Jessie merendamkan badannya di bathub yang penuh dengan air dan busa mandi. Sambil mengusap-usap badannya dengan busa, dia kembali berpikir. Masih berusaha untuk mengingat apa saja yang dilakukannya tadi malam. Namun sekeras apapun dia mencoba, ingatannya benar-benar tidak kembali. Perlahan dia mencoba menyambung hal-hal apa saja yang dia masih ingat. Dia memang merasa mabuk setelah meminum beberapa gelas alkohol saat di klub malam, namun dia tidak menyangka akan jatuh pingsan. Terlebih dia tidak tahu kejadian setelah dia pingsan di klub malam.
‘Bagaimana aku ketemu Nicholas di klub malam?’
‘Siapa yang menolongku waktu aku pingsan?’
‘Brian? Nicholas?’
‘Sudah pasti bukan pria mesum itu kan?’
‘Apa terjadi sesuatu sebelum aku bertemu Nicholas?’
Pikiran Jessie diselimuti berbagai pertanyaan. Dia ingin bertanya pada Nicholas tentang kejadian semalam. Setidaknya bagaimana mereka berdua bisa bertemu.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu kamar mandi terdengar, menghilangkan semua hal yang dipikirkan Jessie.
"Ya?" jawab Jessie yang terkaget.
"Cepatlah keluar," kata Nicholas yang terdengar cukup jelas dari dalam.
Jessie keluar dari bathtub, lalu membungkus badannya dengan handuk piyama yang tersedia. Jessie terkejut melihat pantulan dirinya di cermin. Seluruh riasan wajahnya sudah luntur, terutama riasan di bagian matanya. Dia mencuci wajahnya, menghilangkan segala bekas riasan tersebut.
Dipakainya baju berwarna biru selutut yang terletak diatas di rak samping handuk.
Setelah mengenakan baju tersebut, Jessie membuka pintu kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk yang dipegang dengan kedua tangannya. Pikiran Jessie masih melayang-layang lagi memikirkan kemungkinan wajahnya sudah seperti ini sejak berbicara dengan Nicholas.
"Aw".
Mendengar suara rintihan, seketika Jessie berhenti bergerak dan mendapati Nicholas yang berada tidak sampai setengah meter di depannya.
"Mau sampai kapan kau menginjakku?", Nicholas bertanya pada Jessie yang sedari tadi menatapnya.
Jessie kemudian segera mengangkat kakinya, tidak menyadari telah menginjak kaki Nicholas.
"Maaf," kata Jessie pelan, sambil menundukkan kepalanya.
Jessie melihat bayangan badan Nicholas yang semakin mendekat padanya. Jantung Jessie semakin berdebar seiring langkah Nicholas yang semakin dekat. Meskipun kini Nicholas telah memakai baju kemeja putih, namun Jessie masih saja bisa menerawang dibalik baju itu.
"Sini aku bantu keringkan," kata Nicholas mengambil handuk dari tangan Jessie yang berhenti kaku diatas kepala sejak tadi.
Nicholas menggosok rambut Jessie menggunakan handuk secara perlahan.
Mata Jessie perlahan tertutup, menikmati kepalanya yang seperti sedang dipijat.
"Kalau seperti ini kapan selesainya?" Tanya Jessie yang merasa akan kembali tertidur seperti ini.
"Rambutmu bisa rusak kalau digosok dengan keras," kata Nicholas.
Nicholas tersenyum melihat Jessie yang sedang diam dihadapannya itu.
"Kenapa tidak pakai pengering rambut saja, ada didalam kan?" Tanya Nicholas.
Jessie kemudian mengingat ada sebuah pengering rambut didalam kamar mandi.
"Tidak biasa, lagi pula menggunakan pengering rambut bisa merusak rambut," jawab Jessie masih menutup matanya.
"Sudah," kata Nicholas mengambil handuk dari rambut Jessie.
Nicholas lalu mengambil sisir dari kamar mandi lalu hendak menyisir rambut Jessie.
Menyadari niat Nicholas, Jessie kemudian segera mengambil sisir dari tangan Nicholas.
"Oh iya, kenapa kamu disini?" Tanya Jessie sambil menyisir rambutnya.
Nicholas memiringkan kepalanya heran.
Pertanyaan tadi cukup aneh untuk diajukan kepada pemilik rumah.
"Maksudku, kenapa kau menyuruhku cepat keluar tadi?" Jelas Jessie buru-buru.
Nicholas kemudian seperti ikut tersadar.
"Ah, aku memanggilmu untuk sarapan. Ayo," katanya tersenyum sambil memegang tangan Jessie keluar kamar.
Keduanya keluar kamar sambil memegang tangan menuju ruang makan dengan pelan.
Nicholas menyesuaikan langkah kakinya dengan Jessie yang berada dibelakangnya.
Jessie menatap sekelilingnya. Bangunan yang disebutnya rumah sejak tadi sepertinya adalah apartemen. Hanya beberapa langkah dari kamar tidur, terlihat dapur di sudut ruangan dan sebuah meja makan di tengahnya.
Di meja makan terdapat sepiring sandwich dan segelas susu putih. Melihat makanan yang sepertinya hanya untuknya, Jessie pun bingung.
"Kau tidak makan? Atau ini milikmu?" Tanya Jessie.
"Ini milikmu. Aku tidak terbiasa sarapan," jawab Nicholas yang duduk di seberang Jessie.
Jessie memakan sandwich isi tuna dengan lahap. Nicholas yang menatap lekat Jessie, membuat Jessie salah tingkah.
"Jangan menatapku seperti itu, aku tidak bisa makan dengan benar," kata Jessie berharap Nicholas berhenti menatapnya.
Nicholas tertawa kecil. "Tapi kau sudah menghabiskannya." Wajah Jessie memerah. Dia sangat lapar jadi wajar saja kalau dia bisa menghabiskan sepotong sandwich itu dengan cepat. Tidak ingin membalas tanggapan Nicholas, Jessie segera bergegas meminum susu yang untungnya sudah hangat.
"Pelan-pelanlah minum, kenapa kau terburu-buru sekali," kata Nicholas mengelap ujung bibir Jessie yang ternodai susu dengan tangannya.
Sikap Nicholas membuat jantung Jessie kembali berdebar.
"Um… aku ingin pulang. Aku harus bersiap untuk pergi ke bekerja," kata Jessie.
Matanya berkeliaran kemana saja di ruangan tersebut, kecuali menatap Nicholas yang berada didepannya.
"Pulang?"
"Ya. Kau tidak mungkin berpikir aku tidak punya rumah bukan?" Sindir Jessie.
Nicholas hanya tertawa kecil menanggapi sindiran tersebut.
"Aku tahu kau punya rumah Jess. Tapi mulai sekarang kau tinggal disini," kata Nicholas menatap Jessie.
"Tidak, aku tidak mau tinggal disini," jawaban Jessie terdengar sangat tegas.
"Kenapa? Sebentar lagi kita akan menikah. Tidak ada bedanya mau kau pindah sekarang atau nanti kan," kata Nicholas tenang sambil tersenyum.
"Tentu saja berbeda," jawab Jessie cepat.
Nicholas mengerutkan dahinya melihat sikap Jessie. Dia mencoba menyusun kata untuk membuat Jessie mau tinggal disini, namun melihat Jessie yang menatapnya tajam, dia pun akhirnya menyerah.
"Baiklah kalau kau maunya seperti itu. Ayo."
Nicholas bangkit berdiri, menjulurkan satu tangannya pada Jessie, membuat Jessie memegang tangannya lalu ikut bangkit berdiri.
"Tunggu.. Piringnya-"
"Biarkan saja disitu."
Sepanjang perjalanan Jessie terus-terusan berpikir. Entah apa yang dipikirkannya sampai-sampai Nicholas memanggilnya berkali-kali namun dia tidak menanggapinya.
"Jess? Jessie?" Nicholas memanggilnya berkali-kali. Dia mencondongkan badannya melihat Jessie yang terbengong di kursinya.
"Y- ya?"
"Apa kau sakit?" Tanya Nicholas cemas. Dia menjulurkan tangannya ke dahi Jessie, memastikan suhu badannya yang ternyata masih normal.
"Tidak, aku hanya sedang berpikir saja," jawab Jessie menjauhkan tangan Nicholas dari dahinya.
"Apa yang kau pikirkan seserius itu?" Tanya Nicholas yang membalik badannya menghadap Jessie, siap mendengar ceritanya.
Jessie yang melihat tingkah Nicholas, tidak menjawab pertanyaannya.
"Ada apa? Kenapa kau tadi memanggilku?" Tanya Jessie.
Nicholas yang menyadari Jessie berusaha mengalihkan pertanyaannya hanya menghela nafas pendek.
"Kita sudah sampai," kata Nicholas yang kembali duduk lurus.
Jessie pun baru tersadar mobilnya sudah berhenti di depan apartemennya.
"Oh. Terima kasih."
Jessie berniat membuka pintu mobil namun kemudian tertahan oleh Nicholas.
"Tunggu. Sepertinya kau melupakan sesuatu," kata Nicholas membuat Jessie bingung.
'Apa yang kulupakan?'
"Ponselmu. Berikan padaku," kata Nicholas menjulurkan tangannya.
Jessie segera menuruti perkataan Nicholas.
Tidak ada kata sandi pada ponselnya, sehingga Jessie mengambil ponsel dari tasnya dan langsung memberikannya.
Beberapa detik setelah memberikan ponselnya, Jessie yang penasaran pun bertanya.
"Apa yang kau lakukan dengan ponselku? Apa kau masih akan mengembalikan ponselku?"
'Apa ponselku akan dijadikan sebagai jaminan?'
Nicholas hanya tertawa kecil, lalu tidak lama kemudian dia pun menyerahkan kembali ponsel Jessie.
"Aku hanya memasukkan nomorku di ponselmu saja. Aku membiarkan namanya masih kosong. Kau akan menyimpan nomorku dengan sebutan apa?" Tanya Nicholas sambil tersenyum lebar.
Dia menanti-nanti jawaban apa yang diberikan Jessie. Jessie hanya menatap ponselnya, tidak memberikan jawaban apapun untuk Nicholas.
"Baiklah kalau begitu aku duluan. Hati-hati dijalan," kata Jessie segera membuka pintu mobil lalu bergegas menuju apartemennya.
Nicholas hanya menatap Jessie yang semakin menjauh darinya. Senyum lebarnya ikut menghilang seiring kepergian Jessie yang hilang dari pandangannya.
Jessie menatap ponselnya dalam waktu lama. ‘Dengan nama apa harus kusimpan nomornya?’ ‘Pacar?’ ‘Tidak, kita tidak sedang pacaran.’ ‘Calon suami?’ ‘Memang benar calon suamiku, tapi apa harus menyimpannya dengan nama itu?’ Setelah berpikir lama, Jessie mengetikkan sesuatu di layar ponselnya lalu menaruhnya di atas meja. Dia mengikat rambutnya dan mulai merapikan beberapa barang yang masih berantakan di apartemennya. Selesai menyusun barangnya, Jessie mulai mengepel lantai apartemennya sambil sesekali menyeka keringat di dahinya. Meski lelah, wajah Jessie terlihat cerah memandang apartemennya yang terasa hidup. Dia pun mengambil pons
“Gimana enak kan?” kata Jessie melihat ekspresi Nicholas. Semakin digigit bakso di mulutnya, rasanya juga semakin terasa. Nicholas terheran-heran dengan bakso yang pertama kali dia rasakan ini. Nicholas mengangguk ringan. “Emang enak kok. Nih aku tambahin ini rasanya jadi lebih enak,” kata Jessie sambil menuangkan kecap, sambal dan jeruk nipis ke mangkuk bakso Nicholas. Wajah Nicholas memucat melihat gerakan tangan Jessie yang lincah memasukkan itu semua. Jessie bahkan membantunya mengaduk kuahnya agar rasanya merata. Nicholas tidak biasa makan makanan pedas, dan Jessie baru saja menambahkan sambal yang cukup banyak ke mangkuknya. Inginnya Nicholas mencegah Jessie, namun apa daya kuah mangkuk baksonya kini telah berubah kemerah-merahan. Nicholas pasrah melihat
“Ada apa?” kata Richard kaget yang juga ikut bangkit berdiri.“Sudah waktunya pulang kantor,” kata Nicholas santai sambil berjalan keluar.Richard yang tertinggal di dalam ruangan masih terbingung. Tidak berapa lama Richard juga ikut keluar mengikuti Nicholas. Dia mendapati Nicholas yang sudah melangkah masuk ke dalam elevator.“Tung- Tunggu presdir,” kata Richard terengah-engah. Dia setengah berlari agar masih bisa menahan elevator Nicholas.“Apa ada masalah? Kenapa Anda terburu-buru?” tanya Richard masih mengatur napasnya.‘Apakah mungkin ada hal lain yang harus dilakukannya sekarang?’Tanya Richard dalam hati.
Meskipun tidak sangat menyukai kebersihan, namun Nicholas tetap merasa risih. Dia tetap saja mengikuti Jessie yang mencuci tangannya di mangkuk rendaman air jeruk. Meskipun sudah mencuci tangannya, dia tetap makan dengan sendok. Melihat Jessie yang makan dengan lahap, Nicholas juga turut mencobanya. Sekali lagi Nicholas dikejutkan dengan rasa yang enak dari warung kaki lima. Meski begitu patut disesali karena bagian kebersihan untuk warung kaki lima yang jelas tidak sebanding dengan restoran yang sering dikunjunginya. Mereka berdua memakan nasi uduk dan lalapannya dengan sangat lahap. Porsi yang disediakan oleh abang penjual juga sudah cukup banyak, membuat mereka tidak menambah porsi makan.“Berapa bang?” tanya Jessie kepada abang penjual.“46 ribu totalnya,” kata abang penjual sambil sibuk membersihkan meja.
“Ha-halo?” jawab Jessie mengangkat teleponnya. Menggunakan ponsel saat bekerja saja sudah salah, apalagi mengangkat telepon dalam kelas. Tapi yang paling dia rasakan sekarang hanyalah rasa malu. Dia segera berlari keluar ruangan menahan malu. “Jess? Kamu di mana?” tanya Nicholas dari ujung telepon. “Emm… Aku sudah di tempat kerja. Kenapa?” tanya Jessie. Suaranya yang kecil terdengar seperti berbisik. Sesekali dia melihat ke dalam ruangan melalui kaca pintu. Anak yang diajarnya tadi kini diambil alih oleh Sydney. “Kenapa?” Wajah Nicholas mengkerut mendengar jawaban Jessie di telepon. “Tadi kan sudah kubilang kabari aku kalau sudah sampai. Kalau ngak ada info kayak gini aku pikir kamu ada apa-apa di jalan,” nada bica
Suara ricuh anak-anak memenuhi ruangan. Dengan susah payah Sydney dan Rora berusaha menenangkan kembali anak-anak seperti sedia kala. “Siapa?” tanya salah satu bocah sambil memegang ujung baju Jessie. Jessi baru saja memasuki ruangan setelah mengangkat teleponnya. “Hm?” Jessie bingung mendengar pertanyaan tiba-tiba anak itu. “Telepon,” lanjutnya. “Oh itu-,” Jessie bingung harus menjawab apa untuk anak-anak itu. “Ayah,” kata bocah lain menyela sambil sibuk memegang boneka beruang di tangannya. “Iya, benar ayah. Pintar sekali,” jawab Jessie. Dia harus
Sekujur tubuhnya terasa sangat sakit begitu dia mengedipkan matanya. Seakan tidak cukup, kepalanya juga terasa sangat berat membuat dia mengernyitkan kepalanya. Dia menekan-nekan tulang pelipisnya berharap dapat membantu menghilangkan rasa sakit tersebut. Melawan rasa sakit pada badannya dia mencoba duduk, namun angin segar menerpanya membuat badannya menggigil gemetaran. Refleks dia menggosok kedua tangannya untuk menghangatkan badannya. ‘Hm? Kenapa aku tidak pakai baju tidur?’ Menyadari dia tidak memakai baju kecuali pakaian dalam. Dia termenung diatas tempat tidur dan masih setengah sadar. “Sudah bangun?” Suara yang sangat rendah itu terdengar dari ujung kamar. “
Sehari sebelumnya “Kau serius Jess?” tanya Milla yang kembali mengulang pertanyaan tersebut sejak sejam yang lalu. “Iya Mill,” kata Jessie yang sudah lelah terus menjawab Milla teman baiknya, namun tetap masih memberikan senyum tipis. Percakapan mereka berdua tidak berubah-ubah sejak Jessie mengatakan akan pindah dari rumah keluarga Milla yang telah membesarkannya 10 tahun belakangan ini. “Kau tahu kan kau tidak perlu pergi? Kedua orangtuaku juga tidak ada masalah. Aku juga,” ucap Milla yang masih berharap Jessie membatalkan niatnya itu. “Aku tahu. Aku tahu kalian semua baik banget sama aku. Tapi aku sudah membulatkan tekadku Mill,” kata Jessie yang juga ikut murung melihat Milla sedih.
Suara ricuh anak-anak memenuhi ruangan. Dengan susah payah Sydney dan Rora berusaha menenangkan kembali anak-anak seperti sedia kala. “Siapa?” tanya salah satu bocah sambil memegang ujung baju Jessie. Jessi baru saja memasuki ruangan setelah mengangkat teleponnya. “Hm?” Jessie bingung mendengar pertanyaan tiba-tiba anak itu. “Telepon,” lanjutnya. “Oh itu-,” Jessie bingung harus menjawab apa untuk anak-anak itu. “Ayah,” kata bocah lain menyela sambil sibuk memegang boneka beruang di tangannya. “Iya, benar ayah. Pintar sekali,” jawab Jessie. Dia harus
“Ha-halo?” jawab Jessie mengangkat teleponnya. Menggunakan ponsel saat bekerja saja sudah salah, apalagi mengangkat telepon dalam kelas. Tapi yang paling dia rasakan sekarang hanyalah rasa malu. Dia segera berlari keluar ruangan menahan malu. “Jess? Kamu di mana?” tanya Nicholas dari ujung telepon. “Emm… Aku sudah di tempat kerja. Kenapa?” tanya Jessie. Suaranya yang kecil terdengar seperti berbisik. Sesekali dia melihat ke dalam ruangan melalui kaca pintu. Anak yang diajarnya tadi kini diambil alih oleh Sydney. “Kenapa?” Wajah Nicholas mengkerut mendengar jawaban Jessie di telepon. “Tadi kan sudah kubilang kabari aku kalau sudah sampai. Kalau ngak ada info kayak gini aku pikir kamu ada apa-apa di jalan,” nada bica
Meskipun tidak sangat menyukai kebersihan, namun Nicholas tetap merasa risih. Dia tetap saja mengikuti Jessie yang mencuci tangannya di mangkuk rendaman air jeruk. Meskipun sudah mencuci tangannya, dia tetap makan dengan sendok. Melihat Jessie yang makan dengan lahap, Nicholas juga turut mencobanya. Sekali lagi Nicholas dikejutkan dengan rasa yang enak dari warung kaki lima. Meski begitu patut disesali karena bagian kebersihan untuk warung kaki lima yang jelas tidak sebanding dengan restoran yang sering dikunjunginya. Mereka berdua memakan nasi uduk dan lalapannya dengan sangat lahap. Porsi yang disediakan oleh abang penjual juga sudah cukup banyak, membuat mereka tidak menambah porsi makan.“Berapa bang?” tanya Jessie kepada abang penjual.“46 ribu totalnya,” kata abang penjual sambil sibuk membersihkan meja.
“Ada apa?” kata Richard kaget yang juga ikut bangkit berdiri.“Sudah waktunya pulang kantor,” kata Nicholas santai sambil berjalan keluar.Richard yang tertinggal di dalam ruangan masih terbingung. Tidak berapa lama Richard juga ikut keluar mengikuti Nicholas. Dia mendapati Nicholas yang sudah melangkah masuk ke dalam elevator.“Tung- Tunggu presdir,” kata Richard terengah-engah. Dia setengah berlari agar masih bisa menahan elevator Nicholas.“Apa ada masalah? Kenapa Anda terburu-buru?” tanya Richard masih mengatur napasnya.‘Apakah mungkin ada hal lain yang harus dilakukannya sekarang?’Tanya Richard dalam hati.
“Gimana enak kan?” kata Jessie melihat ekspresi Nicholas. Semakin digigit bakso di mulutnya, rasanya juga semakin terasa. Nicholas terheran-heran dengan bakso yang pertama kali dia rasakan ini. Nicholas mengangguk ringan. “Emang enak kok. Nih aku tambahin ini rasanya jadi lebih enak,” kata Jessie sambil menuangkan kecap, sambal dan jeruk nipis ke mangkuk bakso Nicholas. Wajah Nicholas memucat melihat gerakan tangan Jessie yang lincah memasukkan itu semua. Jessie bahkan membantunya mengaduk kuahnya agar rasanya merata. Nicholas tidak biasa makan makanan pedas, dan Jessie baru saja menambahkan sambal yang cukup banyak ke mangkuknya. Inginnya Nicholas mencegah Jessie, namun apa daya kuah mangkuk baksonya kini telah berubah kemerah-merahan. Nicholas pasrah melihat
Jessie menatap ponselnya dalam waktu lama. ‘Dengan nama apa harus kusimpan nomornya?’ ‘Pacar?’ ‘Tidak, kita tidak sedang pacaran.’ ‘Calon suami?’ ‘Memang benar calon suamiku, tapi apa harus menyimpannya dengan nama itu?’ Setelah berpikir lama, Jessie mengetikkan sesuatu di layar ponselnya lalu menaruhnya di atas meja. Dia mengikat rambutnya dan mulai merapikan beberapa barang yang masih berantakan di apartemennya. Selesai menyusun barangnya, Jessie mulai mengepel lantai apartemennya sambil sesekali menyeka keringat di dahinya. Meski lelah, wajah Jessie terlihat cerah memandang apartemennya yang terasa hidup. Dia pun mengambil pons
Jessie merendamkan badannya di bathub yang penuh dengan air dan busa mandi. Sambil mengusap-usap badannya dengan busa, dia kembali berpikir. Masih berusaha untuk mengingat apa saja yang dilakukannya tadi malam. Namun sekeras apapun dia mencoba, ingatannya benar-benar tidak kembali. Perlahan dia mencoba menyambung hal-hal apa saja yang dia masih ingat. Dia memang merasa mabuk setelah meminum beberapa gelas alkohol saat di klub malam, namun dia tidak menyangka akan jatuh pingsan. Terlebih dia tidak tahu kejadian setelah dia pingsan di klub malam. ‘Bagaimana aku ketemu Nicholas di klub malam?’ ‘Siapa yang menolongku waktu aku pingsan?’ ‘Brian? Nicholas?’
Sehari sebelumnya “Kau serius Jess?” tanya Milla yang kembali mengulang pertanyaan tersebut sejak sejam yang lalu. “Iya Mill,” kata Jessie yang sudah lelah terus menjawab Milla teman baiknya, namun tetap masih memberikan senyum tipis. Percakapan mereka berdua tidak berubah-ubah sejak Jessie mengatakan akan pindah dari rumah keluarga Milla yang telah membesarkannya 10 tahun belakangan ini. “Kau tahu kan kau tidak perlu pergi? Kedua orangtuaku juga tidak ada masalah. Aku juga,” ucap Milla yang masih berharap Jessie membatalkan niatnya itu. “Aku tahu. Aku tahu kalian semua baik banget sama aku. Tapi aku sudah membulatkan tekadku Mill,” kata Jessie yang juga ikut murung melihat Milla sedih.
Sekujur tubuhnya terasa sangat sakit begitu dia mengedipkan matanya. Seakan tidak cukup, kepalanya juga terasa sangat berat membuat dia mengernyitkan kepalanya. Dia menekan-nekan tulang pelipisnya berharap dapat membantu menghilangkan rasa sakit tersebut. Melawan rasa sakit pada badannya dia mencoba duduk, namun angin segar menerpanya membuat badannya menggigil gemetaran. Refleks dia menggosok kedua tangannya untuk menghangatkan badannya. ‘Hm? Kenapa aku tidak pakai baju tidur?’ Menyadari dia tidak memakai baju kecuali pakaian dalam. Dia termenung diatas tempat tidur dan masih setengah sadar. “Sudah bangun?” Suara yang sangat rendah itu terdengar dari ujung kamar. “