Kedua insan yang tengah tergulung selimut tebal masih merajut mimpi di atas bentangan nabastala terkikis sinar mentari yang menyapa pagi hari ini.
Aksa mengerjap mata beberapa kali sebelum bangkit untuk duduk di tepi ranjang milik Shikha yang akan menjadi miliknya.
Aksa melirik ke samping dimana tengah terbaring seorang gadis, lebih tepatnya seorang wanita yang telah ia rampas ke virginannya tadi malam. Sekelebat memori otaknya memutar setiap detik kejadian yang semalam terjadi, Aksa yang begitu ganas hingga membuat Shikha kewalahan akibat menerima hujaman berulang kali dari Aksa.
Seulas senyum tipis terbit dari bibir Aksa, ntah mengapa dirinya kini merasakan hal aneh yang menyelimuti perasaannya. Sangat sulit diterima oleh akal sehat Aksa, bahwa tadi malam ia mengaku begitu mencintai istrinya, pria itu juga mengatakan bahwa Shikha tak akan pernah lepas dari cengkramannya.
Aksa kini beralih menatap jam weaker di atas nakas, tepat berada di sampingnya.
"Aksa..."panggil Shikha lirih dari dalam kamar mandi, namun suaranya terdengar cukup jelas. Aksa segera melangkah, menghampiri Shikha yang telah selesai berendam seraya membawakan handuk untuknya."Ini handukmu,"Aksa beralih menatap kearah lain, ia sangat tau jika Shikha tak ingin dilihat dalam keadaan seperti ini. Ya meskipun percuma saja, Aksa telah melihatnya dengan jelas semalam.Shikha segera meraih handuk itu dan melilitkan ketubuhnya."Sudah,"mendengar itu Aksa langsung berbalik dan segera menggendong Shikha untuk keluar dari bathtub.CEO dingin itu dengan perlahan-lahan meletakkan Shikha ke atas ranjang."Apa kau bisa memakai pakaianmu sendiri?"tanya Aksa, Shikha mengerjap dengan mata bulat nan polosnya itu lalu ia menggeleng kuat.Tak tahan dengan sikap lucu istrinya ini, Aksa kemudian mencomot pipi chubby Shikha sembari tersenyum tipis."Baiklah, Nona muda. Tuan muda yang paling tampan di dunia akan segera menyiapkan pakaian
"Aku akan menyuruh Bi Lean untuk membawakan kita sarapan."kata Aksa seraya berjalan keluar kamar. Shikha yang masih tergenang dalam lamunannya, kini kembali tersadar karena suara bel berbunyi. Pria bertubuh jangkung memunculkan dirinya dari luar memasuki kamar, ia duduk di tepi ranjang dan setelahnya beralih memainkan ponsel. Lihatlah, baru saja ia merasakan bahwa Aksa telah berubah menjadi ramah dan begitu seru namun sekarang ia kembali menjadi batu es yang dingin dan tak tersentuh. Setelah beberapa waktu berlalu tanpa adanya perbincangan satu sama lain, kini mereka telah menikmati sarapan pagi bersama di kamar setelah kedatangan Bi Lean beberapa saat yang lalu. "Kau menyetujui ide Mami?"Tanya Aksa dengan mulut yang masih penuh dengan makanan, Shikha menatap Aksa kemudian kembali fokus dengan sarapannya. "Aku tak tau... Semua tergantung padamu."ucap Shikha. Aksa mengangguk samar kemudian kembali melanjutkan kegiatannya yaitu mengunyah
"Aksa... Tolong dengarkan aku sekali saja,"Shikha terus berlari mengejar langkah panjang Aksa.Aksa sengaja menulikan pendengarannya, ia merasa benar-benar tidak mood hari ini. Ntah kenapa, tapi Aksa menyukainya.Shikha tak putus asa untuk terus berlari menyusul langkah panjang Aksa yang semakin lama semakin menjauh darinya. Pria bertubuh jangkung itu sungguh membuatnya takut sekaligus khawatir. Takut jika pria itu akan melakukan hal kasar padanya seperti dahulu dan khawatir jika pria itu lepas kendali lalu menyakiti orang lain."Aksa! Hentikan langkahmu sekarang!"Teriak Shikha dengan nafas memburu, Aksa seketika menghentikan langkahnya, kemudian berbalik untuk menatap Shikha.Tatapan tajam menghunus berhasil membuat nyali Shikha menciut."Kau berani berteriak kepadaku?"kata Aksa, ia melangkah maju mendekati Shikha yang masih berdiri tegak beberapa langkah darinya."Hm!?"erang Aksa seraya mencengkram lengan Shikha hingga membuat wanita itu s
"Keadaan Wanita ini sungguh mengenaskan–"Aksa memberi kode kepada dokter itu untuk berhenti berbicara. "Dia Nona muda Dwiken, bisakah anda sopan kepadanya?"Tanya Aksa merasa tersinggung dengan perkataan dokter pribadinya, sedangkan Zeller hanya mampu mengangguk dan tersenyum tipis saja. "Saya akan menjelaskan keadaan Nona muda secara detail dimana terdapat banyak luka memar yang membalut kulit putih pucat milik Nona Muda,"Aksa yang semula biasa saja kini ia menatap tajam Zeller. "Darimana anda tahu? Anda melihat tubuh istri, Saya?"tanya Aksa dengan nada yang sedikit meninggi. 'Pria ini begitu cemburu saat ku katakan tentang kondisi tubuh istrinya, padahal bukan aku yang melihatnya. Tapi, para perawat yang melihatnya.'Batin Zeller. "Tidak, Tuan Aksa. Bukan Saya yang memeriksa tubuh Nona muda, melainkan para perawat saja yang memeriksa dan mereka memberitahukannya kepada Saya."Jelas Zeller meyakinkan Aksa. Aksa menyipitkan bola matanya,
"Jangan pernah berpikir bahwa selama Saya menjalani pengobatan, Saya sama sekali tidak mengetahui kondisi putri Saya.""Lalu Ayah menginginkan apa dariku?"Tanya Aksa.Harsa tertawa tipis, memperlihatkan deretan gigi putih yang terlihat begitu rapi tersusun dalam mulutnya."Anak muda jaman sekarang menginginkan sesuatu dengan cara yang instan,"Ucapnya seraya menepuk bahu Aksa."Tidak perlu terburu-buru, Tuan muda Aksa.""Putri kecilku ini telah membuat hidupmu sengsara, bukan? Baiklah, Saya akan membawanya pulang."setelah mendengar penuturan dari Harsa, Aruna terkejut bukan kepalang. Membiarkan Shikha pergi sama saja ia telah membiarkan putrinya pergi. Tidak, ini tidak bisa dibiarkan."Tidak, Tuan Harsa. Shikha tidak akan kemana-mana, dia akan tetap bersama Aksa."ucap Aruna tidak setuju, ia melirik Aksa yang berada di sampingnya dengan tatapan sayu.Alis tebal milik Harsa menukik tajam. "Mengapa anda ingin putri Saya
Aksa membanting kasar pintu kamarnya hingga menimbulkan suara yang cukup keras. Nafasnya memburu dengan aliran darah yang terus berpacu, Aksa menenggelamkan wajahnya di antara sela-sela bantal guna meredam emosinya. Jika tidak terikat janji dengan Mami nya tentang larangan meminum alkohol, Aksa sudah menenggak 5 botol wine sekarang, jadi hanya dengan cara inilah ia dapat meluapkan emosinya.Aksa mengerang, ia menjambak rambutnya frustasi. Sungguh! Ayah mertuanya telah membuatnya marah dengan mengancam akan membawa Shikha pulang. Kalau ditanya ikhlas, kah Aksa jika Shikha pergi sekarang? Tentu saja tidak! Sangat-sangat tidak ikhlas, pasalnya Aksa sendiri belum puas untuk memberi Shikha pelajaran atas tindakan kurang ajar Shikha terhadapnya selama ini. Dan jangan lupakan soal perjanjian 365 hari yang telah dibuat sendiri oleh Shikha, bahkan ini masih 3 bulan usia pernikahan mereka itu berarti Shikha telah melangggar janji jika ia menyetujui perintah ayahnya.Aksa mengelu
"Tidak, Sayang. Biar Ayah saja yang mengemasi barang-barangmu."Tolak Harsa saat Shikha ingin membantunya memasukkan beberapa barang ke dalam koper. Dokter menyatakan bahwa kondisi Shikha telah lebih baik setelah mendapatkan perawatan selama 4 hari akhirnya Shikha telah diperbolehkan pulang. Ini merupakan kabar yang baik untuknya, akhirnya ia dapat menghirup udara bebas setelah lama terkulai seharian dengan tabung oksigen yang membantunya bernafas. "Sudah." Shikha menoleh ke arah Harsa yang telah menyeret koper berukuran sedang di tangannya. "Ayo!" Harsa mengulurkan tangannya ke arah Shikha dan dibalas oleh uluran tangan mungil itu. Mereka berjalan beriringan menuju Mobil CR-V hitam milik Harsa yang terpakir di halaman rumah sakit. "Ayah, kita akan pulang ke rumah Aksa, kan?"Tanya Shikha seraya menoleh ke arah Harsa yang telah duduk di kursi kemudi. Harsa terdiam, sejujurnya ia sangat tidak setuju jika putrinya harus kembali ke rumah pe
"Mi, dimana Aksa?"Tanya Shikha, pandangannya menyapu keseluruh ruangan itu, mencari sosok pria berwajah beku. Seketika raut wajah sumringah Aruna perlahan memudar berganti dengan raut wajah pias. Aruna membetulkan posisi duduknya, yang semula bersandar pada kepala sofa, kini duduk tegak dengan tatapan serius. Dengan satu tarikan nafas, Aruna mulai menceritakan kejadian 4 hari yang lalu ketika Harsa dan Aksa berdebat di rumah sakit dan waktu itu kondisi Shikha masih tak sadarkan diri. Shikha terlihat begitu serius mencerna seluruh penuturan Aruna, sesekali ia mengangguk kepala untuk membenarkan opini Maminya itu, namun terkadang ia juga tidak menyetujui penuturan dari Aruna. "Dan begitulah,"ujar Aruna mengakhiri cerita. Shikha bergegas berdiri dan melangkah ke kamar meninggalkan Aruna yang masih duduk dengan tatapan sayu. "Pria dingin itu sungguh telah membuatku kehilangan akal, bisa-bisanya ia mengatakan hal bodoh itu kepada Mami