“Gimana enak kan?” kata Jessie melihat ekspresi Nicholas.
Semakin digigit bakso di mulutnya, rasanya juga semakin terasa. Nicholas terheran-heran dengan bakso yang pertama kali dia rasakan ini.
Nicholas mengangguk ringan.
“Emang enak kok. Nih aku tambahin ini rasanya jadi lebih enak,” kata Jessie sambil menuangkan kecap, sambal dan jeruk nipis ke mangkuk bakso Nicholas.
Wajah Nicholas memucat melihat gerakan tangan Jessie yang lincah memasukkan itu semua. Jessie bahkan membantunya mengaduk kuahnya agar rasanya merata. Nicholas tidak biasa makan makanan pedas, dan Jessie baru saja menambahkan sambal yang cukup banyak ke mangkuknya. Inginnya Nicholas mencegah Jessie, namun apa daya kuah mangkuk baksonya kini telah berubah kemerah-merahan. Nicholas pasrah melihat
“Ada apa?” kata Richard kaget yang juga ikut bangkit berdiri.“Sudah waktunya pulang kantor,” kata Nicholas santai sambil berjalan keluar.Richard yang tertinggal di dalam ruangan masih terbingung. Tidak berapa lama Richard juga ikut keluar mengikuti Nicholas. Dia mendapati Nicholas yang sudah melangkah masuk ke dalam elevator.“Tung- Tunggu presdir,” kata Richard terengah-engah. Dia setengah berlari agar masih bisa menahan elevator Nicholas.“Apa ada masalah? Kenapa Anda terburu-buru?” tanya Richard masih mengatur napasnya.‘Apakah mungkin ada hal lain yang harus dilakukannya sekarang?’Tanya Richard dalam hati.
Meskipun tidak sangat menyukai kebersihan, namun Nicholas tetap merasa risih. Dia tetap saja mengikuti Jessie yang mencuci tangannya di mangkuk rendaman air jeruk. Meskipun sudah mencuci tangannya, dia tetap makan dengan sendok. Melihat Jessie yang makan dengan lahap, Nicholas juga turut mencobanya. Sekali lagi Nicholas dikejutkan dengan rasa yang enak dari warung kaki lima. Meski begitu patut disesali karena bagian kebersihan untuk warung kaki lima yang jelas tidak sebanding dengan restoran yang sering dikunjunginya. Mereka berdua memakan nasi uduk dan lalapannya dengan sangat lahap. Porsi yang disediakan oleh abang penjual juga sudah cukup banyak, membuat mereka tidak menambah porsi makan.“Berapa bang?” tanya Jessie kepada abang penjual.“46 ribu totalnya,” kata abang penjual sambil sibuk membersihkan meja.
“Ha-halo?” jawab Jessie mengangkat teleponnya. Menggunakan ponsel saat bekerja saja sudah salah, apalagi mengangkat telepon dalam kelas. Tapi yang paling dia rasakan sekarang hanyalah rasa malu. Dia segera berlari keluar ruangan menahan malu. “Jess? Kamu di mana?” tanya Nicholas dari ujung telepon. “Emm… Aku sudah di tempat kerja. Kenapa?” tanya Jessie. Suaranya yang kecil terdengar seperti berbisik. Sesekali dia melihat ke dalam ruangan melalui kaca pintu. Anak yang diajarnya tadi kini diambil alih oleh Sydney. “Kenapa?” Wajah Nicholas mengkerut mendengar jawaban Jessie di telepon. “Tadi kan sudah kubilang kabari aku kalau sudah sampai. Kalau ngak ada info kayak gini aku pikir kamu ada apa-apa di jalan,” nada bica
Suara ricuh anak-anak memenuhi ruangan. Dengan susah payah Sydney dan Rora berusaha menenangkan kembali anak-anak seperti sedia kala. “Siapa?” tanya salah satu bocah sambil memegang ujung baju Jessie. Jessi baru saja memasuki ruangan setelah mengangkat teleponnya. “Hm?” Jessie bingung mendengar pertanyaan tiba-tiba anak itu. “Telepon,” lanjutnya. “Oh itu-,” Jessie bingung harus menjawab apa untuk anak-anak itu. “Ayah,” kata bocah lain menyela sambil sibuk memegang boneka beruang di tangannya. “Iya, benar ayah. Pintar sekali,” jawab Jessie. Dia harus
Sekujur tubuhnya terasa sangat sakit begitu dia mengedipkan matanya. Seakan tidak cukup, kepalanya juga terasa sangat berat membuat dia mengernyitkan kepalanya. Dia menekan-nekan tulang pelipisnya berharap dapat membantu menghilangkan rasa sakit tersebut. Melawan rasa sakit pada badannya dia mencoba duduk, namun angin segar menerpanya membuat badannya menggigil gemetaran. Refleks dia menggosok kedua tangannya untuk menghangatkan badannya. ‘Hm? Kenapa aku tidak pakai baju tidur?’ Menyadari dia tidak memakai baju kecuali pakaian dalam. Dia termenung diatas tempat tidur dan masih setengah sadar. “Sudah bangun?” Suara yang sangat rendah itu terdengar dari ujung kamar. “
Sehari sebelumnya “Kau serius Jess?” tanya Milla yang kembali mengulang pertanyaan tersebut sejak sejam yang lalu. “Iya Mill,” kata Jessie yang sudah lelah terus menjawab Milla teman baiknya, namun tetap masih memberikan senyum tipis. Percakapan mereka berdua tidak berubah-ubah sejak Jessie mengatakan akan pindah dari rumah keluarga Milla yang telah membesarkannya 10 tahun belakangan ini. “Kau tahu kan kau tidak perlu pergi? Kedua orangtuaku juga tidak ada masalah. Aku juga,” ucap Milla yang masih berharap Jessie membatalkan niatnya itu. “Aku tahu. Aku tahu kalian semua baik banget sama aku. Tapi aku sudah membulatkan tekadku Mill,” kata Jessie yang juga ikut murung melihat Milla sedih.
Jessie merendamkan badannya di bathub yang penuh dengan air dan busa mandi. Sambil mengusap-usap badannya dengan busa, dia kembali berpikir. Masih berusaha untuk mengingat apa saja yang dilakukannya tadi malam. Namun sekeras apapun dia mencoba, ingatannya benar-benar tidak kembali. Perlahan dia mencoba menyambung hal-hal apa saja yang dia masih ingat. Dia memang merasa mabuk setelah meminum beberapa gelas alkohol saat di klub malam, namun dia tidak menyangka akan jatuh pingsan. Terlebih dia tidak tahu kejadian setelah dia pingsan di klub malam. ‘Bagaimana aku ketemu Nicholas di klub malam?’ ‘Siapa yang menolongku waktu aku pingsan?’ ‘Brian? Nicholas?’
Jessie menatap ponselnya dalam waktu lama. ‘Dengan nama apa harus kusimpan nomornya?’ ‘Pacar?’ ‘Tidak, kita tidak sedang pacaran.’ ‘Calon suami?’ ‘Memang benar calon suamiku, tapi apa harus menyimpannya dengan nama itu?’ Setelah berpikir lama, Jessie mengetikkan sesuatu di layar ponselnya lalu menaruhnya di atas meja. Dia mengikat rambutnya dan mulai merapikan beberapa barang yang masih berantakan di apartemennya. Selesai menyusun barangnya, Jessie mulai mengepel lantai apartemennya sambil sesekali menyeka keringat di dahinya. Meski lelah, wajah Jessie terlihat cerah memandang apartemennya yang terasa hidup. Dia pun mengambil pons
Suara ricuh anak-anak memenuhi ruangan. Dengan susah payah Sydney dan Rora berusaha menenangkan kembali anak-anak seperti sedia kala. “Siapa?” tanya salah satu bocah sambil memegang ujung baju Jessie. Jessi baru saja memasuki ruangan setelah mengangkat teleponnya. “Hm?” Jessie bingung mendengar pertanyaan tiba-tiba anak itu. “Telepon,” lanjutnya. “Oh itu-,” Jessie bingung harus menjawab apa untuk anak-anak itu. “Ayah,” kata bocah lain menyela sambil sibuk memegang boneka beruang di tangannya. “Iya, benar ayah. Pintar sekali,” jawab Jessie. Dia harus
“Ha-halo?” jawab Jessie mengangkat teleponnya. Menggunakan ponsel saat bekerja saja sudah salah, apalagi mengangkat telepon dalam kelas. Tapi yang paling dia rasakan sekarang hanyalah rasa malu. Dia segera berlari keluar ruangan menahan malu. “Jess? Kamu di mana?” tanya Nicholas dari ujung telepon. “Emm… Aku sudah di tempat kerja. Kenapa?” tanya Jessie. Suaranya yang kecil terdengar seperti berbisik. Sesekali dia melihat ke dalam ruangan melalui kaca pintu. Anak yang diajarnya tadi kini diambil alih oleh Sydney. “Kenapa?” Wajah Nicholas mengkerut mendengar jawaban Jessie di telepon. “Tadi kan sudah kubilang kabari aku kalau sudah sampai. Kalau ngak ada info kayak gini aku pikir kamu ada apa-apa di jalan,” nada bica
Meskipun tidak sangat menyukai kebersihan, namun Nicholas tetap merasa risih. Dia tetap saja mengikuti Jessie yang mencuci tangannya di mangkuk rendaman air jeruk. Meskipun sudah mencuci tangannya, dia tetap makan dengan sendok. Melihat Jessie yang makan dengan lahap, Nicholas juga turut mencobanya. Sekali lagi Nicholas dikejutkan dengan rasa yang enak dari warung kaki lima. Meski begitu patut disesali karena bagian kebersihan untuk warung kaki lima yang jelas tidak sebanding dengan restoran yang sering dikunjunginya. Mereka berdua memakan nasi uduk dan lalapannya dengan sangat lahap. Porsi yang disediakan oleh abang penjual juga sudah cukup banyak, membuat mereka tidak menambah porsi makan.“Berapa bang?” tanya Jessie kepada abang penjual.“46 ribu totalnya,” kata abang penjual sambil sibuk membersihkan meja.
“Ada apa?” kata Richard kaget yang juga ikut bangkit berdiri.“Sudah waktunya pulang kantor,” kata Nicholas santai sambil berjalan keluar.Richard yang tertinggal di dalam ruangan masih terbingung. Tidak berapa lama Richard juga ikut keluar mengikuti Nicholas. Dia mendapati Nicholas yang sudah melangkah masuk ke dalam elevator.“Tung- Tunggu presdir,” kata Richard terengah-engah. Dia setengah berlari agar masih bisa menahan elevator Nicholas.“Apa ada masalah? Kenapa Anda terburu-buru?” tanya Richard masih mengatur napasnya.‘Apakah mungkin ada hal lain yang harus dilakukannya sekarang?’Tanya Richard dalam hati.
“Gimana enak kan?” kata Jessie melihat ekspresi Nicholas. Semakin digigit bakso di mulutnya, rasanya juga semakin terasa. Nicholas terheran-heran dengan bakso yang pertama kali dia rasakan ini. Nicholas mengangguk ringan. “Emang enak kok. Nih aku tambahin ini rasanya jadi lebih enak,” kata Jessie sambil menuangkan kecap, sambal dan jeruk nipis ke mangkuk bakso Nicholas. Wajah Nicholas memucat melihat gerakan tangan Jessie yang lincah memasukkan itu semua. Jessie bahkan membantunya mengaduk kuahnya agar rasanya merata. Nicholas tidak biasa makan makanan pedas, dan Jessie baru saja menambahkan sambal yang cukup banyak ke mangkuknya. Inginnya Nicholas mencegah Jessie, namun apa daya kuah mangkuk baksonya kini telah berubah kemerah-merahan. Nicholas pasrah melihat
Jessie menatap ponselnya dalam waktu lama. ‘Dengan nama apa harus kusimpan nomornya?’ ‘Pacar?’ ‘Tidak, kita tidak sedang pacaran.’ ‘Calon suami?’ ‘Memang benar calon suamiku, tapi apa harus menyimpannya dengan nama itu?’ Setelah berpikir lama, Jessie mengetikkan sesuatu di layar ponselnya lalu menaruhnya di atas meja. Dia mengikat rambutnya dan mulai merapikan beberapa barang yang masih berantakan di apartemennya. Selesai menyusun barangnya, Jessie mulai mengepel lantai apartemennya sambil sesekali menyeka keringat di dahinya. Meski lelah, wajah Jessie terlihat cerah memandang apartemennya yang terasa hidup. Dia pun mengambil pons
Jessie merendamkan badannya di bathub yang penuh dengan air dan busa mandi. Sambil mengusap-usap badannya dengan busa, dia kembali berpikir. Masih berusaha untuk mengingat apa saja yang dilakukannya tadi malam. Namun sekeras apapun dia mencoba, ingatannya benar-benar tidak kembali. Perlahan dia mencoba menyambung hal-hal apa saja yang dia masih ingat. Dia memang merasa mabuk setelah meminum beberapa gelas alkohol saat di klub malam, namun dia tidak menyangka akan jatuh pingsan. Terlebih dia tidak tahu kejadian setelah dia pingsan di klub malam. ‘Bagaimana aku ketemu Nicholas di klub malam?’ ‘Siapa yang menolongku waktu aku pingsan?’ ‘Brian? Nicholas?’
Sehari sebelumnya “Kau serius Jess?” tanya Milla yang kembali mengulang pertanyaan tersebut sejak sejam yang lalu. “Iya Mill,” kata Jessie yang sudah lelah terus menjawab Milla teman baiknya, namun tetap masih memberikan senyum tipis. Percakapan mereka berdua tidak berubah-ubah sejak Jessie mengatakan akan pindah dari rumah keluarga Milla yang telah membesarkannya 10 tahun belakangan ini. “Kau tahu kan kau tidak perlu pergi? Kedua orangtuaku juga tidak ada masalah. Aku juga,” ucap Milla yang masih berharap Jessie membatalkan niatnya itu. “Aku tahu. Aku tahu kalian semua baik banget sama aku. Tapi aku sudah membulatkan tekadku Mill,” kata Jessie yang juga ikut murung melihat Milla sedih.
Sekujur tubuhnya terasa sangat sakit begitu dia mengedipkan matanya. Seakan tidak cukup, kepalanya juga terasa sangat berat membuat dia mengernyitkan kepalanya. Dia menekan-nekan tulang pelipisnya berharap dapat membantu menghilangkan rasa sakit tersebut. Melawan rasa sakit pada badannya dia mencoba duduk, namun angin segar menerpanya membuat badannya menggigil gemetaran. Refleks dia menggosok kedua tangannya untuk menghangatkan badannya. ‘Hm? Kenapa aku tidak pakai baju tidur?’ Menyadari dia tidak memakai baju kecuali pakaian dalam. Dia termenung diatas tempat tidur dan masih setengah sadar. “Sudah bangun?” Suara yang sangat rendah itu terdengar dari ujung kamar. “