Dominic mengerutkan dahinya, heran dengan gadis berambut merah di depannya. Dia seperti pernah melihatnya, tetapi entah di mana. "Kau tidak ingat aku, Dom?"Anna melirik Dominic dengan penuh tanda tanya, sementara Dominic hanya bisa mengendikkan bahu, tidak tahu. "Aku Sarah Brown, Dom. Kau ingat? Kita pernah bertemu di pernikahan Charles.""Ah, iya. Aku baru ingat.""Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di Vermont. Kau sedang liburan di sini?""Ya," jawab Dominic singkat. Dia kembali fokus dengan kasir di depannya. "Dia siapa?" tanya Sarah lagi sembari menunjuk Anna. "Dia—“Anna menatap Dominic saat pria itu menggantungkan kalimatnya, dan terlihat bingung. "Pacarmu?" tanya Sarah penasaran karena Dominic tidak melanjutkan ucapannya. "Ah, bukan urusanmu!" Dominic mengibaskan tangannya di depan wajah Sarah. Dia terlihat cukup tidak nyaman. Sementara itu, Anna memerhatikan Dominic dengan perasaan yang sedikit kecewa. Dia pikir Dominic akan mengenalkannya sebagai seorang kekasih
“Papa, ampun!” Gadis kecil berusia sepuluh tahun itu meringkuk di atas lantai yang dingin. Kepalanya mendongak dengan tatapan menyedihkan. Dia melihat seorang wanita yang sedang merokok di atas sofa dengan santai. Berharap wanita tersebut akan menolongnya, tetapi sepertinya hal itu tidak akan terjadi. “Carol, kau bisa menjaga anak tidak, sih?” bentak pria berkulit putih—Frank.Carolina berdecak dengan ekspresi kesal. “Aku sudah bilang padanya untuk tidak keluar, tapi anak itu memang nakal. Tidak mau mendengar.” Anna kecil berusaha merangkak menuju kaki sang ayah untuk memohon ampun. Namun, sebelum gadis kecil itu mencapai kaki ayahnya, Frank kembali memukulkan tongkat kayu ke punggungnya yang ringkih seolah tidak punya rasa peduli. “Aw, sakit.” “Dasar anak kurang ajar!” hardik Frank lagi. Dia semakin membabi buta memukulkan tongkat kayu yang ada tangannya pada tubuh kecil Anna yang sudah tidak berdaya. Amarahnya benar-benar memuncak, dan berharap agar anak itu mati saja! Bagaima
Anna terbangun saat hidungnya mencium aroma harum masakan. Mata gadis itu tampak beberapa kali mengerjap, menatap sinar matahari yang masuk melalui kaca jendela. Lantas dia menoleh ke samping, dan mendapati Dominic sudah tidak ada di tempatnya. “Aw!” rintih Anna saat dia berusaha menurunkan kaki untuk berdiri. Anna terpaksa kembali duduk dan melihat kondisi kakinya yang terasa sangat sakit. Dia baru teringat. Kemarin saat dia dan Sarah bermain ski bersama, gadis berambut merah itu tiba-tiba saja hendak mengayunkan tongkat ski ke arahnya. Saat itu Anna merasa kaget. Dia mempunyai trauma terhadap tindakan seperti itu, tentu saja langsung bergerak tidak teratur, dan berakhir terjatuh dengan keras di atas salju. Cederanya cukup parah pada bagian pergelangan kaki dan lutut. Membuat Anna terus meringis saat melihat bagian dari kakinya yang bengkak, dan lebam cukup parah. “Kau sudah bangun?” Anna menengadahkan kepala saat mendengar suara pintu terbuka, dan Dominic muncul dengan nampan
Dominic tidak bisa menunggu lebih lama lagi, setelah melihat kondisi Anna yang sama sekali tidak menunjukkan kemajuan. Jadi, dia sudah memutuskan untuk kembali ke New York lebih cepat dari waktu yang seharusnya. Lagi pula Dominic sudah tidak nyaman berada di Sky Crystal sejak bertemu dengan Sarah kemarin. Gadis itu benar-benar membuat Dominic muak dengan semua tingkah lakunya yang terkesan murahan. Sementara itu, Anna juga tidak bisa menolak lagi keinginan Dominic yang ingin membawanya ke New York. Gadis itu hanya bisa pasrah karena kondisi kakinya benar-benar buruk. Dia tidak bisa bergerak bebas apalagi setelah kakinya dipasang gips. Mata biru milik Anna menatap Dominic yang sudah sibuk sejak pagi tadi. Bahkan sejak semalam, pria itu tidak bisa tidur dengan nyenyak, semua itu tampak jelas dari wajah lelah Dominic. "Halo, Dam. Bagaimana dengan tiket yang aku minta? Kau sudah dapat?""Yeah, beruntung cuaca cukup bagus sekarang. Penerbanganmu tiga jam lagi.""Baiklah, dan satu lagi j
Dominic memilih untuk mengabaikan Adam yang tampak sangat penasaran. Dia segera berjalan kembali menyusul Anna yang sudah jauh di depan sana. "Dia benar-benar gadis itu, Harry?" tanya Adam sekali lagi pada Harry yang berdiri di sampingnya. "Menurutmu?""Oh, Tuhan. Aku benar-benar tidak menyangka. Jadi, gadis itu juga yang terikat kontrak dengan Dominic bukan?""Ya, kau terkejut?"Adam mengangguk cepat masih dengan wajahnya yang tampak seperti orang bodoh. "Ini benar-benar seperti kejutan. Dia menyukai gadis yang dibencinya?""Ya, kira-kira seperti itu!"***Anna menatap seorang gadis yang Adam bawa ke ruangannya beberapa saat yang lalu. Gadis berambut panjang dengan kucir kuda itu menatap Anna dengan senyum ramah. "Halo, Mr. Williams, Ms. Johnson. Perkenalkan saya Emma." Gadis itu membungkukkan setengah tubuhnya di depan Dominic dengan penuh rasa hormat. Tentu saja. Di kota ini siapa yang tidak mengenal Dominic? Putra sulung keluarga Williams yang berhasil menjadikan bisnis milik
Dominic menutup pintu mobilnya setelah masuk ke dalam garasi rumah keluarga Williams. Pria itu turun dengan wajah dingin, seolah tidak peduli dengan beberapa pelayan yang menunduk hormat dengannya. Setelah pertengkarannya dengan sang ibu beberapa waktu yang lalu, Dominic sama sekali tidak berhubungan dengan wanita yang sudah melahirkannya itu. Entahlah. Terkadang dia masih sedikit sakit hati karena disalahkan atas kecelakaan Charles. "Dom!" panggil Charles yang tampak senang. Pria itu berjalan menghampiri Dominic meski masih sedikit pincang. "Kau sudah pulang?""Ya, liburan akhir tahun sudah selesai.""Bagaimana kabarmu? Kau sama sekali tidak menelponku ataupun Nyonya Williams. Dia selalu saja membicarakanmu." Terbesit rasa iri dari perkataan Charles. Dominic memang sering bertengkar dengan ibunya, tetapi Charles tahu jika Elena paling menyayangi Dominic dari siapa pun. Dominic menepuk pundak Charles dengan senyum tipis. "Sorry, aku sedikit sibuk. Di mana papa?""Ada di ruang ker
Dominic benar-benar menepati ucapannya. Dia membawa Charles ke salah satu hotel yang ada di bawah naungan Williams Group. Adiknya itu bekerja di bagian humas, dan memperkenalkannya kepada para pegawai sebagai Charles Williams, bukan sebagai putra bungsu keluarga Williams. Menempati posisi yang rendah memang sudah kesepakatan antara Dominic dan juga Charles. Selama ini, Charles tidak pernah bekerja di perusahaan, dan itulah salah satu alasan Dominic ingin Charles memulai dari bawah. Jika sudah waktunya, Dominic yakin Charles bisa memimpin salah satu anak perusahaan Williams Group. Williams Group sendiri memegang beberapa industri besar di New York, khususnya di bidang pariwisata. Hotel-hotel bintang lima, resort mewah di tengah kota New York kebanyakan bagian dari Williams Group. Bar-bar kelas atas juga menjadi bagian dari bisnis keluarga Williams, yang Dominic besarkan namanya. Sekarang Williams Group mulai merambah bidang konstruksi. Salah satunya perusahaan baru yang Dominic d
"Dominic!" panggil Anna sekali lagi. Dominic mengacuhkannya begitu saja sejak dia membicarakan kontrak mereka tadi. "Ah, iya.""Jadi, bagaimana dengan hubungan kita selanjutnya, Dom?" "Apakah kontrak kita sekarang masih penting?" Dominic memiringkan wajah dan menatap Anna dengan lekat. "Semenjak hubungan kita terjadi, kontrak itu sudah aku anggap tidak ada. Aku juga sudah mengirimkan uang gaji ke rekeningmu.""Maksudku bukan tentang uang, Dom?" gumam Anna dengan sedikit sendu. Beberapa hari ini dia selalu merasa gelisah dengan hubungan mereka yang. "Aku hanya ingin memastikan jika kontrak kita berakhir, apa hubungan kita juga—“"Sssstttt!" Dominic menutup bibir Anna dengan jari telunjuk lalu menggeleng pelan. "Jangan bicarakan tentang kontrak sialan itu lagi! Hubungan kita akan terus seperti ini, tidak peduli dengan kontrak kerja yang sudah berakhir atau belum.""Dominic!"Dominic mendekatkan wajahnya, dengan mengusap pipi Anna dengan lembut. "Berjanjilah padaku, An. Tidak hanya sat
Dua Tahun Kemudian. Rumah Dominic terasa ramai sekarang karena anak laki-laki mereka tumbuh menjadi anak yang aktif. Leo, seperti itu mereka semua memanggil nama anak laki-laki yang lahir di musim dingin itu. Leo sangat pintar di usianya yang menginjak dua tahun. Tak jarang, Anna dan Dominic dibuat kewalahan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh Leo. Seperti sekarang, anak itu sedang menanyakan banyak hal kepada ibunya. Tentang mengapa daun-daun pepohonan bisa jatuh di musim gugur, atau tentang bagaimana hewan-hewan liar itu bisa ada, dan mengapa mereka harus menjauhinya. "Mama, aku ingin bersama papa," celoteh Leo yang sudah bosan bertanya tentang banyak hal. "Iya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang. Sekarang makan dulu." Leo menggeleng. Dia kembali berlari saat Anna hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kalau sudah seperti ini, Anna hanya bisa menghembuskan napas dengan kuat. Dia harus banyak bersabar menghadapi kelakuan Leo yang semakin hari se
"Namanya?" Anna menganggukkan kepala dengan senyum lebar. Lalu dia kembali mengusap tangan lembut milik bayi mereka. Ah, ternyata makhluk sebesar ini yang tumbuh di dalam perutnya selama ini. "Bagaimana dengan Mark?" "Mark?" "Iya. Kau tau arti dari nama Mark, Sayang?" Anna sontak menggeleng. "Mark berarti dewa perang. Aku memberinya nama Mark dengan harapan agar nantinya dia sekuat dewa perang." Senyum lebar tersungging di bibir Anna ketika mendengar nama anaknya. "Aku suka itu. Tambahkan nama belakangmu kalau begitu, Dom. Agar dia menjadi pria sekuat dirimu." Dominic setuju. Pria itu mencium kembali pipi bayinya yang terasa begitu halus. "Hai, Nak. Sekarang namamu Mark Leonardo Williams. Aku harap kau bisa tumbuh menjadi pria hebat di masa depan nanti." *** Kabar bahagia terdengar di seluruh penjuru kota New York saat kelahiran cucu pertama keluarga Williams diumumkan. Nama Dominic dan Anna langsung menjadi tren pencarian di internet yang paling banyak dicari
Anna dan Dominic menerima kabar bahagia atas kelahiran putra pertama Austin dan Daniella. Mereka turut berbahagia melihat bagaimana senangnya Austin saat menceritakan proses kelahiran bayi mereka. Anna yang sejak tadi memeluk Dominic pun, tidak pernah sama sekali berhenti tersenyum melihat kebahagiaan di wajah Daniella dan Austin. Mereka langsung melakukan panggilan video begitu mendapat kabar jika Daniella sudah melahirkan. "Ah, rasanya aku ingin terbang ke New York sekarang juga." Anna terlihat gemas melihat pipi merah milik putra Daniella. "Prediksi kelahiranmu kapan, An?" tanya Daniella dengan membersihkan Felix yang baru saja selesai dimandikan. "Bulan depan, tapi aku tidak yakin juga setelah mendengar jika kau melahirkan lebih cepat dari perkiraan." "Semoga semuanya lancar," harap Daniella. "Silakan bicara dengan Austin dulu. Felix sepertinya sudah sangat lapar." Anna mengangguk mengerti. Dia segera memberikan ponsel Dominic kepada pemiliknya, dan membiarkan D
Austin bangun tergopoh-gopoh begitu Daniella membangunkannya tengah malam begini. Yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah saat melihat Daniella merintih kesakitan dengan memegang perutnya. "Daniella, apa kau akan melahirkan?" tanya Austin gugup. Dia terlihat lebih gugup daripada wanita yang akan melahirkan. "Aku tidak tau. Perutku sakit sekali, Austin," rintih Daniella tidak tahan lagi. Sebenarnya dia sudah merasakan sakit perut dari sore tadi. Hanya saja, Daniella memilih untuk diam, dan tidak mengatakan apa pun karena berpikir jika ini hanya sakit perut biasa. Sampai saat mereka akan tidur lagi, Daniella semakin merasa tidak nyaman karena kram di perutnya tak kunjung mereda. "Kita ke rumah sakit sekarang." "Telepon mama dulu, Austin. Sepertinya aku hanya sakit perut biasa saja." Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Wajah Daniella tampak pucat dengan keringat deras yang membasahi kening. "Oke, sebentar. Aku telepon mama dulu kalau begitu," ucap Austin y
Musim gugur telah berlalu, dengan angin yang perlahan semakin terasa dingin. Hari ini, setelah sekian lama menunggu, salju pertama di tahun ini kembali turun. Dari balik kaca-kaca rumah, Anna menatap ke arah luar melihat salju yang mulai berjatuhan. Gadis itu tersenyum simpul. "Hari ini salju turun. Kau pasti sangat bahagia, kan, Sayang?" Tiba-tiba saja Dominic datang dan memeluk Anna dengan lembut. Anna hanya mengukir senyum dengan kepala mengangguk. "Musim dingin tahun ini sangat berbeda, Dom." "Apa yang berbeda?" Anna melepaskan tangan Dominic, kemudian berbalik hingga mereka saling berhadapan sekarang. "Keberadaanmu yang membuat beda." Dominic memegang pinggang Anna, dengan tersenyum lebar. Pria itu merunduk, lalu mengecup bibir istrinya cukup lama. "Kau tau, musim dingin tahun lalu dan tahun ini aku punya kebiasaan yang berbeda." Anna menaikkan sudut alisnya. "Kebiasaan yang berbeda? Apa contohnya?" "Ya, contohnya ... bercinta denganmu." Anna memukul dad
Daniella melompat kegirangan saat melihat Austin muncul dari pintu kedatangan. Dia memang sengaja menunggu di bandara saat suaminya itu mengatakan jika akan pulang hari ini. Sungguh, Daniella tidak dapat menahan diri lagi dengan berdiam diri di rumah saja, untuk menunggu Austin. Apalagi dia masih sedih karena Anna sudah pindah ke Vermont kemarin. "Honey, aku sangat merindukanmu." Austin langsung memeluk istrinya dengan erat. Kalau saja dia tidak ingat perut Daniella yang buncit, mungkin Austin tidak akan melepaskan istrinya sekarang. "Aku juga sangat merindukanmu." Austin melepaskan pelukannya dan langsung berjongkok di hadapan perut Daniella. Salah satu yang menjadi kebiasaannya sekarang adalah menyapa bayinya yang masih di dalam perut. "Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu di dalam sana?" tanya Austin dengan mengusap perut Daniella. Sesekali dia menciumnya dengan gemas, hingga membuat Daniella tertawa karena geli. "Sudah, Austin. Sebaiknya kita pulang saja sekarang. Aku
Austin menyambut kedatangan Dominic dengan senang hati. Dia sengaja melakukan semua itu, sebelum kembali ke pulang ke New York. Setelah semua urusan di Sky Crystal hari ini selesai, Austin mungkin akan langsung pulang. Dia sudah tidak tahan lagi ingin bertemu dengan Daniella, setelah lebih dari satu bulan ini lebih sering menghabiskan waktunya untuk pulang pergi Vermont dan New York. "Hai, Dom. Bagaimana dengan perjalanan kalian?" Austin langsung memeluk Dominic begitu pria itu tiba. Lalu menyapa Anna yang terlihat cukup kelelahan. "Ah, kau pasti sangat kelelahan, Anna." "Hum, sedikit," jawab Anna dengan senyum tipis. "Ini perjalanan panjang setelah kehamilannya. Dia pasti sangat kelelahan, apalagi perutnya sudah semakin membesar." Austin mengerti dengan apa yang Dominic keluhkan. "Itulah sebabnya aku melarang Daniella ketika dia merengek minta ikut. Kalau begitu, ayo. Sebentar lagi hari akan gelap." Dominic dan Anna mengikuti Austin yang berjalan lebih dulu menuju mob
Dominic membawa Anna ke rumah keluarganya. Setelah rapat pagi tadi, baik Elena maupun Hamilton meminta Dominic untuk datang dan menjelaskan segalanya. Saat Dominic memberitahu Anna, awalnya dia terkejut dengan keputusan Dominic yang bahkan selama ini tidak pernah dibicarakan. Namun, Anna tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang sudah Dominic putuskan. Hidup di mana pun, Anna bersedia asal tetap bersama Dominic. "Kita bicara setelah makan," ujar Hamilton setelah Dominic dan istrinya tiba. Sekarang mereka duduk bersama di ruang tamu, tetapi dengan cepat Dominic menolaknya. "Bisa kita bicara sekarang saja?" Hamilton berdeham. Dia sudah mengira Dominic akan melakukan hal ini, tetapi tidak pernah berpikir jika waktunya akan secepat ini. "Kenapa tiba-tiba seperti ini? Seharusnya kita membicarakan semua ini dari jauh-jauh hari." Hamilton hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Dominic membatalkan keputusannya. "Aku jug
"Williams Group?" Anna menganggukkan kepalanya. Dia tahu sebesar apa tanggung jawab Dominic terhadap Williams Group. Untuk memutuskan tinggal di Sky Crystal selamanya, itu pasti bukan perkara mudah. Dominic tersenyum tipis, tanpa ingin menjawab rasa penasaran Anna. Pria itu justru mengusap rambut istrinya seraya berkata, "Besok kau akan tau semuanya, Sayang." *** Adam dibuat kelimpungan pagi ini karena Dominic meminta diadakannya rapat dengan para pemegang saham secara mendadak. Dia tidak tahu apa yang Dominic ingin sampaikan sampai harus mengadakan rapat mendadak seperti ini. Seluruh pemegang saham Williams Group diwajibkan hadir. Ada Hamilton, Elena, Charles, dan beberapa orang lain yang tampak duduk di ruang rapat menunggu Dominic, selaku pemegang saham tertinggi sekaligus pemimpin di Williams Group saat ini. Berbagai gonjang-ganjing mulai terdengar di setiap sudut perusahaan karena rapat mendadak yang tiba-tiba saja Dominic lakukan. Semua spekulasi muncul,