"Bang, pikir-pikir dulu untuk bekerja dengan Angel itu." Zeira mewanti-wanti sembari menatap wajah suaminya dan dengan cepat menaruh bucket KFC ke atas meja. KFC itu sudah tak senikmat semula begitu tahu semuanya.
Nizam bukan tidak mengerti apa maksud istrinya, hanya saja dia diberi pilihan secara paksa. Hati Nizam berkecamuk semakin galau, berpikiran untuk menelpon Duke akan tetapi pikiran yang lainnya pada kontrak kerja dari Angel dengan nominal sangat fantastis. Maka, terurung sudah untuk menelponnya. Namun, pikiran Zeira cepat sekali menyimpulkan bahwa antara suaminya dengan Angel sudah mengenal satu sama lain. Di pikirannya; Apa iya Angel datang dari Belanda hanya karena sosok yang belum dikenalnya dan dengan penuh percaya diri memberikan gaji dua kali lipat dari seorang telah berpengalaman. Tiba-tiba saja Zeira punya ide untuk menulis nomor telepon Angel serta alamatnya, tak ketinggalan nomor telepon Duke juga alamatnya. Ada keinginan untuk menyelidiki lewat social media, sayangnya telepon genggam Zeira sangat jadul.
"Ini, Dik, satu juta rupiah. Itu dari Angel!" Nizam menyodorkan uang pemberian Angel pada istrinya.
Sementara Zeira termangu dengan perasaan kalut. Matanya menyorot tajam pada uang yang masih baru itu, sudah dipastikan kalau uang tersebut baru dicetak dan diambil di Bank. Seketika dirinya seperti sedang dibeli oleh wanita yang bernama Angel tersebut, "Bang, kalau Abang mengenal wanita itu jujur saja, dan kenalkan Zeira padanya."
Mendengar perkataan Zeira tersebut Nizam melirik ke arahnya, "Adik sudah tidak percaya sama Abang?" Jawaban Nizam seperti itu menyulutkan reaksi Zeira semakin mengajak berargumentasi, "Kalau begitu di mata Angel, Abang ini pemilik skill yang luar biasa rupanya." Ucapannya disertai penutupan topik, "Kalau Abang merasa yakin padanya. Jalani dan lanjutkan!"
Zeira memang tidak memiliki kemampuan untuk melarang, kalau saja dirinya bisa membeli suaminya atau saja kalau dia memiliki jabatan dan memiliki kekayaan mumpuni. Dia tidak akan membiarkan suaminya pergi jauh darinya. Maka, jalan satu-satunya adalah mencoba ikhlas menerima keadaan.
"Do'akan yang terbaik buat Abang, Dik." Pinta Nizam sambil merengkuh bahu Zeira lembut.
Rengkuhan Nizam buat Zeira seperti berbeda dari sebelumnya. Namun, dia masih berpikiran positif kalau ini hanya perasaan dirinya saja.
Dua hari setelah pasporan Nizam kembali dihubungi langsung oleh Angel tanpa Munandar. Dia menyuruhnya untuk datang menemuinya di hotel yang sama. Nizam yang sedang istirahat dari pekerjaannya bergegas menelpon Munandar selaku pemilik agensi. Sayangnya dia tidak mengangkatnya dan hanya mengirimi pesan, "Kamu harus secepatnya menemui Angel, lalu ikuti sesuai perintahnya." Membaca pesan dari Munandar, Nizam tidak bisa mengelak ataupun meyakinkan kembali. Cepat sekali dia pun bergegas melajukan motornya ke arah Plaza Indonesia. Sesampainya di sana, tak banyak menunggu waktu dia pun menuju ke lobi hotel dan menemukan Angel ditemani dua orang laki-laki warga Belanda. Melihat kedatangan Nizam mereka langsung menyambutnya ramah dan bersahabat. Itu semua membuat Nizam merasa yakin kalau dirinya tidak sedang dijebak Angel.
"Angel, ini Mr. Nizam yang kamu bicarakan?" Sapa dari salah satu lelaki yang langsung menjabat tangan Nizam erat dan dengan sumringah menyambutnya. Reaksi Nizam merasa tersanjung olehnya, cepat sekali tangannya meraih jabatan tangan lelaki tersebut.
"Panggil saya dengan nama, Aldert. Saya ini sebagai direktur dari perusahaan automotive." Sambungnya sambil mempersilahkan Nizam duduk.
"Kalau dia adalah asisten saya, Dirk Mathew." Angel melirik ke arah lelaki muda yang duduk di kursi single dengan tatapan penuh arti. Mereka adalah kakak beradik.
Aldert memberikan dua buah katalog elegant itu adalah company profil automotive yang di sana ada nama serta foto miliknya. Semua itu menambah keyakinan Nizam begitu melihatnya. "Mister, sengaja datang ke sini untuk menemuiku?" ucap Nizam tanpa ragu-ragu mengungkapkan apa yang ada di dalam pikirannya. Aldert menoleh ke arah Angel dengan wajah datar begitu mendengar ucapan dari Nizam. Sedangkan reaksi Angel langsung berbicara, "Mister Aldert sudah tertarik padamu semenjak Munandar memberikanku CV-mu.
Sontak saja itu semua membuat Nizam tersenyum bahagia mendengarnya dan tak begitu lama Angel mengambil amplop bergambar pesawat lalu memberikannya, "Mr. Nizam siapkan kepergianmu hari minggu. Kita terbang ke Belanda sama-sama." Mendengar itu Nizam terperanjat, "Artinya besok kita berangkat?"
Aldert tertawa. "Semakin cepat akan lebih baik, bukan?" ucapnya sumringah dengan tatapan penuh misteri.
Sementara tangan Nizam pelan sekali meraih amplop berisi tiket tersebut, lalu bergegas membukanya. Diperiksa nama lengkapnya, nomor dan tiket serta tujuannya. "Allahu Akbar!" hatinya sedang bertakbir memuji kebesaraan Sang Khalik. Setelah bercengkrama dan berdiskusi dengan tiga orang yang sekarang sudah menjadi bosnya ini Nizam berpamitan. Akan tetapi Angel sejenak bereaksi dengan melambaikan tangannya. Nizam pun memusatkan perhatian pada wanita cantik ini. Angel mendekati Nizam dan diberikan kepadanya satu amplop coklat dengan isinya nampak penuh serta berat. "Setidaknya keluargamu akan aman dengan uang itu." Ucapan Angel membuat Nizam mengenungkan kedua alisnya, "Saya tidak butuh uang ini, Mrs. Kan, nanti setelah saya di sana satu bulan akan mendapat gaji." Jelas Nizam disertai memberikan kembali amplop yang ternyata berisi uang sangat banyak.
"Kamu nanti pasti membutuhkannya!"
"Percaya deh!"
"Kasih saja pada istrimu!"
Aldert menambahkan dengan tatapan serius.
"Tapi?" Nizam meragu.
"Tapi kenapa? Anggap saja itu uang muka gajimu! Kamu bisa membayarnya dengan mencicil!" ujar Dirk menambahkan sambil berdiri di samping kakaknya. Angel pun mengangguk pelan dengan tangannya menyodorkan kembali amplop coklat tersebut. Tanpa ragu Nizam pun mengambilnya karena pikirannya tepat sesuai dengan apa yang Dirk utarakan. Ya, dia harus memberikan bekal untuk Zeira, terlebih lagi lebaran akan segera tiba. Kendati dirinya tidak bisa mendampingi istri dan anak yang masih kecil ini, setidaknya dapat memberinya uang secukupnya agar bisa membeli keperluan lebaran. Tangan Nizam pun membuka amplop tersebut dan dibukanya, matanya terperanjat begitu melihat isinya. Pasalnya, uang tersebut adalah berbentuk currency dolar. "20,000 USD?" sergah Nizam sembari membelalakan kedua matanya. Karena nominal uang itu sangat banyak untuknya.
"Jangan heran, itu kalau kamu cicil akan lunas dalam 5 bulan saja!" jelas Aldert meyakinkan kembali.
Perasaan Nizam menyatu antara bahagia dan tak percaya akan kejadian yang serba cepat ini, setelah semuanya teryakinkan. Lelaki berparas menawan asal Padang ini berpamitan pulang dengan mengantongi amplop coklat berisi uang yang cukup untuk membeli rumah sederhana di kampung.
Dalam basement Plaza Indonesia Nizam kembali memeriksa amplop tersebut dan meyakinkan kalau uang tersebut itu adalah asli. "Masa iya Nizam mereka semua memberikan uang palsu padamu!" ucapnya berbicara sendiri. Kemudian uang tersebut dimasukan ke dalam bagasi motor. Lalu dengan cepat melajukan sepeda motornya dan menuju ke arah mess-nya.
***
Di dalam mess berupa rumah petak yang sama seperti ditempati Zeira di Tasikmalaya ini. Pikiran Zeira jauh melayang begitu melihat amplop tiket dan amplop coklat berisi uang ribuan dollar terpampang nyata di depan matanya. Bergeming, dia tidak merasakan kebahagian seperti wanita-wanita pada umumnya begitu melihat uang sebanyak itu. Napasnya ditarik seolah mengurai rasa galau bertumpuk di dalam dadanya. Matanya sekarang tak berkedip menyorot ke arah dua benda tersebut, bibir tipisnya mengangkat tanda ingin berbicara. Akan tetapi Nizam mendahului, "Adik pasti berpikiran macam-macam 'kan?"
"Jangan khawatir, Abang akan berusaha sebaik mungkin untuk bekerja agar mereka tidak kecewa." Tambah Nizam sambil mengelus halus hijab yang menutupi kepala istrinya.
Zeira masih terdiam. Pikirannya bukan pada pekerjaan suaminya, melainkan pada kegamangan kenapa mereka berani memberikan pinjaman diawal bekerja. Terlebih lagi mereka baru saja mengenal satu sama lain dari beberapa hari lalu.
"Ayo, kita istirahat!" ajak Nizam pada istrinya, dia seolah ingin membahagiakan bathin istrinya malam ini. Karena besok dan malam-malam berikutnya dia tidak akan diberi kesempatan untuk melakukannya dalam waktu bertahun lamanya. Tepatnya sesuai kontrak awal kerja yaitu 2 tahun.
Udara malam Jakarta memang agak segar karena kurangnya polusi dari kendaraan yang istirahat beberapa jam hingga pukul 5. Kendati pukul 3 pagi ada sebagian beroperasi untuk mengangkut logistik lokal dan impor. Mata Zeira menatap suaminya yang terlelap di hadapannya. Tangan halusnya meraba pipi kanan mahromnya ini. "Apa pun nanti akhirnya, Adik akan menunggu Abang." Gumam Zeira tak sadar. Seolah perkataan tersebut mendorong terucap dari pikiran, lalu ke luar dari mulutnya. Tak terasa mata Zeira pun akhirnya terpejam tertidur hingga pagi menyongsong.
Suara tangisan Zidan membuat Zeira terbangun, tangannya meraba ke sebelahnya. Namun, Zidan sudah tidak ada di sampingnya. Zeira pun cepat sekali membangunkan badannya lalu berjalan ke arah suara tangisan Zidan. "Aduh, Bang. Kenapa harus Abang yang mandikan?" ucap Zeira serta dengan cepat mendekap tubuh Zidan yang sudah dibalut oleh handuk. "Setidaknya Abang tidak begitu rindu nantinya, Dik." Jawaban Nizam membuat Zeira menoleh ke arahnya. "Dengan sekali memandikannya, Bang?" Zeira menyangsikan jawaban suaminya.
Nizam hanya terdiam sambil membereskan kamar mandi bekas memandikan Zidan. Lalu mempersiapkan pakaian-pakaiannya untuk penerbangan dini hari nanti. Sedangkan Zeira bergegas memakaikan pakaian untuk Zidan dan setelahnya mencari sarapan. "Sarapan saja dulu, Bang!" pinta Zeira pada suaminya setelah sarapan sudah ditata di atas meja makan sepulang dari membelinya. "Biar nanti Adik saja yang merapikan pakaian Abang." Sambungnya dengan tangannya menyeduh kopi susu kesukaan suaminya. Nizam pun menghentikan aktivitasnya lalu menghampiri istrinya lalu duduk di atas karpet lusuh.
"Sarapan ini pun sarapan yang terakhir kali di Indonesia." Ucapan Nizam membuat Zeira menjawab ketidaknyamanan atas perkataan itu. "Abang ini dari tadi hanya berbicara seolah tidak akan kembali ke Indonesia. Abang, sebetulnya sudah merencanakan ini semua? Merencanakan untuk tinggal selamanya di Belanda dan meninggalkan kami?"
"Bukan begitu! Abang hanya berpikiran kalau malam tadi, pagi hingga sore adalah waktu yang paling berharga untuk kita!" Nizam meninggikan suaranya dengan mulut mengunyah lontong sayur.
Zeira mencairkan suasana, "Iya lontong sayur itu pun akan menjadi yang terakhir buat Abang, karena di sana Abang tidak akan menemukannya terkecuali Abang tinggal di wilayah orang-orang Indonesia." Ucapan Zeira sambil menyungging senyuman mengarah pada suaminya. Zeira melakukan itu hanya tidak ingin membuat suaminya sedih.
"Ya sudah, kamu duduklah dekat Abang...." Ajakan Nizam dengan kemesraan, mengurai rasa galau dalam pikiran Zeira. Mereka pun akhirnya menyantap sarapan dengan nuansa perasaan berbeda-beda. Seharian Nizam dan Zeira membuat rencana untuk menggunakan uang dan selama berhubungan jarak jauh. "Dik, yang 10,000 dollar usahakan tidak digunakan. 5,000 dollar-nya gunakan yang bermanfaat."
Zeira hanya mengangguk pelan dan tidak menjawab apa-apa selain buliran bening ke luar dari kelopak matanya.
***
-Bandara Soekarno Hatta-
Sengaja Nizam & Zeira datang lebih awal ke airport sebelum tiba waktu sholat maghrib. Kendati penerbangan menunjukan pukul 01:45 dini hari. Baru saja Zeira hendak duduk pada kursi ruang tunggu, dirinya melihat Angel datang bersama dua laki-laki yang sudah diduga itu adalah Aldert dan Dirk karena suaminya sudah memberitahukan. Padahal seharusnya tidak harus terburu-buru terlebih lagi para eksekutif seperti mereka. Tanda tanya secara otomatis sudah ada dalam pikirannya. Dari situ Zeira semakin tidak karuan, dia ingin sekali meyakinkan suaminya agar me-cancel kepergiannya. Tetapi dirinya yakin suaminya tidak akan setuju dan menyangka kalau Zeira berlebih-lebihan.
"Mr. Nizam, ayo kita harus segera menunggu di ruang lounge bisnis class. Pesawat kamu sudah diganti kelasnya agar bisa bersama-sama dengan kami." Ajak Angel sambil meraih tangan Nizam pelan.
"Lalu, tiket ini?" tanya Nizam bingung dan agak salah tingkah karena tangan Angel sudah memegang lengannya erat sekali.
Zeira tak berkutik juga tak berbicara. Dia pun enggan menyapa terlebih dahulu pada Angel, karena Angel sendiri sama sekali tidak menganggap ada kehadirannya. Wajah cantik Zeira menunduk sedangkan tangannya memeluk erat Zidan yang ada di pelukannya.
"Dik, jaga diri!" ucap Nizam sambil melambaikan tangan kanannya agak tergesa-gesa karena dipegang Angel juga diapit oleh Aldert & Dirk di sampingnya.
Zeira hanya mengangkat mulutnya tanpa suara. Percuma saja dia berbicara karena Nizam sudah masuk ke dalam imigrasi dan tenggelam oleh kaca tembus pandang. Napasnya ditarik sedalam mungkin karena terlalu sesak oleh kejadian tadi dicampur perasaannya. Tangannya mengambil tas kecil isi baju serta diaper milik putra semata wayangnya, langkahnya menuju ke mushola bandara untuk bisa menunggu di sana hingga pagi sebelum pulang ke Tasikmalaya.
Assalamu'alaikum, Pembaca. Selamat membaca karya terbaru saya. Insya Allah akan update setiap hari dengan waktu tak terjadwal. Terima kasih :)
Masih di dalam airport. Pandangan Zeira masih tertuju pada tempat di mana dia melihat suaminya dibawa secara paksa oleh ketiga orang yang sama sekali tak dikenalinya. Lalu, dia pun menghampiri penjaga gate penerbangan internasional. "Pak, maaf saya mau tanya." Lirih Zeira pelan. "Ada apa?" Petugas menjawab sambil memperhatikan wajah Zeira yang pucat dan sayu karena nampak kurang istirahat. "Bapa tahu jam berapa pesawat ke Belanda mengudara tadi malam?" tanya Zeira penasaran. "Saya hanya penjaga di sini! Saya tidak tahu!" Petugas menjawab serta langsung meninggalkan Zeira begitu saja. Mulut Zeira baru saja akan berbicara, akan tetapi diurungkan karena reaksi petugas seperti tidak menghiraukannya. Dia pun melirik ke arah jam digital yang menempel pada dinding airport. Di sana waktu sudah menunjukan pukul 04:30. Zeira pun bergegas masuk kembali ke dalam mushola untuk menunaikan shalat subuh. Lalu setelahnya Zeira langsung menuju ke arah halte bis untuk pulang ke Tasikmalaya. Duduk di
Lemas tak berdaya tubuh Zeira terkulai di atas tempat tidur di rumah petaknya.Sedangkan Nizam sudah hampir dari 2 x 24 jam tidak ada kabar. Itu membuat Zeira berinisiatif untuk mencari berkas-berkas PT dan kantor di Belanda yang dikantonginya dari semenjak di mess. Satu persatu berkas dibuka dan diperiksa tanpa terkecuali alamat e-mail dan nomor-nomor yang bisa dihubungi. "Aku harus ke warnet dan membeli pulsa agak banyak agar bisa menelpon semua orang," niatnya sambil bergegas memakai sandal swalow warna pink kenyamanannya. Begitu di depan counter pulsa dia melirik pada telepon pintar yang terpampang di atas etalase. 'Apa iya aku harus beli handphone itu agar memudahkan dalam berkomunikasi?' pikirnya dan langsung mendekat ke arah etalase. "Teh, ini keluaran baru loh. Bisa selfie dan media sosial sepuasanya. GB-nya besar, kamera depannya pun setaraf dengan telepon ternama papan atas." Ucap pemilik toko mempromosikan produknya agar laku. Sedangkan Zeira segera menoleh pada harga yang
Lebaran hampir usai. Seluruh keluarga di kampung dan rumah-rumah bersuka cita. Akan tetapi berbeda di dalam rumah sederhana milik Zeira, wajah cantiknya ditekuk murung. Kendati uang yanga ada di tangannya tidaklah sedikit jumlahnya. Bisa saja dia menggunakan uangnya untuk berlibur demi mengurai kesedihannya. Sepertinya tidak berpengaruh bagi Zeira materi untuk sekarang ini. Telepon pintarnya diperhatikan pada semua media, dari percakapan, pesan dan telepon masuk. Dia ingin meyakinkan kalau suaminya mengabari. Inisiatif untuk pergi ke agensi di Jakarta pun telah bermain di dalam sanubarinya. Itu adalah jalan satu-satunya menilik jejak Nizam. "Aku akan ke sana setelah lebaran, semoga saja ada titik terang." Pikirnya sembari menyelinap masuk ke dalam kamarnya karena waktu sudah malam. Pukul 02 : 45 menit. Tepatnya jarum pendek jam dinding rumah Zeira menunjukan ke arah angka 3 dan jarum panjangnya ke arah angka 9. Di mana tepat sekali kedua mata bulat Zeira mulai terbuka. Sudah terbiasa
Sore setelah pengusiran oleh Burhan dari kantor agensi, Zeira langsung ke perusahaan di mana suaminya bekerja sebelum pergi bersama Angel. "Pak, saya ingin ketemu dengan Pak Ruly Bachtiar. Saya Zeira istrinya Nizam Fadlan." Beritahu Zeira dengan wajahnya nampak sayu dan kelelahan. "Tuhan! Kamu ini Mbak Zeira?" Tommy tiba-tiba menyelonong dan menepis tangan satpam yang sedang me-investigasi Zeira. "Iya. Saya Zeira." Singkat wanita sambil menggendong bayi ini. "Aduh, Mbak. Mbak ke sini ada apa?" tanya Tommy tanpa ragu mengambil tas yang dijinjing Zeira dan menuntunnya ke arah gudang. "Mau meyakinkan kalau Bang Nizam benar-benar tidak ada di Jakarta." Pemberitahuan Zeira membuat Tommy terperanjat, "Mbak tidak tahu kalau Nizam ke Belanda?" "Tahu. Tapi, dia tidak ada kabar sama sekali...." Zeira pun menjelaskan kronologi kepergian Nizam pada Tommy. Jelas saja itu semua membuat lelaki asal Medan ini berasumsi spontan, "Astaga Nizam ini mungkin dibawa oleh Angel dan kawan-kawanny
Tommy sudah ada di depan penginapan syariah yang masih di wilayah sekitar agensi. Sepeda motor pun sudah diparkirkan di halaman penginapan tersebut. Pikiran Tommy pada apa yang telah dituturkan Zeira. "Kalau ada apa-apa kasih tahu saya." Tommy menawarkan penuh simpati. "Terima kasih, Bang!" ucap Zeira dengan wajah datar karena kejadian yang telah dialaminya telah membuat dirinya sedikit cemas serta takut. Zeira masuk ke dalam lobi penginapan dan mendekat ke arah resepsionis. Sementara Tommy masih menunggu di depan. Dia hanya mengantisipasi jika ada hal yang tidak diinginkan seperti tadi menimpa Zeira dibarengi tangannya dengan mencoba mengirim beberapa pesan serta membuka e-mailnya bermaksud untuk mengirim e-mail ke pada Nizam. "Kau di mana, Zam? Anak bini kau mencari-cari!" desisan spontannya. Pesan e-mail ditunggunya hingga beberapa menit. "Masa iya kau nih secepat itu melupakan istri? Kau ini setahuku bukan seorang bajingan. Di mana kau ini?" Tommy masih dengan desisannya. Sekar
Mendengar gertakan Zeira seperti itu Azyumardi pun berbicara lantang, "Wanita berkelas serta memiliki dedikasi tinggi itu tak akan mau menikah dengan lelaki yang kedua orang tuanya tidak menyetujui. Karena wanita tersebut mengetahui menikah itu bukan hanya menikahi suaminya saja, melainkan pada seluruh keluarganya. Paham itu kamu? Coba dengan kamu nekad seperti itu apa kamu didatangi mertuamu?" Hendak Zeira membuka suaranya Azyumardi kembali berbicara, "Kamu tidak merasa aneh kalau kamu menikah tapi tak pernah berkunjung ke mertua dan mertuamu pun tak pernah mau tahu kehidupanmu? Kamu tidak merasa sakit hati?" Zeira bergeming. Bibirnya bergetar, lidahnya kelu. Kata-kata pun seolah tertahan di kerongkongannya. Suasana menjadi sangat hening beberapa detik. Kemudian tiba-tiba suara Zeira pelan sekali keluar, "Mbak, saya hanya memberitahukan saja. Juga, beritahu ibu dan ayah akan kejadian ini. Assalamu 'alaikum." Hendak saja Zeira menutup teleponnya Azyumardi menyela, "Kamu jangan terla
"Kamu yakin Zeira punya uang atau perhiasaan? Aa yakin itu hanya foto-foto lama saja sama surat tanah!" Arman meyakinkan itu pada istrinya."Apa salahnya kita lihat dan buktikan!" jawab Neni sambil berjalan ke arah jalan setapak."Kamu mau ke mana?" pekik kasar Arman."Aa mau kelaparan hari ini?" ketus Neni dan masih melanjutkan langkahnya. Iya, Neni suami tak kerja jalan satu-satunya minta bantuan orang tuanya. Itulah Neni. Rumah orang tua Neni memang hanya terhalang 10 rumah saja dari rumah suaminya, beda gang akan tetapi masih satu RT."Mak...Mak...." Datang-datang Neni langsung berbising dengan kemanjaannya."Apa?" Mak Arfiah langsung menyambut anak bungsunya itu. "Suamimu nganggur? Tak ada uang? Tak ada beras?" tambahnya menebak kebiasaan Neni kalau sepagi ini mendatanginya. "Sudah Mak bilang dari dulu jangan mau sama Si Arman, Bapaknya saja dulu malas-malasan dan menurunlah sama anaknya!" Mak Fiah masih menggerutu kendati dia cekatan sekali mengambil beras yang ada di dalam gento
Tommy sekarang setidaknya memahami keadaan rumah tangga Nizam. 'Pantas saja dia tidak membiarkan istrinya tinggal di Padang. Padahal lebih aman seatap dengan orang tuanya daripada mengontrak seorang diri, ternyata itu permasalahannya.' Enigma itu akhirnya terpecahkan dan mengerti semuanya seiring dengan batinnya yang bergaduh pandangannya pun sekarang menyorot ke arah wajah lugu Zeira kemudian pada Zidan. "Hidup kalian sekarang hanya berdua saja, Mbak?" tanyanya pelan. "Iya berdua." Singkat Zeira sambil mengeluarkan uang sebesar 5 juta rupiah kemudian diberikan ke pada Tommy. "Usahakan cari penginapan yang wajar ya, Bang. Agar setidaknya tidak terlalu membengkak dananya." Sambung Zeira dengan menghela napas panjang. 'Uang yang semestinya untuk modal usaha malah untuk mencarimu, Bang. Ini mengartikan tidak ada keberkahan pada uang yang cukup ini.' Ucapan yang membeku di dalam hati Zeira menambah sesak dadanya. Tommy bergeming melihat tumpukan uang yang sudah tertata di dalam amplop
"Kenapa harus pakai SAYANG?" Zeira menyeringai begitu saja tanpa mempedulikan perasaan Zehab. "Ya sudah, kemanapun itu, jika Kamu suka dan Aku bersamamu, Aku pun pasti suka!" Tambah Zeira santai dengan punggungnya disandarkan pada sandaran jok mobil. "I love you, Zeira. Kamu perlu tahu itu!" Ujar Zehab disertai tangan men-starter mobil, dengan kecepatan sedang mobil pun melaju menuju ke tempat Zehab rencanakan untuk memberikan kejutan pada Zeira. Tempat itu adalah sebuah fantasi pikiran Zeira yang sering dikatakan olehnya ketika mereka sedang bersama. Zehab yang sudah jatuh cinta pada Zeira mencari tempat yang sesuai dengan fantasinya itu. Kalau laki-laki telah bertekad membahagiakan wanita yang dicintainya pasti akan berusaha untuk bisa mewujudkan impiannya. Dan, Zehab adalah lelaki selalu bekerja keras untuk itu. Perjalanan yang ditempuh memang lumayan cukup lama, oleh karena itu rengekan manja Zeira yang bertanya lagi dan lagi, "Kapan sampai?" Membuat Zehab gemas dibuatnya. Di
Kendati Rudi telah memahami ada dalang di belakang penembakan beberapa tahun silam. Akhirnya, kasus yang belum terungkap ini pun akan segera diketahui olehnya. "Ini orangnya! Dia dalang semuanya. Dia ingin Zeira meninggalkan dunia selama - lamanya, itu dilakukan demi keponakannya." Penuturan disertai memberikan beberapa bukti yang masih tersimpan rapi di dalam telepon genggamnya. "Munandar sekarang pindah ke Belanda, artinya kalian harus berhubungan dengan kepolisian di sana untuk menangkapnya!" Azyumardi turut berbicara dengan mata melirik ke arah ibunya. Aminah paham dengan lirikan itu, kalau dirinya memang sangat tidak percaya kalau besannya bisa berbuat sejahat itu. Rudi pun langsung memberikan laporan pada atasannya agar kasus penembakan pada Zeira, kendati yang kena adalah Afifah, ibu mertuanya. Suasana seketika menjadi riuh ketika Pemuda yang menjaga gerbang datang dengan tergesa-gesa. "Nyonya, Tuan, di luar ada Tuan besar bersama pengawalnya." Azyumardi langsung mendeka
Pembicaraan pun langsung dihentikan diiringi oleh dimatikan handphone secara spontan.Kemudian, Neni menatap wajah Ujang sangat tajam seakan merasakan bagaimana perasaan Nizam sebagai seorang ayah yang ingin bersama anak-anaknya. 'Masa iya aku harus ke Padang?' ucap Neni dalam hati.Melihat adiknya melamun, Rudi menepuk lembut pipinya. "Kenapa lagi?" tanyanya. Neni menoleh, lalu menarik napasnya sangat panjang kemudian dikeluarkan. "Aa temani Neni ke Padang untuk mengambil Queena besok pagi!" Pintanya tanpa berbasa-basi lagi. "Ayo, kita ajak Zidan sekalian." Lirih Rudi sembari meraih lengan Zidan yang sedang bermain-main di depannya. "Mau ketemu nenek sama kakek, nggak?" tanya Rudi dengan mata menatap wajah polos Zidan."Nggak!" ketus sekali Zidan menjawab, dan langsung disela oleh Neni, "Zidan, sayang...tidak boleh begitu." Zidan menjawab kembali, "Nenek, juga kakek 'kan maunya Zidan berpisah sama mama dulu. Terus hingga Zidan tinggal di hutan...." Rupanya peristiwa dulu masih tersim
Pertanyaan Zehab membuat Zeira mengerlingkan sudut matanya. "Hidup ini tak harus terlalu banyak pertimbangan...." "Lepaskan dan lupakan masa lalu yang menurut kita tidak harus ada!!" "Kita nikmati saat ini?" Tangan Zehab diulurkan tepat di depan Zeira, sesaat setelah dirinya berbicara. Zeira yang sedang menikmati hangatnya kopi jahe pun menatap lekat kedua bola mata indah dan mendamaikan di hadapannya. Cangkir kopi ditaruhnya pelan sedangkan pandangannya tetap terpaut pada wajah Zehab. "Aku ingin mencoba...." Jawaban datar namun penuh kepastian. Perlahan Zeira meraih uluran tangan Zehab dan langsung disambut olehnya mesra. Mereka berhadap-hadapan. "Buatlah dirimu senyaman mungkin, dan biarkan dirimu bebas. Aku milikmu...." Bisikan Zehab di kuping Zeira dengan tangan membuka perlahan hijab yang membalut kepalanya. "Kamu sangat cantik...." ucap Zehab begitu penutup kepala itu terlepas. Zeira tersenyum tipis dan lekat sekali menikmati wajah tampan Zehad. Seiring dengan itu hati kecil
Tiba-tiba saja para awak media mendatangi ke arah mobil dimana mereka bertiga berada. Seketika suasana sangat ramai dan membuat Azyumardi mengisyaratkan Dahlan untuk pergi. Melihat reaksi istrinya seperti itu kemarahan Syahrizal mencuat, dia sakit hati dan merasa kalau dirinya terdzolimi karena perselingkuhan tersebut.Di dalam keriuhan para awak media yang selalu aktif mencari-cari informasi orang-orang ternama dan menurutnya patut diupdate kehidupannya."Aku ceraikan!""Aku ceraikan!!""Aku ceraikan!!!"Suara menggema Syahrizal menghentikan aktivitas para awak media hingga mereka semua bergeming dan cekatan sekali merekamnya.Suara lantang Syahrizal pun kembali terdengar dengan menyebutkan kembali kata-kata yang sama diakhiri menyebutkan nama lengkap istrinya, Azyumardi binti Adityawarman. Sontak saja itu membuat Azyumardi termangu tanpa reaksi. Dia sadar pada tindakannya, dan, baru sekarang. Tubuhnya lemas tak berdaya seolah kekuatannya dicabut seketika karena apa yang ditakutkanny
Melihat reaksi lelaki di atasnya seperti tidak berkutik Azyumardi langsung menjatuhkan tubuhnya ke bawah lantai dengan cepat namun pelan. Sekarang posisinya berganti hingga membuat Dahlan tersadar dari bergemingnya. Matanya berkedip lambat. Kemudian, menatap tegas ke wajah cantik Azyu. Bibirnya hendak berbicara akan tetapi handphone milik Syahrizal yang ditaruh di atas bufet berdering nyaring. Sontak saja membuat kedua manusia tengah melakukan senggama tersebut bergegas berdiri dan membetulkan pakaiannya masing-masing. TREK! Pintu ruangan ada yang membuka. "Ehem!" Deheman kepura-puraan dari Syahrizal sambil langsung masuk dan berbicara, "Sayang, Abang lupa handphone Abang...." Itu langsung dijawab Azyumardi agak salah tingkah, "Oh, ya ...tadi berdering!" Serta dengan gesit berjalan ke arah bufet dan tangan kirinya meraih handphone milik suaminya sementara tangan kanannya membetulkan rambutnya yang acak-acakan. "Terima kasih, Sayang...." ucap Syahrizal dengan lembutnya mengambil hand
"Iya...sudah setahun...." Jawab Nizam.Azyumardi semakin menyudutkan dirinya sebagai wanita yang penuh dosa. Benar adanya setelah menjauhkan dirinya dengan Dahlan, Azyu sangat berbeda dari biasanya. Dia sering marah-marah tak jelas pada Syahrizal dan suka menghindar jika diajak berhubungan intim. Bahkan sering tidur di rumah orang tuanya. Sangat diterima oleh dirinya kalau kehidupannya tidaklah sedang baik-baik saja kendati belum ada yang mengetahui jika dirinya tengah menyembunyikan dosa besar."Teta?" Nizam agak meninggikan suaranya karena dirinya tak mendengar suara Azyumardi. "Iya Nizam, Zeira memang pantas bahagia. Dia wanita baik-baik dan terhormat. Kamu kembalilah padanya, Bundo dan Ayah pun setuju." Penuturan Azyumardi yang sendu juga pelan membuat Nizam berdecih kasar. Lalu dia pun mengakhiri pembicaraannya begitu saja.Nizam bukan hanya ingin membawa Queena ke Belanda, dia pun akan mengajak Zidan. Kendati harus mengambil hati putranya itu terlebih dahulu. *** Dahlan sama se
Rontaan kecil itu tak dihiraukan oleh Dahlan. Dia pun mengerti kalau itu hanya reaksi tak serius, karena diketahui jika benar-benar berontak Azyumardi akan berlari ke arah pintu apartemen atau teriak. "Kita nikmati saja malam ini, Aku yakin Kamu akan ketagihan." Bisikan pelan dari Dahlan itu seolah perwakilan isi hati dan keinginannya Azyumardi. Ya, persetan dengan statusnya sebagai istri orang penting di Indonesia. Jikalah tak terpenuhi hasrat tempat tidurnya. Malam ini, Azyumardi merelakan mahkotanya disentuh oleh Dahlan. Bukan hanya itu, dia pun menikmatinya dan memintanya berkali-kali tanpa ada rontaan ataupun berkeinginan untuk minta tolong apalagi kabur. "Kamu kesepian? Kamu tak mendapatkan ini semua dari suamimu?" Dahlan mempreteli kehidupan ranjang Azyumardi sembari mengelus rambut panjangnya. Azyumardi hanya menggelengkan kepalanya, lalu tertidur di atas dada Dahlan. Malam pun telah berganti pagi. Karenanya, Dahlan pun bergegas bangun dan menyiapkan sarapan yang sebelumnya
Tidak begitu lama suara Azyumardi pun terdengar jelas di ujung sana. "Queena di sini... dan Teta pun sudah melahirkan seorang putra." -Setahun Yang Lalu- Aminah dan Adityawarman langsung datang ke Sukabumi begitu dikabarkan oleh Azyumardi bahwa Queena ada di sana. Juga, bermaksud akan mengajak Zeira juga Zidan untuk tinggal bersama mereka di Padang. Mereka telah membuka diri serta menerima Zeira. Sayangnya, setelah sampai di Sukabumi Zeira sudah tidak ada dan Zidan tidak ingin ikut dengan mereka seolah anak kecil ini telah merekam semua kejadian masa lampau. "Zidan tidak mau bersama Nenek dan Kakek!" Teriakannya itu membuat Adityawarman terdiam sejenak hingga dan mengingat bagaimana dirinya mengorbankan Zidan ccucunya demi harta. Air mata bapak tua ini mengalir tak terbendung lagi karena menyesal kesempatannya dulu sempat bersama Zidan disia-siakan begitu saja. Sementara Azyumardi tengah merangkai sebuah drama agar rahasianya tidak terbongkar. -Flashback on- Malam yang sepi di an