"Mampus aku!"Binar mengumpat dirinya sendiri saat mobil mewah itu memasuki pekarangan rumah orang tuanya. Dia sangat merindukan ayah dan ibu tercinta, namun jika situasinya seperti ini, Binar menjadi lupa dengan rindu itu dan berharap waktu akan cepat berlalu."Kamu pikir saya tidak dengar?" suara bariton itu mengejutkan Binar. Binar mengelus dada, "Ya, dengar pun nggak masalah!""Bersiap-siaplah, sebentar lagi peran kamu sedikit dilebihkan!"Keduanya turun dari mobil. Mereka menunggu Tuan Angkasa dan Nyonya Diana turun dari mobil yang berbeda. Ya, mereka pergi beriringan. Rumah Binar tidak terlalu besar dan juga tidak kecil. Namun jika dibandingkan dengan rumah Presdir Tama, itu akan terlihat sangat jauh sekali. Binar mengetuk pintu rumahnya, tak lama kemudian sang ibu langsung membuka pintu tersebut. "Binar!" Sang ibu langsung memeluknya. "Apa kabar, Nak?"Binar meneteskan air mata. Keduanya menyatukan rindu yang amat dalam. "Binar akan selalu baik-baik saja, Bu. Tenanglah! Sel
Hari kian berlalu. Perjanjian masih terus berlanjut. Mereka selalu dihantui dengan pertanyaan, kapan menikah? Horor sekali. Pagi ini Binar terlambat bangun, otomatis dia juga terlambat membangunkan atasan tercinta. Walaupun sebenarnya Presdir Tama sudah bangun pukul empat pagi setiap harinya."Astaga!" Binar teringat dengan atasan yang dulu dingin kini berubah menjadi alay. Ya, itulah dipikiran Binar tentang atasan tercinta. Wanita itu langsung mengambil ponsel dan menghubungi atasannya. [Pagi, Presdir!][Hm!]Binar mengerutkan alisnya, [Pak Presdir sudah bangun, ya?]Pertanyaan itu lolos begitu saja karena Binar tidak pernah mendengar suara berat khas bangun tidur sang atasannya.[Apa pertanyaan itu yang pantas ditanyakan?][Hm, tidak. Maaf, Pak. Saya terlambat bangun. Untuk pakaian, akan segera saya siapkan di kantor!][Jadi maksud kamu, saya tanpa pakaian ke kantor?][Buk—]Panggilan tersebut mati secara sepihak. Binar menjadi panik karena ia sangat yakin jika atasan tersebut sed
"Saya tim aduk," jawab Binar dengan malu-malu."Berarti kita tidak cocok, karena saya tim tidak diaduk.""Kadang memang harus ada perbedaan untuk menyatukan!"Presdir Tama menaikkan alisnya sebelah, "Maksud kamu, apa?"Binar langsung tersedak dan menjadi salah tingkah. Ia tak tahu mengapa bisa mengatakan hal seperti itu. "T—tidak. Bukan apa-apa. Bubur ayamnya enak, Pak. Buat saya saja, ya? Nanti saya ganti, punya saya ada di luar!" Binar langsung mengambilnya dari tangan Presdir Tama. "Ambillah! Dan sepertinya kamu harus ambil satu hari untuk cuti. Saya takut aja, penyakit kamu semakin dalam.""Penyakit?""Ya, besok cutilah dan berobat ke dokter William.""Siapa itu?""Dokter langganannya keluarga saya, tapi tak apa. Kamu boleh berobat dengannya secara gratis. Nanti saya kirimkan nomornya!""Tapi, Pak —""Saya, Presdir Tama. Saya tidak terima penolakan!"Satu jam kemudian, Binar masih membayangkan bagaimana kejadian tadi. Begitu memalukan sekali. Sedang asyik terhanyut dalam bayanga
"Sayang …." Wanita itu bergelayut manja dipundak Presdir Tama. Namun secepat kilat pria itu menepisnya. "Sayang, kenapa kamu berubah? Ini aku, Sayang!""Hentikan, Olive!" bentak Presdir Tama.Bukan hanya wanita itu yang terperanjat kaget, tetapi juga Binar yang berada di sana. Bagaimana tidak? Suara pria itu begitu menggelegarkan seisi ruangan. "Tolong pergi sekarang, sebelum kesabaran saya habis!" lanjutnya dengan tatapan yang mematikan. Binar hanya menjadi penonton di sini. Pikirannya bertanya-tanya, siapa wanita ini dan mengapa Presdir Tama sangat membencinya. "Apa kamu tidak dengar, Olive?" lanjutnya lagi. "Sayang, maafkan aku. Apa kamu nggak bisa memaafkan kesalahanku yang lalu? Aku, Olive yang baru. Aku sudah menyesal, Sayang! Aku sudah berubah, sungguh.""Itu bukan urusanku, Olive!""Sayang …."Wanita itu masih saja berusaha mendekati Presdir Tama. Namun langkahnya terhenti saat melihat pria itu menggenggam tangan Binar. "Sayang, kenapa kamu diam saja saat wanita j*lang men
Disangka kerasukan membuat Binar sedikit kesal. Menyebalkan sekali, memang. Pria itu berbicara sesuka hati,"Apa ada orang kerasukan di siang bolong?""Bisa saja kamu orangnya! Katakanlah, ada apa? Apa yang kamu pikirkan?""Tidak ada.""Lalu, kenapa saya bicara kamu abaikan?""Hah?""Kamu buat saya seperti orang gila karena bicara sendiri. Jika saja ada yang melihatnya, mungkin saya dikira bicara dengan patung!"Ocehan Presdir Tama membuat Binar ingin tertawa. Seketika pria itu berubah menjadi pria bawel dan menjengkelkan."Oh … jadi begini, rasanya!" gumam wanita itu. "Rasa apa?" "Rasa sayange … rasa sayang sayange. Hei, lihat dari jauh, rasa sayang sayange." Agak lain Binar ini. Begitulah dia jika sudah diambang rasa malunya. "Pak Presdir kepo banget, deh! Ah, iya, saya lapar. Bisakah saya makan duluan?" lanjutnya. Presdir Tama malah tersenyum geli, meskipun sangat tipis terlihat. "Kamu itu, aneh. Memang tinggal kamu yang belum makan!" Binar mengedarkan pandangannya. Rupanya me
Kini Binar sudah berada di luar ruangan Presdir Tama. Dia terus menggerutu karena dicampakkan begitu saja."Binar, tolong saya!""Binar, kamu harus di sisi saya.""Binar … Binar … Binar ….""Apaan? Bulshit!"Binar mengumpat atasannya sendiri. Lucu sekali. Karena bibir Binar kini bergeser kesana-kemari, wajah wanita ini sudah tak terkondisikan lagi."Woi, marah terus. Ada apa?" Sekretaris Andin mendekatinya. "Eh, kamu. Dari tadi, Ndin?""Ada apa sih?" Sekretaris Andin penasaran. "Nggak pa-pa. Aku lagi kesal aja. Ternyata semua laki-laki itu sama aja, ya!""Tunggu, tunggu … pertama kamu bilang nggak pa-pa, kedua lagi kesal. Ketiga kamu bilang laki-laki itu semua sama aja. Yang benar yang mana?""Satu dulu, baru dua, terakhir tiga. Dah, ah. Nggak penting juga untuk didebatkan!"Binar duduk di kursinya, kemudian dia menghadap sekretaris Andin yang berada di depannya. "Aku mau nanya sama kamu!""Hm, apa tuh? Eh, tunggu, aku ambil kursi dulu!" Sangking penasarannya, sekretaris Andin tidak
"T—tidak.""Apa wanita itu ada di sini?""Dari mana Pak Rayyan tahu?""Berarti dia memang di sini?"Binar terdiam. Rayyan menaruh tangannya di saku celana. "Pak Rayyan, jangan menebar pesona gitu, saya tersepona." Binar memang sengaja mengalihkan pembicaraan."Terpesona!" tegas Rayyan. "Sudahlah, kamu jangan mengalihkan pembicaraan begitu, sekretaris Binar!" lanjutnya. "Saya permisi, Pak!" seru Binar."Mau ke mana, kamu? Katakan, apa dia di dalam?""Sebelum saya jawab, janji dulu untuk nggak bilang ke Presdir kalau semua ini saya yang aduin.""Aman!" singkat Rayyan. "Dia di dalam, bye!" ketus Binar sambil berlari. 'Huh, selamat … selamat …." Begitulah gumam Binar setelah menjauh dari Rayyan. Entah bagaimana nantinya saat Binar pergi tadi, tetapi yang terpenting bagi Binar dia sudah menjauh dari hal-hal yang membahayakannya."Pst, kenapa?" tanya sekretaris Andin yang ternyata sejak tadi melihat gerak-gerik Binar."Kepo!" Sahut Binar sambil menjulurkan lidah. Sementara di dalam ruan
Berjalan dengan santai, membeli yang dia mau, berfoya-foya, pergi ke spa untuk memanjakan dirinya, nonton di bioskop serta melakukan apa saja yang dia inginkan di sana. Sudah hampir lima jam dia di dalam mall, karena tadi sempat menonton dan ke salon. Kini wanita itu kelelahan, perutnya keroncongan. Tepat di sebuah cafe, dia menaruh bokongnya di kursi berwarna cream. Tempatnya sangat nyaman. Sebelum bekerja, dia sempat ingin ke tempat itu, karena banyak sekali kalangan atas yang memilih tempat tersebut untuk makan ataupun ajang spot foto saja. Dibilang spot foto karena hanya memesan minuman saja, tetapi duduknya sampai berjam-jam. Hayo, siapa yang seperti itu juga? Hehe.Kini dia berhasil ke tempat tersebut, walaupun tidak bersama teman-temannya. Dia memegang sofa yang dia duduki. "Pantas saja apa-apa mahal di sini, duduk aja senyaman ini!" gumam Binar sambil cekikikan sendiri.Tanpa Binar sadari, seorang pelayan sedang berdiri di hadapannya. Dia terus melamun sambil membayangkan y