Menunggu dengan gelisah di kafe sesuai janji Mahendra, Hana sudah tak sabar lagi berada lebih lama di tempat itu, yang menjadi tempat favorit mereka berdua. Benda yang melingkar di pergelangannya sudah menunjuk angka empat. Itu artinya dia sudah menunggu selama tiga jam. Segelas cokelat hangat yang dia pesan di kafe pun sudah ludes, hanya tersisa endapan cokelat yang tak terlarut di dasar gelas.
Dia mencoba mengirim pesan dan menelepon ponsel pria itu, tetapi hasilnya nihil. Yang didapat hanyalah centang satu dan sapaan dari customer service kalau nomor yang ada tuju sedang tidak aktif. Hatinya bagai diremas saat pikiran dilanda berbagai prasangka buruk tentang pria itu. Kini kesabarannya sudah berada di ambang. Dia tidak bisa menunggu lagi."Bagaimana kalau Mahendra tidak mau bertanggungjawab? Bagaimana kalau dia benar-benar sudah pergi ke Jepang, meninggalkanku? Bagaimana kalau dia telah membohongiku? Bagaimana kalau dia ...."Dia tak sanggup lagi menerka apa yang bisa dilakukan sang kekasih itu. Buktinya, tak ada kabar apapun tentang keberadaannya sampai detik ini. Dia sudah bosan memandangi suasana kafe dengan pergantian wajah pengunjung tiap menit dan jam itu. Bahkan, sesekali dia merasa risih ketika sang pelayan mondar mandir sekadar menanyakan apakah ada tambahan makanan atau minuman yang akan dipesan.Akhirnya setelah tiga jam menunggu, dia memutuskan untuk mendatangi kediaman Mahendra untuk mengetahui keberadaannya. Menggunakan jasa ojek online, dia pun sampai di depan pagar besi kokoh yang mengitari rumah minimalis Mahendra.Mengedar pandang mencari petugas keamanan yang kebetulan berjaga, dia pun menyapa setelah salah satu pria bertubuh tegap itu menghampirinya. Tak mengulurkan waktu, Hana segera menanyakan keberadaan tuannya."Maaf, Neng. Tuan Mahendra sudah berangkat ke bandara tiga jam yang lalu. Buru-buru tadi.""Yakin ke bandara, Pak?"Hana tak bisa menerima kenyataan yang barusan ia dengar. Dia berharap bapak tersebut memberi informasi yang salah. Lantaran dia yakin Mahendra menyatakan akan menemuinya lagi di kafe siang itu."Iya, Neng. Yakin, soalnya diantar sama supir."Sejurus itu Hana mengedipkan mata, menjatuhkan air yang sudah penuh di pelupuk mata. Hatinya hancur berkeping-keping seketika bersamaan dia menyadari bukan hanya cita-cita menjadi dokter-nya sirna, tetapi sikap Mahendra yang membohongi dan menodai cinta sejati yang sering digadang-gadangnya.Penjelasan bapak itu seolah mengoyakkan gumpalan daging di rongga dada sehingga organ itu berhenti memompa darah. Dia merasa sekujur tubuhnya seolah kehabisan cairan merah itu, lemas dan nyaris ambruk ke bumi.Ia merasa dirinya jatuh ke jurang kehancuran, gelap gulita, tidak ada uluran tangan yang akan menolongnya. Pelipisnya berdenyut seperti dihantam benda berat berkali-kali. Apa dia sanggup menghadapi ini sendiri tanpa topangan Mahendra?Dia belum sanggup menerima kenyataan kalau Mahendra adalah pria pengecut yang melepas tangan, mencampakkannya begitu saja. Ini begitu menyesakkan dada dan menyakitkan hatinya. Perihnya sampai dia tak tahu bagaimana menjabarkan tingkat keperihan itu. Bagaimana dia menyatakan hal ini kepada ibu? Bagaimana dia mengangkat kepala menghadapi dunia yang akan menanyakan tentang keberadaan ayah dari kandungannya.Ah, dia mulai mengutuki ketololannya yang terlalu percaya mulut manis pria itu. Dia mengutuki keluguan dirinya yang mau diajak untuk pembuktian cinta dengan menyerahkan kehormatannya kepada pria itu.Ada sebongkah kekecewaan yang kian menusuk jantungnya. Dia menyesali segala kedunguan yang sudah dia lakukan. Kembali, bulir cairan itu luluh, menyembul kembali tanpa bisa ditahan setelah sekian kali dia mengusap jejaknya di pipi dengan punggung tangan.Dia merasa kehidupannya semakin kelam dan tak berguna untuk bertahan hidup, menahan malu dengan janin dimana ayahnya sendiri tak mau mengakui dan tak mau mempertahankannya.Frustasi dan timbullah keinginan untuk menghabisi nyawa untuk melenyapkan penderitaan yang tak sanggup dia angkat sendiri.Dia kehilangan wajah untuk menatap dunia. Dia sudah memprediksi orang-orang akan memandang rendah ketika mengetahui betapa hina dan kerdilnya ia menyerahkan mahkota yang seharusnya dijaga dan dipersembahkan untuk suaminya kelak.Sore ini, berjalan tak tahu arah, pikirannya linglung, dia bingung mau ke mana. Sorot mata yang menyiratkan luka. Dia tak menyangka Tuhan memberi cobaan yang melebihi kemampuannya. Dia menyalahkan Tuhan yang tega menjatuhkan hukuman hanya untuknya, tidak adil karena Mahendra tidak mendapat hukuman yang sama.Kini, dia tak punya teman untuk mencurahkan perasaan. Dengan siapa dia akan berbagi? Rasanya tak ada orang yang pantas diajak berembuk dan mendengar keluh kesahnya.Sampai akhirnya kakinya berkelana, menginjak tengah rel kereta api dengan tujuan mengakhiri semua penderitaan yang sudah dialami. Dia tak mau hidup menahan malu, mungkin inilah satu-satunya cara untuk pergi melepas semua beban yang sudah tak bisa dipikul dengan sendiri. Dia sempit akal, syetan seakan bersorak gembira, membisik tepat di telinga, segeralah mengunjunginya ke alam neraka.Di sinilah, di tengah rel dia berdiri dan berjalan berlawan arah dengan tubuh kereta panjang jurusan Jawa yang semakin mendekatinya. Suara klakson kereta api sangat memekakkan telinga, tetapi kaki itu tetap berdiri di tengah tanpa mau berpindah. Dia tak menghiraukan jeritan orang sekitar yang tak sengaja melihat tindakannya. Perbuatan yang dibenci Tuhan kepada umatNya.Semakin lama semakin dia merasa getaran hebat di bumi dia berpijak, bunyi klakson yang berisik sengaja dikeluarkan masinis itu agar dia segera menyingkir dari sana. Dia, dia memilih bertahan untuk mengakhiri semuanya detik itu juga.Memejamkan mata, ia menikmati angin yang membelai kulit wajah dan tubuhnya. Dia menghirup udara dengan rakus, merayakan hari terakhirnya dengan menghisap udara segar yang dikarunia Sang Pencipta."Ini adalah napasku yang terakhir, selamat tinggal semuanya." ucapnya dengan lirih, nyaris tak terdengar, bertabrakan dengan suara teriakan kereta yang jaraknya nyaris menggiling tubuhnya.Sekilas, wajah senyuman ayah dan ibu terpampang di benaknya. Perih, ketika dia melihat guratan kekecewaan yang akan ditorehkan jika mereka mengetahui putrinya telah menjadi gadis hina yang membawa aib keluarga. Sangat memalukan. Air mata yang terus membanjiri wajah lelahnya, dia sudah mantap dengan keputusan dangkal itu. Bunuh diri. Iya, dia akan pergi untuk selamanya."Awas!"Seketika tubuh seratus lima puluh lima centimeter itu terhempas, kepala seakan berputar kencang, semua tubuh serasa ngilu, tulang-tulang seakan remuk. Organ dalam seperti hancur bercerai berai. Gelap, dunia menjadi gelap pekat. Jantung, apakah dia juga sudah ikut berhenti?"Apakah aku sudah mati? Apa aku sudah berada di alam astral?" Bibirnya melengkung getir, tak sanggup membuka mata yang sudah berair. Lelah, sangat lelah. Rasanya dia ingin memejamkan mata untuk selamanya, berlari dari kenyataan."Maafkan aku, Ibu."Tangannya sempat bergerak memegang perut yang masih rata sebelum dia benar-benar kehilangan kesadaran."Hai, Anakku, maafkan aku yang juga tak menginginkanmu. Maaf."Lelap, kini dia merasa tertidur dengan pulas, seakan-akan beban yang dipikul telah diangkat, lenyap terbang bersama terpaan angin yang kencang.Duduk bersandar kursi kayu di pinggir rel kereta api, seorang calon dokter sedang menuggu kedatangan kereta api. Arsenio William Ardiman yang biasa dipanggil Arsen adalah seorang mahasiswa Falkutas Kedokteran yang sedang menjalankan magang koas di salah satu rumah sakit ternama di Jakarta. Jujur, bukan keinginan dia menekuni kuliah jurusan beken itu, semua karena keinginan sang ayah yang berprofesi dokter sekaligus direktur utama rumah sakit tersebut. Kecintaannya terhadap fotografer yang diam-diam dia lakoni sekarang, mengantar dirinya di tempat tak lazim seperti ini untuk mengambil momen detik-detik kereta melintas. Awalnya sorot mata mengarah ke atas langit yang terik di balik kacamata hitam sembari tangan menggenggam kamera mahalnya. Namun, perhatian dan pandangannya pun beralih ke arah kedatangan kereta yang terus menjerit dengan klakson yang mengganggu indra pendengaran. Tak biasanya kereta itu mengeluarkan suara berisik di tempat bukan lalu lalang mobil atau motor. Ini adala
Tidak sampai di situ, hati Hanami semakin hancur ketika dia pulang dari rumah sakit malam hari. Dia mendapati wajah sang ibu yang menyiratkan kedukaan yang amat terdalam. "Hana, ini apa? Ini punya siapa? Kamu hamil? Siapa laki-laki itu?" Bertubi-tubi pertanyaan ibu tanpa menjeda. Dengan tangan terulur ke arahnya, ibu memperlihatkan benda tes kehamilan yang tergambar dua garis. Jangankan memberi jawaban, gadis berambut tipis itu bahkan tak berani mengangkat kepala untuk menatap wajah sang ibu yang memendam amarah, mungkin sebentar lagi akan meledak seperti bom waktu. Wajah senja yang selalu menenangkan kini memerah, beliau tak bisa menyembunyikan rasa kekecewaannya."Hana, jawab ibu, siapa laki-laki itu?" Ibu mengulang pertanyaan terakhirnya dengan nada dinaikkan satu oktaf, hanya ingin mengetahui siapa pria itu. Seketika hati Hana semakin menciut dan tersayat ketika sang ibu bukan lagi menanyakan kepemilikan benda itu, tetapi seolah sudah mengetahui bahwa dialah pemilik benda itu.
Bab 6Pasca kejadian itu, lambat laun Hanami menjelma menjadi manusia baru. Semangatnya bangkit lagi ketika Arsenio selalu mengisi baterai energi positif untuknya. Mereka jarang ketemu karena padat jadwal si pria berkacamata, yang kini sedang magang di salah satu rumah sakit Jakarta. Dia tengah menjalankan tugas kampus sebagai koas, salah satu syarat untuk mendapatkan titel dokter."Jika ada perlu apa-apa, jangan sungkan untuk mencariku." Itulah katanya."Siap, Pak Dokter." Mereka selalu bertukar kabar via aplikasi pesan berlogo telepon hijau di sela-sela waktu senggang. Sesekali Arsenio mengunjunginya, tetapi hanya sampai di teras saja. Itu juga hanya lima menit. Setelah mengantar buah atau cemilan untuknya, pria itu pun langsung pamit."Ibu hamil butuh buah dan cemilan cokelat untuk menenangkan pikiran dan perasaannya."Ada suatu kala ketika Hana menolak pemberiannya karena merasa tak enak hati tetapi pria itu malah ngambek. Arsenio terlalu baik, padahal Hana merasa tidak berbuat a
"Selamat ya, Bun. Kaindra memang anak berbakat, bisa mendapatkan juara 1 di tingkat kecamatan untuk kategori pemain piano cilik." Ucapan selamat dari kepala sekolah siang tadi setelah bocah enam tahun itu selesai mengikuti lomba yang diselenggarakan Diknas tingkat kecamatan dan mendapatkan peringkat satu. Tak heran memang, putra Hana yang bernama lengkap Kaindra Naoki sudah beberapa kali mengikuti lomba piano dan selalu membawa piala. Selain membanggakan sekolahnya, ia pun membuat mama dan nenek puas dengan prestasi yang dia raih."Terima kasih, Bu."Hana membalas jabatan tangan yang diulurkan ibu kepala sekolah dengan senyuman lebar. Bangga? Iya, tentu saja, pantas jika Kai bisa menerima beasiswa di SD Swasta tersebut, bukan karena prestasi di bidang musik saja, anak laki-laki itu juga berprestasi di bidang pendidikan."Dua hari lagi, Kaindra akan mewakili sekolah kami mengikuti lomba piano tingkat Kotamadya," ucap wanita berkacamata itu setelah melepas jabatan tangan dan mempersi
"Hai, sorry, udah lama?" Masih mengenakan jaket jeans, Hana menghampiri Elena yang sudah duduk manis menunggu kedatangannya."Baru, baru lima belas menit." Dia berucap sambil mengaduk es lemon tea yang sudah dipesan, mengusir kejenuhan dan haus.Hana tersenyum tipis, menarik kursi dan duduk di hadapannya. Sore itu, kafe belum begitu ramai pengunjung, apalagi hari ini bukan hari pekan, biasanya kafe nuansa kopi itu agak sepi."Ada apa, Len?" Tanpa basa-basi, Hana langsung bertanya maksud wanita yang baru dikenal setahun belakang. Dia tak ingin berlama-lama di tempat itu.Awal perkenalan mereka dari sosial media. Elena, si dokter gigi memesan kue ulang tahun untuk keponakannya dari Instagram Hana. Iya, gadis dua puluh lima tahun itu membuka usaha kue online. Kue ulang tahun hasil jepretan Arsenio diunggah dan dipamerkan di halaman aplikasi tersebut. Selain ada kue basah milik ibunya, kue brownis kukus juga dijual di sana. Lantaran insiden kehamilanya, Hana tidak bisa melanjutkan kuliah
Melajukan kendaraan roda dua miliknya, Hana pulang setelah selesai mencatat dan mengerti keinginan dokter gigi itu. Langit sudah mulai menghitam, dia tak ingin terjebak oleh pertemuan dengan beberapa preman yang sering mangkal di warung maksiat, persimpangan tiga daerah dia tinggal. Jarak antara tempat itu dengan gang rumahnya kurang lebih tiga ratus meter. Namun jika ingin masuk ke gang rumah, jalan satu-satunya adalah melewati tempat itu. Biasanya, para pria bertato tersebut akan berada di sana kisaran jam delapan atau sembilan sampai dini hari. Entah apa saja yang dilakukan mereka di sana. Mungkin mencicipi minuman haram dan menikmati surga dunia yang penuh lumur dosa. Tak jarang, Hana melihat wanita PSK mangkal di sana melakukan aksinya. Dengan detak jantung yang berpacu tak seperti biasa, Hana menancapkan gas demi mempercepat roda motor itu berputar saat berada di sekitar warung. Dia tak ingin kedatangannya disadari para preman yang akhirnya motor yang dilajukan akan dicegat ol
"Siapa?"Dia bertanya karena penasaran. Aldo menaikkan kedua bahu bersamaan dan menautkan kedua alis tebalnya. "Besok kalau ada dia, kukasih kode dan kamu lihat aja sendiri siapa bocah itu.""Mungkin besok aku tak datang ke sini. Aku ada penjurian lomba anak SD se-Jakarta. Temanku, Pak Darma besok ada halangan jadi aku yang akan menggantikan posisi itu."Aldo mengangguk paham dengan hobi sahabatnya. Mahendra memang beberapa kali mengambil posisi juri di sela-sela kesibukannya mengurus perusahaan sang papa yang sudah pensiun. Iya, sejak empat tahun kepulangannya di tanah air, Mahendra telah mengambil alih perusahaan, menjabat sebagai direktur dan Aldo sebagai general manager."Itu bukannya Annisa dan Laina?" Dagu Aldo terangkat ke arah dua wanita berseragam rapi berwana merah yang baru masuk ke dalam kafe. Ekor mata Mahendra yang tadi menundukkan kepala pun ikut menyoroti wanita yang sedang mengambil posisi duduk lalu memanggil pelayan. "Teman Hana, kan? Ke sana gih, tanya-tanya ba
"Maaf, Dra. Kami sudah lama tak bertemu Hana. Kami bahkan tak tahu di mana dia tinggal sekarang." Dengan tatapan datar yang diberikan, Laina memberi informasi yang melemaskan kaki dan tubuh Mahendra. Harapan yang dipupuknya tadi pun terkikis perlahan. Ke mana lagi dia harus mencari sang kekasih yang belum diputuskan hubungannya. Mahendra masih menatap Anissa dan Laina dengan ragu, ada rasa curiga di balik pengakuan yang baru saja mereka lontarkan.***"Busyet dah, untung saja dia percaya, Han. Kita sampe bingung merangkai kata bohong agar dia tidak mencecar pertanyaan yang lain."Laina berujar sambil mencomot risol sayur yang disajikan Hana saat kedua temannya berkunjung ke kontrakan dan memberitahu pertemuan tak terduga tadi siang dengan Mahendra."Kalau gitu, mulai sekarang kalian batasi kunjungan ke sini. Aku tahu betul dia. Dia tak mudah percaya dengan omongan orang. Dia pasti akan cari tahu. Btw, tadi wajah kalian cukup meyakinkan nggak?"Jujur, hati Hana terasa ngilu seperti di
"Han! Hana!"Teriakan itu mengalihkan perhatian Hana dan Mahendra ke arah pintu. Kaki mereka maju sampai di depan pintu dan mendapatkan Clarisa yang baru pulang, entah dari mana. Namun, tak lama Mommy menarik tangannya seakan memaksa untuk mengikuti langkahnya. Ada satu pria yang berkacamata hitam, tak asing bagi mereka, pun ikut serta mereka keluar dari pagar."Kayak kenal laki-laki itu, siapa, ya?"Jari Hana menunjuk ke arah mereka sambil berusaha memeras otaknya untuk mengingat."Jonathan.""Jonathan?" Hana masih menerka alasan pria itu datang ke rumah. Siapa yang mau ditemuinya?"Jonathan itu sepupu aku, tapi jauh banget. Anaknya sepupu Mommy. Mommy dan mamanya sepupu tiri. Jadi hubungannya agak jauh, beda kakek.""Terus, dia ke sini, mau ngapain? Cari kamu? Lalu, ngapain dia ikut mereka keluar juga?"Sambil bersandar di dinding, Mahendra tersenyum geli dan mengerti arti dari sikap yang Mommy lakukan barusan. Beliau sengaja mengajak Clarisa ikut dengannya agar memberi ruang dan w
"Aku bisa siapin sendiri, Mas. Kamu tidur lagi, deh. Besok kamu, kan, mau ke kantor. Aku nggak mau dengar dari Aldo kalau kamu tidur di sofa saat jam kerja."Pria itu berdecak dan langsung duduk di samping istri yang sedang bersandar di sofa kamar. Dia tersenyum kala memandang bayi mungil yang sedang menutup mata sambil mengisap susu. "Lahap banget." Dia menoel pipi mulus dan gembul itu dan enggan menanggapi omelan istrinya."Mas, tidur sana, aku bisa, kok.""Nggak apa-apa, Sayang."Sekilas dia mencium pelipis Hana lalu melanjutkan ucapannya. "Aku ingin merasakan menjadi ayah yang siap begadang. Hal yang tidak pernah aku alami saat Kai masih bayi.""Tapi kalau besok kamu ....""Tidak masalah kalau aku curi waktu untuk istirahat bentar di kantor. Tidak ada yang bisa mengatur termasuk Aldo. Aku bos di perusahaanku. Siapa yang berani pecat aku? Irma? Atau Aldo?""Tapi dengan kamu tidur di saat jam kantor
"Kenapa? Nyeri lagi?""Aneh, nih. Sakitnya sudah mulai rutin dan jaraknya berdekatan. Prediksiku ini sudah mulai pembukaan.""Kita ke rumah sakit, ya?""Apa nggak tunggu sampe ...."Belum selesai berucap, Hana mengelus perutnya sambil menahan sakit."Tunggu? Sudah semakin intens gini, masih mau nunggu? Nggak, ayo sekarang aku antar ke rumah sakit. Kelahiran anak kedua biasanya lebih cepat dari anak pertama."Tak menunggu lama, Mahendra mengganti pakaian dan membawa tas keperluan Hana dan calon bayi yang sudah disiapkan jika sewaktu-waktu harus bergegas ke rumah sakit. Sementara Hana tidak mengganti baju karena sudah mengenakan daster."Aku mau proses kelahirannya normal, ya, Mas."Hana masih sempat me-request saat sudah duduk di jok depan, samping Mahendra. Sebelum menginjak pegal gas, sang suami menoleh dan mengelus pucuk kepalanya."Iya, mudah-mudahan bisa. Kita dengar apa kata Dokter Rissa saja. Beli
"Ini kamu minum dulu, dong, Sayang. Pembukuan beginian semestinya Luna aja yang mengerjakan. Kamu harusnya istirahat yang cukup. Apalagi tadi malam, katanya nggak bisa tidur pulas karena punggungnya sakit."Segelas cangkir berisi susu hangat khusus untuk ibu hamil diletakkan di atas meja kamar. Hana tak menyadari kedatangan suaminya ke kamar karena terlalu fokus dengan laptop. Sejak pulang liburan dari Hongkong, mereka beraktifitas seperti biasa. Mahendra ke kantor dan Hana ke toko bakery. Tidak ada drama pulang telat, Mahendra selalu menjemput istrinya sesudah jam magrib. Lalu, mereka akan pulang bersama dan ibu tetap tinggal di ruko. Percuma terus mengajaknya untuk tinggal bersama, beliau akan tetap menolak dengan alasan yang sama."Ibu lebih nyaman tinggal di sini bersama Luna dan Sinta."Kalau sudah begitu, anak dan menantunya hanya bisa menghela napas pasrah. Namun, keadaan ibu tetap dipantau dari kamera pemindai yang dihubungkan dengan pons
Bab 25Pesawat Airbus Garuda Indonesia mendarat dengan selamat di aspal Bandara Udara Internasional Hong Kong jam tujuh lewat dua puluh pagi hari. Waktu Jakarta dengan negara tersebut hanya berbeda satu jam lebih lambat.Mereka keluar dari pesawat menuju ke ruang pengambilan bagasi dan butuh waktu kurang lebih satu jam. Di sana mereka melakukan registrasi ulang dengan mengisi formulir. Setelahnya, mereka menggunakan transportasi MRT menuju Disneyland Resort Line dengan jarak kurang lebih 12.7KM. Tujuan pertama mereka adalah check in Hong Kong Disneyland Hotel yang sudah di-booking seminggu yang lalu di Jakarta. Lantaran belum jam 12, mereka tak bisa masuk ke kamar, koper dititipkan ke hotel.Di kota Lantau, Hong Kong Disneyland Hotel berada di tepi laut. Pemandangan itu sangat menenangkan hati. Hari kedua, mereka akan mengunjungi pantai itu, rencananya. Dengan antusias yang semakin menggebu, mereka berkendara berjarak empat menit menuju Hong Kong Disn
"Aku sudah tanya dokter Rissa."Hana semakin melebarkan pupil mata ketika apa yang menjadi bahan pertanyaan di kepala sudah dijawab suaminya."Jangan kaget, aku nemu pertanyaan itu di bola matamu. Mata itu seolah berbicara denganku.""Lalu, apa lagi pertanyaan yang ada di mataku? Buktikan kalau kamu memang lihai membaca pertanyaan di mataku."Hana sengaja melotot agar suaminya bisa leluasa melihat kedalaman matanya. Tidak ada pertanyaan lain lagi, Hana hanya ingin mengetes apa jawaban suaminya.Pria itu tak langsung menyahut. Kedua matanya memicing, pura-pura fokus mencari pertanyaan di sana. Dia mengambil dagu dengan tangan kanan lalu menggeser tepat di depan wajahnya."Yang kulihat tidak apa pertanyaan apa-apa di sana, tetapi ada sebuah perintah."Hana yang tak bisa meredam gejolak yang bergemuruh di dada, pun melipat dahinya. Jarak wajah mereka tinggal satu jengkal. Itu yang membuat Hana hampir lupa cara bernapas yang
Mahendra berucap setelah cangkir putih sedikit menjauhi mulutnya. Beberapa detik kemudian, dia meneguk lagi hingga minuman itu kandas."Kamu bisa andalkan aku tanpa menyewa mereka. Aku selalu siap ada untuk mereka. Kamu tak lupa, kan, tujuh tahun aku pernah menjadi —""Ya, ya. Jangan kamu lanjutkan, aku tak suka. Tapi saranku jangan menyalahgunakan niat baikmu yang dulu-dulu. Mereka ada aku sekarang. Aku tidak akan segan bertarung kepadamu jika —""Jika kamu tak ingin aku merebut Hana, maka perjuangkanlah. Jika sedikit saja kamu lengah, siapkan diri untuk merasakan kehilangannya."Entah bagaimana mereka ini. Padahal, Arsenio sudah sepakat untuk mengundurkan diri dan berhenti berjuang mengambil hati Hana. Namun, di sesi lain, dia akan kembali merebut jika Mahendra lengah dan gagal membuat Hana bahagia.Hal itu membuat Mahendra harus tetap waspada. Meski iya, sekarang seutuhnya raga Hana telah digenggam, tetapi tidak menutup kemungkinan wan
"Time is money, Bro. Kuharap kamu bisa menghargai waktu."Seperti biasa, nada bicara ketus Mahendra terdengar, tetapi tidak membuat Arsen kaget. Dia sudah sering mendapati mata sinis, sikap dingin dan aura tak suka darinya.Percakapan mereka terjeda ketika seorang pelayan mengantar menu. Arsenio memesan cappunico panas. Lalu, orang itu pergi meninggalkan meja."Ada apa kamu memanggilku?"Tak ingin mengatakan alasan keterlambatan karena mengurusi pasiennya, Arsen langsung ke permasalahannya. Dia sedikit heran dengan isi pesan Mahendra di aplikasi hijau yang dikirim tadi pagi. "Apa ada waktu hari ini? Temui aku di kafe cinta rasa jam 1 siang nanti."Kendati belum tentu Arsen menyetujui janji temu itu, isi pesannya terkesan mengharuskan."Tentang istriku, Hana.""Ya. Ada apa?"Dalam beberapa detik keheningan itu tercipta dan mereka saling melempar pandang. Namun, sedikit berbeda sinar mata yang diberikan
Suara yang menggebu-gebu membuat Hana takut. Dia belum paham sepenuhnya, tetapi mencoba mengerti ucapan itu. Dia menarik kesimpulan sendiri jika Nadhira adalah penggemar suaminya, tetapi sejak kapan? Selama bersama Mahendra, dia belum pernah merasa mendapat saingan kecuali Elena."Andai kau mati, akulah yang akan mengganti posisimu!"Di akhir kalimat itu, Nadhira tertawa terbahak-bahak, menggelegar ruangan sempit itu. Wanita itu meronta saat tubuhnya ditahan untuk maju. Dia ingin meraih dan menjambak rambut Hana lagi seperti saat di dapur tempo lalu. Melihat situasi tak memungkinkan, petugas menarik paksa tubuh tersangka dengan sigap. "Maaf, Bapak Ibu."Petugas memberi isyarat agar mereka boleh keluar dan tersangka akan dikembalikan ke sel karena situasi mulai kacau. Mahendra mengangguk paham dan segera membawa Hana keluar dari sana."Kau memang pantas mati, aku pasti akan senang sekali."Samar-samar terdengar lagi kicauan Nadhira yang diakhiri dengan tawaan yang sangat menakutkan."