"Aku tidak menyangka jika Dominic bisa selembut itu. Maksudnya dia bisa menunjukkan perasaannya pada Anna dengan indah."Harry mengangguk setuju. Dia semakin memeluk Emily dengan erat. "Dan aku juga tidak menyangka jika hidup Anna sesulit itu. Dari luar dia terlihat sangat ceria, bukan?""Itulah sebabnya kita tidak bisa menilai seseorang hanya dari luarnya saja. Ah, aku semakin menyayangimu, Harry.""Aku juga," ucap Harry sembari mengecup puncak kepala Emily. Akhirnya mereka memutuskan untuk tidak membicarakan Dominic dan Anna lagi. Sudah cukup setelah mereka melihat bagaimana mesranya Dominic bersama Anna tadi. "Jadi, kapan tanggal pernikahan kita akan ditetapkan?" tanya Harry. Tangan pria itu terus mengusap rambut panjang Emily dengan perlahan. "Setelah proyek pameranku selesai. Bagaimana?"Harry mendesah kasar. "Pameran lukisanmu itu masih lama, bukan? Enam bulan lagi, Emily.""Itu tidak lama jika kita tidak terlalu menunggunya, Harry. Aku hanya perlu membuat beberapa lukisan la
Dominic berdiri dan terlihat sedang berbincang-bincang dengan beberapa orang yang datang dari perusahaan jasa iklan. Wajah pria bermata cokelat itu terkadang tampak cukup serius. Terkadang keningnya tampak berkerut, dan beberapa kali terdengar sanggahan atas ide dari orang-orang yang berada di sana. Tidak hanya Dominic, ada Austin juga yang berdiri bersamanya dengan sesekali mengangguk menyetujui Dominic. Sementara itu, Anna duduk dengan wajah bosan di atas batang pohon di tepi danau. Jika bukan karena dipaksa oleh Dominic tadi, Anna tidak akan mau ikut dengan pria itu kemari. Lebih baik dia menghabiskan waktu di dalam kabin saja. "Padahal tugasku hanya sebagai koki pribadinya, bukan asisten pribadi!" gerutu Anna dengan wajah kesal. Apalagi saat dia melihat salah satu wanita yang terdapat di antara orang-orang itu, terlihat terang-terangan menggoda Dominic. "Ck, dasar wanita penggoda! Dia seharusnya bekerja dengan benar bukannya berusaha menarik perhatian orang lain dengan cara s
"Apa?" Kali ini wajah Anna benar-benar terkejut dengan pernyataan yang baru saja dilontarkan oleh Dominic. "Membuat rumah di sini, Anna. Kau ini tuli atau bagaimana, sih?" Dominic terlihat mulai kesal karena harus kembali mengulang kalimatnya. "Kau memakiku, ya?""Memaki apa lagi, Anna?""Itu mengataiku tuli!""Oh, astaga!" Dominic menepuk dahinya dengan ekspresi geram. Ternyata Anna masih pandai membuatnya naik darah. "Sudahlah lupakan saja! Jadi, kenapa kau terkejut tadi?" "Jelas aku terkejut, Dom. Kau bilang mau membuat rumah di sini? Kau sudah gila atau bagaimana?""Kau mengatai aku gila?" Dominic melotot tidak percaya dengan perkataan Anna. Dia pikir gadis itu sudah bisa menjaga cara bicaranya sekarang, ternyata masih sama saja! "Itu balasannya karena kau mengataiku barusan ... ya, lagi pula idemu itu konyol! Kau sudah tidak tau cara menghabiskan uang atau bagaimana, Dom? Biayanya akan sangat mahal jika membuat rumah di sini."Dominic mengerti masalahnya sekarang. Pria itu ter
Harry memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam koper. Raut wajah pria itu terlihat datar, terkesan dingin setelah pertengkarannya dengan Emily kemarin. Dia berubah menjadi sosok yang lebih pendiam. Brak! Harry menoleh ketika mendengar suara pintu kamar dibuka dari luar. Setelah itu, dia memilih membuang wajah saat melihat Emily datang dengan perlengkapan lukisnya. "Kau mau ke mana, Honey?" tanya Emily. Dia meletakkan alat lukisnya di pojok kamar, lalu berjalan menghampiri Harry yang berdiri di dekat ranjang. "Berkemas? Kau mau ke mana?" tanya Emily sekali lagi saat tidak mendapat jawaban apa pun. "Aku akan kembali ke New York besok pagi, dan untuk malam ini aku akan menginap di kabin Dominic, atau rumah Austin."Emily terlihat terkejut. "Kau mau kembali ke New York? Bukannya kita akan tetap di Vermont sampai liburan akhir tahun berakhir, Harry?""Ada pekerjaan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan," jawab Harry tanpa menoleh sama sekali.Sebenarnya dia masih kesal dengan Emily. "P
"Kau memasak apa?"Anna terlonjak kaget saat Dominic datang dan tiba-tiba melingkarkan tangan di perutnya. "Kau membuatku terkejut, Dom." Beruntung Anna tidak memukulkan spatula yang ada di tangannya ke kepala Dominic. "Maaf, Sayang." Dominic tertawa kecil lalu mengecup pipi Anna. "Jadi, apa menu makan malam kita?""Aku memanggang ayam, dan juga kentang. Lalu membuat krim jagung dan salad sayur. Ah, iya, aku juga membuat kue jahe.""Butuh bantuanku?" tawar Dominic dengan masih memeluk Anna dari belakang. "Tidak perlu. Sebenarnya, kau hanya perlu melepaskan tanganmu saja, dan duduk di sana. Tunggu aku sebentar lagi.""Tidak mau." Bukannya melepaskan tangannya dari tubuh Anna, Dominic justru menggerakkan tangannya dengan nakal. Menyentuh bagian dada gadis itu hingga membuat Anna sedikit melenguh. "Dominic, lepaskan! Aku tidak bisa memasak dengan benar jika seperti ini.""Lepaskan saja jika kau bisa.""Dom." Napas Anna tercekat saat Dominic meremas dadanya, dan mengecup bagian belaka
"Jadi, sebenarnya kalian ada masalah apa?" tanya Dominic pada Harry. Pria itu duduk dengan menopang kaki, santai. Setelah beberapa jam membiarkan Harry dan Austin tidur dengan nyenyak, Dominic akhirnya membangunkan kedua temannya yang tidak tahu diri itu. Enak saja mereka tidur dengan nyenyak, setelah berhasil mengagalkan waktu yang ingin Dominic habiskan bersama Anna. "Sepertinya pernikahan kami tidak akan terjadi.""Apa? Kau serius, Harry?" Wajah Austin tampak terkejut. Itu semua jelas terlihat dari matanya yang melotot lebar. Harry memilih untuk kembali diam. Dia mengambil gelas berisi anggur lalu meminumnya dalam sekali teguk hingga kandas. Apa wajahnya terlihat becanda sekarang? "Harry, kau ini gila atau bagaimana, sih? Kau masih bisa sesantai ini setelah mengatakan bahwa rencana pernikahan kalian mungkin saja gagal?" tanya Austin yang masih tidak habis pikir dengan tingkah Harry yang terlihat cukup tenang. "Lalu aku harus apa? Sejak awal sepertinya Emily memang tidak pern
Anna membuka matanya dengan malas saat mendengar suara pintu rumahnya diketuk beberapa kali. Gadis itu turun lalu menyambar pakaian hangatnya dan berjalan ke luar untuk membuka pintu. "Selamat pagi!" sapa Dominic dengan senyum manis. Pria itu berdiri dengan wajah pucat di depan pintu, lengkap dengan topi yang ada di kepalanya. "Dominic!""Kau tidak mau menyuruhku masuk?""Eh, iya." Anna langsung membuka pintu dengan lebar, lalu membiarkan Dominic masuk. Pria itu meletakkan mantelnya di balik pintu dan langsung memeluk Anna. "Aku kangen."Anna langsung tersenyum mendengar nada manja Dominic. Membuatnya membalas pelukan pria itu dengan erat. "Aku juga. Bagaimana dengan Austin malam tadi?" tanya Anna. Gadis itu mendongakkan kepalanya. Jujur saja dia sangat penasaran. "Austin?""Hu'um. Bagaimana dengan reaksinya setelah tahu kita berkencan? Aku merasa sedikit canggung dengannya malam tadi."Dominic menyentuh hidung Anna dengan hidungnya sendiri. Dia merasa sangat gemas dengan perta
Dominic mengerutkan dahinya, heran dengan gadis berambut merah di depannya. Dia seperti pernah melihatnya, tetapi entah di mana. "Kau tidak ingat aku, Dom?"Anna melirik Dominic dengan penuh tanda tanya, sementara Dominic hanya bisa mengendikkan bahu, tidak tahu. "Aku Sarah Brown, Dom. Kau ingat? Kita pernah bertemu di pernikahan Charles.""Ah, iya. Aku baru ingat.""Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di Vermont. Kau sedang liburan di sini?""Ya," jawab Dominic singkat. Dia kembali fokus dengan kasir di depannya. "Dia siapa?" tanya Sarah lagi sembari menunjuk Anna. "Dia—“Anna menatap Dominic saat pria itu menggantungkan kalimatnya, dan terlihat bingung. "Pacarmu?" tanya Sarah penasaran karena Dominic tidak melanjutkan ucapannya. "Ah, bukan urusanmu!" Dominic mengibaskan tangannya di depan wajah Sarah. Dia terlihat cukup tidak nyaman. Sementara itu, Anna memerhatikan Dominic dengan perasaan yang sedikit kecewa. Dia pikir Dominic akan mengenalkannya sebagai seorang kekasih
Dua Tahun Kemudian. Rumah Dominic terasa ramai sekarang karena anak laki-laki mereka tumbuh menjadi anak yang aktif. Leo, seperti itu mereka semua memanggil nama anak laki-laki yang lahir di musim dingin itu. Leo sangat pintar di usianya yang menginjak dua tahun. Tak jarang, Anna dan Dominic dibuat kewalahan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh Leo. Seperti sekarang, anak itu sedang menanyakan banyak hal kepada ibunya. Tentang mengapa daun-daun pepohonan bisa jatuh di musim gugur, atau tentang bagaimana hewan-hewan liar itu bisa ada, dan mengapa mereka harus menjauhinya. "Mama, aku ingin bersama papa," celoteh Leo yang sudah bosan bertanya tentang banyak hal. "Iya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang. Sekarang makan dulu." Leo menggeleng. Dia kembali berlari saat Anna hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kalau sudah seperti ini, Anna hanya bisa menghembuskan napas dengan kuat. Dia harus banyak bersabar menghadapi kelakuan Leo yang semakin hari se
"Namanya?" Anna menganggukkan kepala dengan senyum lebar. Lalu dia kembali mengusap tangan lembut milik bayi mereka. Ah, ternyata makhluk sebesar ini yang tumbuh di dalam perutnya selama ini. "Bagaimana dengan Mark?" "Mark?" "Iya. Kau tau arti dari nama Mark, Sayang?" Anna sontak menggeleng. "Mark berarti dewa perang. Aku memberinya nama Mark dengan harapan agar nantinya dia sekuat dewa perang." Senyum lebar tersungging di bibir Anna ketika mendengar nama anaknya. "Aku suka itu. Tambahkan nama belakangmu kalau begitu, Dom. Agar dia menjadi pria sekuat dirimu." Dominic setuju. Pria itu mencium kembali pipi bayinya yang terasa begitu halus. "Hai, Nak. Sekarang namamu Mark Leonardo Williams. Aku harap kau bisa tumbuh menjadi pria hebat di masa depan nanti." *** Kabar bahagia terdengar di seluruh penjuru kota New York saat kelahiran cucu pertama keluarga Williams diumumkan. Nama Dominic dan Anna langsung menjadi tren pencarian di internet yang paling banyak dicari
Anna dan Dominic menerima kabar bahagia atas kelahiran putra pertama Austin dan Daniella. Mereka turut berbahagia melihat bagaimana senangnya Austin saat menceritakan proses kelahiran bayi mereka. Anna yang sejak tadi memeluk Dominic pun, tidak pernah sama sekali berhenti tersenyum melihat kebahagiaan di wajah Daniella dan Austin. Mereka langsung melakukan panggilan video begitu mendapat kabar jika Daniella sudah melahirkan. "Ah, rasanya aku ingin terbang ke New York sekarang juga." Anna terlihat gemas melihat pipi merah milik putra Daniella. "Prediksi kelahiranmu kapan, An?" tanya Daniella dengan membersihkan Felix yang baru saja selesai dimandikan. "Bulan depan, tapi aku tidak yakin juga setelah mendengar jika kau melahirkan lebih cepat dari perkiraan." "Semoga semuanya lancar," harap Daniella. "Silakan bicara dengan Austin dulu. Felix sepertinya sudah sangat lapar." Anna mengangguk mengerti. Dia segera memberikan ponsel Dominic kepada pemiliknya, dan membiarkan D
Austin bangun tergopoh-gopoh begitu Daniella membangunkannya tengah malam begini. Yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah saat melihat Daniella merintih kesakitan dengan memegang perutnya. "Daniella, apa kau akan melahirkan?" tanya Austin gugup. Dia terlihat lebih gugup daripada wanita yang akan melahirkan. "Aku tidak tau. Perutku sakit sekali, Austin," rintih Daniella tidak tahan lagi. Sebenarnya dia sudah merasakan sakit perut dari sore tadi. Hanya saja, Daniella memilih untuk diam, dan tidak mengatakan apa pun karena berpikir jika ini hanya sakit perut biasa. Sampai saat mereka akan tidur lagi, Daniella semakin merasa tidak nyaman karena kram di perutnya tak kunjung mereda. "Kita ke rumah sakit sekarang." "Telepon mama dulu, Austin. Sepertinya aku hanya sakit perut biasa saja." Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Wajah Daniella tampak pucat dengan keringat deras yang membasahi kening. "Oke, sebentar. Aku telepon mama dulu kalau begitu," ucap Austin y
Musim gugur telah berlalu, dengan angin yang perlahan semakin terasa dingin. Hari ini, setelah sekian lama menunggu, salju pertama di tahun ini kembali turun. Dari balik kaca-kaca rumah, Anna menatap ke arah luar melihat salju yang mulai berjatuhan. Gadis itu tersenyum simpul. "Hari ini salju turun. Kau pasti sangat bahagia, kan, Sayang?" Tiba-tiba saja Dominic datang dan memeluk Anna dengan lembut. Anna hanya mengukir senyum dengan kepala mengangguk. "Musim dingin tahun ini sangat berbeda, Dom." "Apa yang berbeda?" Anna melepaskan tangan Dominic, kemudian berbalik hingga mereka saling berhadapan sekarang. "Keberadaanmu yang membuat beda." Dominic memegang pinggang Anna, dengan tersenyum lebar. Pria itu merunduk, lalu mengecup bibir istrinya cukup lama. "Kau tau, musim dingin tahun lalu dan tahun ini aku punya kebiasaan yang berbeda." Anna menaikkan sudut alisnya. "Kebiasaan yang berbeda? Apa contohnya?" "Ya, contohnya ... bercinta denganmu." Anna memukul dad
Daniella melompat kegirangan saat melihat Austin muncul dari pintu kedatangan. Dia memang sengaja menunggu di bandara saat suaminya itu mengatakan jika akan pulang hari ini. Sungguh, Daniella tidak dapat menahan diri lagi dengan berdiam diri di rumah saja, untuk menunggu Austin. Apalagi dia masih sedih karena Anna sudah pindah ke Vermont kemarin. "Honey, aku sangat merindukanmu." Austin langsung memeluk istrinya dengan erat. Kalau saja dia tidak ingat perut Daniella yang buncit, mungkin Austin tidak akan melepaskan istrinya sekarang. "Aku juga sangat merindukanmu." Austin melepaskan pelukannya dan langsung berjongkok di hadapan perut Daniella. Salah satu yang menjadi kebiasaannya sekarang adalah menyapa bayinya yang masih di dalam perut. "Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu di dalam sana?" tanya Austin dengan mengusap perut Daniella. Sesekali dia menciumnya dengan gemas, hingga membuat Daniella tertawa karena geli. "Sudah, Austin. Sebaiknya kita pulang saja sekarang. Aku
Austin menyambut kedatangan Dominic dengan senang hati. Dia sengaja melakukan semua itu, sebelum kembali ke pulang ke New York. Setelah semua urusan di Sky Crystal hari ini selesai, Austin mungkin akan langsung pulang. Dia sudah tidak tahan lagi ingin bertemu dengan Daniella, setelah lebih dari satu bulan ini lebih sering menghabiskan waktunya untuk pulang pergi Vermont dan New York. "Hai, Dom. Bagaimana dengan perjalanan kalian?" Austin langsung memeluk Dominic begitu pria itu tiba. Lalu menyapa Anna yang terlihat cukup kelelahan. "Ah, kau pasti sangat kelelahan, Anna." "Hum, sedikit," jawab Anna dengan senyum tipis. "Ini perjalanan panjang setelah kehamilannya. Dia pasti sangat kelelahan, apalagi perutnya sudah semakin membesar." Austin mengerti dengan apa yang Dominic keluhkan. "Itulah sebabnya aku melarang Daniella ketika dia merengek minta ikut. Kalau begitu, ayo. Sebentar lagi hari akan gelap." Dominic dan Anna mengikuti Austin yang berjalan lebih dulu menuju mob
Dominic membawa Anna ke rumah keluarganya. Setelah rapat pagi tadi, baik Elena maupun Hamilton meminta Dominic untuk datang dan menjelaskan segalanya. Saat Dominic memberitahu Anna, awalnya dia terkejut dengan keputusan Dominic yang bahkan selama ini tidak pernah dibicarakan. Namun, Anna tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang sudah Dominic putuskan. Hidup di mana pun, Anna bersedia asal tetap bersama Dominic. "Kita bicara setelah makan," ujar Hamilton setelah Dominic dan istrinya tiba. Sekarang mereka duduk bersama di ruang tamu, tetapi dengan cepat Dominic menolaknya. "Bisa kita bicara sekarang saja?" Hamilton berdeham. Dia sudah mengira Dominic akan melakukan hal ini, tetapi tidak pernah berpikir jika waktunya akan secepat ini. "Kenapa tiba-tiba seperti ini? Seharusnya kita membicarakan semua ini dari jauh-jauh hari." Hamilton hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Dominic membatalkan keputusannya. "Aku jug
"Williams Group?" Anna menganggukkan kepalanya. Dia tahu sebesar apa tanggung jawab Dominic terhadap Williams Group. Untuk memutuskan tinggal di Sky Crystal selamanya, itu pasti bukan perkara mudah. Dominic tersenyum tipis, tanpa ingin menjawab rasa penasaran Anna. Pria itu justru mengusap rambut istrinya seraya berkata, "Besok kau akan tau semuanya, Sayang." *** Adam dibuat kelimpungan pagi ini karena Dominic meminta diadakannya rapat dengan para pemegang saham secara mendadak. Dia tidak tahu apa yang Dominic ingin sampaikan sampai harus mengadakan rapat mendadak seperti ini. Seluruh pemegang saham Williams Group diwajibkan hadir. Ada Hamilton, Elena, Charles, dan beberapa orang lain yang tampak duduk di ruang rapat menunggu Dominic, selaku pemegang saham tertinggi sekaligus pemimpin di Williams Group saat ini. Berbagai gonjang-ganjing mulai terdengar di setiap sudut perusahaan karena rapat mendadak yang tiba-tiba saja Dominic lakukan. Semua spekulasi muncul,