Dua hari ini, Lian meminta Hana memadatkan jadwalnya dari pagi sampai malam. Mulai dari pemotretan, meeting dengan brand, menghadiri fashion show butik baru seorang desainer, sampai menghadiri acara ulang tahun seorang artis satu managemennya.Ia seolah tidak pernah merasa lelah meski jadwalnya diluar nalar. Bagaimanapun juga, di rumah dengan Kulu cukup menyenangkan, tapi kebiasaannya untuk pergi bekerja belum bisa ia pangkas dari pola hidupnya. Namun, Kulu cukup mengasah skill-nya bermonolog akhir-akhir ini.Dua hari ini juga, Saga jadi intens mengirimkan chat mengingatkan makan, istirahat, minum vitamin dan banyak hal. Lelaki itu juga telepon saat kerjaannya senggang. Padahal biasanya cuek saja. Yang tidak habis pikir, dua malam ini, Saga mengajak Lian untuk sleep call. Sesuatu yang tidak pernah mereka lakukan sebelumnya. Tidur ya tidur saja. Rindu bisa dilampiaskan saat pulang. Namun, agaknya Saga begitu karena kejadian beberapa hari lalu. Ia jauh lebih protektif dan kadar phsycal t
Lian dan Saga sampai di rumah sakit hampir tepat saat mobil ambulan yang ditumpangi Sofi dan Ine datang.Lian dan Saga buru-buru turun menghampiri Ine yang sedang di turunkan brankarnya. Ine tampak kesakitan dan memegangi perutnya yang besar itu. Sementara Sofi sepertinya belum berhenti menangis sejak tadi. Lian pun langsung meneluk Sofi dan mengusap punggungnya, mencoba menenangkan. Mereka mengikuti brankar Ine dan masuk ke UGD untuk mengecek tanda vital."Ine, sabar ya. Kamu pasti kuat. Sebentar lagi jagoan kecilmu lahir." Lian beralih ke samping Ine dan mengusap pelan lengan sahabatnya itu.Suasana begitu riyuh. Para suster juga berlalu lalang ke sana kemari. Di sebelah juga ada pasien kecelakaan, pasien nenek-nenek tantrum dan pasien lain yang urgent. UGD memang tempat tersibuk. Membuat kepanikan semua orang bertambah parah."Aaa ... Sakit!" Ine menggeram sambil mencengkeram pinggiran brankar itu. Matanya terpejam kuat dan meneteskan air mata. Semua berusaha menenangkan Ine."Rio
"Untungnya Saga tidak jadi ikut masuk ke ruang bersalin. Anak kamu bisa krisis identitas, karena first impressionnya Saga, bukan Rio." Lian mengupaskan jeruk untuk Ine yang masih berbaring di ranjang. Kini Ine sudah masuk ke ruang perawatan dan sudah istirahat. Bayinya juga sudah diserahkan kepada orang tuanya untuk skin to skin. Sekarang giliran Rio yang melakukannya di sofa ruangan rawat VIP yang luas ini. "Iya juga, untung aku segera sadar yang aku pegang tangannya bukan Rio. Tapi, aku jadi merasa bersalah tangan Saga jadi terluka begitu." Ine mengubah ekspresi wajahnya menjadi merasa bersalah.Lian terkekeh, "Itu hanya cakaran kecil. Tidak masalah. Dan sepertinya harus ada SOP, nail art tidak boleh untuk ibu yang mau melahirkan."Lian melirik sekilas, melihat Saga hanya duduk disebelah Rio dan bermain ponsel. Seperti tidak tertarik dengan apa yang sedang Rio lakukan bersama bayinya.Ine tergelak mendengar ucapak Lian. "Benar juga. A
"Aduh yang mau di jemput suami. Touch up dulu supaya cetar ya kan?" Hana sudah berdiri di ambang pintu toilet dengan kedua tangan terlipat di dada.Lian melirik managernya itu melalui pantulan di kaca, tidak bereaksi apa-apa karena kini ia sedang memoleskan lipstiknya ke bibir. "Saga sudah di depan itu. Pantas saja sejak tadi kamu mengingatkan aku terus soal rescedule jadwal sore ini, ternyata mau kencan.""No! Ini bukan kencan.""Oh ya? Aku tidak percaya."Lian membalik badannya setelah memasukkan lipstik itu ke dalam tasnya. Ia menatap Hana juga tidak percaya."Terserah, tapi harusnya kamu berterima kasih padaku karena itu artinya, kamu bisa pulang lebih awal kan? Syukur-syukur, kamu pakai waktunya untuk kencan atau menjajaki para lelaki dan pilih satu yang membuatmu cocok, lalu menikah."Hana terlihat memutar bola matanya, jengah. "Andai semudah itu, aku sudah melakukannya dari dulu, Lian.""Sebenarnya meman
Dengan wajah datarnya, Lian membuka pintu mobil Saga dan keluar dari sana. Ia berjalan menjauh dari mobil itu.Sementara Saga, harus menyesali sikapnya yang membuat Lian jadi seperti ini. Harusnya ia bicara baik-baik dan tidak memaksa Lian keluar dari rumah itu. Atau minimal, Saga menurut saja dulu untuk berkonsultasi dengan seorang psikolog pernikahan kenalan Lian itu. Lagipula tidak ada yang harus ia takutkan. Ia tidak memiliki trauma apapun, apalagi soal anak kecil. Segini teririskah egonya, sampai harus kembali membuar Lian marah?Kini ia menghela napas kasar dan menyugar rambutnya untuk kesekian kali. Ia keluar dari mobilnya dan mengejar Lian yang sudah sampai pinggir jalan."Lian ... " panggil Saga dengan pelan.Ia tidak mau menjadi tontonan orang-orang karena bertengkar dengan seorang perempuan di pinggir jalan begini. Namun, belum sampai ia ke tempat Lian, istrinya itu sudah menyetop taksi dan masuk. Saga mendengus. Ia berlari kembali ke mobilnya dan mengejar taksi tersebut. S
Ada banyak hal yang terjadi di kehidupan Lian, terutama selama proses menggapai mimpinya menjadi model. Tentu tidak semua hal terasa menyenangkan. Ada hal diluar kendalinya yang tidak mampu ia kontrol. Kesedihan, kekecewaan, penantian, perlakuan orang terhadapnya dan banyak hal lagi. Lian mencoba memahami itu sebagai bagian dari proses sakitnya hingga ia bisa menjadi seperti sekarang. Kecuali satu hal ini; pria hidung belang.Di industri model, banyak sekali pria-pria dengan berbagai macam tipe. Apalagi, model kebanyakan adalah perempuan dan di sanalah sarang lelaki bejat dan hidung belang meloloskan ego dan nafsunya secara terang-terangan ataupun terselubung. Hampir setiap hari, Lian melihat para model diperlakukan kurang menyenangkan oleh pria-pria yang mengaku berpengaruh besar terhadap kemajuan karir mereka. Fakta soal diajak check in di hotel, dijadikan sugar baby atau rela menjadi istri kedua, tentu saja adalah makanan sehari-hari di telinga Lian. Tidak satu dua juga
"Bercanda kan Hana? Mengapa aku tidak perlu berangkat kerja hari ini? Setahuku akau masih ada jadwal foto costum untuk butiknya Ovi Margareta kan?" Satu tangan Lian berkacak pinggang di depan cermin walk in closet. Pagi-pagi ia sudah mandi dan berniat mencari baju untuk pergi bekerja, lalu mendapat telepon dari Hana bahwa ia tidak ada jadwal hari ini alias libur. Dimana-mana, hari libur adalah hari yang paling dinantikan, tapi berbeda dengan Lian. Ia merasa harus berkesibukan hari ini setelah apa yang terjadi kemarin sore; pertengkarannya dengan Saga yang sampai hari ini tidak ada tanda-tanda membaik, misinya yang gagal untuk membawa Saga ke psikolog pernikahan sekaligus kesialannya bertemu supir taksi nakal.Ia harus menyalurkan energinya untuk bekerja daripada di rumah dan tidak melakukan apa-apa. Apalagi, sepertinya Saga juga libur hari ini. Terlihat lelaki itu masih bergelung di atas ranjang dengan selimut menutupi separuh tubuhnya."Lian, kamu tidak bisa memforsir diri begitu. Ad
Satu jam pertama bersama Miko.Belum apa-apa, Lian dan Saga sudah kuwalahan mengikuti pergerakan aktif Miko. Sebenarnya Anggi memberikan makan Miko apa sampai-sampai jadi super aktif begini? Tidak mungkin kan diberi bayam kalengan seperti popeye?Bayi delapan bulan ini kesana kemari merangkak, meraba dan mencari pegangan apapun untuk bisa berdiri. Bibirnya juga tidak bisa diam dan mengoceh tidak jelas. Kadang mengikuti Lian atau Saga bicara. Tak jarang Lian memekik saat tangan mungil itu memegang sesuatu yang tidak seharusnya dijadikan mainan seperti kabel, hiasan berbahan kaca di samping TV, saklar yang dipasang pendek di dinding dan lain sebagainya.Sementara Saga juga tak kalah sibuknya menyingkirkan rak kaca ringan yang terpajang di ruang tengah. Mengepel lantai saat Miko menumpahkan kuah makannya yang dibawakan Anggi. Pokoknya keduanya sangat sibuk dan tidak berhenti menggeram karena kelakuan bocah ini. Rumah mereka memang bukan rumah yang r
Sudah terlalu lama Lian berjibaku dengan pikirannya sendiri. Dengan asumsi bahwa setelah Fahri kembali dari menuntut ilmu di luar negeri, lelaki itu tidak akan mengenali Lian lagi. Terbukti, waktu itu Lian diam-diam datang ke rumah Fahri saat lelaki ia sedang liburan dan pulang ke tanah air. Fahri sedang sangat buru-buru memasuki mobilnya. Fahri semakin menawan dengan setelan jas mahalnya. Dari sana, Lian bisa menyadari bahwa ia masih belum bisa bersanding dengan Fahri. Meski perasaannya mungkin tidak berubah, kenyataan menyentaknya untuk berhenti. Berhenti mengharapkan diri kembali pada Fahri dan berhenti berharap. Maka, ia pun pergi dari kompleks rumah itu setelah melihat mobil Fahri menghilang di belokan gang. Ia merasa menjadi manusia yang paling putus asa, saat itu. Ia menaiki bis untuk kembali ke kost-kostannya yang masih empat kali empat itu. Namun, justru takdir mempertemukannya dengan Saga.Seolah alam semesta tidak bekerja sendiri, ada andil takdir juga, ia dan Saga akhirnya
Selayaknya pagi adalah waktu yang tepat untuk mengawali hari, pertengkaran mereka di malam hari selalu teredam di waktu pagi. Mereka akan baikan dengan sendirinya di pagi hari. Namun kali ini, tidak. Semalam, Saga dengan kemauannya sendiri tidur di sofa ruang tengah setelah mengisolasi diri di ruang kerjanya. Lian juga tidak berinisiatif untuk menawarkan Saga tidur di kamar. Ia hanya membawakan selimut ketika malam telah larut dan Saga sudah terlelap. "Aku berangkat," pamit Saga kepada Lian di ambang pintu kaca pembatas antara ruang tengah dan dapur. Lelaki itu bahkan tidak repot-repot menghampiri dan memberikan kecupan hangat kepada Lian. Jangankan itu, menoleh barang sejenak saja tidak. Saga melenggang pergi menuju carport."Mas ... " Lian menyusul Saga ke carport dan memberikan satu kotak makan. "Aku mungkin tidak bisa ke kantor kamu membawakan makan siang. Hana sudah mengatur kembali jadwal kerjaku. Jadi, bawa ini untuk makan siang."Tanpa berkata apa-apa, Saga meraih kotak maka
"Semua yang ada di kepalamu isinya hanya kamu meragukanku, Lian."Saga lantas meraih laptopnya dan membawanya ke ruang kerja. Sebelum mencapai ambang pintu, Saga menoleh lagi dan berkata sesuatu yang membuat Lian semakin tercengang dan bingung."Segera selesaikan urusan masa lalumu," ujar Saga dengan nada paling dingin yang pernah Lian dengar, membuatnya bergidik.Lelaki itu menutup kasar pintunya tanpa sedikitpun memikirkan perasaan Lian. Ya, apa yang harus dipikirkan setelah kekacauan yang Lian buat sendiri?Kulu berlari menghampiri Lian, naik di atas sofa seolah tahu bahwa pemiliknya kini sedang tidak baik-baik saja. Kulu seolah ingin menghibur Lian dengan mengibaskan ekor berbulu lebatnya dengan gemas. Maka, Lian meraih Kulu dan mendekapnya dengan erat. "Kulu ... " Satu butir air mata jatuh melalui pipinya. "I'm so stupid!"Pukul dua siang, Saga belum juga keluar dari ruang kerjanya. Sementara Lian sudah bersiap akan ke rumah sakit untuk mengecek kakinya dan melepas perban yang ma
Lian membuka matanya dengan berat. Ia sudah berada di kamar dan cahaya matahari yang menembus vitrase, lembut menyerbunya. Satu kerjapan, dua kerjapan dan Lian merasa mual. Ia pun menyibak selimut dengan kasar dan berlari ke kamar mandi.Lian menundukkan kepalanya di wastafel dan memuntahkan isi perutnya akibat mabuk semalam. Astaga! Apa yang ia perbuat semalam sampai ia lupa semuanya dan jadi seperti ini? Sudah sekian lama ia tidak mabuk. Rupanya saat kembali mabuk, justru rasanya sekacau ini. Tenggorokannya kering dan napasnya memburu.Ia mendongak, melihat pantulan dirinya di kaca atas wastafel setelah mengusap wajahnya dengan air. Satu kata; berantakan. Rambutnya mencuat kemana-mana. Matanya memerah dan oh shit! Ia hanya mengenakan piyama tipis tanpa terkancing semua.Pasti semalam adalah situasi bencana.Kepalanya pening dan ia menunduk dalam untuk menetralkannya. Lalu, ia mencoba mengingat dengan detail apa yang terjadi hingga tidak sadarkan diri dan bangun di siang bolong begi
"Kalau begitu, kita menikah muda. Aku janji akan membahagiakanmu. Aku janji tidak akan ada yang berani mengusikmu. Kamu begini pasti terpengaruh dengan orang-orang di sekitarku bukan? Sehingga kamu bisa berpikir begini? Lianda, please! Kita sama-sama sudah dewasa dan tahu apa yang kita rasakan satu sama lain."Lian marah dengan perkataan Fahri yang seenaknya itu. Ia menghembuskan napasnya dengan kasar. Lalu memalingkan wajah ke lain arah. Ia tidak mampu lagi membendung air matanya."Jika semudah itu, mungkin aku tidak akan banyak berpikir Fahri. Justru kita sudah sama-sama dewasa, kita harusnya tahu bahwa realita ini ada. Kamu terlalu baik untukku, dan aku terlalu buruk untukmu.""Tidak ada yang bilang begitu, Anda!" Suara Fahri meninggi."Aku yang bilang. Aku yang merasakan bahwa ketimpangan ini sangat amat menyiksaku selama ini dan aku sadar, bahwa hubungan ini tidak akan sehat. Please ... " Mohonnya dengan mata yang sudah sepenuhnya basah dan menatap Fahri dengan sayu.Saat itu pul
Flashback On—Sore itu, Lian menangis di sudut kamar kosnya. Kamar yang menjadi saksi bisu, bagaimana perjuangannya masuk ke dunia modeling, bagaimana kerasnya persaingan dan industri, serta bagaimana ia mengetahui karakter orang-orang yang sesungguhnya. Semua perasaan sudah ia lalui dan lampiaskan di kamar yang hanya berukuran empat kali empat meter ini. Kebahagiaan, kehilangan, kesedihan, kekecewaan dan sebagainya.Di ruangan gelap itu, Ia menekuk kedua kaki dan menenggelamkan kepala di sana. Udara malam membelai gorden transparan dan menyalurkan energi dingin d setiap inci tubuh Lian. Saat ini, perasaannya teramat sedih, hancur, marah dan ... patah hati. Baru saja, ada seorang yang mengatakan sesuatu yang menyakitkan hatinya. Orang itu mengatakan bahwa Lian tidak memiliki kepantasan sedikitpun. Lian adalah model rendahan dan tidak punya value. Dan juga orang itu mengatakan, Lian tidak punya apa-apa. Lian hanya seonggok manusia yang tidak terlihat dan t
Lian rasa, hidup memang selalu penuh kejutan. Jika tidak, maka hidup hanya akan menjadi putih dan abu-abu saja. Monoton. Namun, kejutan kali ini sangat tidak lucu dan juga tidak akan berwarna apapun baginya. Justru aura galaplah yang akan menyelimutinya.Bagaimana mungkin ia bertemu lelaki ini lagi? Harusnya Lian sudah bisa memprediksi bahwa yang akan bertemu dengan Ine dan membahas soal rumah baru, tentulah Fahri. Karena Lian ingat bahwa yang dimau oleh Ine adalah real estate milik Fahri ini. Namun, ia tidak menyangka bahwa yang terjun langsung menemui klien adalah Fahri sendiri. Apa sesenggang itu, sampai harus menemui Ine langsung? Memangnya tidak punya karyawan? Perusahannya kan besar dan karyawannya mungkin lebih dari seratus orang.Oh no! Ini kacau!Ia menundukkan kepala dan menutup matanya. Lalu sedetik kemudian, ia mendongak dan menyunggingkan senyum tipis."Pak Fahri, kenal dengan Lian?" tanya Ine yang kini menatap Lian dan Fahr
Hari berikutnya dan seterusnya Lian datang ke kantor Saga lagi membawa makan siang. Lian jadi lebih sering memperhatikan Saga dari hal kecil ke yang besar sekalipun. Seperti tadi pagi, Lian memasangkan dasi untuk sang suami, menyeterika baju dan membantu Saga menyisir rambut. Hal yang jarang atau bahkan tidak pernah Lian lakukan karena menganggap Saga bisa melakukannya sendiri. Agaknya memang ia selama ini kurang memperhatikan suaminya. Pekerjaan selalu menyita waktunya dari pagi ketemu pagi lagi. Hingga hal-hal kecil seperti itu tidak terjamah oleh Lian."Enak?" tanya Lian yang tersenyum karena Saga selalu lahap setiap kali ia memasak untuknya."Selalu enak," kata Saga di tengah kunyahannya."Ck! Lelaki memang murahan kalau soal makanan enak."Tawa Saga berderai. "Aku pikir, setelah kamu berhenti jadi model, kamu punya peluang untuk membuka restoran dengan menu seperti ini, Lian.""Itu berlebihan, Mas. Review-mu saja tidak objektif, bagaimana bisa aku percaya diri soal masakanku?""N
Saga mengamati Lian yang sedang membereskan sampah makannya. Ia menatap perempuan itu tidak percaya. Sikap Lian aneh sekali hari ini. Ia tiba-tiba datang ke kantor —yang biasanya tidak pernah— membawakan makan siang. Lalu, Saga dibuat seperti orang yang dicurigai macam-macam. Kadang Lian menyunggingkan senyum manis, tapi juga kadang senyumnya mengandung makna lain. Tipis-tipis, tapi Saga bisa melihat ada hawa kesal yang Lian bawa ke sini. Entah itu untuk hal apa."Biar aku saja yang buang." Saga meraih sampah paperbag itu dari tangan Lian dan membuangnya di tempat sampah.Mata Lian tidak lepas melihat setiap gerakan suaminya. Susunan kata di kepalanya sudah sedemikian rapi dan siap untuk ia lontarkan.Namun, sebuah ketukan pintu terdengar dan menampilkan salah satu karyawan lelaki. Lian tahu lelaki itu berada di bagian perbendaharaan. Saga menerima beberapa dokumen dari lelaki itu dan menumpuknya di atas meja."Itu semua kerjaan kamu Mas