Sementara itu, di tempat lain, Austin sedang terlihat khawatir di depan pintu karena sejak semalam Daniella sama sekali belum keluar dari dalam kamarnya. Sejak satu minggu yang lalu, mereka tidak pernah berdebat lagi karena Austin punya banyak pekerjaan di kantor. Jadi, pria itu lebih sering pergi pagi dan pulang malam, hingga intensitas pertemuan mereka sedikit berkurang. Namun, sejak semalam Austin tidak ada melihat Daniella keluar sama sekali, sampai puncaknya di pagi ini dia merasa khawatir ketika pintu kamar Daniella belum terbuka sama sekali dan terdengar keadaan di dalam sepertinya cukup sepi. Austin menggantungkan tangannya ke udara ketika dia ingin mengetuk pintu kamarnya Daniella, entah kenapa perasaannya sangat ragu. Namun, akhirnya Austin memberanikan diri. Persetan dengan Daniella akan marah nanti! Pria itu mengetuk pintu pada akhirnya. Tok Tok Tidak ada sahutan apa pun dari dalam. Austin mengusap kasar wajahnya, lalu dia memanggil Daniella dengan pelan. “Daniell
Daniella bangun ketika jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, sedangkan matahari masih bersinar di luar. Seperti itulah matahari di musim panas. Tubuh gadis itu sudah sedikit baikan dan panasnya juga sudah turun. Daniella segera beranjak ketika mendengar ketukan pintu dari luar. Hari ini dia harus berterima kasih kepada Austin karena sudah merawatnya dengan baik. Begitu Daniella membukakan pintu, sudah ada Austin yang berdiri dengan membawa nampan berisi semangkuk sup yang masih mengepulkan asap putih. "Ini makan malammu."Daniella menerima makanan yang Austin berikan. Pria itu terlihat seperti kelelahan karena harus bekerja dan merawat Daniella dalam satu waktu. "Terima kasih, Austin. Maaf karena hari ini aku sudah merepotkanmu."Austin hanya menganggukkan kepalanya dengan wajah masam. "Lain kali jaga kesehatanmu."Mendengar nasihat yang diberikan Austin, Daniella merasa sedikit senang karena pria itu ternyata cukup perhatian. Namun, ternyata Austin belum selesai dengan kali
“Kau sedang menyembunyikan sesuatu, Austin?” tanya Dominic langsung tanpa basa-basi, begitu mereka sampai di luar. Dominic dan juga Austin memilih duduk di kursi taman resort yang berada tepat di depan rumah Austin. Austin tidak langsung menjawab. Pria itu justru menatap Dominic dengan keheranan karena tidak tahu mengapa temannya bisa bertanya seperti itu. “Aku tidak mengerti dengan maksudmu, Dom. Apa aku terlihat seperti sedang menyembunyikan sesuatu?” “Ya, apa kau lupa jika kau tidak pandai berbohong?” Dominic berbalik—melirik dengan tajam ke arah Austin untuk mengintimidasi pria berkulit putih itu. Benar saja, Austin langsung terlihat gelisah begitu mendapatkan tatapan tajam dari Dominic. “A-aku tidak sedang berbohong.” “Kau menyembunyikan gadis itu, bukan? Atau kau—“ Dominic sengaja tidak melanjutkan perkataannya. Dia ingin melihat reaksi Austin seperti apa. “Menyembunyikan? Apa kau pikir dia barang yang bisa disembunyikan?” tanya Austin lagi. Dia tahu gadis yang dimaksud o
“Dominic.” Anna memanggil nama suaminya begitu pria itu muncul. Matanya menelisik ke arah belakang Dominic, begitu juga dengan Daniella—mereka menanti kedatangan Austin yang pergi bersama dengan Dominic tadi. Namun, sepertinya pria berkulit putih itu tidak muncul sama sekali. Menyadari jika Anna seperti sedang mencari sesuatu, Dominic jadi mengerutkan keningnya. “Kau mencari apa, Sayang?” “Austin ke mana?” “Dia masih di belakang. Memangnya ada apa?” tanya Dominic lagi. Untuk apa Anna menanyakan tentang keberadaan Austin? “Austin—“ Daniella langsung mencekal tangan Anna, dan menggeleng pelan untuk mencegah gadis itu berbicara pada Dominic. Bukan apa-apa, Daniella hanya merasa sungkan saja dengan Dominic. Biar bagaimana pun, Dominic adalah bosnya juga di sini. Rasanya kurang sopan jika pria itu tahu masalahnya dengan Austin yang notabenenya adalah teman dari Dominic sendiri. “Kenapa?” Anna bertanya dengan wajah bingung karena Daniella mencegahnya. “Dominic pasti akan membantumu.
Anna masih terus berusaha membuka dan menutup mata di waktu hampir menuju tengah malam. Dia tidak bisa tidur karena terus memikirkan Daniella, sebab Anna tahu bagaimana rasanya hidup dalam keadaan tertekan seperti itu. Merasakan tubuh Anna yang terus bergerak dalam dekapannya, Dominic pun membuka mata dan memerhatikan sang istri yang sedang menatap langit-langit kamar mereka. "Masih memikirkan tentang temanmu?"Anna hanya mengangguk, dan melihat sekilas ke arah Dominic. Saat itu juga dia merasakan pelukan Dominic yang semakin erat. "Tidur saja malam ini. Besok aku akan bicarakan hal ini dengan Austin. Sebelumnya, aku juga sudah berjanji padamu, bukan? Jika Austin melakukan sesuatu yang melanggar hukum, maka aku yang akan mengurusnya." Dominic menatap mata biru Anna dengan lekat. Dia tidak berbohong atau hanya sekadar memberikan kalimat penghibur pada Anna. Dominic akan menepati apa yang dia katakan. Melihat kesungguhan Dominic, mau tidak mau Anna berusaha mempercayainya, meskipun
Daniella menatap tubuh polosnya dengan perasaan jijik. Setiap kali marah, Austin pasti akan langsung memaksanya melakukan hubungan badan. Jika dulu Daniella suka melakukan hal tersebut dengan Austin, sekarang keadaannya berbanding terbalik. Dia benar-benar benci dengan perbuatan Austin yang semakin hari, menurutnya semakin kejam. "Kau menangis?" tanya Austin dengan santai. Pria itu baru saja keluar dari dalam kamar mandi. Bahkan rambutnya masih basah dengan handuk yang terlilit di pinggang. Kulitnya yang putih juga begitu kontras dengan Daniella. "Daniella, kau dengar aku tidak?" Austin bertanya lagi setelah tidak mendapatkan jawaban apa pun dari Daniella. Sementara itu, Daniella mengusap air matanya dengan kasar, dan langsung menatap Austin dengan penuh kebencian. "Apa pedulimu?" sinis Daniella. Gadis itu menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya, kemudian berbaring memunggungi Austin. Sekarang, dia hanya mau tidur saja. Tidak peduli jika ini kamar Austin sekali pun. M
Setelah mendengar kabar jika Daniella masuk rumah sakit, Anna langsung meminta Dominic untuk bergegas ke kota. Mereka bahkan mengakhiri pembicaraan tentang pembuatan rumah di tengah hutan tadi. Anna benar-benar merasa khawatir karena Daniella bukan orang yang mudah sakit. Bahkan selama tinggal di Sky Crystal bersama, mungkin hanya satu atau dua kali saja dia melihat Daniella demam. Namun, sekarang tiba-tiba saja gadis itu harus dibawa ke rumah sakit? Sebenarnya, apa yang sudah terjadi? Memikirkan banyak kemungkinan yang bisa terjadi, Anna menjadi berang sendiri dengan Austin. Terutama ketika dia mengingat bagaimana Daniella menangis kemarin. "Kali ini aku benar-benar mencurigai Austin, Dom. Dia pasti tidak hanya mengurung Daniella saja. Apa mungkin Austin menyuruh Daniella bekerja terus menerus tanpa henti?" Dominic melirik ke arah istrinya yang sejak tadi mengomel, tetapi pria itu memilih untuk diam saja karena takut membuat kesimpulan yang salah. Lagi pula, mereka akan tahu
“Hamil?” Baik Dominic maupun Austin saling berpandangan, dengan tatapan mata yang mengandung banyak arti. Austin menatap Dominic dan dokter di depannya secara bergantian. Dia sangat terkejut dengan kabar yang baru saja disampaikan. Daniella hamil? Entah ini kabar gembira, atau justru kabar yang kurang menyenangkan bagi Austin. Satu yang pasti, Austin terlalu terkejut hingga dia tidak bisa mengucap sepatah kata pun, setelah mendengar jika Daniella sedang hamil. Sementara itu, Dominic terkejut bukan karena kehamilan Daniella. Yang membuatnya lebih terkejut adalah fakta bahwa Austin yang sudah menahan gadis tersebut sudah lebih dari satu bulan. Siapa pun pasti akan mengira jika gadis tersebut hamil dengan Austin. “Ya, sekali lagi selamat, Mr. Wilson. Kalau kau mau, aku bisa merekomendasikan dokter obgyn di rumah sakit ini, dan membuatkan jadwal untuk kalian.” “Aku—“ “Janjikan pertemuan sekarang juga.” Dominic menatap wanita berjubah putih itu dengan serius. Tentu saja hal terse
Dua Tahun Kemudian. Rumah Dominic terasa ramai sekarang karena anak laki-laki mereka tumbuh menjadi anak yang aktif. Leo, seperti itu mereka semua memanggil nama anak laki-laki yang lahir di musim dingin itu. Leo sangat pintar di usianya yang menginjak dua tahun. Tak jarang, Anna dan Dominic dibuat kewalahan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh Leo. Seperti sekarang, anak itu sedang menanyakan banyak hal kepada ibunya. Tentang mengapa daun-daun pepohonan bisa jatuh di musim gugur, atau tentang bagaimana hewan-hewan liar itu bisa ada, dan mengapa mereka harus menjauhinya. "Mama, aku ingin bersama papa," celoteh Leo yang sudah bosan bertanya tentang banyak hal. "Iya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang. Sekarang makan dulu." Leo menggeleng. Dia kembali berlari saat Anna hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kalau sudah seperti ini, Anna hanya bisa menghembuskan napas dengan kuat. Dia harus banyak bersabar menghadapi kelakuan Leo yang semakin hari se
"Namanya?" Anna menganggukkan kepala dengan senyum lebar. Lalu dia kembali mengusap tangan lembut milik bayi mereka. Ah, ternyata makhluk sebesar ini yang tumbuh di dalam perutnya selama ini. "Bagaimana dengan Mark?" "Mark?" "Iya. Kau tau arti dari nama Mark, Sayang?" Anna sontak menggeleng. "Mark berarti dewa perang. Aku memberinya nama Mark dengan harapan agar nantinya dia sekuat dewa perang." Senyum lebar tersungging di bibir Anna ketika mendengar nama anaknya. "Aku suka itu. Tambahkan nama belakangmu kalau begitu, Dom. Agar dia menjadi pria sekuat dirimu." Dominic setuju. Pria itu mencium kembali pipi bayinya yang terasa begitu halus. "Hai, Nak. Sekarang namamu Mark Leonardo Williams. Aku harap kau bisa tumbuh menjadi pria hebat di masa depan nanti." *** Kabar bahagia terdengar di seluruh penjuru kota New York saat kelahiran cucu pertama keluarga Williams diumumkan. Nama Dominic dan Anna langsung menjadi tren pencarian di internet yang paling banyak dicari
Anna dan Dominic menerima kabar bahagia atas kelahiran putra pertama Austin dan Daniella. Mereka turut berbahagia melihat bagaimana senangnya Austin saat menceritakan proses kelahiran bayi mereka. Anna yang sejak tadi memeluk Dominic pun, tidak pernah sama sekali berhenti tersenyum melihat kebahagiaan di wajah Daniella dan Austin. Mereka langsung melakukan panggilan video begitu mendapat kabar jika Daniella sudah melahirkan. "Ah, rasanya aku ingin terbang ke New York sekarang juga." Anna terlihat gemas melihat pipi merah milik putra Daniella. "Prediksi kelahiranmu kapan, An?" tanya Daniella dengan membersihkan Felix yang baru saja selesai dimandikan. "Bulan depan, tapi aku tidak yakin juga setelah mendengar jika kau melahirkan lebih cepat dari perkiraan." "Semoga semuanya lancar," harap Daniella. "Silakan bicara dengan Austin dulu. Felix sepertinya sudah sangat lapar." Anna mengangguk mengerti. Dia segera memberikan ponsel Dominic kepada pemiliknya, dan membiarkan D
Austin bangun tergopoh-gopoh begitu Daniella membangunkannya tengah malam begini. Yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah saat melihat Daniella merintih kesakitan dengan memegang perutnya. "Daniella, apa kau akan melahirkan?" tanya Austin gugup. Dia terlihat lebih gugup daripada wanita yang akan melahirkan. "Aku tidak tau. Perutku sakit sekali, Austin," rintih Daniella tidak tahan lagi. Sebenarnya dia sudah merasakan sakit perut dari sore tadi. Hanya saja, Daniella memilih untuk diam, dan tidak mengatakan apa pun karena berpikir jika ini hanya sakit perut biasa. Sampai saat mereka akan tidur lagi, Daniella semakin merasa tidak nyaman karena kram di perutnya tak kunjung mereda. "Kita ke rumah sakit sekarang." "Telepon mama dulu, Austin. Sepertinya aku hanya sakit perut biasa saja." Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Wajah Daniella tampak pucat dengan keringat deras yang membasahi kening. "Oke, sebentar. Aku telepon mama dulu kalau begitu," ucap Austin y
Musim gugur telah berlalu, dengan angin yang perlahan semakin terasa dingin. Hari ini, setelah sekian lama menunggu, salju pertama di tahun ini kembali turun. Dari balik kaca-kaca rumah, Anna menatap ke arah luar melihat salju yang mulai berjatuhan. Gadis itu tersenyum simpul. "Hari ini salju turun. Kau pasti sangat bahagia, kan, Sayang?" Tiba-tiba saja Dominic datang dan memeluk Anna dengan lembut. Anna hanya mengukir senyum dengan kepala mengangguk. "Musim dingin tahun ini sangat berbeda, Dom." "Apa yang berbeda?" Anna melepaskan tangan Dominic, kemudian berbalik hingga mereka saling berhadapan sekarang. "Keberadaanmu yang membuat beda." Dominic memegang pinggang Anna, dengan tersenyum lebar. Pria itu merunduk, lalu mengecup bibir istrinya cukup lama. "Kau tau, musim dingin tahun lalu dan tahun ini aku punya kebiasaan yang berbeda." Anna menaikkan sudut alisnya. "Kebiasaan yang berbeda? Apa contohnya?" "Ya, contohnya ... bercinta denganmu." Anna memukul dad
Daniella melompat kegirangan saat melihat Austin muncul dari pintu kedatangan. Dia memang sengaja menunggu di bandara saat suaminya itu mengatakan jika akan pulang hari ini. Sungguh, Daniella tidak dapat menahan diri lagi dengan berdiam diri di rumah saja, untuk menunggu Austin. Apalagi dia masih sedih karena Anna sudah pindah ke Vermont kemarin. "Honey, aku sangat merindukanmu." Austin langsung memeluk istrinya dengan erat. Kalau saja dia tidak ingat perut Daniella yang buncit, mungkin Austin tidak akan melepaskan istrinya sekarang. "Aku juga sangat merindukanmu." Austin melepaskan pelukannya dan langsung berjongkok di hadapan perut Daniella. Salah satu yang menjadi kebiasaannya sekarang adalah menyapa bayinya yang masih di dalam perut. "Halo, Sayang. Bagaimana kabarmu di dalam sana?" tanya Austin dengan mengusap perut Daniella. Sesekali dia menciumnya dengan gemas, hingga membuat Daniella tertawa karena geli. "Sudah, Austin. Sebaiknya kita pulang saja sekarang. Aku
Austin menyambut kedatangan Dominic dengan senang hati. Dia sengaja melakukan semua itu, sebelum kembali ke pulang ke New York. Setelah semua urusan di Sky Crystal hari ini selesai, Austin mungkin akan langsung pulang. Dia sudah tidak tahan lagi ingin bertemu dengan Daniella, setelah lebih dari satu bulan ini lebih sering menghabiskan waktunya untuk pulang pergi Vermont dan New York. "Hai, Dom. Bagaimana dengan perjalanan kalian?" Austin langsung memeluk Dominic begitu pria itu tiba. Lalu menyapa Anna yang terlihat cukup kelelahan. "Ah, kau pasti sangat kelelahan, Anna." "Hum, sedikit," jawab Anna dengan senyum tipis. "Ini perjalanan panjang setelah kehamilannya. Dia pasti sangat kelelahan, apalagi perutnya sudah semakin membesar." Austin mengerti dengan apa yang Dominic keluhkan. "Itulah sebabnya aku melarang Daniella ketika dia merengek minta ikut. Kalau begitu, ayo. Sebentar lagi hari akan gelap." Dominic dan Anna mengikuti Austin yang berjalan lebih dulu menuju mob
Dominic membawa Anna ke rumah keluarganya. Setelah rapat pagi tadi, baik Elena maupun Hamilton meminta Dominic untuk datang dan menjelaskan segalanya. Saat Dominic memberitahu Anna, awalnya dia terkejut dengan keputusan Dominic yang bahkan selama ini tidak pernah dibicarakan. Namun, Anna tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang sudah Dominic putuskan. Hidup di mana pun, Anna bersedia asal tetap bersama Dominic. "Kita bicara setelah makan," ujar Hamilton setelah Dominic dan istrinya tiba. Sekarang mereka duduk bersama di ruang tamu, tetapi dengan cepat Dominic menolaknya. "Bisa kita bicara sekarang saja?" Hamilton berdeham. Dia sudah mengira Dominic akan melakukan hal ini, tetapi tidak pernah berpikir jika waktunya akan secepat ini. "Kenapa tiba-tiba seperti ini? Seharusnya kita membicarakan semua ini dari jauh-jauh hari." Hamilton hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Dominic membatalkan keputusannya. "Aku jug
"Williams Group?" Anna menganggukkan kepalanya. Dia tahu sebesar apa tanggung jawab Dominic terhadap Williams Group. Untuk memutuskan tinggal di Sky Crystal selamanya, itu pasti bukan perkara mudah. Dominic tersenyum tipis, tanpa ingin menjawab rasa penasaran Anna. Pria itu justru mengusap rambut istrinya seraya berkata, "Besok kau akan tau semuanya, Sayang." *** Adam dibuat kelimpungan pagi ini karena Dominic meminta diadakannya rapat dengan para pemegang saham secara mendadak. Dia tidak tahu apa yang Dominic ingin sampaikan sampai harus mengadakan rapat mendadak seperti ini. Seluruh pemegang saham Williams Group diwajibkan hadir. Ada Hamilton, Elena, Charles, dan beberapa orang lain yang tampak duduk di ruang rapat menunggu Dominic, selaku pemegang saham tertinggi sekaligus pemimpin di Williams Group saat ini. Berbagai gonjang-ganjing mulai terdengar di setiap sudut perusahaan karena rapat mendadak yang tiba-tiba saja Dominic lakukan. Semua spekulasi muncul,