Duduk bersandar kursi kayu di pinggir rel kereta api, seorang calon dokter sedang menuggu kedatangan kereta api. Arsenio William Ardiman yang biasa dipanggil Arsen adalah seorang mahasiswa Falkutas Kedokteran yang sedang menjalankan magang koas di salah satu rumah sakit ternama di Jakarta.
Jujur, bukan keinginan dia menekuni kuliah jurusan beken itu, semua karena keinginan sang ayah yang berprofesi dokter sekaligus direktur utama rumah sakit tersebut. Kecintaannya terhadap fotografer yang diam-diam dia lakoni sekarang, mengantar dirinya di tempat tak lazim seperti ini untuk mengambil momen detik-detik kereta melintas.Awalnya sorot mata mengarah ke atas langit yang terik di balik kacamata hitam sembari tangan menggenggam kamera mahalnya. Namun, perhatian dan pandangannya pun beralih ke arah kedatangan kereta yang terus menjerit dengan klakson yang mengganggu indra pendengaran. Tak biasanya kereta itu mengeluarkan suara berisik di tempat bukan lalu lalang mobil atau motor. Ini adalah lintasan tanpa hambatan di pinggir perumahan kumuh.Sorot mata pun jatuh pada satu titik di mana ada seorang gadis yang menurutnya sedikit aneh dengan tingkah konyolnya. Berjalan di tengah tanpa mau mengindahkan suara teriakan kereta yang jarak semakin mendekati tubuhnya.Karena rasa kemanusiaan yang tinggi, akhirnya Arsen berlari dan mendorong tubuh kurus itu sampai kedua tubuh mereka terhuyung jatuh ke pinggir rel. Nyaris. Keduanya hampir menjadi korban gilingan kereta panjang itu."Hai, sadar! Kenapa kau lakukan itu?" Pria berkaos abu-abu tersebut menepuk pipi wajah pucat gadis yang tak lain adalah Hana, gadis yang mencoba menghabiskan nyawa karena keputusasaannya.Jiwa dokter dalam dirinya pun tumbuh ketika melihat pasien yang tergeletak lemah dengan luka siku tangan dan kaki yang mengeluarkan cairan merah pekat. Segera dia membopong gadis yang sudah tak sadarkan diri itu dan membawanya ke mobil. Hanya dua atau tiga orang dan dirinya yang tak sengaja bersembunyi, menonton adegan miris tersebut. ***"Bagaimana kondisinya, Dok?""Setelah diperiksa, ada beberapa tulang di tulang rusuk belakang retak. Luka luar seperti yang ada di tangan dan kaki sudah dijahit. Kondisi fisik pasien bisa dibilang aman. Namun, psikis-nya sedikit tergoncang."Pria itu mangut-mangut sembari memperhatikan tubuh yang sedang tertidur pulas di atas ranjang pasien."Saya dengar dari suster, ada janin di rahimnya. Apa janin itu aman, Dok?"Arsen dengan leluasa bertanya pada dokter senior itu lantaran di rumah sakit inilah tempat dia seharusnya koas tadi pagi. Dia cukup mengenal dokter tersebut yang tak lain adalah sahabat papanya sendiri. Hanya saja tadi pagi, dia merasa kurang mood untuk melakukan aktifitas di rumah sakit sehingga dia harus berada di tempat dimana Hana mencoba meregangkan nyawanya."Aman, tapi harus diperhatikan lebih ekstra. Janinnya sangat lemah, kemungkinan besar bisa keguguran. Apalagi tadi ada guncangan yang besar saat dia terjatuh."Dokter itu dengan sabar memberi penjelasan kepada calon dokter umum itu sambil menuliskan history pasien. Masih belum puas dengan segala informasi tentang kondisi gadis yang belum dikenalnya, Arsen terus melontarkan pertanyaan yang seharusnya dia ketahui sendiri. Pendidikan itu pernah dia dapatkan di bangku kuliah."Apa yang harus dilakukan untuk mempertahankan agar janinnya tetap bertahan? Maaf, saya bertanya banyak hal, soalnya saya sendiri tidak tahu kronologis kenapa gadis itu bisa ada di tengah rel dan mencoba melakukan bunuh diri."Mendengar kalimat terakhir dari bibir itu, dokter senior berkacamata tersebut mengalihkan pandangan sekilas ke gadis yang sedang memejamkan mata lalu mata itu dilempar ke wajah Arsen, bisa terlihat dengan jelas, Arsen menyimpan rasa khawatir di dalam hatinya."Istirahat yang cukup dan akan saya beri obat untuk menguatkan. Tetapi tetap harus diperhatikan dosisnya. Si ibu harus dijaga mental dan emosinya, batinnya terguncang. Mungkin kalau ada masalah, bisa diselesaikan dengan kepala dingin.""Baik, Dok. Terima kasih."Bersamaan dengan kalimat terakhir, pria berjas putih itu pun pamit dan keluar dari ruang yang serba putih itu.Pria yang menolong Hana pun berjalan menghampiri tubuh yang kini terkulai lemah di kasur. Selang infus yang menancap punggung tangan, membuat tubuhnya tidak kekurangan cairan. Luka di kaki dan tangan sudah diperban. Tidak ada luka yang serius kecuali luka di hatinya.Arsen yang berdiri tak jauh dari kasur itu pun merasa iba dengan insiden yang baru saja disaksikan walau dia sendiri tidak tahu persis apa penyebab Hana melakukan perbuatan itu. Namun, mengetahui janin yang bersemayam di rahimnya dan wajah pucat, dia menarik kesimpulan ada masalah serius dalam hidupnya. Apalagi dia tak sengaja membaca isi pesan WA dari kontak yang diberi nama 'sayang'.Di sana, dia membaca pesan terakhir Hana, menanyakan keberadaan sang kekasih yang tak mendapatkan balasan apapun. Bukan sengaja kepo membuka pesan di aplikasi hijau itu, dia hanya ingin mencari keluarga atau teman yang bisa dihubungi agar mereka mengetahui dan mendatangi pasien tersebut. Untung saja, ponsel Hana tidak terkunci dengan kode sandi, sehingga dia dengan leluasa membuka dan mencari tahu di benda pipih itu.Tak lama Arsen membetulkan posisi berdiri sebelum gadis delapan belas tahun itu membuka mata perlahan. Menghela napas lega ketika Arsenio mendapati mata indah mengerjap beberapa kali dan menanyakan keberadaannya."Kamu ada di rumah sakit." Itulah jawaban Arsenio dan tak menemui sahutan apapun lagi setelahnya.Tatapan mata Hana benar-benar kosong, tidak ada gairah untuk melanjutkan sebuah kehidupan. Tiba-tiba dia teringat kembali kepingan kejadian sebelum dia berada di tengah rel untuk melenyapkan penderitaannya. Dia putus asa, frustasi dan merasa tak berguna lagi. Dia pun merasa ji jik dengan tubuhnya, berulang kali dia mengutuk diri sendiri yang terlalu bodoh mempercayai semua gombalan dan rayuan Mahendra."Kenapa nolongin aku? Harusnya biarkan aku pergi." Suara parau terdengar, ia menangis lagi sambil meremas selimut putih dengan kuat, menahan amarah yang akan meletup kembali."Egois kalau kamu mau mati tetapi ngajak bayi yang ada di perutmu ikut mati bersamamu."Jawaban bijak Arsen memang sedikit menusuk hatinya, tetapi dia bergeming dan tak mau melihat wajah lawan bicaranya. Dia tak sanggup menghadapi apapun yang ada di depan mata, terutama ibu yang sudah melahirkannya. Wanita senja yang belum tahu menahu keadaannya. Bahkan sesungguhnya jika boleh, ia tak ingin memberitahukan yang sejatinya akan membuat hati ibu terluka."Jika ingin mengakhiri hidupmu, tunggu sampai bayi yang ingin hidup itu dilahirkan."Lagi, pria dua puluh dua tahun itu melemparkan kalimat yang menyentil hati kecil Hana. Bagaimana dia begitu tega mengakhiri hidup sementara ada mahluk lain yang ingin memulai hidupnya."Dia tak tahu apa masalahmu sehingga pada akhirnya kamu memilih untuk mengakhirinya dengan cara yang dilarang Tuhan. Tolong, jangan libatkan dia. Jika dia bisa memilih, bayi itu pun tak mau berada di rahim ibu yang pesimis sepertimu. Sempit akal."Kalimat demi kalimat Arsen ucapkan tetapi hanya isakkan tangis yang dia dapatkan dari gadis bermata bundar. Lagi, Arsen mengungkapkan pernyataan dan setelah itu, kedua sahabat Hana pun dapat menjemputnya. Iya, Arsen menghubungi Annisa, teman chatting Hana terakhir selain kontak dengan nama 'sayang' itu."Maaf aku bukan ingin mencampuri urusanmu, hanya saja, aku sebagai dokter di sini sangat menghargai nyawa pasien. Banyak di antara pasien yang aku temui setiap hari, mereka berjuang untuk bisa tetap hidup. Sementara kamu, ingin mengakhirinya tanpa pikir panjang. Tidak memikirkan bagaimana perasaan orang di sekitar saat mereka kehilanganmu. Orangtua, saudara, kerabat, dan teman-temanmu."Tidak sampai di situ, hati Hanami semakin hancur ketika dia pulang dari rumah sakit malam hari. Dia mendapati wajah sang ibu yang menyiratkan kedukaan yang amat terdalam. "Hana, ini apa? Ini punya siapa? Kamu hamil? Siapa laki-laki itu?" Bertubi-tubi pertanyaan ibu tanpa menjeda. Dengan tangan terulur ke arahnya, ibu memperlihatkan benda tes kehamilan yang tergambar dua garis. Jangankan memberi jawaban, gadis berambut tipis itu bahkan tak berani mengangkat kepala untuk menatap wajah sang ibu yang memendam amarah, mungkin sebentar lagi akan meledak seperti bom waktu. Wajah senja yang selalu menenangkan kini memerah, beliau tak bisa menyembunyikan rasa kekecewaannya."Hana, jawab ibu, siapa laki-laki itu?" Ibu mengulang pertanyaan terakhirnya dengan nada dinaikkan satu oktaf, hanya ingin mengetahui siapa pria itu. Seketika hati Hana semakin menciut dan tersayat ketika sang ibu bukan lagi menanyakan kepemilikan benda itu, tetapi seolah sudah mengetahui bahwa dialah pemilik benda itu.
Bab 6Pasca kejadian itu, lambat laun Hanami menjelma menjadi manusia baru. Semangatnya bangkit lagi ketika Arsenio selalu mengisi baterai energi positif untuknya. Mereka jarang ketemu karena padat jadwal si pria berkacamata, yang kini sedang magang di salah satu rumah sakit Jakarta. Dia tengah menjalankan tugas kampus sebagai koas, salah satu syarat untuk mendapatkan titel dokter."Jika ada perlu apa-apa, jangan sungkan untuk mencariku." Itulah katanya."Siap, Pak Dokter." Mereka selalu bertukar kabar via aplikasi pesan berlogo telepon hijau di sela-sela waktu senggang. Sesekali Arsenio mengunjunginya, tetapi hanya sampai di teras saja. Itu juga hanya lima menit. Setelah mengantar buah atau cemilan untuknya, pria itu pun langsung pamit."Ibu hamil butuh buah dan cemilan cokelat untuk menenangkan pikiran dan perasaannya."Ada suatu kala ketika Hana menolak pemberiannya karena merasa tak enak hati tetapi pria itu malah ngambek. Arsenio terlalu baik, padahal Hana merasa tidak berbuat a
"Selamat ya, Bun. Kaindra memang anak berbakat, bisa mendapatkan juara 1 di tingkat kecamatan untuk kategori pemain piano cilik." Ucapan selamat dari kepala sekolah siang tadi setelah bocah enam tahun itu selesai mengikuti lomba yang diselenggarakan Diknas tingkat kecamatan dan mendapatkan peringkat satu. Tak heran memang, putra Hana yang bernama lengkap Kaindra Naoki sudah beberapa kali mengikuti lomba piano dan selalu membawa piala. Selain membanggakan sekolahnya, ia pun membuat mama dan nenek puas dengan prestasi yang dia raih."Terima kasih, Bu."Hana membalas jabatan tangan yang diulurkan ibu kepala sekolah dengan senyuman lebar. Bangga? Iya, tentu saja, pantas jika Kai bisa menerima beasiswa di SD Swasta tersebut, bukan karena prestasi di bidang musik saja, anak laki-laki itu juga berprestasi di bidang pendidikan."Dua hari lagi, Kaindra akan mewakili sekolah kami mengikuti lomba piano tingkat Kotamadya," ucap wanita berkacamata itu setelah melepas jabatan tangan dan mempersi
"Hai, sorry, udah lama?" Masih mengenakan jaket jeans, Hana menghampiri Elena yang sudah duduk manis menunggu kedatangannya."Baru, baru lima belas menit." Dia berucap sambil mengaduk es lemon tea yang sudah dipesan, mengusir kejenuhan dan haus.Hana tersenyum tipis, menarik kursi dan duduk di hadapannya. Sore itu, kafe belum begitu ramai pengunjung, apalagi hari ini bukan hari pekan, biasanya kafe nuansa kopi itu agak sepi."Ada apa, Len?" Tanpa basa-basi, Hana langsung bertanya maksud wanita yang baru dikenal setahun belakang. Dia tak ingin berlama-lama di tempat itu.Awal perkenalan mereka dari sosial media. Elena, si dokter gigi memesan kue ulang tahun untuk keponakannya dari Instagram Hana. Iya, gadis dua puluh lima tahun itu membuka usaha kue online. Kue ulang tahun hasil jepretan Arsenio diunggah dan dipamerkan di halaman aplikasi tersebut. Selain ada kue basah milik ibunya, kue brownis kukus juga dijual di sana. Lantaran insiden kehamilanya, Hana tidak bisa melanjutkan kuliah
Melajukan kendaraan roda dua miliknya, Hana pulang setelah selesai mencatat dan mengerti keinginan dokter gigi itu. Langit sudah mulai menghitam, dia tak ingin terjebak oleh pertemuan dengan beberapa preman yang sering mangkal di warung maksiat, persimpangan tiga daerah dia tinggal. Jarak antara tempat itu dengan gang rumahnya kurang lebih tiga ratus meter. Namun jika ingin masuk ke gang rumah, jalan satu-satunya adalah melewati tempat itu. Biasanya, para pria bertato tersebut akan berada di sana kisaran jam delapan atau sembilan sampai dini hari. Entah apa saja yang dilakukan mereka di sana. Mungkin mencicipi minuman haram dan menikmati surga dunia yang penuh lumur dosa. Tak jarang, Hana melihat wanita PSK mangkal di sana melakukan aksinya. Dengan detak jantung yang berpacu tak seperti biasa, Hana menancapkan gas demi mempercepat roda motor itu berputar saat berada di sekitar warung. Dia tak ingin kedatangannya disadari para preman yang akhirnya motor yang dilajukan akan dicegat ol
"Siapa?"Dia bertanya karena penasaran. Aldo menaikkan kedua bahu bersamaan dan menautkan kedua alis tebalnya. "Besok kalau ada dia, kukasih kode dan kamu lihat aja sendiri siapa bocah itu.""Mungkin besok aku tak datang ke sini. Aku ada penjurian lomba anak SD se-Jakarta. Temanku, Pak Darma besok ada halangan jadi aku yang akan menggantikan posisi itu."Aldo mengangguk paham dengan hobi sahabatnya. Mahendra memang beberapa kali mengambil posisi juri di sela-sela kesibukannya mengurus perusahaan sang papa yang sudah pensiun. Iya, sejak empat tahun kepulangannya di tanah air, Mahendra telah mengambil alih perusahaan, menjabat sebagai direktur dan Aldo sebagai general manager."Itu bukannya Annisa dan Laina?" Dagu Aldo terangkat ke arah dua wanita berseragam rapi berwana merah yang baru masuk ke dalam kafe. Ekor mata Mahendra yang tadi menundukkan kepala pun ikut menyoroti wanita yang sedang mengambil posisi duduk lalu memanggil pelayan. "Teman Hana, kan? Ke sana gih, tanya-tanya ba
"Maaf, Dra. Kami sudah lama tak bertemu Hana. Kami bahkan tak tahu di mana dia tinggal sekarang." Dengan tatapan datar yang diberikan, Laina memberi informasi yang melemaskan kaki dan tubuh Mahendra. Harapan yang dipupuknya tadi pun terkikis perlahan. Ke mana lagi dia harus mencari sang kekasih yang belum diputuskan hubungannya. Mahendra masih menatap Anissa dan Laina dengan ragu, ada rasa curiga di balik pengakuan yang baru saja mereka lontarkan.***"Busyet dah, untung saja dia percaya, Han. Kita sampe bingung merangkai kata bohong agar dia tidak mencecar pertanyaan yang lain."Laina berujar sambil mencomot risol sayur yang disajikan Hana saat kedua temannya berkunjung ke kontrakan dan memberitahu pertemuan tak terduga tadi siang dengan Mahendra."Kalau gitu, mulai sekarang kalian batasi kunjungan ke sini. Aku tahu betul dia. Dia tak mudah percaya dengan omongan orang. Dia pasti akan cari tahu. Btw, tadi wajah kalian cukup meyakinkan nggak?"Jujur, hati Hana terasa ngilu seperti di
Keluhan itu akhirnya dikeluarkan dari mulut Hana. Sudah lama dia menahan masalah orderan yang sepi, sudah beberapa kali pula dia menaruh keinginan untuk bekerja kembali seperti dulu. Walau hanya sebagai pelayan toko, restoran atau kasir di salah satu toko kelontong. Dia wanita tangguh, apa pun akan dilakukan demi tiga perut yang perlu diisi setiap hari. Hanya saja memang, dunia belum memihak kepadanya, tak bisa menjanjikan pekerjaan yang berlevel tinggi, mengingat ijasah yang dikantongi cuma tingkat SMA.Dulu niat dia berhenti dari pekerjaan sebelumnya karena Kaindra yang masih membutuhkan ASI dan kasih sayang di dua tahun pertamanya. Setelah itu, Hana mencoba mengais rejeki di bisnis kue tetapi fasilitas pemasarannya kurang memadai. Rata-rata orang yang memesan kuenya adalah kenalan dari Arsenio dan kedua temannya. "Aku pengen kerja lho sekarang. Kalau kalian ada info tentang lowongan kerja, aku mau, ya. Penghasilan yang didapat lebih menjamin tiap bulannya. Ada terus uangnya meski
"Han! Hana!"Teriakan itu mengalihkan perhatian Hana dan Mahendra ke arah pintu. Kaki mereka maju sampai di depan pintu dan mendapatkan Clarisa yang baru pulang, entah dari mana. Namun, tak lama Mommy menarik tangannya seakan memaksa untuk mengikuti langkahnya. Ada satu pria yang berkacamata hitam, tak asing bagi mereka, pun ikut serta mereka keluar dari pagar."Kayak kenal laki-laki itu, siapa, ya?"Jari Hana menunjuk ke arah mereka sambil berusaha memeras otaknya untuk mengingat."Jonathan.""Jonathan?" Hana masih menerka alasan pria itu datang ke rumah. Siapa yang mau ditemuinya?"Jonathan itu sepupu aku, tapi jauh banget. Anaknya sepupu Mommy. Mommy dan mamanya sepupu tiri. Jadi hubungannya agak jauh, beda kakek.""Terus, dia ke sini, mau ngapain? Cari kamu? Lalu, ngapain dia ikut mereka keluar juga?"Sambil bersandar di dinding, Mahendra tersenyum geli dan mengerti arti dari sikap yang Mommy lakukan barusan. Beliau sengaja mengajak Clarisa ikut dengannya agar memberi ruang dan w
"Aku bisa siapin sendiri, Mas. Kamu tidur lagi, deh. Besok kamu, kan, mau ke kantor. Aku nggak mau dengar dari Aldo kalau kamu tidur di sofa saat jam kerja."Pria itu berdecak dan langsung duduk di samping istri yang sedang bersandar di sofa kamar. Dia tersenyum kala memandang bayi mungil yang sedang menutup mata sambil mengisap susu. "Lahap banget." Dia menoel pipi mulus dan gembul itu dan enggan menanggapi omelan istrinya."Mas, tidur sana, aku bisa, kok.""Nggak apa-apa, Sayang."Sekilas dia mencium pelipis Hana lalu melanjutkan ucapannya. "Aku ingin merasakan menjadi ayah yang siap begadang. Hal yang tidak pernah aku alami saat Kai masih bayi.""Tapi kalau besok kamu ....""Tidak masalah kalau aku curi waktu untuk istirahat bentar di kantor. Tidak ada yang bisa mengatur termasuk Aldo. Aku bos di perusahaanku. Siapa yang berani pecat aku? Irma? Atau Aldo?""Tapi dengan kamu tidur di saat jam kantor
"Kenapa? Nyeri lagi?""Aneh, nih. Sakitnya sudah mulai rutin dan jaraknya berdekatan. Prediksiku ini sudah mulai pembukaan.""Kita ke rumah sakit, ya?""Apa nggak tunggu sampe ...."Belum selesai berucap, Hana mengelus perutnya sambil menahan sakit."Tunggu? Sudah semakin intens gini, masih mau nunggu? Nggak, ayo sekarang aku antar ke rumah sakit. Kelahiran anak kedua biasanya lebih cepat dari anak pertama."Tak menunggu lama, Mahendra mengganti pakaian dan membawa tas keperluan Hana dan calon bayi yang sudah disiapkan jika sewaktu-waktu harus bergegas ke rumah sakit. Sementara Hana tidak mengganti baju karena sudah mengenakan daster."Aku mau proses kelahirannya normal, ya, Mas."Hana masih sempat me-request saat sudah duduk di jok depan, samping Mahendra. Sebelum menginjak pegal gas, sang suami menoleh dan mengelus pucuk kepalanya."Iya, mudah-mudahan bisa. Kita dengar apa kata Dokter Rissa saja. Beli
"Ini kamu minum dulu, dong, Sayang. Pembukuan beginian semestinya Luna aja yang mengerjakan. Kamu harusnya istirahat yang cukup. Apalagi tadi malam, katanya nggak bisa tidur pulas karena punggungnya sakit."Segelas cangkir berisi susu hangat khusus untuk ibu hamil diletakkan di atas meja kamar. Hana tak menyadari kedatangan suaminya ke kamar karena terlalu fokus dengan laptop. Sejak pulang liburan dari Hongkong, mereka beraktifitas seperti biasa. Mahendra ke kantor dan Hana ke toko bakery. Tidak ada drama pulang telat, Mahendra selalu menjemput istrinya sesudah jam magrib. Lalu, mereka akan pulang bersama dan ibu tetap tinggal di ruko. Percuma terus mengajaknya untuk tinggal bersama, beliau akan tetap menolak dengan alasan yang sama."Ibu lebih nyaman tinggal di sini bersama Luna dan Sinta."Kalau sudah begitu, anak dan menantunya hanya bisa menghela napas pasrah. Namun, keadaan ibu tetap dipantau dari kamera pemindai yang dihubungkan dengan pons
Bab 25Pesawat Airbus Garuda Indonesia mendarat dengan selamat di aspal Bandara Udara Internasional Hong Kong jam tujuh lewat dua puluh pagi hari. Waktu Jakarta dengan negara tersebut hanya berbeda satu jam lebih lambat.Mereka keluar dari pesawat menuju ke ruang pengambilan bagasi dan butuh waktu kurang lebih satu jam. Di sana mereka melakukan registrasi ulang dengan mengisi formulir. Setelahnya, mereka menggunakan transportasi MRT menuju Disneyland Resort Line dengan jarak kurang lebih 12.7KM. Tujuan pertama mereka adalah check in Hong Kong Disneyland Hotel yang sudah di-booking seminggu yang lalu di Jakarta. Lantaran belum jam 12, mereka tak bisa masuk ke kamar, koper dititipkan ke hotel.Di kota Lantau, Hong Kong Disneyland Hotel berada di tepi laut. Pemandangan itu sangat menenangkan hati. Hari kedua, mereka akan mengunjungi pantai itu, rencananya. Dengan antusias yang semakin menggebu, mereka berkendara berjarak empat menit menuju Hong Kong Disn
"Aku sudah tanya dokter Rissa."Hana semakin melebarkan pupil mata ketika apa yang menjadi bahan pertanyaan di kepala sudah dijawab suaminya."Jangan kaget, aku nemu pertanyaan itu di bola matamu. Mata itu seolah berbicara denganku.""Lalu, apa lagi pertanyaan yang ada di mataku? Buktikan kalau kamu memang lihai membaca pertanyaan di mataku."Hana sengaja melotot agar suaminya bisa leluasa melihat kedalaman matanya. Tidak ada pertanyaan lain lagi, Hana hanya ingin mengetes apa jawaban suaminya.Pria itu tak langsung menyahut. Kedua matanya memicing, pura-pura fokus mencari pertanyaan di sana. Dia mengambil dagu dengan tangan kanan lalu menggeser tepat di depan wajahnya."Yang kulihat tidak apa pertanyaan apa-apa di sana, tetapi ada sebuah perintah."Hana yang tak bisa meredam gejolak yang bergemuruh di dada, pun melipat dahinya. Jarak wajah mereka tinggal satu jengkal. Itu yang membuat Hana hampir lupa cara bernapas yang
Mahendra berucap setelah cangkir putih sedikit menjauhi mulutnya. Beberapa detik kemudian, dia meneguk lagi hingga minuman itu kandas."Kamu bisa andalkan aku tanpa menyewa mereka. Aku selalu siap ada untuk mereka. Kamu tak lupa, kan, tujuh tahun aku pernah menjadi —""Ya, ya. Jangan kamu lanjutkan, aku tak suka. Tapi saranku jangan menyalahgunakan niat baikmu yang dulu-dulu. Mereka ada aku sekarang. Aku tidak akan segan bertarung kepadamu jika —""Jika kamu tak ingin aku merebut Hana, maka perjuangkanlah. Jika sedikit saja kamu lengah, siapkan diri untuk merasakan kehilangannya."Entah bagaimana mereka ini. Padahal, Arsenio sudah sepakat untuk mengundurkan diri dan berhenti berjuang mengambil hati Hana. Namun, di sesi lain, dia akan kembali merebut jika Mahendra lengah dan gagal membuat Hana bahagia.Hal itu membuat Mahendra harus tetap waspada. Meski iya, sekarang seutuhnya raga Hana telah digenggam, tetapi tidak menutup kemungkinan wan
"Time is money, Bro. Kuharap kamu bisa menghargai waktu."Seperti biasa, nada bicara ketus Mahendra terdengar, tetapi tidak membuat Arsen kaget. Dia sudah sering mendapati mata sinis, sikap dingin dan aura tak suka darinya.Percakapan mereka terjeda ketika seorang pelayan mengantar menu. Arsenio memesan cappunico panas. Lalu, orang itu pergi meninggalkan meja."Ada apa kamu memanggilku?"Tak ingin mengatakan alasan keterlambatan karena mengurusi pasiennya, Arsen langsung ke permasalahannya. Dia sedikit heran dengan isi pesan Mahendra di aplikasi hijau yang dikirim tadi pagi. "Apa ada waktu hari ini? Temui aku di kafe cinta rasa jam 1 siang nanti."Kendati belum tentu Arsen menyetujui janji temu itu, isi pesannya terkesan mengharuskan."Tentang istriku, Hana.""Ya. Ada apa?"Dalam beberapa detik keheningan itu tercipta dan mereka saling melempar pandang. Namun, sedikit berbeda sinar mata yang diberikan
Suara yang menggebu-gebu membuat Hana takut. Dia belum paham sepenuhnya, tetapi mencoba mengerti ucapan itu. Dia menarik kesimpulan sendiri jika Nadhira adalah penggemar suaminya, tetapi sejak kapan? Selama bersama Mahendra, dia belum pernah merasa mendapat saingan kecuali Elena."Andai kau mati, akulah yang akan mengganti posisimu!"Di akhir kalimat itu, Nadhira tertawa terbahak-bahak, menggelegar ruangan sempit itu. Wanita itu meronta saat tubuhnya ditahan untuk maju. Dia ingin meraih dan menjambak rambut Hana lagi seperti saat di dapur tempo lalu. Melihat situasi tak memungkinkan, petugas menarik paksa tubuh tersangka dengan sigap. "Maaf, Bapak Ibu."Petugas memberi isyarat agar mereka boleh keluar dan tersangka akan dikembalikan ke sel karena situasi mulai kacau. Mahendra mengangguk paham dan segera membawa Hana keluar dari sana."Kau memang pantas mati, aku pasti akan senang sekali."Samar-samar terdengar lagi kicauan Nadhira yang diakhiri dengan tawaan yang sangat menakutkan."