"Dominic!" panggil Anna sekali lagi. Dominic mengacuhkannya begitu saja sejak dia membicarakan kontrak mereka tadi. "Ah, iya.""Jadi, bagaimana dengan hubungan kita selanjutnya, Dom?" "Apakah kontrak kita sekarang masih penting?" Dominic memiringkan wajah dan menatap Anna dengan lekat. "Semenjak hubungan kita terjadi, kontrak itu sudah aku anggap tidak ada. Aku juga sudah mengirimkan uang gaji ke rekeningmu.""Maksudku bukan tentang uang, Dom?" gumam Anna dengan sedikit sendu. Beberapa hari ini dia selalu merasa gelisah dengan hubungan mereka yang. "Aku hanya ingin memastikan jika kontrak kita berakhir, apa hubungan kita juga—“"Sssstttt!" Dominic menutup bibir Anna dengan jari telunjuk lalu menggeleng pelan. "Jangan bicarakan tentang kontrak sialan itu lagi! Hubungan kita akan terus seperti ini, tidak peduli dengan kontrak kerja yang sudah berakhir atau belum.""Dominic!"Dominic mendekatkan wajahnya, dengan mengusap pipi Anna dengan lembut. "Berjanjilah padaku, An. Tidak hanya sat
Dominic benar-benar sibuk setelah kembali bekerja di perusahaan keluarganya. Terkadang dalam beberapa hari dia lembur, dan menghabiskan banyak waktu untuk mengunjungi beberapa hotel dan resort di kota-kota lain. Namun, sesekali Dominic tetap akan menyempatkan waktu untuk menemani Anna terapi, dan berjalan-berjalan bersama di akhir pekan.Perkembangan kaki gadis itu semakin membaik setiap harinya. Sudah hampir satu bulan, dan sekarang Anna sudah bisa berjalan dengan normal. Elena benar-benar menepati ucapannya pada Dominic. Wanita paru baya itu tidak pernah lagi menganggu Dominic dengan perjodohan atau kencan buta yang dia atur. Begitu pula dengan Charles. Pria itu benar-benar bekerja keras untuk membuktikan jika dia mampu menjadi seperti Dominic. Membuktikan jika di dalam darahnya juga mengalir darah keluarga Williams yang pekerja keras. Dominic merasa semuanya berjalan dengan lancar. Hubungannya dengan Anna juga semakin serius. Dia benar-benar tidak bisa lagi melepaskan gadis it
"Dominic, bukan seperti itu maksudku. Aku sangat percaya padamu."Dominic bangkit dan coba mengabaikan Anna yang ingin menyentuh bahunya. Dia sangat lelah beberapa hari ini, dan sikap Anna membuatnya bertambah kesal. Kenapa gadis itu selalu membahas hal yang itu-itu saja? Padahal Dominic sudah berulang kali menjelaskan jika dia sama sekali tidak peduli dengan keadaan Anna. Persetan dengan apa kata orang! "Kau mau ke mana, Dom?""Malam ini aku tidur di luar, dan kau coba pikirkan ucapanku tadi. Jika memang kau tidak percaya padaku, silakan katakan sekarang!""Dominic!" panggil Anna. Dia bangkit dan coba menyusul pria itu. "Jangan mengikutiku, An. Aku sedang tidak mau berdebat. Bukankah sudah berulang kali kukatakan, bahwa aku sama sekali tidak peduli dengan keadaanmu atau apa kata orang?""Dominic, aku tidak bermaksud ...."Dominic mengangkat tangannya, meminta Anna untuk tidak melanjutkan perkataannya. Setelah itu dia memakai pakaiannya dengan cepat, lalu menutup pintu dan menghasi
Dominic menarik kopernya dengan wajah lesu. Dia benar-benar lelah setelah pulang pergi ke Washington selama dua minggu ini. Kemarin, di malam setelah dia berdebat dengan Anna, Dominic kembali menerima panggilan yang mengharuskan dia terbang kembali ke Washington saat itu juga. Padahal dia baru kembali dari kota tersebut beberapa jam yang lalu. "Ah, aku benar-benar rindu dengan ranjangku yang empuk!" keluh Dominic. Dia sedang menunggu Adam menjemputnya. Pekerjaannya di Washington benar-benar menumpuk karena adanya kesalahan dalam pembangunan hotel baru. Bahkan, selama seminggu ini dia hanya bisa memikirkan tentang bekerja, dan kembali hanya untuk tidur. Berharap agar pekerjaannya cepat selesai dan dia bisa kembali lebih lebih cepat. Dominic tersenyum tipis saat melihat mobil Adam sudah sampai dan berhenti tepat di depannya. Namun, raut wajah pria itu tampak cukup khawatir saat keluar dari dalam mobil. "Kau sudah lama menunggu, Dom?""Tidak. Pesawatnya baru saja mendarat."Adam ha
Dominic memijit kepalanya, dan menatap Adam dan Emma secara bergantian. Hari ini dia benar-benar dalam masalah besar. "Kalian berdua pulang saja!"Adam mengangguk dan segera menarik tangan Emma untuk segera pergi dari sana. Dia merasakan suasana yang mulai tidak enak. "Ayo, Emma!"Dominic melonggarkan dasinya, dan menghembuskan napas dengan kasar setelah Adam dan Emma pergi. Dengan sedikit rasa takut, Dominic mengulurkan tangannya untuk mengetuk pintu kamar Anna yang tertutup rapat sejak dia masuk. Tok Tok Tok! "Anna!" panggil Dominic pelan. Namun, dia tidak mendapatkan jawaban apa pun dari dalam sana. Hanya keheningan yang semakin terasa. "Anna, aku boleh masuk?"Dominic meneguk ludahnya dengan susah payah, dan memberanikan diri untuk membuka pintu kamar. Dia harus menyelesaikan masalah ini secepatnya. "Anna ....""Jangan melangkah!" sergah Anna dengan tatapan tajam. "Sayang.""Kubilang jangan mendekat, Dominic! Atau—“ "Oke, baiklah," jawab Dominic pasrah, memotong perkataa
"Selamat pagi, Sayang."Anna mengabaikan Dominic begitu saja. Dia pikir pria itu sudah pulang setelah dibiarkan semalaman, tetapi ternyata Dominic masih berada di apartemennya. "Mau aku buatkan cokelat panas?" tawar Dominic dengan senyum manis. Dia masih berusaha untuk meluluhkan hati Anna. "Boleh."Tidak butuh waktu lama, Dominic menghampiri Anna yang duduk di meja makan dengan tatapan bingung. "Silakan di minum, dan ini sarapanmu." Dominic meletakkan secangkir cokelat panas dan waffle dengan selai blueberry di atasnya. "Thanks. Di mana Emma?""Dia tidak datang hari ini dan untuk beberapa hari ke depan?""Kau memecatnya, Dom?" tanya Anna dengan penuh penekanan. Padahal awalnya dia yang tidak ingin ada Emma di dekatnya, tetapi sekarang justru Anna yang merasa senang dengan kehadiran gadis itu. Emma benar-benar menemani Anna saat Dominic begitu sibuk. "Tidak," jawab Dominic cepat. "Dia hanya libur untuk beberapa hari saja." Dominic sengaja melakukannya. Sampai Anna berhenti mar
"Adam, bagaimana dengan permintaanku waktu itu?"Adam terlihat berpikir untuk sesaat, dan langsung mengerti setelah melihat kode dari Dominic. "Kafe yang ingin kau berikan untuk Anna, kan?"Dominic berdeham. "Bagaimana dengan pengerjaannya? Sudah berapa persen?""Sekitar 70 persen. Ada sesuatu yang ingin kau tambahkan?"Dominic mengetuk-ngetuk meja dengan pena dengan berpikir keras. "Apa bisa mengubah konsep dalam waktu tujuh hari?""Mengubah konsepnya?""Hm. Aku ingin buat toko kue saja.""What! Kau gila atau bagaimana, Dom?" pekik Adam dengan mata melotot. Kafe itu sudah hampir jadi, dan tiba-tiba saja Dominic ingin berubah pikiran dengan menjadikannya toko kue? "Aku akan bayar mahal. Kau bilang saja pada mereka, ya!""Tapi ....""Tiga kali lipat. Setelah kupikir-pikir konsepnya tetap sama dengan yang kemarin, tapi aku ingin mengubahnya menjadi toko kue saja. Beberapa hari ini Anna sedang ikut kursus membuat kue."Adam menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal. "Jadi, kau mengubahn
Anna mengedipkan matanya berkali-kali, disertai dengan ekspresi tidak percaya akan ucapan Dominic beberapa detik yang lalu. "Anna," panggil Dominic dengan senyum tipis, mencoba menyadarkan Anna dari lamunannya. "Eh, cepat berdiri, Dom. Kalau ada yang melihat bagaimana?""Jawab dulu. Lagi pula hanya ada kita berdua di sini" Dominic masih tetap bersikeras untuk berlutut di hadapan Anna. Anna menatap sekelilingnya, dan dia baru ingat jika mereka berada di toko kue yang bahkan belum dibuka untuk publik. "“Aku—“ Anna sedikit tergagap. "Will you marry me?" tanya Dominic sekali lagi. Tatapan teduh pria itu seakan menghipnotis Anna untuk membuang semua rasa gugup dan kesalnya pada Dominic selama beberapa hari terakhir."Aku ingin kita hidup bersama, An.""Aku ... masih sangat terkejut, Dom," jawab Anna jujur. Selain itu, dia masih belum siap untuk menikah. Anna takut akan menjadi seperti orang tuanya nanti. Pernikahan yang selama ini dia lihat hanyalah berisi kedua orang dewasa yang ha
Dua Tahun Kemudian. Rumah Dominic terasa ramai sekarang karena anak laki-laki mereka tumbuh menjadi anak yang aktif. Leo, seperti itu mereka semua memanggil nama anak laki-laki yang lahir di musim dingin itu. Leo sangat pintar di usianya yang menginjak dua tahun. Tak jarang, Anna dan Dominic dibuat kewalahan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh Leo. Seperti sekarang, anak itu sedang menanyakan banyak hal kepada ibunya. Tentang mengapa daun-daun pepohonan bisa jatuh di musim gugur, atau tentang bagaimana hewan-hewan liar itu bisa ada, dan mengapa mereka harus menjauhinya. "Mama, aku ingin bersama papa," celoteh Leo yang sudah bosan bertanya tentang banyak hal. "Iya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang. Sekarang makan dulu." Leo menggeleng. Dia kembali berlari saat Anna hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kalau sudah seperti ini, Anna hanya bisa menghembuskan napas dengan kuat. Dia harus banyak bersabar menghadapi kelakuan Leo yang semakin hari se
"Namanya?" Anna menganggukkan kepala dengan senyum lebar. Lalu dia kembali mengusap tangan lembut milik bayi mereka. Ah, ternyata makhluk sebesar ini yang tumbuh di dalam perutnya selama ini. "Bagaimana dengan Mark?" "Mark?" "Iya. Kau tau arti dari nama Mark, Sayang?" Anna sontak menggeleng. "Mark berarti dewa perang. Aku memberinya nama Mark dengan harapan agar nantinya dia sekuat dewa perang." Senyum lebar tersungging di bibir Anna ketika mendengar nama anaknya. "Aku suka itu. Tambahkan nama belakangmu kalau begitu, Dom. Agar dia menjadi pria sekuat dirimu." Dominic setuju. Pria itu mencium kembali pipi bayinya yang terasa begitu halus. "Hai, Nak. Sekarang namamu Mark Leonardo Williams. Aku harap kau bisa tumbuh menjadi pria hebat di masa depan nanti." *** Kabar bahagia terdengar di seluruh penjuru kota New York saat kelahiran cucu pertama keluarga Williams diumumkan. Nama Dominic dan Anna langsung menjadi tren pencarian di internet yang paling banyak dicari
Anna dan Dominic menerima kabar bahagia atas kelahiran putra pertama Austin dan Daniella. Mereka turut berbahagia melihat bagaimana senangnya Austin saat menceritakan proses kelahiran bayi mereka. Anna yang sejak tadi memeluk Dominic pun, tidak pernah sama sekali berhenti tersenyum melihat kebahagiaan di wajah Daniella dan Austin. Mereka langsung melakukan panggilan video begitu mendapat kabar jika Daniella sudah melahirkan. "Ah, rasanya aku ingin terbang ke New York sekarang juga." Anna terlihat gemas melihat pipi merah milik putra Daniella. "Prediksi kelahiranmu kapan, An?" tanya Daniella dengan membersihkan Felix yang baru saja selesai dimandikan. "Bulan depan, tapi aku tidak yakin juga setelah mendengar jika kau melahirkan lebih cepat dari perkiraan." "Semoga semuanya lancar," harap Daniella. "Silakan bicara dengan Austin dulu. Felix sepertinya sudah sangat lapar." Anna mengangguk mengerti. Dia segera memberikan ponsel Dominic kepada pemiliknya, dan membiarkan D
Austin bangun tergopoh-gopoh begitu Daniella membangunkannya tengah malam begini. Yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah saat melihat Daniella merintih kesakitan dengan memegang perutnya. "Daniella, apa kau akan melahirkan?" tanya Austin gugup. Dia terlihat lebih gugup daripada wanita yang akan melahirkan. "Aku tidak tau. Perutku sakit sekali, Austin," rintih Daniella tidak tahan lagi. Sebenarnya dia sudah merasakan sakit perut dari sore tadi. Hanya saja, Daniella memilih untuk diam, dan tidak mengatakan apa pun karena berpikir jika ini hanya sakit perut biasa. Sampai saat mereka akan tidur lagi, Daniella semakin merasa tidak nyaman karena kram di perutnya tak kunjung mereda. "Kita ke rumah sakit sekarang." "Telepon mama dulu, Austin. Sepertinya aku hanya sakit perut biasa saja." Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Wajah Daniella tampak pucat dengan keringat deras yang membasahi kening. "Oke, sebentar. Aku telepon mama dulu kalau begitu," ucap Austin y
Musim gugur telah berlalu, dengan angin yang perlahan semakin terasa dingin. Hari ini, setelah sekian lama menunggu, salju pertama di tahun ini kembali turun. Dari balik kaca-kaca rumah, Anna menatap ke arah luar melihat salju yang mulai berjatuhan. Gadis itu tersenyum simpul. "Hari ini salju turun. Kau pasti sangat bahagia, kan, Sayang?" Tiba-tiba saja Dominic datang dan memeluk Anna dengan lembut. Anna hanya mengukir senyum dengan kepala mengangguk. "Musim dingin tahun ini sangat berbeda, Dom." "Apa yang berbeda?" Anna melepaskan tangan Dominic, kemudian berbalik hingga mereka saling berhadapan sekarang. "Keberadaanmu yang membuat beda." Dominic memegang pinggang Anna, dengan tersenyum lebar. Pria itu merunduk, lalu mengecup bibir istrinya cukup lama. "Kau tau, musim dingin tahun lalu dan tahun ini aku punya kebiasaan yang berbeda." Anna menaikkan sudut alisnya. "Kebiasaan yang berbeda? Apa contohnya?" "Ya, contohnya ... bercinta denganmu." Anna memukul dad
Daniella melompat kegirangan saat melihat Austin muncul dari pintu kedatangan. Dia memang sengaja menunggu di bandara saat suaminya itu mengatakan jika akan pulang hari ini. Sungguh, Daniella tidak dapat menahan diri lagi dengan berdiam diri di rumah saja, untuk menunggu Austin. Apalagi dia masih sedih karena Anna sudah pindah ke Vermont kemarin. "Honey, aku sangat merindukanmu." Austin langsung memeluk istrinya dengan erat. Kalau saja dia tidak ingat perut Daniella yang buncit, mungkin Austin tidak akan melepaskan istrinya sekarang. "Aku juga sangat merindukanmu." Austin melepaskan pelukannya dan langsung berjongkok di hadapan perut Daniella. Salah satu yang menjadi kebiasaannya sekarang adalah menyapa bayinya yang masih di dalam perut. "Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu di dalam sana?" tanya Austin dengan mengusap perut Daniella. Sesekali dia menciumnya dengan gemas, hingga membuat Daniella tertawa karena geli. "Sudah, Austin. Sebaiknya kita pulang saja sekarang. Aku
Austin menyambut kedatangan Dominic dengan senang hati. Dia sengaja melakukan semua itu, sebelum kembali ke pulang ke New York. Setelah semua urusan di Sky Crystal hari ini selesai, Austin mungkin akan langsung pulang. Dia sudah tidak tahan lagi ingin bertemu dengan Daniella, setelah lebih dari satu bulan ini lebih sering menghabiskan waktunya untuk pulang pergi Vermont dan New York. "Hai, Dom. Bagaimana dengan perjalanan kalian?" Austin langsung memeluk Dominic begitu pria itu tiba. Lalu menyapa Anna yang terlihat cukup kelelahan. "Ah, kau pasti sangat kelelahan, Anna." "Hum, sedikit," jawab Anna dengan senyum tipis. "Ini perjalanan panjang setelah kehamilannya. Dia pasti sangat kelelahan, apalagi perutnya sudah semakin membesar." Austin mengerti dengan apa yang Dominic keluhkan. "Itulah sebabnya aku melarang Daniella ketika dia merengek minta ikut. Kalau begitu, ayo. Sebentar lagi hari akan gelap." Dominic dan Anna mengikuti Austin yang berjalan lebih dulu menuju mob
Dominic membawa Anna ke rumah keluarganya. Setelah rapat pagi tadi, baik Elena maupun Hamilton meminta Dominic untuk datang dan menjelaskan segalanya. Saat Dominic memberitahu Anna, awalnya dia terkejut dengan keputusan Dominic yang bahkan selama ini tidak pernah dibicarakan. Namun, Anna tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang sudah Dominic putuskan. Hidup di mana pun, Anna bersedia asal tetap bersama Dominic. "Kita bicara setelah makan," ujar Hamilton setelah Dominic dan istrinya tiba. Sekarang mereka duduk bersama di ruang tamu, tetapi dengan cepat Dominic menolaknya. "Bisa kita bicara sekarang saja?" Hamilton berdeham. Dia sudah mengira Dominic akan melakukan hal ini, tetapi tidak pernah berpikir jika waktunya akan secepat ini. "Kenapa tiba-tiba seperti ini? Seharusnya kita membicarakan semua ini dari jauh-jauh hari." Hamilton hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Dominic membatalkan keputusannya. "Aku jug
"Williams Group?" Anna menganggukkan kepalanya. Dia tahu sebesar apa tanggung jawab Dominic terhadap Williams Group. Untuk memutuskan tinggal di Sky Crystal selamanya, itu pasti bukan perkara mudah. Dominic tersenyum tipis, tanpa ingin menjawab rasa penasaran Anna. Pria itu justru mengusap rambut istrinya seraya berkata, "Besok kau akan tau semuanya, Sayang." *** Adam dibuat kelimpungan pagi ini karena Dominic meminta diadakannya rapat dengan para pemegang saham secara mendadak. Dia tidak tahu apa yang Dominic ingin sampaikan sampai harus mengadakan rapat mendadak seperti ini. Seluruh pemegang saham Williams Group diwajibkan hadir. Ada Hamilton, Elena, Charles, dan beberapa orang lain yang tampak duduk di ruang rapat menunggu Dominic, selaku pemegang saham tertinggi sekaligus pemimpin di Williams Group saat ini. Berbagai gonjang-ganjing mulai terdengar di setiap sudut perusahaan karena rapat mendadak yang tiba-tiba saja Dominic lakukan. Semua spekulasi muncul,