Emma terkejut saat melihat Elena berdiri di depannyaWanita paru baya itu ikut mengantre di tengah banyaknya orang-orang. "Se-selamat pagi, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu." Elena tidak langsung menjawab. Dia menatap Emma dengan penuh selidik lalu menghembuskan napas dengan kasar. "Di mana temanmu?""Eh, temanku?" tanya Emma tidak mengerti. "Iya. Temanmu yang kemarin melayani aku.""Akan saya panggilkan, Nyonya." Emma sedikit membungkukkan tubuhnya dan segera lari ke belakang untuk memanggil Anna. Gadis itu tampak berkeringat panas dingin setelah berbicara dengan Elena tadi. Ternyata Dominic dan Elena tidak ada bedanya. Keduanya pintar mengintimidasi lawan bicara mereka. "Anna!"Anna menoleh dengan tangan yang sedang menata beberapa roti yang sudah selesai, dan akan segera dibawa ke depan. "Ada masalah?""Tidak. Di depan ada Nyonya yang kemarin.""Siapa?" Wajah Anna berkerut bingung. "Nyonya yang menjadi pelanggan pertamamu kemarin," jawab Emma yang masih tidak mau memberita
Dominic segera menutup pintu toko, setelah meminta Emma untuk pulang lebih dulu. "Kau sudah datang, Dom?" tanya Anna yang turun dari lantai dua. Dia menatap sekelilingnya dengan kening berkerut. "Di mana Emma.""Sudah kusuruh pulang.""Oh. Kalau begitu ayo kita pulang."Bukannya mengiyakan ajakan Anna, Dominic justru berjalan mendekati gadis itu. "Siapa tamumu tadi?""Eh, apa?" Dominic semakin maju dan membuat Anna mundur dengan sedikit panik melihat tingkah Dominic yang tidak seperti biasanya. Dominic benar-benar menatap Anna dengan lekat, diiringi dengan napas naik turun. Dia terus melangkah maju hingga Anna menabrak dinding di belakangnya. "Dominic.""Siapa tamumu tadi, Anna? Seorang pria?"Anna melongo mendengar pertanyaan Dominic. Lalu dia tertawa dengan kencang sampai perutnya terasa sakit. "Kau cemburu, Dom?""Memangnya aku tidak boleh cemburu? Aku kekasihmu, Anna. Sekarang cepat katakan siapa tamumu tadi?"Anna semakin terkekeh geli. Dominic benar-benar tampak seperti pri
Anna melambaikan tangannya pada Dominic yang berada di dalam mobil dengan senyum riang. Setelah memastikan Dominic sudah mengendarai mobilnya lagi, dia segera berjalan dan akan membuka toko kuenya. Namun, saat Anna sedang membuka toko tersebut, gadis itu dikagetkan dengan suara seseorang. "Hei, Nak!"Anna menoleh dan dia langsung terkejut begitu melihat Frank di belakangnya dengan senyum penuh arti. "Kau sudah tidak di Vermont lagi?"Anna mencoba bersikap acuh tak acuh akan kehadiran Frank. Meskipun tangannya mulai gemetar, dia tetap berusaha membuka pintu toko, untuk menghindari ayahnya. Namun, sayang usahanya itu sia-sia saja, dan kunci yang dipegangnya jatuh. "Biar aku bantu," tawar Frank. Dia langsung mengambil kunci yang dijatuhkan Anna tadi, dan membuka toko dalam satu kali percobaan. "Berhasil 'kan?""Kembalikan kuncinya!" Anna berusaha mengambil kembali kunci tersebut, tetapi Frank justru mempermainkannya, dan menyembunyikan benda tersebut di belakang tubuhnya. "Kembali
"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Dominic pada dokter yang memeriksa Anna di unit gawat darurat. Tadi dia benar-benar panik karena Anna tiba-tiba saja tidak sadarkan diri. "Tidak ada masalah serius. Dia hanya kelelahan saja.""Baiklah. Terima kasih."Dokter di depan Dominic membungkukkan tubuhnya dengan penuh hormat sebelum pergi dari hadapan pria itu. Sementara itu, Dominic duduk di kursi tunggu di samping ranjang Anna. Tangannya menggenggam tangan mungil Anna yang masih terasa panas karena demamnya masih belum turun juga. "Kau benar-benar bekerja dengan keras," ucap Dominic lirih. Dia merasa sangat khawatir. Bukan karena demam saja, tetapi Anna memang gila bekerja sama sepertinya. Gadis itu bekerja tanpa kenal lelah. ***"Dom!"Dominic menoleh dan menghembuskan napasnya dengan kasar saat melihat wajah Anna yang memelas. "Aku tidak mau di rumah sakit. Sebaiknya kita pulang saja, ya. Aku ini hanya demam."Dominic memutar bola matanya jengah mendengar rengekan Anna. "Jika pulan
Dominic benar-benar memperlakukan Anna dengan sangat baik, bahkan terkesan berlebihan menurut Anna. Tentu saja hal itu membuat Anna kesal dan terharu sekaligus. Bagaimana tidak? Hanya karena demam saja, Dominic meminta kekasihnya itu untuk tinggal di rumah sakit selama tiga hari. Dalam tiga hari itu juga, Dominic sama sekali tidak pernah beranjak dari sisi Anna. Dia menyuapi Anna makan, membantu Anna membersihkan tubuhnya, dan mendengarkan semua cerita gadis itu. Seperti sekarang. "Apa kau tau, Dom? Wanita itu masih sangat cantik meskipun usianya sudah tua. Aku ingin tetap seperti itu nanti," ucap Anna dengan wajah berseri-seri. Ah, dia baru ingat. Sudah hampir empat hari, Anna tidak bertemu dengan Elena, seseorang yang sering mampir ke toko kuenya, dan bercerita tentang banyak hal. "Kau pasti akan tetap cantik meskipun sudah tua nanti.""Jika aku sudah boleh keluar dari rumah sakit, mari kita temui ibumu."Dominic meletakkan sendok yang dipakai untuk menyuapi Anna, dan menatap
Anna mendadak menjadi diam saat Dominic menanyakan tentang Frank. "Sayang—“"Ya, kemarin dia datang untuk meminta uang, dan aku pakai uang toko untuk sementara. Maafkan aku, Dom. Aku tidak memberitahumu sejak awal.""Kau sakit karena memikirkan hal itu?" tanya Dominic seolah tidak peduli dengan uang yang sudah Anna pakai. Anna menatap Dominic dengan bimbang. "Aku tidak tahu.""Kau masih takut dengannya?""Terkadang." Anna segera berdiri dan membawa piring bekas makanannya tadi. Dia tidak ingin membahas tentang Frank lebih jauh lagi, dan Dominic paham itu. "Mari, aku antar," tawar Dominic pada akhirnya. ***Sarah menatap dua pria yang salah satunya masih tampak muda. Dua pria yang sekarang sedang berdiri di hadapannya. "Cari tahu di mana gadis ini tinggal!"Pria muda itu menatap foto yang Sarah berikan. Dia sedikit menyipitkan matanya karena foto yang tidak jelas, setelah itu memperlihatkan foto tersebut ke satu rekannya, seorang pria yang sudah cukup berumur. Namun, sebelum itu,
Keesokan harinya, Anna bersiap dengan cepat. Pada akhirnya, dia setuju untuk mengajari Elena membuat kue, tetapi dengan syarat mereka akan tetap belajar di toko kuenya. Rasanya Anna masih sungkan jika harus pergi ke rumah wanita paru baya tersebut. Anna menatap Dominic yang masih tidur dengan pulas di atas ranjang. Semalam pria itu pulang hampir tengah malam, dan datang ke apartemen Anna untuk hanya menumpang tidur. "Sepertinya dia benar-benar kelelahan." Anna mengecup kening Dominic sekilas, lalu berdiri dan menyambar tasnya. Dia sudah memutuskan untuk tidak membangunkan Dominic. Sepertinya pria itu masuk siang hari ini hingga belum bangun juga. Tidak seperti biasanya. "Aku pergi dulu, Dom. Sampai jumpa!" ucap Anna pelan seraya menutup pintu. Sebelum berangkat tadi, Anna sudah menyiapkan sarapan dan note untuk Dominic. Jadi, dia bisa pergi dengan tenang sekarang. ***Anna melambaikan tangannya dengan senyum lebar, saat melihat Elena yang sudah berdiri di depan pintu toko kue.
Anna sudah tidak punya pekerjaan lagi di dapur, dan dengan Emma yang menyakinkannya, akhirnya Anna setuju untuk pergi berbelanja dengan Elena. Mungkin, lebih tepatnya menemani wanita paru baya itu berbelanja. "Kau tidak ingin ganti pakaian dulu?" tanya Elena. Anna terdiam, dan dia langsung memperhatikan dirinya dari atas sampai bawah. "Apa pakaianku cukup buruk?"Elena menggeleng pelan. "Pakaian itu cocok untukmu!" Elena bukannya tidak menyukai cara berpakaian Anna, yang memakai jeans panjang dipadukan dengan sweater tipis berwarna merah muda. Hanya saja, biasanya gadis-gadis yang sering diajak berbelanja, atau yang akan dikenalkan pada Dominic pasti akan sangat berlebihan dalam hal berpakaian. Ah, kenapa tiba-tiba Elena jadi mengingat putra sulungnya itu? Mereka sudah lama tidak berjumpa, dan Dominic masih belum datang ke rumah dengan janjinya pada waktu itu. "Kalau begitu aku tidak perlu ganti baju lagi," ujar Anna, yang langsung diangguki oleh Elena. Sebelum mereka pergi, A
Dua Tahun Kemudian. Rumah Dominic terasa ramai sekarang karena anak laki-laki mereka tumbuh menjadi anak yang aktif. Leo, seperti itu mereka semua memanggil nama anak laki-laki yang lahir di musim dingin itu. Leo sangat pintar di usianya yang menginjak dua tahun. Tak jarang, Anna dan Dominic dibuat kewalahan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh Leo. Seperti sekarang, anak itu sedang menanyakan banyak hal kepada ibunya. Tentang mengapa daun-daun pepohonan bisa jatuh di musim gugur, atau tentang bagaimana hewan-hewan liar itu bisa ada, dan mengapa mereka harus menjauhinya. "Mama, aku ingin bersama papa," celoteh Leo yang sudah bosan bertanya tentang banyak hal. "Iya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang. Sekarang makan dulu." Leo menggeleng. Dia kembali berlari saat Anna hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kalau sudah seperti ini, Anna hanya bisa menghembuskan napas dengan kuat. Dia harus banyak bersabar menghadapi kelakuan Leo yang semakin hari se
"Namanya?" Anna menganggukkan kepala dengan senyum lebar. Lalu dia kembali mengusap tangan lembut milik bayi mereka. Ah, ternyata makhluk sebesar ini yang tumbuh di dalam perutnya selama ini. "Bagaimana dengan Mark?" "Mark?" "Iya. Kau tau arti dari nama Mark, Sayang?" Anna sontak menggeleng. "Mark berarti dewa perang. Aku memberinya nama Mark dengan harapan agar nantinya dia sekuat dewa perang." Senyum lebar tersungging di bibir Anna ketika mendengar nama anaknya. "Aku suka itu. Tambahkan nama belakangmu kalau begitu, Dom. Agar dia menjadi pria sekuat dirimu." Dominic setuju. Pria itu mencium kembali pipi bayinya yang terasa begitu halus. "Hai, Nak. Sekarang namamu Mark Leonardo Williams. Aku harap kau bisa tumbuh menjadi pria hebat di masa depan nanti." *** Kabar bahagia terdengar di seluruh penjuru kota New York saat kelahiran cucu pertama keluarga Williams diumumkan. Nama Dominic dan Anna langsung menjadi tren pencarian di internet yang paling banyak dicari
Anna dan Dominic menerima kabar bahagia atas kelahiran putra pertama Austin dan Daniella. Mereka turut berbahagia melihat bagaimana senangnya Austin saat menceritakan proses kelahiran bayi mereka. Anna yang sejak tadi memeluk Dominic pun, tidak pernah sama sekali berhenti tersenyum melihat kebahagiaan di wajah Daniella dan Austin. Mereka langsung melakukan panggilan video begitu mendapat kabar jika Daniella sudah melahirkan. "Ah, rasanya aku ingin terbang ke New York sekarang juga." Anna terlihat gemas melihat pipi merah milik putra Daniella. "Prediksi kelahiranmu kapan, An?" tanya Daniella dengan membersihkan Felix yang baru saja selesai dimandikan. "Bulan depan, tapi aku tidak yakin juga setelah mendengar jika kau melahirkan lebih cepat dari perkiraan." "Semoga semuanya lancar," harap Daniella. "Silakan bicara dengan Austin dulu. Felix sepertinya sudah sangat lapar." Anna mengangguk mengerti. Dia segera memberikan ponsel Dominic kepada pemiliknya, dan membiarkan D
Austin bangun tergopoh-gopoh begitu Daniella membangunkannya tengah malam begini. Yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah saat melihat Daniella merintih kesakitan dengan memegang perutnya. "Daniella, apa kau akan melahirkan?" tanya Austin gugup. Dia terlihat lebih gugup daripada wanita yang akan melahirkan. "Aku tidak tau. Perutku sakit sekali, Austin," rintih Daniella tidak tahan lagi. Sebenarnya dia sudah merasakan sakit perut dari sore tadi. Hanya saja, Daniella memilih untuk diam, dan tidak mengatakan apa pun karena berpikir jika ini hanya sakit perut biasa. Sampai saat mereka akan tidur lagi, Daniella semakin merasa tidak nyaman karena kram di perutnya tak kunjung mereda. "Kita ke rumah sakit sekarang." "Telepon mama dulu, Austin. Sepertinya aku hanya sakit perut biasa saja." Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Wajah Daniella tampak pucat dengan keringat deras yang membasahi kening. "Oke, sebentar. Aku telepon mama dulu kalau begitu," ucap Austin y
Musim gugur telah berlalu, dengan angin yang perlahan semakin terasa dingin. Hari ini, setelah sekian lama menunggu, salju pertama di tahun ini kembali turun. Dari balik kaca-kaca rumah, Anna menatap ke arah luar melihat salju yang mulai berjatuhan. Gadis itu tersenyum simpul. "Hari ini salju turun. Kau pasti sangat bahagia, kan, Sayang?" Tiba-tiba saja Dominic datang dan memeluk Anna dengan lembut. Anna hanya mengukir senyum dengan kepala mengangguk. "Musim dingin tahun ini sangat berbeda, Dom." "Apa yang berbeda?" Anna melepaskan tangan Dominic, kemudian berbalik hingga mereka saling berhadapan sekarang. "Keberadaanmu yang membuat beda." Dominic memegang pinggang Anna, dengan tersenyum lebar. Pria itu merunduk, lalu mengecup bibir istrinya cukup lama. "Kau tau, musim dingin tahun lalu dan tahun ini aku punya kebiasaan yang berbeda." Anna menaikkan sudut alisnya. "Kebiasaan yang berbeda? Apa contohnya?" "Ya, contohnya ... bercinta denganmu." Anna memukul dad
Daniella melompat kegirangan saat melihat Austin muncul dari pintu kedatangan. Dia memang sengaja menunggu di bandara saat suaminya itu mengatakan jika akan pulang hari ini. Sungguh, Daniella tidak dapat menahan diri lagi dengan berdiam diri di rumah saja, untuk menunggu Austin. Apalagi dia masih sedih karena Anna sudah pindah ke Vermont kemarin. "Honey, aku sangat merindukanmu." Austin langsung memeluk istrinya dengan erat. Kalau saja dia tidak ingat perut Daniella yang buncit, mungkin Austin tidak akan melepaskan istrinya sekarang. "Aku juga sangat merindukanmu." Austin melepaskan pelukannya dan langsung berjongkok di hadapan perut Daniella. Salah satu yang menjadi kebiasaannya sekarang adalah menyapa bayinya yang masih di dalam perut. "Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu di dalam sana?" tanya Austin dengan mengusap perut Daniella. Sesekali dia menciumnya dengan gemas, hingga membuat Daniella tertawa karena geli. "Sudah, Austin. Sebaiknya kita pulang saja sekarang. Aku
Austin menyambut kedatangan Dominic dengan senang hati. Dia sengaja melakukan semua itu, sebelum kembali ke pulang ke New York. Setelah semua urusan di Sky Crystal hari ini selesai, Austin mungkin akan langsung pulang. Dia sudah tidak tahan lagi ingin bertemu dengan Daniella, setelah lebih dari satu bulan ini lebih sering menghabiskan waktunya untuk pulang pergi Vermont dan New York. "Hai, Dom. Bagaimana dengan perjalanan kalian?" Austin langsung memeluk Dominic begitu pria itu tiba. Lalu menyapa Anna yang terlihat cukup kelelahan. "Ah, kau pasti sangat kelelahan, Anna." "Hum, sedikit," jawab Anna dengan senyum tipis. "Ini perjalanan panjang setelah kehamilannya. Dia pasti sangat kelelahan, apalagi perutnya sudah semakin membesar." Austin mengerti dengan apa yang Dominic keluhkan. "Itulah sebabnya aku melarang Daniella ketika dia merengek minta ikut. Kalau begitu, ayo. Sebentar lagi hari akan gelap." Dominic dan Anna mengikuti Austin yang berjalan lebih dulu menuju mob
Dominic membawa Anna ke rumah keluarganya. Setelah rapat pagi tadi, baik Elena maupun Hamilton meminta Dominic untuk datang dan menjelaskan segalanya. Saat Dominic memberitahu Anna, awalnya dia terkejut dengan keputusan Dominic yang bahkan selama ini tidak pernah dibicarakan. Namun, Anna tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang sudah Dominic putuskan. Hidup di mana pun, Anna bersedia asal tetap bersama Dominic. "Kita bicara setelah makan," ujar Hamilton setelah Dominic dan istrinya tiba. Sekarang mereka duduk bersama di ruang tamu, tetapi dengan cepat Dominic menolaknya. "Bisa kita bicara sekarang saja?" Hamilton berdeham. Dia sudah mengira Dominic akan melakukan hal ini, tetapi tidak pernah berpikir jika waktunya akan secepat ini. "Kenapa tiba-tiba seperti ini? Seharusnya kita membicarakan semua ini dari jauh-jauh hari." Hamilton hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Dominic membatalkan keputusannya. "Aku jug
"Williams Group?" Anna menganggukkan kepalanya. Dia tahu sebesar apa tanggung jawab Dominic terhadap Williams Group. Untuk memutuskan tinggal di Sky Crystal selamanya, itu pasti bukan perkara mudah. Dominic tersenyum tipis, tanpa ingin menjawab rasa penasaran Anna. Pria itu justru mengusap rambut istrinya seraya berkata, "Besok kau akan tau semuanya, Sayang." *** Adam dibuat kelimpungan pagi ini karena Dominic meminta diadakannya rapat dengan para pemegang saham secara mendadak. Dia tidak tahu apa yang Dominic ingin sampaikan sampai harus mengadakan rapat mendadak seperti ini. Seluruh pemegang saham Williams Group diwajibkan hadir. Ada Hamilton, Elena, Charles, dan beberapa orang lain yang tampak duduk di ruang rapat menunggu Dominic, selaku pemegang saham tertinggi sekaligus pemimpin di Williams Group saat ini. Berbagai gonjang-ganjing mulai terdengar di setiap sudut perusahaan karena rapat mendadak yang tiba-tiba saja Dominic lakukan. Semua spekulasi muncul,