"Hai, sorry, udah lama?" Masih mengenakan jaket jeans, Hana menghampiri Elena yang sudah duduk manis menunggu kedatangannya."Baru, baru lima belas menit." Dia berucap sambil mengaduk es lemon tea yang sudah dipesan, mengusir kejenuhan dan haus.Hana tersenyum tipis, menarik kursi dan duduk di hadapannya. Sore itu, kafe belum begitu ramai pengunjung, apalagi hari ini bukan hari pekan, biasanya kafe nuansa kopi itu agak sepi."Ada apa, Len?" Tanpa basa-basi, Hana langsung bertanya maksud wanita yang baru dikenal setahun belakang. Dia tak ingin berlama-lama di tempat itu.Awal perkenalan mereka dari sosial media. Elena, si dokter gigi memesan kue ulang tahun untuk keponakannya dari Instagram Hana. Iya, gadis dua puluh lima tahun itu membuka usaha kue online. Kue ulang tahun hasil jepretan Arsenio diunggah dan dipamerkan di halaman aplikasi tersebut. Selain ada kue basah milik ibunya, kue brownis kukus juga dijual di sana. Lantaran insiden kehamilanya, Hana tidak bisa melanjutkan kuliah
Melajukan kendaraan roda dua miliknya, Hana pulang setelah selesai mencatat dan mengerti keinginan dokter gigi itu. Langit sudah mulai menghitam, dia tak ingin terjebak oleh pertemuan dengan beberapa preman yang sering mangkal di warung maksiat, persimpangan tiga daerah dia tinggal. Jarak antara tempat itu dengan gang rumahnya kurang lebih tiga ratus meter. Namun jika ingin masuk ke gang rumah, jalan satu-satunya adalah melewati tempat itu. Biasanya, para pria bertato tersebut akan berada di sana kisaran jam delapan atau sembilan sampai dini hari. Entah apa saja yang dilakukan mereka di sana. Mungkin mencicipi minuman haram dan menikmati surga dunia yang penuh lumur dosa. Tak jarang, Hana melihat wanita PSK mangkal di sana melakukan aksinya. Dengan detak jantung yang berpacu tak seperti biasa, Hana menancapkan gas demi mempercepat roda motor itu berputar saat berada di sekitar warung. Dia tak ingin kedatangannya disadari para preman yang akhirnya motor yang dilajukan akan dicegat ol
"Siapa?"Dia bertanya karena penasaran. Aldo menaikkan kedua bahu bersamaan dan menautkan kedua alis tebalnya. "Besok kalau ada dia, kukasih kode dan kamu lihat aja sendiri siapa bocah itu.""Mungkin besok aku tak datang ke sini. Aku ada penjurian lomba anak SD se-Jakarta. Temanku, Pak Darma besok ada halangan jadi aku yang akan menggantikan posisi itu."Aldo mengangguk paham dengan hobi sahabatnya. Mahendra memang beberapa kali mengambil posisi juri di sela-sela kesibukannya mengurus perusahaan sang papa yang sudah pensiun. Iya, sejak empat tahun kepulangannya di tanah air, Mahendra telah mengambil alih perusahaan, menjabat sebagai direktur dan Aldo sebagai general manager."Itu bukannya Annisa dan Laina?" Dagu Aldo terangkat ke arah dua wanita berseragam rapi berwana merah yang baru masuk ke dalam kafe. Ekor mata Mahendra yang tadi menundukkan kepala pun ikut menyoroti wanita yang sedang mengambil posisi duduk lalu memanggil pelayan. "Teman Hana, kan? Ke sana gih, tanya-tanya ba
"Maaf, Dra. Kami sudah lama tak bertemu Hana. Kami bahkan tak tahu di mana dia tinggal sekarang." Dengan tatapan datar yang diberikan, Laina memberi informasi yang melemaskan kaki dan tubuh Mahendra. Harapan yang dipupuknya tadi pun terkikis perlahan. Ke mana lagi dia harus mencari sang kekasih yang belum diputuskan hubungannya. Mahendra masih menatap Anissa dan Laina dengan ragu, ada rasa curiga di balik pengakuan yang baru saja mereka lontarkan.***"Busyet dah, untung saja dia percaya, Han. Kita sampe bingung merangkai kata bohong agar dia tidak mencecar pertanyaan yang lain."Laina berujar sambil mencomot risol sayur yang disajikan Hana saat kedua temannya berkunjung ke kontrakan dan memberitahu pertemuan tak terduga tadi siang dengan Mahendra."Kalau gitu, mulai sekarang kalian batasi kunjungan ke sini. Aku tahu betul dia. Dia tak mudah percaya dengan omongan orang. Dia pasti akan cari tahu. Btw, tadi wajah kalian cukup meyakinkan nggak?"Jujur, hati Hana terasa ngilu seperti di
Keluhan itu akhirnya dikeluarkan dari mulut Hana. Sudah lama dia menahan masalah orderan yang sepi, sudah beberapa kali pula dia menaruh keinginan untuk bekerja kembali seperti dulu. Walau hanya sebagai pelayan toko, restoran atau kasir di salah satu toko kelontong. Dia wanita tangguh, apa pun akan dilakukan demi tiga perut yang perlu diisi setiap hari. Hanya saja memang, dunia belum memihak kepadanya, tak bisa menjanjikan pekerjaan yang berlevel tinggi, mengingat ijasah yang dikantongi cuma tingkat SMA.Dulu niat dia berhenti dari pekerjaan sebelumnya karena Kaindra yang masih membutuhkan ASI dan kasih sayang di dua tahun pertamanya. Setelah itu, Hana mencoba mengais rejeki di bisnis kue tetapi fasilitas pemasarannya kurang memadai. Rata-rata orang yang memesan kuenya adalah kenalan dari Arsenio dan kedua temannya. "Aku pengen kerja lho sekarang. Kalau kalian ada info tentang lowongan kerja, aku mau, ya. Penghasilan yang didapat lebih menjamin tiap bulannya. Ada terus uangnya meski
Sekilas meliriknya dengan ekor mata, Hana bisa memastikan pria itu kini sukses meraih impian yang pernah ingin digenggam.Kemeja dongker dengan dasi tersimpul elegan di lehernya, lengan kemeja panjang yang dilipat sampai ke siku. Dia pun melihat sepatu pantofel hitam yang mengkilat dan rambut disisir ke samping dengan rapi. Semua tampak sempurna melekat di tubuh tegapnya. Berbeda dengannya yang hanya mengenakan kaos oblong dan celana sobek di lutut. Jaket jeans yang menemani saat dia melaju dengan motor matic kesayangannya. Rambut dikuncir asal di belakang dengan wajah berlumuran minyak. Kusam. Pemandangan itu seperti langit dan bumi."Hana." Pria itu mencoba mengikis jarak di antara mereka setelah aksi diam beberapa detik, memahami pertemuan yang tak terduga.Dengan kedua tangan menenteng plastik berisi bahan yang baru ia belanjakan dari warung depan, Hana berjalan mendekati pintu. Debaran jantung kian bertalu, dia tak suka keadaan seperti itu. Mencoba berpura-pura tak peduli deng
Bibir mungil Kai manyun setelahnya, dia kesal dengan suara gaduh. Dia anak pintar yang suka dengan ketenangan. Bisa saja karena efek musik yang sering dimainkan kebanyakan adalah alunan lagu yang menenangkan."Mama tidak kenal, Kai." Hana berdusta di balik senyuman tipis sambil mengusap lembut kepalanya setelah mereka merenggangkan pelukan."Apa dia mengganggu Mama? Kalau iya, nanti Kai hajar orang itu."Lucu sekali dia, masih kecil sudah bisa menjaga dan tahu cara menyayangi orang yang telah melahirkannya. "Tidak, Kai. Tadi orang itu hanya tanya alamat." Masih menggunakan nada tenang, Hana memberi jawaban untuk bocah tampan dengan rambut tipis, mirip dengannya. "Tapi tadi Kai dengar Mama teriak maling, apa Mama yakin dia tidak melukaimu? Katakan saja, Kai pasti akan memberi pelajaran kepadanya."Haduh, anak seperti Kai memang beda dari bocah pada umumnya. Sejak ia lahir tanpa ada sosok ayah di sampingnya, Kai diajarkan nenek dan ibu menjadi anak yang super mandiri. Dia pun diberit
Menghindari dan bersembunyi adalah jalan ninja Hana pagi itu. Dia tak mau ketahuan Mahendra dengan kehadirannya di sana. Apalagi ada Kaindra yang ikut turut serta dalam perlombaan. Namun, Hana bisa memastikan kalau Mahendra tidak akan tahu jika Kaindra adalah anak biologisnya. Pasalnya, mereka berdua belum pernah saling mengenal dan tahu statusnya meski Annisa dan Laina membenarkan kalau mata dan hidung Kai merupakan duplikat dari pria itu. Mirip sekali, kata mereka.Ah, bukankah di dunia ini kita sering menemukan orang yang mirip dengan kita meski beda ayah dan ibu?Hana berjalan ke arah pilar besar yang ada di beberapa titik gedung. Di balik pilar batu yang menjulang sampai ke atas, dia cukup merasa aman karena tubuh kurusnya bisa bersembunyi di sana. Sorot mata indah memindai tubuh Mahendra yang sedang masuk bersisian dengan beberapa pria lain. Iris mata itu terus mengamati langkah kaki sampai tubuh dewasa tersebut semakin menghilang dari pandangannya.Hana bernapas lega seraya men
"Han! Hana!"Teriakan itu mengalihkan perhatian Hana dan Mahendra ke arah pintu. Kaki mereka maju sampai di depan pintu dan mendapatkan Clarisa yang baru pulang, entah dari mana. Namun, tak lama Mommy menarik tangannya seakan memaksa untuk mengikuti langkahnya. Ada satu pria yang berkacamata hitam, tak asing bagi mereka, pun ikut serta mereka keluar dari pagar."Kayak kenal laki-laki itu, siapa, ya?"Jari Hana menunjuk ke arah mereka sambil berusaha memeras otaknya untuk mengingat."Jonathan.""Jonathan?" Hana masih menerka alasan pria itu datang ke rumah. Siapa yang mau ditemuinya?"Jonathan itu sepupu aku, tapi jauh banget. Anaknya sepupu Mommy. Mommy dan mamanya sepupu tiri. Jadi hubungannya agak jauh, beda kakek.""Terus, dia ke sini, mau ngapain? Cari kamu? Lalu, ngapain dia ikut mereka keluar juga?"Sambil bersandar di dinding, Mahendra tersenyum geli dan mengerti arti dari sikap yang Mommy lakukan barusan. Beliau sengaja mengajak Clarisa ikut dengannya agar memberi ruang dan w
"Aku bisa siapin sendiri, Mas. Kamu tidur lagi, deh. Besok kamu, kan, mau ke kantor. Aku nggak mau dengar dari Aldo kalau kamu tidur di sofa saat jam kerja."Pria itu berdecak dan langsung duduk di samping istri yang sedang bersandar di sofa kamar. Dia tersenyum kala memandang bayi mungil yang sedang menutup mata sambil mengisap susu. "Lahap banget." Dia menoel pipi mulus dan gembul itu dan enggan menanggapi omelan istrinya."Mas, tidur sana, aku bisa, kok.""Nggak apa-apa, Sayang."Sekilas dia mencium pelipis Hana lalu melanjutkan ucapannya. "Aku ingin merasakan menjadi ayah yang siap begadang. Hal yang tidak pernah aku alami saat Kai masih bayi.""Tapi kalau besok kamu ....""Tidak masalah kalau aku curi waktu untuk istirahat bentar di kantor. Tidak ada yang bisa mengatur termasuk Aldo. Aku bos di perusahaanku. Siapa yang berani pecat aku? Irma? Atau Aldo?""Tapi dengan kamu tidur di saat jam kantor
"Kenapa? Nyeri lagi?""Aneh, nih. Sakitnya sudah mulai rutin dan jaraknya berdekatan. Prediksiku ini sudah mulai pembukaan.""Kita ke rumah sakit, ya?""Apa nggak tunggu sampe ...."Belum selesai berucap, Hana mengelus perutnya sambil menahan sakit."Tunggu? Sudah semakin intens gini, masih mau nunggu? Nggak, ayo sekarang aku antar ke rumah sakit. Kelahiran anak kedua biasanya lebih cepat dari anak pertama."Tak menunggu lama, Mahendra mengganti pakaian dan membawa tas keperluan Hana dan calon bayi yang sudah disiapkan jika sewaktu-waktu harus bergegas ke rumah sakit. Sementara Hana tidak mengganti baju karena sudah mengenakan daster."Aku mau proses kelahirannya normal, ya, Mas."Hana masih sempat me-request saat sudah duduk di jok depan, samping Mahendra. Sebelum menginjak pegal gas, sang suami menoleh dan mengelus pucuk kepalanya."Iya, mudah-mudahan bisa. Kita dengar apa kata Dokter Rissa saja. Beli
"Ini kamu minum dulu, dong, Sayang. Pembukuan beginian semestinya Luna aja yang mengerjakan. Kamu harusnya istirahat yang cukup. Apalagi tadi malam, katanya nggak bisa tidur pulas karena punggungnya sakit."Segelas cangkir berisi susu hangat khusus untuk ibu hamil diletakkan di atas meja kamar. Hana tak menyadari kedatangan suaminya ke kamar karena terlalu fokus dengan laptop. Sejak pulang liburan dari Hongkong, mereka beraktifitas seperti biasa. Mahendra ke kantor dan Hana ke toko bakery. Tidak ada drama pulang telat, Mahendra selalu menjemput istrinya sesudah jam magrib. Lalu, mereka akan pulang bersama dan ibu tetap tinggal di ruko. Percuma terus mengajaknya untuk tinggal bersama, beliau akan tetap menolak dengan alasan yang sama."Ibu lebih nyaman tinggal di sini bersama Luna dan Sinta."Kalau sudah begitu, anak dan menantunya hanya bisa menghela napas pasrah. Namun, keadaan ibu tetap dipantau dari kamera pemindai yang dihubungkan dengan pons
Bab 25Pesawat Airbus Garuda Indonesia mendarat dengan selamat di aspal Bandara Udara Internasional Hong Kong jam tujuh lewat dua puluh pagi hari. Waktu Jakarta dengan negara tersebut hanya berbeda satu jam lebih lambat.Mereka keluar dari pesawat menuju ke ruang pengambilan bagasi dan butuh waktu kurang lebih satu jam. Di sana mereka melakukan registrasi ulang dengan mengisi formulir. Setelahnya, mereka menggunakan transportasi MRT menuju Disneyland Resort Line dengan jarak kurang lebih 12.7KM. Tujuan pertama mereka adalah check in Hong Kong Disneyland Hotel yang sudah di-booking seminggu yang lalu di Jakarta. Lantaran belum jam 12, mereka tak bisa masuk ke kamar, koper dititipkan ke hotel.Di kota Lantau, Hong Kong Disneyland Hotel berada di tepi laut. Pemandangan itu sangat menenangkan hati. Hari kedua, mereka akan mengunjungi pantai itu, rencananya. Dengan antusias yang semakin menggebu, mereka berkendara berjarak empat menit menuju Hong Kong Disn
"Aku sudah tanya dokter Rissa."Hana semakin melebarkan pupil mata ketika apa yang menjadi bahan pertanyaan di kepala sudah dijawab suaminya."Jangan kaget, aku nemu pertanyaan itu di bola matamu. Mata itu seolah berbicara denganku.""Lalu, apa lagi pertanyaan yang ada di mataku? Buktikan kalau kamu memang lihai membaca pertanyaan di mataku."Hana sengaja melotot agar suaminya bisa leluasa melihat kedalaman matanya. Tidak ada pertanyaan lain lagi, Hana hanya ingin mengetes apa jawaban suaminya.Pria itu tak langsung menyahut. Kedua matanya memicing, pura-pura fokus mencari pertanyaan di sana. Dia mengambil dagu dengan tangan kanan lalu menggeser tepat di depan wajahnya."Yang kulihat tidak apa pertanyaan apa-apa di sana, tetapi ada sebuah perintah."Hana yang tak bisa meredam gejolak yang bergemuruh di dada, pun melipat dahinya. Jarak wajah mereka tinggal satu jengkal. Itu yang membuat Hana hampir lupa cara bernapas yang
Mahendra berucap setelah cangkir putih sedikit menjauhi mulutnya. Beberapa detik kemudian, dia meneguk lagi hingga minuman itu kandas."Kamu bisa andalkan aku tanpa menyewa mereka. Aku selalu siap ada untuk mereka. Kamu tak lupa, kan, tujuh tahun aku pernah menjadi —""Ya, ya. Jangan kamu lanjutkan, aku tak suka. Tapi saranku jangan menyalahgunakan niat baikmu yang dulu-dulu. Mereka ada aku sekarang. Aku tidak akan segan bertarung kepadamu jika —""Jika kamu tak ingin aku merebut Hana, maka perjuangkanlah. Jika sedikit saja kamu lengah, siapkan diri untuk merasakan kehilangannya."Entah bagaimana mereka ini. Padahal, Arsenio sudah sepakat untuk mengundurkan diri dan berhenti berjuang mengambil hati Hana. Namun, di sesi lain, dia akan kembali merebut jika Mahendra lengah dan gagal membuat Hana bahagia.Hal itu membuat Mahendra harus tetap waspada. Meski iya, sekarang seutuhnya raga Hana telah digenggam, tetapi tidak menutup kemungkinan wan
"Time is money, Bro. Kuharap kamu bisa menghargai waktu."Seperti biasa, nada bicara ketus Mahendra terdengar, tetapi tidak membuat Arsen kaget. Dia sudah sering mendapati mata sinis, sikap dingin dan aura tak suka darinya.Percakapan mereka terjeda ketika seorang pelayan mengantar menu. Arsenio memesan cappunico panas. Lalu, orang itu pergi meninggalkan meja."Ada apa kamu memanggilku?"Tak ingin mengatakan alasan keterlambatan karena mengurusi pasiennya, Arsen langsung ke permasalahannya. Dia sedikit heran dengan isi pesan Mahendra di aplikasi hijau yang dikirim tadi pagi. "Apa ada waktu hari ini? Temui aku di kafe cinta rasa jam 1 siang nanti."Kendati belum tentu Arsen menyetujui janji temu itu, isi pesannya terkesan mengharuskan."Tentang istriku, Hana.""Ya. Ada apa?"Dalam beberapa detik keheningan itu tercipta dan mereka saling melempar pandang. Namun, sedikit berbeda sinar mata yang diberikan
Suara yang menggebu-gebu membuat Hana takut. Dia belum paham sepenuhnya, tetapi mencoba mengerti ucapan itu. Dia menarik kesimpulan sendiri jika Nadhira adalah penggemar suaminya, tetapi sejak kapan? Selama bersama Mahendra, dia belum pernah merasa mendapat saingan kecuali Elena."Andai kau mati, akulah yang akan mengganti posisimu!"Di akhir kalimat itu, Nadhira tertawa terbahak-bahak, menggelegar ruangan sempit itu. Wanita itu meronta saat tubuhnya ditahan untuk maju. Dia ingin meraih dan menjambak rambut Hana lagi seperti saat di dapur tempo lalu. Melihat situasi tak memungkinkan, petugas menarik paksa tubuh tersangka dengan sigap. "Maaf, Bapak Ibu."Petugas memberi isyarat agar mereka boleh keluar dan tersangka akan dikembalikan ke sel karena situasi mulai kacau. Mahendra mengangguk paham dan segera membawa Hana keluar dari sana."Kau memang pantas mati, aku pasti akan senang sekali."Samar-samar terdengar lagi kicauan Nadhira yang diakhiri dengan tawaan yang sangat menakutkan."