Anna mengedipkan matanya berkali-kali, disertai dengan ekspresi tidak percaya akan ucapan Dominic beberapa detik yang lalu. "Anna," panggil Dominic dengan senyum tipis, mencoba menyadarkan Anna dari lamunannya. "Eh, cepat berdiri, Dom. Kalau ada yang melihat bagaimana?""Jawab dulu. Lagi pula hanya ada kita berdua di sini" Dominic masih tetap bersikeras untuk berlutut di hadapan Anna. Anna menatap sekelilingnya, dan dia baru ingat jika mereka berada di toko kue yang bahkan belum dibuka untuk publik. "“Aku—“ Anna sedikit tergagap. "Will you marry me?" tanya Dominic sekali lagi. Tatapan teduh pria itu seakan menghipnotis Anna untuk membuang semua rasa gugup dan kesalnya pada Dominic selama beberapa hari terakhir."Aku ingin kita hidup bersama, An.""Aku ... masih sangat terkejut, Dom," jawab Anna jujur. Selain itu, dia masih belum siap untuk menikah. Anna takut akan menjadi seperti orang tuanya nanti. Pernikahan yang selama ini dia lihat hanyalah berisi kedua orang dewasa yang ha
"Dominic!""Hm, ada apa, Sayang?" Dominic semakin mengeratkan pelukannya, sedangkan kedua matanya terpejam rapat. Anna berbalik hingga dia sekarang bisa menatap wajah pria yang sedang tertidur di hadapannya. Dominic memang belum cukup pulas tertidur, maka dari itu dia masih bisa memberikan respons untuk panggilan Anna tadi. "Bagaimana jika untuk beberapa bulan ke depan kita tidak melakukan sex?"Dominic membuka matanya yang terpejam rapat, dan hampir terlelap tadi. Dia menatap gadis berambut pendek itu dengan alis terangkat, bingung. "Jangan meminta hal yang aneh-aneh," kata Dominic dengan penuh penekanan. "Aku tidak meminta sesuatu yang aneh, Dom. Aku hanya bilang bagaimana jika kita tidak melakukan sex dahulu.""Kau berubah pikiran untuk menikah denganku, Anna? Kau 'kan tau kita sudah sama-sama dewasa, bagaimana kita bisa tidak melakukannya?""Hanya sampai hari pernikahan."Mendadak rahang Dominic yang tadi mengeras, kini perlahan luruh. Pria itu kini tampak bingung dengan apa
Anna merasa jika kehidupannya kini benar-benar sempurna. Dia punya seorang kekasih yang sangat menyayanginya. Dia punya teman seperti Emma, yang bisa membantunya kapan pun. Ya, meskipun sebenarnya gadis itu dibayar untuk menjadi teman Anna. Namun, Anna sama sekali tidak mempermasalahkannya, yang penting dia memiliki teman untuk bercerita saat Dominic benar sibuk seperti sekarang. Semenjak Anna marah karena Dominic tidak memberi kabar waktu itu, sekarang sesibuk apa pun, Dominic selalu berusaha meluangkan waktunya walau hanya beberapa menit, untuk mengirim pesan saja. Setidaknya, dia bisa memberi tahu Anna jika kondisinya baik-baik saja. "Aku keluar sebentar, ya, An." Emma melepas apron yang dikenakan. Sekarang dia membantu Anna di toko kuenya. Emma merasa bekerja seperti ini lebih terasa seperti benar-benar bekerja, daripada hanya menemani Anna mengobrol saja. Dia seperti makan gaji buta! "Mau ke mana?" tanya Anna. Gadis itu meletakkan beberapa jenis roti yang baru saja dipangga
Dominic menyantap makan siangnya dengan sesekali bertukar pesan dengan Anna. Sepertinya suasana hati kekasihnya itu sedang baik, hingga Anna terus mengirimi pesan dan bercerita tentang banyak hal. Padahal Dominic sudah menawarkan diri untuk menelpon, tetapi Anna menolak dengan alasan takut Dominic sedang sibuk. "Dominic!"Pria itu menghentikan suapan berikutnya dan menatap Adam dengan penuh tanda tanya. Dia bahkan tidak mendengar suara Adam masuk karena terlalu sibuk. "Ada apa?""Aku sudah menemukan pembuat dan penyebar berita tentangmu kemarin."Dominic sedikit tertarik mendengarnya, meskipun dia sudah bisa menduga siapa dalangnya. "Katakan!""Sarah Brown! Kurasa gadis itu benar-benar gila, Dom. Dia sangat terobsesi denganmu."Dominic hanya tertawa sinis menanggapi perkataan Adam. "Jadi, apa yang akan kau lakukan, Dom?" tanya Adam dengan ekspresi kesal. "Jangan mengabaikannya atau dia mungkin saja bisa bertindak lebih.""Menurutmu hal apa yang bagus untuk memberi orang-orang seper
Dominic membantu Anna melepaskan sabuk pengaman sebelum turun dari mobil. "Kelihatannya kau sangat lelah."Anna hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Pinggangnya seperti ingin terlepas sekarang. "Mau kugendong naik ke atas?" tawar Dominic dengan senyum genit. Berharap Anna mau menerima tawarannya. "Aku bisa sendiri, Dom. Memangnya aku sakit?""Iya. Kau tampak sangat lelah. Sudah kubilang bukan, jangan bekerja terlalu berlebihan.""Hari ini banyak pelanggan baru. Jadi, aku tidak mungkin menyia-nyiakannya. Kan kau sendiri yang bilang 'time is money'. Jadi, aku menggunakan semua waktuku sebisa mungkin."Dominic menghela napas panjang. Jika sudah seperti ini, dia tidak bisa lagi membantah Anna bagaimana pun caranya. Dominic sangat takjub dengan sikap Anna yang pekerja keras, tetapi di sini lain dia takut jika Anna akan jatuh sakit jika terlalu sering kelelahan. "Malam ini aku tidur di apartemenmu. Oke?""Memangnya aku bisa menolak?" tanya Anna dengan nada sindiran. Sontak hal itu
"Buka maskermu!"wanita bermasker itu menolak dan hendak berdiri, tetapi Harry mencekal tangannya. Pria itu tersadar jika ada yang tidak beres. Dominic tidak mungkin mencurigai orang jika tidak ada yang salah. "Dia temanmu?" tanya Dominic pada pelayan wanita yang satu lagi. "Saya tidak tau, Tuan."Dominic semakin yakin setelah mendengar perkataan salah satu pelayan di sana. Jadi, dia semakin menatap mata di balik topi tersebut yang sedang menatapnya dengan penuh kebencian. "Buka topi dan maskermu! Kau tidak akan bisa keluar dari sini jika tidak melakukannya."Wanita itu menggeleng kuat, dan berusaha untuk melepaskan diri dari tangan Harry. Meskipun setengah mabuk, tetapi tenaga Harry cukup kuat. "Buka!" bentak Dominic. Wanita itu terkejut mendengar suara Dominic yang menggelegar. Tangannya langsung gemetar dan dia bergerak cepat membuka topi yang dipakainya. Dominic mengamati wajah wanita itu dengan seksama. Setelah melepas topi yang dikenakan, sekarang wanita itu membuka mask
Emma terkejut saat melihat Elena berdiri di depannyaWanita paru baya itu ikut mengantre di tengah banyaknya orang-orang. "Se-selamat pagi, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu." Elena tidak langsung menjawab. Dia menatap Emma dengan penuh selidik lalu menghembuskan napas dengan kasar. "Di mana temanmu?""Eh, temanku?" tanya Emma tidak mengerti. "Iya. Temanmu yang kemarin melayani aku.""Akan saya panggilkan, Nyonya." Emma sedikit membungkukkan tubuhnya dan segera lari ke belakang untuk memanggil Anna. Gadis itu tampak berkeringat panas dingin setelah berbicara dengan Elena tadi. Ternyata Dominic dan Elena tidak ada bedanya. Keduanya pintar mengintimidasi lawan bicara mereka. "Anna!"Anna menoleh dengan tangan yang sedang menata beberapa roti yang sudah selesai, dan akan segera dibawa ke depan. "Ada masalah?""Tidak. Di depan ada Nyonya yang kemarin.""Siapa?" Wajah Anna berkerut bingung. "Nyonya yang menjadi pelanggan pertamamu kemarin," jawab Emma yang masih tidak mau memberita
Dominic segera menutup pintu toko, setelah meminta Emma untuk pulang lebih dulu. "Kau sudah datang, Dom?" tanya Anna yang turun dari lantai dua. Dia menatap sekelilingnya dengan kening berkerut. "Di mana Emma.""Sudah kusuruh pulang.""Oh. Kalau begitu ayo kita pulang."Bukannya mengiyakan ajakan Anna, Dominic justru berjalan mendekati gadis itu. "Siapa tamumu tadi?""Eh, apa?" Dominic semakin maju dan membuat Anna mundur dengan sedikit panik melihat tingkah Dominic yang tidak seperti biasanya. Dominic benar-benar menatap Anna dengan lekat, diiringi dengan napas naik turun. Dia terus melangkah maju hingga Anna menabrak dinding di belakangnya. "Dominic.""Siapa tamumu tadi, Anna? Seorang pria?"Anna melongo mendengar pertanyaan Dominic. Lalu dia tertawa dengan kencang sampai perutnya terasa sakit. "Kau cemburu, Dom?""Memangnya aku tidak boleh cemburu? Aku kekasihmu, Anna. Sekarang cepat katakan siapa tamumu tadi?"Anna semakin terkekeh geli. Dominic benar-benar tampak seperti pri
Dua Tahun Kemudian. Rumah Dominic terasa ramai sekarang karena anak laki-laki mereka tumbuh menjadi anak yang aktif. Leo, seperti itu mereka semua memanggil nama anak laki-laki yang lahir di musim dingin itu. Leo sangat pintar di usianya yang menginjak dua tahun. Tak jarang, Anna dan Dominic dibuat kewalahan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh Leo. Seperti sekarang, anak itu sedang menanyakan banyak hal kepada ibunya. Tentang mengapa daun-daun pepohonan bisa jatuh di musim gugur, atau tentang bagaimana hewan-hewan liar itu bisa ada, dan mengapa mereka harus menjauhinya. "Mama, aku ingin bersama papa," celoteh Leo yang sudah bosan bertanya tentang banyak hal. "Iya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang. Sekarang makan dulu." Leo menggeleng. Dia kembali berlari saat Anna hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kalau sudah seperti ini, Anna hanya bisa menghembuskan napas dengan kuat. Dia harus banyak bersabar menghadapi kelakuan Leo yang semakin hari se
"Namanya?" Anna menganggukkan kepala dengan senyum lebar. Lalu dia kembali mengusap tangan lembut milik bayi mereka. Ah, ternyata makhluk sebesar ini yang tumbuh di dalam perutnya selama ini. "Bagaimana dengan Mark?" "Mark?" "Iya. Kau tau arti dari nama Mark, Sayang?" Anna sontak menggeleng. "Mark berarti dewa perang. Aku memberinya nama Mark dengan harapan agar nantinya dia sekuat dewa perang." Senyum lebar tersungging di bibir Anna ketika mendengar nama anaknya. "Aku suka itu. Tambahkan nama belakangmu kalau begitu, Dom. Agar dia menjadi pria sekuat dirimu." Dominic setuju. Pria itu mencium kembali pipi bayinya yang terasa begitu halus. "Hai, Nak. Sekarang namamu Mark Leonardo Williams. Aku harap kau bisa tumbuh menjadi pria hebat di masa depan nanti." *** Kabar bahagia terdengar di seluruh penjuru kota New York saat kelahiran cucu pertama keluarga Williams diumumkan. Nama Dominic dan Anna langsung menjadi tren pencarian di internet yang paling banyak dicari
Anna dan Dominic menerima kabar bahagia atas kelahiran putra pertama Austin dan Daniella. Mereka turut berbahagia melihat bagaimana senangnya Austin saat menceritakan proses kelahiran bayi mereka. Anna yang sejak tadi memeluk Dominic pun, tidak pernah sama sekali berhenti tersenyum melihat kebahagiaan di wajah Daniella dan Austin. Mereka langsung melakukan panggilan video begitu mendapat kabar jika Daniella sudah melahirkan. "Ah, rasanya aku ingin terbang ke New York sekarang juga." Anna terlihat gemas melihat pipi merah milik putra Daniella. "Prediksi kelahiranmu kapan, An?" tanya Daniella dengan membersihkan Felix yang baru saja selesai dimandikan. "Bulan depan, tapi aku tidak yakin juga setelah mendengar jika kau melahirkan lebih cepat dari perkiraan." "Semoga semuanya lancar," harap Daniella. "Silakan bicara dengan Austin dulu. Felix sepertinya sudah sangat lapar." Anna mengangguk mengerti. Dia segera memberikan ponsel Dominic kepada pemiliknya, dan membiarkan D
Austin bangun tergopoh-gopoh begitu Daniella membangunkannya tengah malam begini. Yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah saat melihat Daniella merintih kesakitan dengan memegang perutnya. "Daniella, apa kau akan melahirkan?" tanya Austin gugup. Dia terlihat lebih gugup daripada wanita yang akan melahirkan. "Aku tidak tau. Perutku sakit sekali, Austin," rintih Daniella tidak tahan lagi. Sebenarnya dia sudah merasakan sakit perut dari sore tadi. Hanya saja, Daniella memilih untuk diam, dan tidak mengatakan apa pun karena berpikir jika ini hanya sakit perut biasa. Sampai saat mereka akan tidur lagi, Daniella semakin merasa tidak nyaman karena kram di perutnya tak kunjung mereda. "Kita ke rumah sakit sekarang." "Telepon mama dulu, Austin. Sepertinya aku hanya sakit perut biasa saja." Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Wajah Daniella tampak pucat dengan keringat deras yang membasahi kening. "Oke, sebentar. Aku telepon mama dulu kalau begitu," ucap Austin y
Musim gugur telah berlalu, dengan angin yang perlahan semakin terasa dingin. Hari ini, setelah sekian lama menunggu, salju pertama di tahun ini kembali turun. Dari balik kaca-kaca rumah, Anna menatap ke arah luar melihat salju yang mulai berjatuhan. Gadis itu tersenyum simpul. "Hari ini salju turun. Kau pasti sangat bahagia, kan, Sayang?" Tiba-tiba saja Dominic datang dan memeluk Anna dengan lembut. Anna hanya mengukir senyum dengan kepala mengangguk. "Musim dingin tahun ini sangat berbeda, Dom." "Apa yang berbeda?" Anna melepaskan tangan Dominic, kemudian berbalik hingga mereka saling berhadapan sekarang. "Keberadaanmu yang membuat beda." Dominic memegang pinggang Anna, dengan tersenyum lebar. Pria itu merunduk, lalu mengecup bibir istrinya cukup lama. "Kau tau, musim dingin tahun lalu dan tahun ini aku punya kebiasaan yang berbeda." Anna menaikkan sudut alisnya. "Kebiasaan yang berbeda? Apa contohnya?" "Ya, contohnya ... bercinta denganmu." Anna memukul dad
Daniella melompat kegirangan saat melihat Austin muncul dari pintu kedatangan. Dia memang sengaja menunggu di bandara saat suaminya itu mengatakan jika akan pulang hari ini. Sungguh, Daniella tidak dapat menahan diri lagi dengan berdiam diri di rumah saja, untuk menunggu Austin. Apalagi dia masih sedih karena Anna sudah pindah ke Vermont kemarin. "Honey, aku sangat merindukanmu." Austin langsung memeluk istrinya dengan erat. Kalau saja dia tidak ingat perut Daniella yang buncit, mungkin Austin tidak akan melepaskan istrinya sekarang. "Aku juga sangat merindukanmu." Austin melepaskan pelukannya dan langsung berjongkok di hadapan perut Daniella. Salah satu yang menjadi kebiasaannya sekarang adalah menyapa bayinya yang masih di dalam perut. "Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu di dalam sana?" tanya Austin dengan mengusap perut Daniella. Sesekali dia menciumnya dengan gemas, hingga membuat Daniella tertawa karena geli. "Sudah, Austin. Sebaiknya kita pulang saja sekarang. Aku
Austin menyambut kedatangan Dominic dengan senang hati. Dia sengaja melakukan semua itu, sebelum kembali ke pulang ke New York. Setelah semua urusan di Sky Crystal hari ini selesai, Austin mungkin akan langsung pulang. Dia sudah tidak tahan lagi ingin bertemu dengan Daniella, setelah lebih dari satu bulan ini lebih sering menghabiskan waktunya untuk pulang pergi Vermont dan New York. "Hai, Dom. Bagaimana dengan perjalanan kalian?" Austin langsung memeluk Dominic begitu pria itu tiba. Lalu menyapa Anna yang terlihat cukup kelelahan. "Ah, kau pasti sangat kelelahan, Anna." "Hum, sedikit," jawab Anna dengan senyum tipis. "Ini perjalanan panjang setelah kehamilannya. Dia pasti sangat kelelahan, apalagi perutnya sudah semakin membesar." Austin mengerti dengan apa yang Dominic keluhkan. "Itulah sebabnya aku melarang Daniella ketika dia merengek minta ikut. Kalau begitu, ayo. Sebentar lagi hari akan gelap." Dominic dan Anna mengikuti Austin yang berjalan lebih dulu menuju mob
Dominic membawa Anna ke rumah keluarganya. Setelah rapat pagi tadi, baik Elena maupun Hamilton meminta Dominic untuk datang dan menjelaskan segalanya. Saat Dominic memberitahu Anna, awalnya dia terkejut dengan keputusan Dominic yang bahkan selama ini tidak pernah dibicarakan. Namun, Anna tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang sudah Dominic putuskan. Hidup di mana pun, Anna bersedia asal tetap bersama Dominic. "Kita bicara setelah makan," ujar Hamilton setelah Dominic dan istrinya tiba. Sekarang mereka duduk bersama di ruang tamu, tetapi dengan cepat Dominic menolaknya. "Bisa kita bicara sekarang saja?" Hamilton berdeham. Dia sudah mengira Dominic akan melakukan hal ini, tetapi tidak pernah berpikir jika waktunya akan secepat ini. "Kenapa tiba-tiba seperti ini? Seharusnya kita membicarakan semua ini dari jauh-jauh hari." Hamilton hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Dominic membatalkan keputusannya. "Aku jug
"Williams Group?" Anna menganggukkan kepalanya. Dia tahu sebesar apa tanggung jawab Dominic terhadap Williams Group. Untuk memutuskan tinggal di Sky Crystal selamanya, itu pasti bukan perkara mudah. Dominic tersenyum tipis, tanpa ingin menjawab rasa penasaran Anna. Pria itu justru mengusap rambut istrinya seraya berkata, "Besok kau akan tau semuanya, Sayang." *** Adam dibuat kelimpungan pagi ini karena Dominic meminta diadakannya rapat dengan para pemegang saham secara mendadak. Dia tidak tahu apa yang Dominic ingin sampaikan sampai harus mengadakan rapat mendadak seperti ini. Seluruh pemegang saham Williams Group diwajibkan hadir. Ada Hamilton, Elena, Charles, dan beberapa orang lain yang tampak duduk di ruang rapat menunggu Dominic, selaku pemegang saham tertinggi sekaligus pemimpin di Williams Group saat ini. Berbagai gonjang-ganjing mulai terdengar di setiap sudut perusahaan karena rapat mendadak yang tiba-tiba saja Dominic lakukan. Semua spekulasi muncul,