sikap bodyguard tersebut sudah tak dapat ditoleran. Dengan gerakan cepat Tuan Aroon melayangkan bogem ke perut Mervile, namun sayang kepalan kuat itu tak berhasil menyentuh perut sixpack yang berbalut kemeja hitam itu. Tangan Mervile sigap
"Diam! Semua diam!" Mendadak suasana menjadi hening. Alesaandra menoleh pada dua pria secara bergantian dengan tatapan sarat kekecewaan. "Kalian selalu mengedepankan egoisme masing-masing. Tidak mencerminkan sikap lelaki dewasa, lebih pantas disebut anak-anak!"Setelah menjeritkan kalimat yang menohok kedua hati pria dalam ruangan, Alessandra lantas berlari dengan air mata membanjiri pipi. Mervile mengusap wajahnya frustasi lalu berlari menyusul nonanya tanpa memedulikan pria paruh baya yang tak hentinya mengumpat tak kalah frustasi darinya. Saat ini Tuan Aroon terduduk lemas di ranjang, mengatur napasnya yang kian sesak sebab bayang-bayang perpisahan. Berpisah dengan wanita yang amat dicintainya adalah kutukan terburuk yang ia haramkan dalam hidupnya. Tidak. Tidak! Tidak akan dia biarkan wanitanya lepas darinya. Lama dia memuja dan mendamba kehadirannya. Saat wanita itu telah berada dalam pelukannya, maka ia telah mengikrarkan bahwa tak ada tempat yang layak untuk sang wanita se
Setelah memandang bangga pada dirinya, wanita berbalut bathrobe tersebut lantas berdiri lalu melenggang menuju walk in wardrobe. Sampai di ruangan bernuansa monokrom tersebut, tangannya memilah-milah busana yang tergantung rapi. Netranya fokus memandangi, namun nihil. Tak ada yang menarik perhatiannya. "Aku butuh sesuatu yang berbeda, yang belum pernah kugunakan sebelumnya," monolognya sembari jemarinya menjepit dagu. Berpikir keras apa solusinya, dan akhirnya tercetuslah satu ide yang dirinya sendiri tak memikirkan itu sebelumnya. Wanita berlesung pipit itu melangkah keluar ruangan setelah mengenakan pakaian kasual. Tangannya menenteng tas, bersiap untuk keluar. Di ruangan tengah, dirinya disambut sang bodyguard yang tegak berdiri. "Bagus! Kau sudah bersiaga. Kita akan ke Aroon's Company," ucapnya kemudian. Tak dapat menyembunyikan keterkejutannya, Mervile sontak bertanya dengan nada heran, "Untuk apa Nona ke tempat pria berengsek itu lagi?""Kau jaga sopan santunmu terhadap kli
"Ah! Tidak. Tidak. Tidak boleh terjadi!" gumam Mervile pelan. "Apakah ada sesuatu yang mewajibkan Nona ke perusahaan itu, em ... maksud saya pekerjaan?" Mervile mulai memutar setir, melajukan kendaraan menuju tempat tujuan, meski hatinya enggan. "Tentu. Dia mengundangku ada sangkut pautnya dengan Bianco Skin," jawab Alessandra datar. "Pemotretan ulang atau hanya membicarakan perkembangan brand itu Nona?" Mendengar itu, Alessandra menyipitkan mata. Alisnya yang terukir sempurna nyaris bersua. "Mervile! Aku tahu kau adalah manajerku, tapi sikapmu yang banyak tanya ini memaksaku menilai dirimu menyalahi gendermu. Kau banyak bicara seperti wanita.""Maaf, Nona. Saya melihat Anda hari ini begitu menakjubkan. Saya mencoba mencari jawaban, apakah penampilan ini karena Anda akan melakukan pemotretan?""Melihat penampilanku, seharusnya kau sudah terbiasa dengannya. Aku memang selalu tampil sempurna di setiap kesempatan. Bukan hanya ketika akan melakukan pemotretan," terang Alessandra. Bibi
Mendengarnya, Alessandra lantas berdiri, melewati begitu saja pria yang masih setia berlutut dengan hati berkecamuk. Wanita itu berjalan ke arah jendela besar, melepaskan pandangan pada bangunan gedung-gedung besar yang setara dengan gedung yang ia pijaki sekarang. Ia berdecak sembari melipat kedua tangannya di bawah dada, tepatnya di atas perut datarnya. "Marah?" Wanita itu menggeleng pelan. Bibirnya menerbitkan senyum miring. "Jika saja bisa, saya sangat ingin membunuh Anda," lanjutnya seraya menahan supaya matanya tak meluruhkan buliran air sekuat yang ia bisa, karena tiba-tiba saja di benaknya muncul bayangan wajah sang ayah. Melihat punggung mulus yang terekspos amat sempurna, Tuan Aroon lantas berdiri lalu menghampirinya, dan seketika melabuhkan pelukan pada sosok memikat itu. "Kau tidak bisa memperlakukanku seperti ini, Alessa. Kau adalah wanitaku, dan siapa pun yang telah menjadi milikku, maka kuikrarkan tak ada yang layak baginya selain diriku," tekannya seraya mengeratkan