Dengan ragu Binar menyambut tangan Presdir Tama. Keduanya berjalan dengan beriringan dan tampak serasi. Para maid memberikan salam hormat pada keduanya. "Wah … apa ini namanya surprise, Tama?" tanya Tuan Angkasa. Nyonya Diana mendekati putranya, "Tama! Apa ini? Kamu ingin beri kami kejutan? Astaga, andai saja sejak awal kamu bilang sudah memiliki pasangan, kami takkan repot-repot memberikan kandidat untuk kamu. Iya, 'kan, Dad?""Dan pasangan itu juga sudah kita lihat sebelumnya!" imbuh Tuan Angkasa. Keduanya tersenyum kaku, Nyonya Diana melepaskan tangan Binar yang melingkar di lengan Presdir Tama. "Kalau kekasih kamu adalah asisten kamu sendiri, Mommy sangat setuju!""Bagaimana kejutan dari Tama?" tanya Presdir Tama dengan angkuh."Kami sangat terkejut, Nak! Kamu ini, bisa saja," jawab Nyonya Diana.Tuan Angkasa berdehem, "Ngobrolnya nanti lagi, sekarang kita makan dulu. Ayo di makan, Nak!" titah Tuan Angkasa.Tiba-tiba Binar berdiri dan mengambilkan menu untuk kedua orang tuanya
Suara ayam berkokok namun tidak mungkin terdengar dari apartemen milik Binar. Akan tetapi matahari yang masuk dari sudut jendela kamar pasti akan terlihat saat gorden jendelanya sedikit terbuka. Suara alarm yang pasang Binar juga ikut serta membangunkan gadis cantik ini. Binar membuka matanya, "Huaaa! Kenapa sudah berganti hari?" pekik Binar.Binar tidak terima dengan pergantian hari tersebut karena pastinya dia akan menghadapi drama yang dibayar. Meskipun dibayar, dia bukanlah artis. Gugup yang dirasakan Binar masih terbilang wajar."Sudah jam 6!" pekik Binar saat melihat jam. Binar lompat dari kasurnya dan langsung ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sekitar pukul delapan pagi, seseorang mengetuk pintu apartemen Binar. Wanita itu masih merias dirinya. Ia berpikir seorang staf di sana 'lah yang datang membawakan sarapan karena dirinya meminta untuk dibelikan sarapan tersebut."Iya, tunggu sebentar!" teriak Binar dari dalam, dia berpikir orang yang di luar sana mendengar ucapann
"Binar!" panggil seorang wanita paruh baya yang menunggu kedatangannya sejak tadi. Mendengar panggilan itu, obrolan tadi pun terputus dengan paksa. Binar menghela napasnya karena sudah merasa lega. Ya, ibunya Presdir Tama 'lah yang memanggil sambil merentangkan tangannya berharap akan disambut oleh Binar.Binar pun mendekat dan memeluknya, "Ny— Mommy … maaf, Binar terlambat!" seru Binar. "Kamu tahu, tidak? Mommy sudah lapar!" seru Nyonya Diana."Astaga, kenapa nunggu Binar, Mommy?""Karena Mommy pengen buat cake bareng kamu," sahutnya. "Kamu 'kan tahu, Mommy itu suka sekali buatan ibu kamu. Eh, iya, kapan-kapan bawa Mommy ke rumah, ya? Pengen kenalan sama ibu kamu!""Siap, Mommy!"Sementara Presdir Tama sejak tadi hanya duduk di sofa sambil memerhatikan kedua insan tersebut. Nyonya Diana melirik sang putra, "Kenapa kamu?""Tak apa!""Mau ikut masak?""Enggak!""Makannya?""Enggak juga!"Nyonya Diana berkacak pinggang, "Kamu ini, gimana? Masa' buatan pacar kamu sendiri, kamu malas ma
Binar dan Presdir Tama saling tatap, Rayyan memang menyebalkan saat ini. Apalagi dia juga sudah tahu tentang sandiwara yang mereka ciptakan. Keduanya sangat yakin jika Rayyan akan memanfaatkan ini untuk kepentingan pribadinya."Sekarang giliran kalian yang aneh. Ada apa, Tama?" Presdir Tama menggaruk tengkuknya, "Mommy kayak nggak tahu si Rayyan aja, dia memang begitu, suka sekali membuat onar!""Yakin nggak ada yang kalian tutupi?""Apa Mommy nggak percaya dengan Tama?" Nyonya Diana hanya bisa menghela napasnya. Ia merasa ada yang menjanggal tetapi masih belum tahu dimana letak kejanggalan tersebut."Aneh sekali! Rayyan seperti terkejut saat tahu kalian pacaran. Jangan bilang sebenarnya kalian sedang bersandiwara depan Mommy?" tebak nyonya Diana sambil memicingkan matanya. Biasanya jika Presdir Tama sedang berbohong, pria itu memberikan gelagat anehnya. Akan tetapi kali ini pria itu berhasil untuk menunjukkan dihadapan sang ibu, jika dirinya tidak berbohong. "Kalau Mommy mengangg
"Astaga! Kenapa suasana jadi tegang begini? Ayo kita makan dulu!" Tuan Angkasa cekikikan sendiri. "Tap—""Ayolah, Tama! Apa kamu tidak kasihan dengan kekasihmu? Lihatlah, Binar sudah sangat lapar. Iya 'kan, Binar?" potong Nyonya Diana.Binar hanya diam. Apa yang bisa dilakukan wanita itu saat ini? Kata-kata lapar yang diucapkannya tadi hanya kiasan semata agar nyonya Diana berhenti menyelidik mereka. Akan tetapi kenapa sekarang menjadi senjata dari Nyonya Diana untuk Binar?"Baiklah!" seru Presdir Tama. Pria ini menyadari kegugupan dari Binar. Perasaan Presdir Tama saat ini tidak enak, ia merasa jika kedua orangtuanya sudah mulai curiga. Apalagi dengan kehadiran Rayyan tadi yang mengganggu semua rencana mereka. "Sayang! Tolong ambilkan untukku," ucap Presdir Tama. Sedikit menggelitik, namun itu hanya dijadikan sebagai alat agar orangtuanya tidak menaruh curiga. "Hah?" Binar masih tercengang. "Sayang, ayolah!" Sambil mengedipkan matanya. Kedipan mata dari Presdir Tama membuat Bin
Niatnya ia hanya ingin mengabaikan ucapan pria ini, tetapi saat melihat wajah Presdir Tama ingin sekali rasanya dia mencekiknya. Ya, pria itu terlihat menyebalkan."Apa maksud Pak Presdir?""Jangan terbelit-belit. Katakan saja!""Menurut saya, orang tua saya hanya boleh bertemu dengan satu pria, yaitu kekasih saya." Sebenarnya ucapan Binar tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Namun, Presdir Tama memotongnya. "Bukankah saya memang kekasih kamu?""Iya, benar! Tapi itu hanya sebatas kontrak!""Hm, begitu, ya?" Presdir Tama memegang dagunya. "Apa itu artinya kamu ingin lebih?" tanyanya sedikit menggoda. Binar terkesiap. Wanita itu melototkan matanya dan bersiap untuk menyela ucapan Presdir Tama. Akan tetapi untuk kesekian kalinya wanita itu tidak dapat mengeluarkan suara karena sang atasan terus memotongnya."Kamu jangan berharap lebih pada saya, mengerti?"Bukannya menjawab, Binar malah terbahak-bahak. "Tenanglah, Pak Presdir. Jangankan berharap, kepikiran saja saya tidak pernah."
"Mampus aku!"Binar mengumpat dirinya sendiri saat mobil mewah itu memasuki pekarangan rumah orang tuanya. Dia sangat merindukan ayah dan ibu tercinta, namun jika situasinya seperti ini, Binar menjadi lupa dengan rindu itu dan berharap waktu akan cepat berlalu."Kamu pikir saya tidak dengar?" suara bariton itu mengejutkan Binar. Binar mengelus dada, "Ya, dengar pun nggak masalah!""Bersiap-siaplah, sebentar lagi peran kamu sedikit dilebihkan!"Keduanya turun dari mobil. Mereka menunggu Tuan Angkasa dan Nyonya Diana turun dari mobil yang berbeda. Ya, mereka pergi beriringan. Rumah Binar tidak terlalu besar dan juga tidak kecil. Namun jika dibandingkan dengan rumah Presdir Tama, itu akan terlihat sangat jauh sekali. Binar mengetuk pintu rumahnya, tak lama kemudian sang ibu langsung membuka pintu tersebut. "Binar!" Sang ibu langsung memeluknya. "Apa kabar, Nak?"Binar meneteskan air mata. Keduanya menyatukan rindu yang amat dalam. "Binar akan selalu baik-baik saja, Bu. Tenanglah! Sel
Hari kian berlalu. Perjanjian masih terus berlanjut. Mereka selalu dihantui dengan pertanyaan, kapan menikah? Horor sekali. Pagi ini Binar terlambat bangun, otomatis dia juga terlambat membangunkan atasan tercinta. Walaupun sebenarnya Presdir Tama sudah bangun pukul empat pagi setiap harinya."Astaga!" Binar teringat dengan atasan yang dulu dingin kini berubah menjadi alay. Ya, itulah dipikiran Binar tentang atasan tercinta. Wanita itu langsung mengambil ponsel dan menghubungi atasannya. [Pagi, Presdir!][Hm!]Binar mengerutkan alisnya, [Pak Presdir sudah bangun, ya?]Pertanyaan itu lolos begitu saja karena Binar tidak pernah mendengar suara berat khas bangun tidur sang atasannya.[Apa pertanyaan itu yang pantas ditanyakan?][Hm, tidak. Maaf, Pak. Saya terlambat bangun. Untuk pakaian, akan segera saya siapkan di kantor!][Jadi maksud kamu, saya tanpa pakaian ke kantor?][Buk—]Panggilan tersebut mati secara sepihak. Binar menjadi panik karena ia sangat yakin jika atasan tersebut sed
Taman di mansion milik Tuan Angkasa cukup besar. Bahkan juga ada beberapa wahana seperti pelosotan dan ayunan sebagai pelengkap.Saat ini Binar dan Presdir Tama sedang berada di tamat tersebut. Banyak sekali pertanyaan yang ada dibenak Binar. Sedangkan Presdir Tama terlihat dingin menatap lurus ke depan. "Pak Presdir —""Saya mencintaimu!" seru Presdir Tama."Apa?""Anggap saja saya mencintaimu."Binar semakin kecewa, dia mengira lelaki itu benar-benar menyukainya. Tetapi ternyata semua itu hanya bagian dari rencana. Binar menggelengkan kepala, "sorry tapi ini diluar dari kesepakatan kita. Saya tidak setuju! Pernikahan bukanlah permainan, Pak Presdir. Saya tidak bisa mengotori ikatan suci itu dengan perjanjian konyol ini.""Bagaimana kalau kita nikah beneran? Hanya dua tahun saja. Saya tidak akan menyentuhmu. Kita buat pernjanjian secara tertulis lagi. Bagaimana?""Tidak! Saya tidak setuju!""Bagaimana kalau bayarnya 100 kali lipat?""Apa anda sudah gila?" Binar sudah tak dapat lagi
[Buka pintunya sekarang!]Binar terperanjat kaget, kini kepalanya 'lah yang terbentur oleh lemari kecil yang berada di sebelahnya. Untunglah, panggilan tersebut terputus secara sepihak.Binar membuka pintu apartemen tersebut. Dengan spontan dia mundur kebelakang saat Presdir Tama masuk ke dalam. "Apa kita perlu ke dokter?" tanyanya.Binar menggelengkan kepala. Pria itu memerhatikan gadis cantik di hadapannya dari atas sampai bawah. "A—ada apa, Pak Presdir?""Apa kamu terbentur?""Ya, Pak Presdir nelpon saya, buat saya jadi terkejut.""Kamu menyalahkan saya? Lagian kenapa kamu masih tidur jam segini? Kamu lupa akan bertemu dengan ibu saya?""T—tidak, t—tapi …""Pakai ini!" Sambil menyerahkan sebuah paper bag yang sudah berisi pakaian lengkap. Bahkan tas, sepatu dan aksesoris lainnya juga sudah dipersiapkan. "Jangan ngintip, ya!" Seru Binar sambil berlari ke kamar mandi. "Kamu pikir saya selera?" ketus Presdir Tama. Binar masuk ke kamar mandi dan menyelesaikan rutinitasnya. Satu jam
Seharian bersama David membuat Binar kenyang, terhibur dan berkecukupan. Hatinya tenang karena tidak memikirkan atasannya yang super menyebalkan. Urusan Presdir marah atau tidak, itu belakangan.Tak terasa, malam pun tiba. Binar diantarkan oleh David ke kamarnya."Lo senang, Queen?""Lo bilang apa, Kak?" Binar melototkan matanya. "Ah, sorry. Gue masih kebawa perasaan. Okay deh, gue ulangin. Lo senang nggak, Binar?"Binar tersenyum, "thanks, Kak.""Lo yakin nggak mau gue antar sampai kamar?""Nggak usah, Kak. Makasih!"David langsung menatap gedung apartemen tersebut. Saat ini pria itu berada di parkiran bersama Binar. Binar benar-benar tidak memberikan izin masuk, meskipun hanya sampai di lobby. Karena menurut Binar, itu tidak pantas. Selain David bukan siapa-siapa, tempat yang ia huni bukanlah miliknya."Tapi Lo hebat, Lo bisa tinggal di apartemen mewah ini. Kemarin Lo beli berapa? Atau Lo nyewa?" "Lo ngeremehin gue, Kak?""Maaf, bukan maksud buat Lo tersinggung. Maaf, bukan itu ma
"Kamu ambil cuti cuma mau makan di sini? Sama siapa?" tanya Presdir Tama."Sa—"Olive berdehem membuat Binar menghentikan ucapannya. "Honey, kayaknya dia butuh waktu untuk sendirian. Makannya sendiri doang. Yuk, kita tinggalin!""Saya sama teman dekat saya. Iya!""Teman dekat?" tanya Presdir Tama."Ups! Secepat itu kamu berpaling, Binar? Bukannya kamu kemarin baru saja dekat dengan my honey, ya? Kenapa sekarang ada teman lainnya? Aduh, honey. Pilihan kamu sudah tepat dengan milih aku! Dari pada gadis ini, kamu sudah menyelamatkan diri kamu dari gadis yang berkhianat!"Binar meninggalkan mereka yang sedang berdebat. Dia pergi ke meja David tadi. "Kak David!" panggilnya.Respon David di luar dugaan, dia malah tersenyum lebar sambil menepuk tangan. "Gue tahu, Lo pasti mau minta maaf karena udah kayak tadi sama gue 'kan? Gue maafin!""Ck, tolong gue!""Maksud Lo?"Binar menarik tangan David, "Maaf, nanti gue ceritain!"Keduanya sudah berdiri di hadapan Presdir Tama dan Olive. Dengan terpa
Berjalan dengan santai, membeli yang dia mau, berfoya-foya, pergi ke spa untuk memanjakan dirinya, nonton di bioskop serta melakukan apa saja yang dia inginkan di sana. Sudah hampir lima jam dia di dalam mall, karena tadi sempat menonton dan ke salon. Kini wanita itu kelelahan, perutnya keroncongan. Tepat di sebuah cafe, dia menaruh bokongnya di kursi berwarna cream. Tempatnya sangat nyaman. Sebelum bekerja, dia sempat ingin ke tempat itu, karena banyak sekali kalangan atas yang memilih tempat tersebut untuk makan ataupun ajang spot foto saja. Dibilang spot foto karena hanya memesan minuman saja, tetapi duduknya sampai berjam-jam. Hayo, siapa yang seperti itu juga? Hehe.Kini dia berhasil ke tempat tersebut, walaupun tidak bersama teman-temannya. Dia memegang sofa yang dia duduki. "Pantas saja apa-apa mahal di sini, duduk aja senyaman ini!" gumam Binar sambil cekikikan sendiri.Tanpa Binar sadari, seorang pelayan sedang berdiri di hadapannya. Dia terus melamun sambil membayangkan y
"T—tidak.""Apa wanita itu ada di sini?""Dari mana Pak Rayyan tahu?""Berarti dia memang di sini?"Binar terdiam. Rayyan menaruh tangannya di saku celana. "Pak Rayyan, jangan menebar pesona gitu, saya tersepona." Binar memang sengaja mengalihkan pembicaraan."Terpesona!" tegas Rayyan. "Sudahlah, kamu jangan mengalihkan pembicaraan begitu, sekretaris Binar!" lanjutnya. "Saya permisi, Pak!" seru Binar."Mau ke mana, kamu? Katakan, apa dia di dalam?""Sebelum saya jawab, janji dulu untuk nggak bilang ke Presdir kalau semua ini saya yang aduin.""Aman!" singkat Rayyan. "Dia di dalam, bye!" ketus Binar sambil berlari. 'Huh, selamat … selamat …." Begitulah gumam Binar setelah menjauh dari Rayyan. Entah bagaimana nantinya saat Binar pergi tadi, tetapi yang terpenting bagi Binar dia sudah menjauh dari hal-hal yang membahayakannya."Pst, kenapa?" tanya sekretaris Andin yang ternyata sejak tadi melihat gerak-gerik Binar."Kepo!" Sahut Binar sambil menjulurkan lidah. Sementara di dalam ruan
Kini Binar sudah berada di luar ruangan Presdir Tama. Dia terus menggerutu karena dicampakkan begitu saja."Binar, tolong saya!""Binar, kamu harus di sisi saya.""Binar … Binar … Binar ….""Apaan? Bulshit!"Binar mengumpat atasannya sendiri. Lucu sekali. Karena bibir Binar kini bergeser kesana-kemari, wajah wanita ini sudah tak terkondisikan lagi."Woi, marah terus. Ada apa?" Sekretaris Andin mendekatinya. "Eh, kamu. Dari tadi, Ndin?""Ada apa sih?" Sekretaris Andin penasaran. "Nggak pa-pa. Aku lagi kesal aja. Ternyata semua laki-laki itu sama aja, ya!""Tunggu, tunggu … pertama kamu bilang nggak pa-pa, kedua lagi kesal. Ketiga kamu bilang laki-laki itu semua sama aja. Yang benar yang mana?""Satu dulu, baru dua, terakhir tiga. Dah, ah. Nggak penting juga untuk didebatkan!"Binar duduk di kursinya, kemudian dia menghadap sekretaris Andin yang berada di depannya. "Aku mau nanya sama kamu!""Hm, apa tuh? Eh, tunggu, aku ambil kursi dulu!" Sangking penasarannya, sekretaris Andin tidak
Disangka kerasukan membuat Binar sedikit kesal. Menyebalkan sekali, memang. Pria itu berbicara sesuka hati,"Apa ada orang kerasukan di siang bolong?""Bisa saja kamu orangnya! Katakanlah, ada apa? Apa yang kamu pikirkan?""Tidak ada.""Lalu, kenapa saya bicara kamu abaikan?""Hah?""Kamu buat saya seperti orang gila karena bicara sendiri. Jika saja ada yang melihatnya, mungkin saya dikira bicara dengan patung!"Ocehan Presdir Tama membuat Binar ingin tertawa. Seketika pria itu berubah menjadi pria bawel dan menjengkelkan."Oh … jadi begini, rasanya!" gumam wanita itu. "Rasa apa?" "Rasa sayange … rasa sayang sayange. Hei, lihat dari jauh, rasa sayang sayange." Agak lain Binar ini. Begitulah dia jika sudah diambang rasa malunya. "Pak Presdir kepo banget, deh! Ah, iya, saya lapar. Bisakah saya makan duluan?" lanjutnya. Presdir Tama malah tersenyum geli, meskipun sangat tipis terlihat. "Kamu itu, aneh. Memang tinggal kamu yang belum makan!" Binar mengedarkan pandangannya. Rupanya me
"Sayang …." Wanita itu bergelayut manja dipundak Presdir Tama. Namun secepat kilat pria itu menepisnya. "Sayang, kenapa kamu berubah? Ini aku, Sayang!""Hentikan, Olive!" bentak Presdir Tama.Bukan hanya wanita itu yang terperanjat kaget, tetapi juga Binar yang berada di sana. Bagaimana tidak? Suara pria itu begitu menggelegarkan seisi ruangan. "Tolong pergi sekarang, sebelum kesabaran saya habis!" lanjutnya dengan tatapan yang mematikan. Binar hanya menjadi penonton di sini. Pikirannya bertanya-tanya, siapa wanita ini dan mengapa Presdir Tama sangat membencinya. "Apa kamu tidak dengar, Olive?" lanjutnya lagi. "Sayang, maafkan aku. Apa kamu nggak bisa memaafkan kesalahanku yang lalu? Aku, Olive yang baru. Aku sudah menyesal, Sayang! Aku sudah berubah, sungguh.""Itu bukan urusanku, Olive!""Sayang …."Wanita itu masih saja berusaha mendekati Presdir Tama. Namun langkahnya terhenti saat melihat pria itu menggenggam tangan Binar. "Sayang, kenapa kamu diam saja saat wanita j*lang men